Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

DUA HATI DAN LANGIT AL AQSHA


Langit Al Quds malam ini sangat indah. Seperti malam-malam sebelumnya. Mungkin juga malam-malam sesudahnya. Apapun warnanya, aku selalu ingin menikmatinya. Aku sedang di kompleks masjid Al Aqsha kini. Di taman yang berada diantara kubah Al Aqsha dan Sakhra. Di kanan punggungku, adalah potongan langit yang paling kusukai. Langit di atas kubah al Aqsha. Juga Langit di atas Kubah Sakhra yang ada di sebelah kiriku. Potongan langit yang selalu membuatku tak bisa memaksa langkah untuk segera pulang. Selepas Shalat Isya aku selalu berlama-lama di sini. Hamparan rumputnya di selingi beberapa pohon tinggi. Di malam hari siluetnya terlihat berbentuk segitiga dengan puncak yang bersudut sempit.

Taman ini terletak diantara Masjid AL Aqsha dan Sakhra. Gelap. Lampu taman yang terbatas tak cukup mampu menerangi setiap bagiannya. Tapi dengan demikian bintang-bintang di langit terlihat makin cemerlang.
Masih ada saat-saat menakjubkan lainnya, yaitu ketika menjelang magrib dan selepas subuh. Tapi, langit yang menembaga itu hanya bisa kunikmati sembari berjalan dalam gegas yang ritmik. Itu bukan waktu yang tepat untuk menikmatinya bukan ?. Tentu saja. Sebab aku harus segera menuju Masjid untuk shalat magrib, atau segera pulang selepas subuh. Toko Ami Jaber menungguku setiap pagi.
Ketika langit berwarna tembaga, setiap kepingnya seakan-akan menampilkan Imad Aqil, Shalah Syahadah dan barisan panjang syuhada lainnya tersenyum dengan gagah. Juga Ustadz Ahmad. Guruku yang syahid belum lama ini. Langit yang berrona jingga itu seperti kemarahan tak berujung pada tiap darah muslim yang tertumpah di bumi Palestina. Merah itu menelusup didadaku. Menggedornya dengan amat keras. Mencipta geletar yang menusuk-nusuk sepanjang pagi, siang, malam hingga pagi berikutnya. Begitu terus setiap hari. Kurasa itu tak akan pernah berakhir hingga luka Palestina terobati pada hari pembebasannya kelak. Aku berharap saat itu aku turut menyaksikan rona langitku yang berubah menjadi menjadi seperti apa ya ? Yang pasti, semakin indah. Ya, jika kini ia sangat indah, maka di hari kebebasannya tentu akan semakin indah. MmLangit Al Aqsha ini adalah senyumku untukmu.
Assalamu’alaikum. Aku harus pulang sekarang. Teman-teman sudah pulang terlebih dahulu ba’da Isya tadi. Kupikir kak Izzah mulai khawatir menungguku di rumah. Ups! Maksudku kemah. Ya, kami sudah tidak punya rumah. Kemarin malam aku dapati ia di depan kemah dengan wajah cemas. Lain kali pulang lebih cepat. Dari sini pun kau bisa melihat langit Al Aqsha dengan cukup jelas ucapnya waktu itu. Bagi kak Iz usiaku yang hampir sepuluh tahun ini tak cukup meyakinkan untuk menjaga diri. Padahal aku sudah berulangkali meyakinkan bahwa seorang lelaki telah mandiri sejak usia tujuh tahun. Ustadz Akhmad selalu ingin aku cepat dewasa.
Lari-lari kecilku telah mengantarkanku pada puluhan kemah yang berdiri kokoh dalam kerentaan dan ketercabikan yang tak pernah berarti apa-apa di hati kami. Ini adalah kehidupan kami. Kami bersukur dengan segala keterbatasannya. Tidak setiap muslim mendapatkan kepercayaan dariNYA untuk menjaga Al Quds. Menjadi penduduk kota suci ini adalah nikmat yang selalu terasa manis meski genangan darah menenggelamkan generasi islam negeri ini.
Ah, beberapa meter di depan kemahku aku terpekik sembari menepuk dahi dengan reflek. Lariku makin menggegas seiring desir rasa bersalah yang begitu cepat berkembangbiak sebab kak Iz kembali terlihat cemas menungguku seperti kemarin.
***
"Assalamu’alaikum,” Suara ramah menghentikan gerak tanganku yang memindahkan tepung gandum dari sebuah kontainer plastik ke dalam kantong-kantong kertas kecil. Mengemas gandum adalah aktifitas tetapku setiap pagi setelah membuka toko dan merapikan letak beberapa barang dagangan.
”Wa’alaikumsalam” jawabku sembari memperhatikannya dengan seksama. Kelihatannya cuma beberapa tahun di atasku. Mungkin 12, 13 atau 14 tahun. Wajah, kulit, rambut semuanya terlihat baru bagiku. Ia berbeda. Karena itulah secara reflek aku memandangnya beberapa detik sebelum kemudian menanyakan apa yang dibutuhkannya. Ia terlihat bingung meski senyumnya tak pernah lepas.
“Mm, Do you speak english ?” ucapnya kemudian.
Kali ini aku yang garuk-garuk kepala. Tanpa menunggu jawabanku ia melanjutkan kalimatnya sembari menunjuk sebuah roti dan Anggur. Bahasa inggris. Aku pernah mendengar bahasa ini dari beberapa yahudi. Banyak bahasa yang meraka gunakan. Bahasa inggris hanya salah satunya. Tapi anak ini muslim. Lagi pula tak sedikitpun terlihat seperti yahudi. Bukan yang berkulit gelap, bukan juga yang berambut pirang. Juga bukan yahudi dari kalangan penduduk Arab. Kulitnya bersih meski berwarna agak coklat. Rambutnya hitam dan lurus. Ia menggunakan penutup kepala berwarna hitam. Bentuknya aneh. Silinder ? Ah tidak juga. Bagian depan dan belakangnya menyudut. Jadi tidak melingkar sepenuhnya.
***

”Pa ! Kok cuma senyum sih ? Ini sudah hampir Dzuhur dan Eza belum juga kembali. kok papa bisa tenang-tenang aja sih ?” Bu Ardy terlihat duduk dengan gelisah di salah satu sudut ruangan Baitul Maqdis. Tangannya tak henti memilin ujung jilbab merah marunnya yang mungil.
Matanya terlihat cemas. Pandangannya menyapu ruangan yang luas itu. Mencari sosok puteranya diantara turis-turis yang mondar-mandir dengan pakaian seadanya. Ini adalah kenyataan yang sempat mengejutkannya ketika pertama kali menjejakkan kakinya di Masjid suci ini.
Yerusalem bukan Surabaya Pa. Di sini hal yang paling buruk sekalipun bisa terjadi tambahnya kemudian. Begitu banyak bayangan mengerikan tentang tempat suci ini yang dia ketahui. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Eza. Sementara itu, Pak Ardy tetap dengan senyumnya.
”Sudahlah ma. Rombongan umrah ini masih akan disini hingga ba’da dzuhur. Papa yakin. Dzuhur nanti Eza sudah ada di sini. Dia nggak akan pergi terlalu jauh. Berikan Eza kesempatan untuk mengetahui banyak hal tentang tempat ini ma. Bukankah kita disini juga atas permintaannya ?” Lelaki tiga puluh lima tahun itu masih terlihat tenang sembari terus menatap kagum pada lampu-lampu indah yang tergantung di langit-langit Al Aqsha.
”Oh, ini lampu yang di nyalakan dengan minyak Zaitun dari seluruh penduduk Al Quds itu ?” gumamnya. Slide di otaknya mengingat kembali sebuah Video tentang Al Aqsha yang beberapa kali di putarnya ketika di tanah air. Benda berharga itu di dapatkannya dari sahabat barunya. Sahabat itu mengusik dan menyalakan kembali bara yang dulu sempat membakar dadanya ketika masih mahasiswa.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Di tatapnya wajah istrinya sembari berkata, ”Bukan Yerusalem ma. tapi, Al Quds. Senyumnya masih bertengger diantara ekspresi wajah yang tak mampu di terjemahkan oleh istrinya.
***
Namanya Rizal. Aku ingin menceritakannya pada langit Al Quds malam ini. Hanya bercerita. Sebab aku tak mungkin mengajaknya kemari. Dia tidak akan di ijinkan untuk bertahan lama-lama di taman ini. Apa lagi di malam hari. Tadi siang aja umminya terlihat sangat cemas ketika kami tiba di halaman Al Aqsha beberapa saat sebelum adzan Dzuhur. Kasihan, ammah itu telah menunggu Eza sejak pagi.
Sayang sekali. Sebenarnya aku sangat ingin mengajaknya menikmati langit Al Aqsha yang indah di malam hari. Tapi, ba’da dzuhur kami harus berpisah. Semoga saja ia bisa menyaksikan langit indah ini dari Hotel Tempatnya menginap. Tapi di mana ia menginap ? Jauh apa dekat ya ?
”Aku biasa dipanggil Eza.” katanya waktu itu. Bahasa arabnya patah-patah. Kami lebih sering menggunakan isyarat ditambah lagi dengan beberapa coretan di kertas untuk semakin membuat kami lebih saling mengerti. Capek juga bicara dengan cara begitu. Tapi sangat menyenangkan. Aku bercerita tentang banyak hal. Kadang-kadang kami harus berhenti saat ada pembeli.
Eza sangat antusias ketika kuceritakan rumahku dan teman-teman di gusur dengan buldozer beberapa tahun lalu. Kugambarkan sketsa rumah yang dilindas oleh buldozer. Seketika itu ku lihat matanya berkilat. Agaknya Eza marah. Ah, tentu saja. Sebab kami adalah saudara seaqidah.
Saat ku ucapkan, ”Abi, ummi.” sambil menunjuk dada kemudian menggambar sebuah senjata laras panjang dan sebuah nisan, bara di matanya tersaput genangan bening yang hampir-hampir meleleh di pipinya. Setelah itu ia memelukku. Erat, erat sekali. Aku merasakan cintanya padaku pada pertemuan kami yang pertama. Dia sahabat yang luar biasa.
”Al Aqsha, Eza mencintiamu!” Seruku dalam hati. ”Karena itulah Al Aqsha. Aku mencintai Eza seperti juga ia mencintaimu!” Seruku sekali lagi.
Tiga bulan lagi usiaku genap sepuluh tahun. Saat itu adalah saat untuk memenuhi janjiku pada Al Aqsha. Tabunganku di paman jabir telah cukup untuk membeli senjata yang sebenarnya. Tidak hanya dengan batu, senjata itu akan meronakan keindahan yang kian bertambah pada langit Al Quds. Semoga ALLAH menganugerahkan syahadah padaku.
Rencana ini tidak kuceritakan pada siapapun. Termasuk kak Iz. Tidak juga kak ’Audah. Aku ingin ini menjadi kejutan untuk keduanya. Setelah itu aku yakin kak ’Audah akan bersedia mengajakku ke manapun ia pergi setiap harinya. Meski kak ’Audah tak pernah bercerita apa saja aktifitasnya, aku yakin tak akan jauh dari yang biasa di lakukan oleh ustadz Ahmad, ayah kak ’Audah- sebelum kesyahidannya. Aku ingin belajar mengejar syahadah itu darinya.
Astagfirullah! Ini saatnya aku pulang. Aku tak ingin kak Iz menungguku seperti kemarin.
Kakiku urung melangkah. Sebuah sentuhan di pungungku mengiringi salam ramah yang sama seperti tadi siang. Eza? Senyum itu kembali mengembang untukku. ”Alaikum salam!”  seruku tertahan. ”Kenapa Eza disini ?”
Tak ada kalimat yang keluar. Seperti biasa. Tapi ada yang tak biasa di wajahnya. Sedih ? Pelukkannya yang erat tidak menjawab tanya di hatiku sedikitpun. Tanya itu semakin meraja ketika kurasakan punggungku basah sementara tubuh Eza berguncang-guncang menahan isak. Aku menangis. Sedih sekali rasanya. Dadaku nyeri. Meski tak tau apa yang membuatnya sedih, air mataku tetap membanjir. Ada khawatir yang menyeruak. Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya ? Ayah dan ibunya ? Atau jangan-jangan.... Tiba-tiba aku merasa yakin bahwa kami akan berpisah. Ya. Mungkin itu sebabnya.
Eza melepaskan pelukannya. Kali ini ia menatapku begitu lama. Aku semakin yakin bahwa ini adalah saat perpisahan kami. Air mataku semakin membanjir. Sebenarnya aku malu telah menangis. Lelaki Al Quds tidak boleh menangis. Tapi, air mata itu tetap keluar. Itu juga yang kulihat pada sepasang mata penuh cinta di hadapanku.
”Kak Iz bilang, jika seorang muslim mencintai saudaranya karena ALLAH ia harus mengatakannya pada saudaranya itu. Aku merasa harus mengatakan ini. Tidak mengapa meskipun ia tak mengerti. Eza, aku mencintaimu karena ALLAH.” ucapku kemudian. Dan kami kembali berpelukan erat. Rasa di dada kami menyatu dalam detak-detak yang sama. Ternyata dia mengerti. Untuk kedua kalinya Eza membuat jarak lagi diantara kami, kemudian mengambil sesuatu dari saku jaketnya dan mengangsurkannya padaku. Surat.
”Assalamu’alaikum.” Salamnya mengakhiri pertemuan indah kami malam ini. Pertemuan yang di saksikan langit malam di atas kubah Al Aqsha.
***

“Hh! Hh....!” Aku tersengal setelah berlari kencang sebelumnya.
Beberapa waktu lalu aku menemui Faris di taman antara Al Aqsha dan Sakhra. Aku sudah ada di lobi hotel sekarang. Tinggal beli sesutu agar mama nggak curiga. Lalu segera kembali ke kamar. Segera. Aku tak tahan dengan tatapan-tatapan heran orang-orang itu. Orang sepertiku memang tidak ada di sini. Keberadaanku jadi sangat mencolok. Capek sekali. Kakiku sampai gemetaran. Tapi semuanya seperti tidak terasa karena aku berhasil menyampaikan suratku pada Faris. Sejak sampai di hotel hampir ashar tadi hingga magrib aku bekerja keras merangkai kalimat dalam bahasa arab. Tanganku sampai terasa panas karena begitu lama menggenggam dan memencet-mencet tombol kamus elektronik. Kamus itu hadiah dari mas Azzam. Saudara sepupuku. Seorang mahasiswa tingkat tiga di sebuah universitas negeri di surabaya. Umrah kali ini juga dari papa. Aku lulus Ujian Nasional dengan nilai tertinggi.
Kepalaku di penuhi oleh kebersamaanku dengan mas Azzam. Seorang heroik yang memperkenalkanku pada negeri menakjubkan ini melalui cerita-ceritanya, buku-bukunya, vcd-vcdnyaĆ¢€¦ Semuanya menakjubkan. Dan kini aku telah menemui negeri yang penuh berkah ini. Negeri yang dalam salah satu hadist Rasulullah disebutkan di diami oleh sekelompok orang ahli syukur meski dalam kondisi sesulit apapun.
Akan kuceritakan ketika semuanya masih segar di kepalaku. Di hatiku. Sebab besok pagi aku akan mengucapkan selamat tinggal pada negeri ini untuk sementara waktu.
***
Langit jingga di atas kubah Al Aqsha mengantarkan lariku yang tak biasa. Aku berusaha lebih cepat dan lebih cepat lagi. Ba’da subuh ini sepertinya akan sangat berbeda. Di kejauhan aku melihat kepulan asap dari arah perkemahanku. Darahku mendidih. Agaknya ada sesuatu yang buruk terjadi di sana. Pasti yahudi-yahudi itu sedang kesetanan.
Benar saja. Semakin dekat semakin jelas deretan Tank dan sepasukan tentara zionis menghancurkan tenda-tenda kami. Keterlaluan. Setelah mengusir kami dari rumah-rumah kami. Mereka kembali mengusir kami dari tenda-tenda kami. Tidak. Aku tidak akan pergi dari sini. Langit AL Aqsha harus tetap terlihat dari tendaku. Karena itu tendaku tak boleh jauh dari Al Aqsha. Aku akan mempertahankannya. Sembari berlari di sepanjang jalan aku memungut batu-batu yang terserak. Zionis itu harus merasakan perihnya kepala jika di robek oleh batu-batuku. Aku akan melindungi setiap jengkal tanah ini dengan segenap dayaku. Dengan setiap tetesan peluh dan darahku.
***
Eza gelisah. Ia mondar-mandir di ruang tunggu bandara. Mama menarik lengannya ketika petugas dari biro perjalanan memberikan isyarat bagi rombongan untuk segera menuju pesawat. Eza yakin mereka belum akan ke Indonesia. Tapi ia tidak peduli. Bukan itu yang merisaukannya. Saat ini semua pikirannya tertuju pada Faris. Perasaannya diliputi kekhawatiran. Adakah sesuatu yang terjadi pada Faris? Pertanyaan itu berulangkali membuatnya mendesah. Bu Ardy memandang penuh heran. Sementara pak Ardy sibuk dengan barang-barang bu Ardy yang begitu melimpah akibat belanja yang tak terkontrol kemarin. Umrah kali ini benar-benar menjadi wisata gerutunya dalam hati. Tangannya bergerak aktif menaikkan barang-barangnya pada sebuah alat yang bergerak seperti ular yang melata. Barang-barang di atasnya mulai bergerak menuju alat berikutnya yang akan melihat isi tas setiap penumpang tanpa membongkarnya. Seperti kacamata tembus pandang yang di miliki oleh superman.
”Akh!” Eza berseru sembari memegangi dadanya. Bu Ardy terlihat terkejut dan semakin khawatir.
”Za? Kenapa nak ?” Pekiknya tertahan.
”Gak papa kok ma.” Eza menenangkan dengan senyum jenakanya. “Cuma mau ngerjain mama.” imbuhnya sembari berlari menghindari cubitan yang menyerangnya bertubi-tubi.
Bu Ardy tersenyum lega. Putranya sudah mulai jahil. Itu berari semuanya normal-normal saja. “Tak ada yang perlu di khawatirkan.” bisiknya dalam hati. Di hadapannya kini Eza kembali menjahili suaminya.
”Ah, anak itu! Dia memang tidak pernah benar-benar capek.” dialog hatinya semakin melegakan.
Barisan rombongan telah semakin dekat dengan tangga pesawat. Satu persatu rombongan menaikinya. Tak ada lagi yang memperhatikan seorang anak laki-laki yang meringis menahan sakit. Tangan kirinya bertumpu pada salah satu kursi pesawat. Sementara itu tangan kanannya mendekap dada. Matanya terpejam. Bayangan seorang anak palestina dengan senyum damainya menyapa. Langit yang memayunginya berwarna merah saga. Merah seperti dadanya yang tak henti mengucurkan darah.
”Faris! Kau terluka? Sakit di dada ini pasti karena luka di dadamu. Faris!” Eza memekik pilu dalam hatinya. Sementara gemetar tubuhnya kian menghebat.
”Eza, jangan bersedih. Aku sedang bahagia dengan rizki-Nya.” Sosok itu berucap dengan senyum yang damai. Sementara wajah cahayanya lebih indah dari pada jingga langit yang melatarinya.
”Aku sudah menepati janjiku padamu. Pesanmu telah kusampaikan. Bersiaplah!” Kalimatnya terpotong oleh seruan lembut dari suara yang berbeda. Suara itu datang dari seorang pemuda dengan kafiyeh yang membalut wajahnya. ”Cepat kembali ke sini. Kami merindukanmu.” Gemanya ada pada tiap lapisan udara. Setelah itu menghilang berangsur-angsur, mencipta segaris senyum di wajah Eza yang penuh peluh.
”Aku akan kembali Faris. Aku berjanji. Insya ALLAH, semua akan terwujud.” Masih dengan pejamnya Eza meneriakkan janjinya pada langit Al Quds dalam diam.
***
Kubah Al Aqsha yang tinggi kembali menyaksikan pemandangan yang sama. Pemandangan yang selalu terulang. Puluhan tenda-tenda pengungsi telah rata dengan tanah. Beberapa warga sipil palestina terluka. Bentakan-bentakan dari para serdadu zionis berseling dengan teriakan wanita, anak-anak dan orang tua. Bunyi raungan mobil ambulan menyempurnakan sound effect menjadi begitu mengerikan.
Beberapa orang masih berusaha mempertahankan tiap jengkal bumi yang di pijaknya. Sebab ini adalah bumi Al Quds. Bumi Islam. Aqidah di pertaruhkan di sini. Karena itu pula masih terus ada batu-batu suci yang meluncur perkasa. Meluluhkan senjata-senjata canggih yang tergenggam di tangan-tangan kotor para tirani. Wajah-wajah mereka selalu berubah-ubah warna. Suatu saat buas. Bengis. Di saat lain pucat pasi seperti pengecut. Senjata secanggih apapun tak akan membuat mereka merasa aman dari aksi intifadha.
Di salah satu sudut panggung peristiwa itu, seorang wanita berwajah teduh namun tegas mengambil peran. Ia duduk di samping jasad syuhada kesekian yang di persembahkan bumi palestina bagi tegaknya Izzul Islam wal Muslimun. Matakacanya menatap Syuhada kecil itu dengan lukisan bahagia dan duka yang berbaur menjadi satu. Ia sedih karena ia telah kehilangan adiknya tercinta. Namun ia juga bahagia karena hatinya berkata bahwa adiknya akan tinggal di negeri paling indah dan membahagiakan.
Pahlawan kecilnya ini selalu terdepan di setiap aksi intifadhah. Ia begitu mencintai negeri ini. Masjid suci ini. Di hadapannya, untuk terakhir kalinya ia kembali membuktikan tekadnya beberapa detik yang lalu. Ia menghadang sebuah Tank sembari terus melemparkan batu. Saat itu wajahnya bersinar bahagia. Dahi zionis di hadapannya berulang kali terkena lemparan hingga mengeluarkan darah. Dalam panik, zionis yang lain memberondongkan senjata apinya pada tubuh suci yang belum genap sepuluh tahun menghirup udara. Dadanya merah bersimbah darah. Lalu roboh berdebum kebumi bersamaan dengan kalimat tauhid yang lantang di teriakkannya. Di tangannya selembar kertas lusuh begitu bahagia tersimbahi darah sucinya. Setelah memungutnya, wanita itupun membacanya.
”Tunggu aku sebentar lagi. Aku akan bersiap. Rindu ini tak akan terobati kecuali oleh ratusan peluru yahudi yang mengantarkanku keharibaan-Nya. Jangan lupa do’akan aku. Jika kau syahid lebih dulu, sampaikan salamku pada Asy Syahid Imad Aqil. Katakan bahwa aku mencintainya. Saudaramu fillah, Rizal.”
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar