Sudah tiga hari Isna mengurung diri di kamarnya. Banyak waktu ia habiskan untuk termenung di atas tempat tidurnya. Ketika kumandang adzan menyapa, ia paksakan langkah untuk mengambil wudhu dan bersimpuh di hadapan Tuhan yang menguasai segala apa yang ada di antara langit dan bumi. Setiap sujud terasa begitu berat. Deraian air mata terus mengalir seiring doa yang teralun dari bibir tipisnya. Ada rasa yang begitu menyesak di dadanya hingga membuatnya susah bernafas.
“Ya Allah... ampuni atas keterbatasan hamba-Mu yang tak mampu ikhlas dengan keadaan ini. Kuatkan aku agar tetap tabah menghadapi semua ini. Astaghfirullah hal ‘adzim... Astaghfirullah hal ‘adzim... Astaghfirullah hal ‘adzim.... “
Isna merendahkan diri di hadapan Rabb-nya dalam sujud panjangnya. Kesedihan yang merundung hatinya hampir saja membuatnya putus asa. Keyakinannya akan adanya keadilan di mata Tuhan senantiasa menguatkan hatinya.
“Isna.... “
Terdengar sebuah sapaan lembut dari arah pintu. Isna bangkit dari sujudnya seraya mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dipandanginya wajah sang ibu yang begitu teduh di matanya.
“Ada Yunus.”
Isna menghela nafas panjang. Sudah tiga hari berturut-turut Yunus datang. Beberapa teman juga datang untuk menjenguknya. Tapi, ia tak punya keberanian untuk menemui mereka.
“Aku akan menemuinya.” Jawabnya singkat.
Seulas senyum merekah di wajah seorang ibu yang melihat keadaan anaknya telah membaik.
Isna melepas mukena putihnya, berganti dengan kerudung biru muda yang senada dengan gamis biru tuanya.
“Assalamu’alaykum.” Ucapnya ketika menjumpai Yunus di ruang tamu.
“Wa’alaykum salam wa rahmatullah... “ jawab Yunus yang sedikit terkejut dengan kemunculan Isna yang tiba-tiba.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Alhamdulillah, sudah lebih baik, Akh.” Balasnya sambil menundukkan kepala.
“Teman-teman Rohis menitipkan salam dan doa. Mereka berharap Ukhti bisa segera kembali bergabung meramaikan mushala sekolah.”
“Apa dengan kondisi saya sekarang masih pantas duduk bersama dengan orang-orang baik seperti kalian?”
“Ukhti ini bicara apa? Rohis selalu menanti kehadiran Ukhti.”
“Saya merasa tidak pantas.” Lirih Isna.
“Ukh... semua ini memang berat. Tapi yakinlah, Ukhti mampu menghadapinya. Musibah ini bukan salah Ukhti. Anggaplah ini sebagai ujian tanda kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.”
Air mata kembali meleleh di pipi Isna. Diusapnya dengan lengan bajunya.
“Saya tidak sanggup, Akh. Semua orang tidak akan bisa menerima keadaan saya.”
“Percayalah, semua tidak seburuk yang Ukhti kira. Kembalilah ke sekolah. Ada banyak teman yang merindukan Ukhti.”
***
Semangat yang diberikan Yunus akhirnya menjadikan Isna berani untuk memulai semuanya dari awal. Hari ini ia kembali ke sekolah. Ada banyak perubahan yang ia rasakan setelah seminggu ia tinggalkan semuanya. Beberapa langkah memasuki gerbang sekolah, semua mata seolah tertuju padanya. Pandangan yang ia rasakan seperti menyalahkannya. Hatinya kembali remuk redam. Sekuat tenaga ia menahan agar tak meneteskan air mata.
“Isna... “
Sebuah seruan keriangan bersambung pelukan hangat menyapa Isna. Dalam seketika kelima sahabat yang begitu dirindukan memeluknya dengan penuh kehangatan. Isna tak kuasa membendung air matanya. Kelima sahabatnya turut menitihkan air mata. Ada sebuah rasa yang tak mampu dijelaskan lewat tetesan air mata itu.
“Aku senang melihatmu lagi di sekolah.” Kata Intan.
“Iya, kami sangat merindukanmu.” Sahut Keke.
“Kami menyayangimu, Na. Kamu jangan pernah lupakan itu.” Ujar Hani.
“Terima kasih.” Balas Isna dengan dua tetes air mata yang mengalir di sudut matanya.
Kelima sahabat baik Isna dengan antusias mengajaknya masuk ke kelas. Tatapan-tatapan yang tampak seram terus mengiringi langkahnya. Jiwanya bergemuruh. Namun kalimat Istighfar yang terus terlantun di dalam hati mampu menepis segala situasi yang membuatnya tak nyaman.
“Jangan pernah menghiraukan mereka.” Bisik Tini.
Isna mengangguk. Ia sudah menyiapkan mental sekuat mungkin untuk menghadapi hal-hal buruk yang telah ia perkirakan akan terjadi.
Istirahat pertama tiba. Intan dan Tini mengajak Isna ke mushala untuk mengahadiri rapat harian Rohis seperti biasa. Yunus menyambut mereka di depan pintu mushala dengan senyuman penuh keramahan.
“Masuklah, semua sudah berkumpul.” Ajaknya.
Sejak kejadian itu, tempat yang biasa ia kunjungi terasa begitu asing. Semua mata tertuju padanya. Tatapan yang dulu menyejukkan kini ia rasakan berbalik menyakitkan. Seketika ia sadar bahwa keberadaannya tak lagi di terima.
“Ukhti Isna, apa Anti tidak punya malu untuk masuk ke sini setelah kejadian yang sungguh sangat hina.” Ucap Nizam dengan tegasnya.
“Akh Nizam!” sergah Yunus.
Perkataan Nizam langsung meruntuhkan ketabahan Isna. Hatinya sangat terguncang. Rekan-rekan dakwah di sekolah bahkan tak bisa menerima keadaannya.
“Ukhti... duduklah.” Pinta Yunus.
Isna menyungginggan senyum. Matanya tampak berkaca-kaca. Bibirnya bergetar, mencoba mengutarakan kata-kata.
“Afwan, sepertinya saya masuk ke tempat yang salah.” Kata Isna seraya berlari pergi meninggalkan majelis.
“Ukhti!”
Yunus berusaha menghentikannya, namun Isna telah jauh pergi. Intan dan Tini segera keluar mengejar Isna.
“Setiap Akhwat pasti tak mau mengalami musibah seperti yang menimpa Ukhti Isna. Adalah suatu keajaiban bila seorang ukhti seperti Isna mampu menghadapinya dengan tegar dan mau kembali ke sekolah. Apa dalam hal ini dia bersalah sehingga kalian semua memusuhinya?”
Setelah berkata-kata, Yunus langsung beranjak pergi tanpa memperdulikan musyawarah yang seharusnya dipimpinnya.
Yunus berkeliling mencari jejak Isna. Intan dan Tini yang berhasil ditemuinya juga tak mendapati keberadaan Isna. Dia merasa sangat kecewa dengan sikap teman-temannya yang tak bisa bersikap bijaksana terhadap permasalahan Isna. Segenap sudut-sudut sekolah ia datangi, tapi Isna tetap tak ia temukan. Hingga ketika ia sampai di ruang bimbingan dan konseling, sayup-sayup ia dengar suara Isna dan Ibu Indah, salah seorang guru BK sekolah. Ia melangkahkan kaki mendekati pintu ruangan konsultasi yang sedikit terbuka. Isna ada di dalam.
“Saya jijik dengan diri saya sendiri.”
Ucapan Isna terdengar jelas di telinga Yunus.
“Cobalah untuk menerima dirimu sendiri. Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Bagaimana bisa kau berharap orang lain mau menerimamu, sementara kamu sendiri belum bisa menerima keadaan.”
“Isna, dengarkan ibu. Ini adalah musibah, bukan kesalahanmu sepenuhnya.”
“Ini salah saya... benar-benar salah saya. Saya begitu lemah... saya sangat bodoh sehingga tidak bisa mempertahankan kesucian saya. Saya sangat kotor... “
Yunus tertunduk. Ia ikut merasa bersalah atas musibah yang menimpa temannya itu. Ia berbalik menyalahkan dirinya sendiri. Seandainya ia lebih cepat datang menolong, mungkin keadaan tak akan seburuk ini.
“Isna... Isna... dengarkan Ibu.”
“Kamu harus berusaha memaafkan dirimu sendiri. Mulailah semua dari awal. Terkadang kita tak harus selalu mendengarkan perkataan orang. Abaikanlah semua yang mampu menjatuhkanmu. Tetaplah semangat. Jangan pernah menyerah meskipun semua ini sulit. Semua orang pasti pernah mengalami pengalaman pahit, punya noda hitam dalam perjalanan hidupnya. Masih banyak orang yang mau berjalan di sampingmu untuk mendukungmu, termasuk ibu.”
“Sekarang, kembalilah ke kelas dan ikuti pelajaran seperti biasa.”
Yunus segera menjauhkan diri dari pintu. Beberapa saat kemudian, Isna keluar dari ruangan konsultasi.
“Ukhti.”
Isna menoleh.
“Maafkan atas sikap teman-teman.”
“Saya telah memaafkan mereka. Saya memahami kalau mereka sudah tak mau berteman dengan saya.”
“Saya masih mau berteman dengan Ukhti.”
Isna terkejut mendengar ucapan Yunus. Tanpa sepatah katapun, ia melangkah pergi meninggalkan Yunus.
***
Hari-hari berikutnya kembali Isna lewati tanpa perubahan yang berarti. Masih banyak yang mengucilkannya, memandangnya dengan penuh kebencian dan rasa jijik. Isna hanya bisa ber-istighfar di dalam hatinya.
“Sani... “
“Ukhti membuat saya kecewa. Mengapa Ukhti tidak bisa menjaga izzah Ukhti sebagai seorang wanita? Apa yang telah Ukhti perbuat sehingga menimbulkan fitnah seperti ini?”
Sani, sahabat dekatnya sesama rekan Rohis bahkan ikut menyalahkannya. Isna pasrah. Tak ada yang mau menyikapi permasalahan dari sisi dirinya.
“Saya juga tidak mengharapkan kejadian ini menimpa saya. Maaf.” Kata Isna dengan lelehan air mata yang kembali menetes di pipinya.
“Ukhti... bagaimana mungkin seorang akhwat berjilbab sempurna, sesuai syar’i seperti Ukhti bisa mengundang orang berbuat tidak baik jika Ukhti sendiri tidak menggodanya!”
“Ukhti Sani!” sergah Yunus.
Akhirnya setelah sekian lama bersembunyi, Yunus menampakkan diri. Dilihatnya Isna yang tampak terisak-isak dengan prasangka yang begitu menyakitkan dari sahabatnya.
“Tidak ada yang bisa menentukan kapan datangnya musibah. Ukti Isna adalah seorang akhwat yang baik, senantiasa menjaga pergaulannya dan menjaga izzah-nya. Sebagai sahabat, cobalah untuk menyikapi permasalah dari sudut pandang Ukhti Isna. Tidak bijaksana kiranya kalau kita hanya bisa menyalahkan.”
“Saya menyesal telah menganggapnya sebagai sahabat, Akh.”
Perkataan Sani semakin menyesakkan dada Isna. Sekuat hati ia menahan agar tak menangis, meskipun butiran air mata terus menetes di luar kuasanya.
“Orang yang telah menorehkan luka dalam kehidupan Ukti Isna adalah Hisyam, anak SMA 8. Mungkin Ukhti Sani belum tahu, mengapa Hisyam sampai tega menyakiti teman kita.”
“Ukhti Isna sangat teguh menjaga prinsipnya sebagai seorang muslimah. Meskipun berkali-kali Hisyam memintanya untuk berpacaran, dia dengan berani terus menolak. Kejadian kemarin bukan kesalahan Ukhti Isna. Selama ini dia telah berusaha menjaga kehormatannya dengan baik. Musibah yang menimpa merupakan niat buruk orang lain terhadapnya. Bantulah dia untuk menghadapi masa-masa sulit ini, Ukh.”
“Nabi Yusuf a.s pernah dipenjara karena difitnah telah menodai Siti Zulaikha padahal beliau tidak bersalah. Dalam masalah ini, patutkah Ukhti Isna dipersalahkan, Ukh?”
Sani menunduk. Isna terus mengusap air matanya. Suasana menjadi hening beberapa saat. Sani akhirnya memutuskan pergi. Sepertinya dia belum bisa menerima Isna.
“Saya berharap Ukti bisa tetap tabah. Meskipun tak banyak yang bisa saya lakukan untuk Ukhti, tapi saya akan selalu mendukung Ukhti.”
“Terima kasih.” Balas Isna singkat.
***
“Maksud Bapak, saya harus mengundurkan diri dari sekolah ini?” ucap Isna dengan suara bergetar. Butiran bening kembali membasahi pipinya.
“Saya mengerti ini berat untukmu. Tapi demi kebaikanmu dan kebaikan sekolah ini, itulah cara terbaik.” Tegas Pak Edi, guru di sekolah yang menangani bagian kesiswaan.
“Saya tidak melanggar peraturan sekolah. Mengapa saya harus dikeluarkan? Saya bukan penjahat, saya korban kejahatan, Pak. Mengapa saya yang dipersalahkan?” katanya dengan nada terisak-isak.
“Isna, Bapak tahu, kamu tidak bersalah. Semua demi nama baik sekolah. Kejadian yang menimpamu turut memberi citra buruk bagi sekolah. Mengertilah.”
Isna tak kuasa lagi berkata-kata. Isna langsung berlari pergi meninggalkan ruang kesiswaan.
“Bagaimana bisa kita berharap sistem peradilan di Indonesia dapat berjalan adil dan bijaksana jika di sekolah guru-gurunya menangani siswa-siswanya dengan tidak bijaksana.”
“Yunus.”
Pak Edi tampak terperanjat melihat Yunus yang tiba-tiba telah berdiri di depan pintu ruangannya.
“Demi nama baik sekolah, kakak-kakak kelas diajarkan untuk saling memberikan jawaban saat ujian. Demi nama baik sekolah, siswa-siswa bermasalah dikeluarkan diam-diam. Dan kali ini, demi menjaga nama baik sekolah, seorang siswanya yang menjadi korban kejahatan disuruh mengundurkan diri dari sekolah. Bukankah sebenarnya justru sekolah ini yang tidak baik!”
“Yunus!”
“Bukankah begitu, Pak? Permisi.”
Sejak kejadian itu, Isna tak pernah terlihat lagi di sekolah. Dia memutuskan untuk mengundurkan diri. Sebuah keputusan yang menurutnya paling bijaksana, karena banyak pihak yang tidak bisa menerimanya.
“Seharusnya saya bisa membantu Ukhti bertahan di sekolah.” Kata Yunus, ketika mengiring kepindahan Isna ke luar Jawa.
“Tidak apa-apa, Akh. Terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini.”
“Semoga tempat hijrah Ukhti akan lebih baik. Tetap semangat dan berbahagialah di sana.”
“Iya. Saya akan memulai semuanya dari awal. Saya tidak akan melupakan bahwa saya pernah memiliki seorang teman baik seperti Akhi.”
“Semoga kita bisa bertemu kembali.”
“Amin.” Ucap Isna dengan seulas senyum.
“Saya pamit, Akh. Salam untuk teman-teman. Assalmu’alaykum.” Pamitnya.
“Wa’alaykum salam wa rahmatullahi wa barokatuh.”
Yunus memberikan senyum terakhir sebelum mobil yang membawa Isna melaju kencang. Dari kejadian ini, Yunus belajar bahwa terkadang seseorang harus mengalah terhadap keadaan. Ketika di suatu tempat banyak yang tidak bisa menerima keberadaan seseorang, hijrah ke tempat lain adalah sebuah keputusan yang bijaksana. Mengalah bukan berarti kalah, tapi kebijaksanaan terhadap pilihan.
***
Semarang, 12 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar