PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS
PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING ( CTL ) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA PADA SISWA KELAS III SD N KALISIDI 02
Dosen Pengampu : Dr, Sri Sulistyorini.M.Pd
Oleh
Okto Susiyantoro
1401909010
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
PROPOSAL / USULAN PTK
A. Judul
PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING ( CTL ) UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPA PADA SISWA KELAS III SD N KALISIDI 02
B. Bidang Kajian
Peningkatan Hasil Belajar
BAB I
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD / MI dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah bahwa Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPA di SD / MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
Mata pelajaran IPA di SD / MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : a) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya. b) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep – konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. c) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat. d) Mengembangkan ketrampila proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. e) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. f) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteratuurannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. g) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan ketrampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP / MTs.
Berdasarkan temuan Depdiknas ( 2007 ), dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan pelaksanaan standar isi mata pelajaran IPA. Permasalahan tersebut yaitu kurangnya alat peraga dan pemanfaatannya, pendekatan yang digunakan dalam materi tersebut kurang sesuai, dan buku – buku mata pelajaran IPA di sekolah masih kurang. Sehingga minat siswa dalam mengikuti pelajaran masih sangat rendah.
Fenomena pelaksanaan pembelajaran IPA tersebut diatas, merupakan gambaran yang terjadi di SD N Kalisidi 02 khususnya kelas III. Berdasarkan pengamatan dan refleksi awal menunjukkan bahwa pembelajaran IPA khususnya dalam materi perubahan sifat benda masih rendah, karena pendekatan yang digunakan kurang variatif dan alat peraga yang kurang menarik, sehingga minat siswa dalam mengikuti pelajaran IPA masih sangat rendah.
Hal ini didukung data dari pencapaian hasil observasi dan evaluasi siswa pada materi perubahan sifat benda pada siswa kelas III semester 2 yang menunjukkan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM )nya masih dibawah rata – rata dari yang ditetapkan sekolah yaitu 70. Hal itu ditunjukkan dengan nilai terendah 30 dan nilai tertinggi 80. Dengan adanya data tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas pembelajaran IPA disini perlu ditingkatkan supaya hasil belajar IPA tersebut memuaskan dan dapat mencapai KKMnya semua.
Untuk memecahkan masalah ditetapkan tindakan untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa. Maka dari itu peneliti menggunakan salah satu pendekatan pembelajaran inovatif yaitu pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ). Dengan menggunakan pendekatan ini menekankan aktivitas siswa dengan memanfaatkan lingkungan sekitar yang nyata sebagai media pembelajarannya ( Wikipedia ).
Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa, dimana dalam hal ini siswa dituntut intuk lebih aktif, kreatif, dan trampil dalam menghubungkan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan mereka untuk memecahkan suatu permasalahan dalam kehidupan sehari – harinya yang berhubungan dengan perubahan sifat benda.
Dari ulasan latar belakang tersebut, maka peneliti akan mengkaji melalui penelitian tindakan kelas dengan judul penerapan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPA pada siswa kelas III SD N Kalisidi 02.
2. Perumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
a. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalaha sebagai berikut : Bagaimana cara meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas III SD N Kalisidi 02 ?
Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
1) Apakah pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPA mengenai perubahan sifat benda pada siswa kelas III SD N Kalisidi 02 ?
2) Apakah pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) dapat meningkatkan ketrampilan guru dalam pembelajaran ?
3) Apakah pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) dapat meningkatkan hasil belajar siswa khususnya mengenai perubahan sifat benda pada siswa kelas III SD N Kalisidi 02 ?
b. Pemecahan Masalah
Langkah-langkah pendekatan pembelajaran contextual teaching and learning ( CTL )
1. Guru menjelaskan materi perubahan sifat benda hanya secara umum saja dan siswa memperhatikan.
2. Guru member kesempatan kepada siswa untuk menanyaka hal yang ingin mereka ketahui tentang materi.
3. Guru membagi kelompok kerja dan siswa membentuk kelompok sesuai petunjuk guru.
4. Siswa melakukan percobaan untuk mengetahui adanya perubahan sifat pada benda akibat pembakaran, pemanasan dan diletakkan di tempat terbuka. Kemudian siswa membandingkan benda, sebelum dan sesudah mengalami pembakaran, pemanasan dan diletakkan di tempat terbuka.
5. Guru membimbing siswa untuk melakukan diskusi.
6. Masing – masing kelompok melaporkan hasil diskusi kelompok secara bergantian untuk tampil di depan.
7. Siswa menanggapi hasil kerja diskusi dari kelompok lain dan guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan.
8. Guru dan siswa bersama – sama melakukan refleksi. Refleksi dapat dilakukan dengan cara membuat rangkuman, meneliti dan memperbaiki kegagalan dalam pembelajaran tadi.
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah :
Untuk meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas III SD N Kalisidi 02.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :
a. Mendeskripsikan peningkatan kegiatan belajar siswa tentang perubahan sifat benda dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ).
b. Mendeskripsikan peningkatan keterampilan guru dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ).
c. Meningkatkan hasil belajar siswa tentang perubahan sifat benda dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ).
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu juga dapat memberikan manfaat bagi :
a. Bagi siswa
1) Meningkatkan minat belajar siswa, khususnya mata pelajaran IPA.
2) Meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami konsep perubahan sifat benda.
3) Meningkatkan prestasi hasil belajar siswa.
b. Bagi Sekolah
1) Memperoleh hasil belajar siswa yang lebih baik dan memuaskan.
2) Mendapatkan alternatif model pembelajaran di sekolah melalui PTK.
3) Meningkatkan prestasi sekolah.
c. Bagi Guru
1) Untuk mengetahui kelemahan / kelebihan guru dalam menyampaikan materi pelajaran dan mengelola kelas.
2) Memberikan alternatif pemecahan masalah dalam suatu pembelajaran.
3) Membantu guru dalam melakukan perbaikan pembelajaran pada mata pelajaran IPA.
d. Bagi Pembaca
Sebagai bahan acuan dan alternatif pemecahan dalam mengantisipasi kegagalan belajar IPA khususnya konsep perubahan sifat benda.
e. Bagi Peneliti
1) Sebagai pengalaman dalam upaya meningkatkan kemampuan belajar siswa.
2) Sebagai bahan perbandingan atas penggunaan pendekatan / metode pembelajaran.
BAB II
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Teori
a. Belajar
1) Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses di dalam kepribadian manusia, perubahan tersebut ditempatkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas.
Menurut Gagne dalam buku The Condition of Learning ( 1977 ), bahwa belajar terjadi apabila sesuatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya ( performance-nya ) berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.
Sedangkan Morgan mendefinisikan, bahwa belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
Menurut Slameto, belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dalam lingkungan.
Dari pengertian-pengertian diatas, penulis berkesimpulan bahwa belajar adalah proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang mengarah kepada hal positif dan didapat dari pengalamannya sendiri.
2) Prinsip-prinsip Belajar
Berikut ini disajikan 10 prinsip belajar yang semestinya diketahui oleh seorang pengajar dan juga mesti disadari oleh seorang yang ingin belajar lebih efektif. Item-item berikut disarikan dari buku The Trainer’s Handbook, Mitchell, 1997 :
a) Mempelajari apa yang siap dipelajari.
b) Kita pelajari yang terbaik dari apa yang pernah kita lakukan.
c) Kita belajar dari kesalahan.
d) Kita belajar lebih mudah terhadap sesuatu yang kita lihat.
e) Kita menyukai adanya perbedaan sense dalam belajar.
f) Kita belajar secara metodik dan sistematik.
g) Kita tidak dapat mempelajari sesuatu yang tidak dimengerti.
h) Kita belajar melalui latihan.
i) Kita belajar lebih baik ketika kita mengetahui kemajuan kita.
j) Kita menanggapi dengan lebih baik ketika apa yang kiita pelajari disajikan secara unik terhadap setiap orang.
b. Perubahan Sifat Benda
1) Perubahan Sifat Benda karena Dipanaskan
Dalam keadaan dingin, cokelat biasanya padat dan cukup keras. Akan tetapi, cokelat mencair bila dipanaskan. Pada saat itu, sifatnya berubah seperti sifat benda cair. Karena berwujud cair, cokelat bias dituangkan ke dalam cetakannya. Bentuk cokelat cair dalam cetakan itu didinginkan di udara terbuka, atau di dalam lemari pendingin ( kulkas ), cokelat dapat mengeras kembali.
Bagaimana dengan mentega ? Mentega memang lebih lembek daripada cokelat. Akan tetapi, jika disimpan di dalam kulkas, mentega bisa mengeras seperti cokelat. Begitu dipanaskan di penggorengan, mentega bisa mencair menjadi seperti minyak goreng.
Perhatikan saat ibu memasak air. Saat air dipanaskan, diatas air tampak asap keluar dari permukaan air. Asap itu sebenarnya adalah uap air, yaitu air yang berwujud benda gas. Saat dipanaskan, benda cair dapat berubah menjadi benda gas.
Jadi, pemanasan dapat mengubah benda. Misalnya mengubah benda padat menjadi benda cair seperti contoh-contoh diatas.
2) Perubahan Sifat Benda karena Dibiarkan di Udara
Dalam keadaan sangat dingin, air akan membeku. Es batu merupakan contohnya. Akan tetapi, jika es tidak berada di tempat yang dingin, maka e situ mencair. Es batu yang semula bersifat seperti benda padat, berubah menjadi air dan bersifat seperti benda cair.
Karena perubahan sifat es batu itu, maka es batu atau es-es yang dijual harus disimpan di wadah yang khusus. Contohnya adalah termos. Termos dapat menjaga benda di dalamnya dari pengaruh udara luar. Termos juga menjaga suhu benda di dalamnya bias tetap dingin, atau tetap panas. Penjual es batu berbentuk balok sering melumuri balok es dengan serbuk kayu sisa penggergajian. Serbuk kayu dapat mengurangi pengaruh udara dan panas di sekelilingnya. Dengan cara itu, es tidak mudah mencair, walaupun diletakkan di udara terbuka.
Coba kalian perhatikan kamper atau kapur barus yang di letakkan di kamar mandi atau lemari pakaian. Makin lama kamper makin mengecil. Akhirnya setelah beberapa hari kamper itu habis. Sesungguhnya kamper telah mengalami perubahan wujud benda padat menjadi benda gas. Itulah sebabnya kamar mandi atau lemari pakaian menjadi harum jika kamper wangi diletakkan di situ.
Jadi, benda dapat mengalami perubahan jika diletakkan di udara terbuka, misalnya es meleleh menjadi air.
c. Hakekat IPA
1) Hakekat IPA dan Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar
Ilmu pengetahuan alam ( IPA ) atau Sains dalam arti sempit merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari physical sciences ( ilmu fisik ) dan life sciences ( ilmu biologi ). Yang termasuk physical sciences adalah ilmu-ilmu astronomi, kimia, geologi, mineralogy, meteorology, dan fisika. Sedangkan life sciences meliputi anatomi, fisiologi, zoology, citologi, embriologi, mikrobiologi.
IPA atau Sains berupaya membangkitkan minat manusia agar mau meningkatkan kecerdasan dan pemahamannya tentang alam seisinya yang penuh dengan rahasia yang tidak ada habisnya. Dengan terbukanya rahasia alam itu satu persatu, serta mrngalirnya informasi yang dihasilkannya, jangkauan Sains semakin luas dan lahirlah sifat terapannya, yaitu teknologi.
IPA atau Sains membahas tentang gejala-gejala alam yang disusun secara sistematis yang didasarkan pada hasil percobaan dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Powler ( dalam Wina-Putra, 1992 : 122 ) bahwa IPA merupakan ilmu yang berhubungan dengan gejala-gejala alam dan kebendaan yang sistematis yang tersusun secara teratur, berlaku umum yang berupa kumpulan dari hasil observasi dan eksperimen.
.IPA merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya IPA juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). ( Soekardjo, 1973;1).
IPA menurut arti per-katanya yaitu ilmu, pengetahuan dan alam. Ilmu adalah pengetahuan yang ilmiah. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia. Dari dua pengertian tersebut dapat digabungkan yaitu IPA sebagai ilmu yang mempelajari tentang sebab dan akibat kejadian-kejadian yang ada di alam ini. ( Soekarno, 1973;1).
IPA menurut arti per-katanya yaitu ilmu, pengetahuan dan alam. Ilmu adalah pengetahuan yang ilmiah. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia. Dari dua pengertian tersebut dapat digabungkan yaitu IPA sebagai ilmu yang mempelajari tentang sebab dan akibat kejadian-kejadian yang ada di alam ini. ( Soekarno, 1973;1).
Dari beberapa pengertian tersebut diatas dapat kita ketahui bahwa IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam semesta beserta isi dan kejadian-kejadian yang dapat diperoleh dan dikembangkan baik secara induktif atau deduktif. Ada dua hal yang berkaitan dengan IPA yaitu IPA sebagai produk dan IPA sebagai proses. IPA sebagai produk yaitu pengetahuan IPA yang berupa pengetahuan faktual, konseptual, procedural, dan metakognitif. IPA sebagai proses yaitu kerja ilmiah. Baik produk atau proses IPA merupakan subjek kajian IPA. Dengan belajar IPA, belajar produk dan bagaimana proses IPA dapat kita peroleh. Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak pengetahuan yang kita dapat. Pengetahuan tentang agama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, sosial, dan alam sekitar adalah contoh pengetahuan yang dimiliki oleh tiap manusia. Pada pengertian IPA yang kedua dapat kita ketahui bahwa IPA merupakan pengetahuan yang ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara ilmiah. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu mempunyai dua sifat utama. Sifat utama tersebut antara lain adalah rasional dan objektif. Rasional berarti masuk akal, logis, atau diterima akal sehat sedangkan objektif mempunyai arti sesuai dengan objeknya, kenyataan, atau pengamatan. Pengetahuan Alam dipandang sebagai cara berfikir dalam pencarian tentang rahasia alam sebagai cara penyelidikan terhadap gejala alam dan sebagai batang tubuh pengetahuan yang dihasilkan dari inquiry. Selain dapat belajar tentang proses dan produk IPA, dengan belajar IPA kita juga dapat ketahui tentang cara berfikir yang baik.
2) IPA dalam Kurikulum Sekolah Dasar
Dari uraian di atas IPA atau Sains adalah ilmu yang mempunyai obyek dan menggunakan metode ilmiah sehingga perlu diajarkan di SD. Setiap guru harus paham akan alasan mengapa Sains perlu diajarkan di SD. Ada berbagai alasan yang menyebabkan satu mata pelajaran itu dimasukkan ke dalam kurikulum suatu sekolah. Usman Samatowa ( 2006 ) mengemukakan empat alasan Sains dimasukkan ke dalam kurikulum SD, yaitu :
a) Bahwa Sains berfaedah bagi suatu bangsa, kiranya tidak perlu dipersoalkan panjang lebar. Kesejahteraan materiil suatu bangsa banyak sekali tergantung pada kemampuan bangsa itu dalam bidang Sains, sebab Sains merupakan dasar teknologi, sering disebut-sebut sebagai tulang punggung pembangunan. Pengetahuan dasar untuk teknologi ialah Sains.
b) Bila diajarkan Sains menurut cara yang tepat, maka Sains merupakan suatu mata pelajaran yang memberikan kesempatan berfikir kritis, misalnya Sains diajarkan dengan mengikuti metode “ menemukan sendiri “. Dengan ini anak dihadapkan pada suatu masalah, umpamanya dapat dikemukakan suatu masalah demikian. “ Dapatkah tumbuhan hidup tanpa daun ? “ Anak diminta untuk mencari dan menyelidiki hal ini.
c) Bila Sains diajarkan melalui percobaan-percobaan yang dilakukan sendiri oleh anak, maka Sains tidaklah merupakan mata pelajaran yang hanya bersifat hafalan.
d) Mata pelajaran ini mempunyai nilai-nilai pendidikan, yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan.
Standar Kompetensi ( SK ) dan Kompetensi Dasar ( KD ) IPA di SD / MI merupakan standar minimum yang secara nasional harus dicapai oleh peserta didik dan menjadi acuan dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.
d. Pendekatan Contextual Teaching and Learning ( CTL )
Pendekatan kontekstual atau contextual teaching and learning ( CTL ) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat ( US Departement of Education, 2001 ). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk menggapainya.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi dari pada member informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa.
2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaitkan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual.
4) Merancang pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka.
5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refleksi terhadap rencana pembelajaran dan pelaksanaannya.
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstriktivisme ( contructivism ), menemukan ( inquiry ), bertanya ( questioning ), masyarakat belajar ( learning community ), pemodelan ( modelling ), refleksi ( reflection ), dan penilaian sebenarnya ( authentic assessment ). Adapun tujuh komponen tersebut sebagai berikut :
1) Konstruktivisme ( Contructivism )
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir contextual teaching and learning ( CTL ), yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental membangun pengetahuaannya, yang melandasi oleh struktur pengetahuan yang dimilikinya.
2) Menemukan ( Inquiry )
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual karena pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi , bertanya, mengajukan dugaan ( hipotesis ), pengumpulan data, dan penyimpulan.
3) Bertanya ( Questioning )
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk :
a) Menggali informasi.
b) Menggali pemahaman siswa.
c) Membangkitkan respon kepada siswa.
d ) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.
e) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa.
f) Memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru.
g) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa.
h) Untuk menyegarkan kembali ingatan siswa.
4) Masyarakat Belajar ( Learning Community )
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok, atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
5) Pemodelan ( Modelling )
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
6) Refleksi ( Reflection )
Refleksi merupakan cara berfikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7) Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assesment )
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bias memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.
e. Teori Belajar yang Mendasari Pendekatan CTL
1) Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstuktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap, yaitu sensory motor, pre operational, concrete operational,, dan formal operational.
Dikemukakan pula bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a) Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b) Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c) Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d) Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e) Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temannya.
2) Teori Belajar Bermakna dari Ausubel
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kogitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari belajar bermakna dari Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
3) Teori Penemuan dari Jerome Bruner
Bruner menganggap, bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya member hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna ( Dahar, 1998 : 125 ).
Bruner menyarankan agar siswa-siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, agar mereka dianjurkan untuk memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengijinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
4) Teori Pembelajaran Sosial dari Vygotsky
Teori Vygotsky ini lebih menekankan pada aspek social dari teori pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka, yang disebut dengan zona of proximal development, yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit diatas daerah perkembangan seseorang saat ini.
Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antara individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
5) Teori Pengajaran dari John Dewey
Menekankan pentingnya makna bekerja, karena bekerja memberikan pengalaman dan pengalaman memimpin orang berfikir sehingga dapat bertindak bijaksana dengan benar. Pengalaman itu mempengaruhi budi pekerti. Ada pengalaman positif dan ada pengalaman negatif. Pengalaman yang positif adalah pengalaman yang benar, sebab faedahnya dapat diterapkan di dalam kehidupan. Sebaliknya, pengalaman negatif adalah pengalaman yang salah, merugikan atau menghambat kehidupan dan tidak perlu dipakai lagi ( Trianto, 2008 : 47 ).
f. Implementasi CTL
Sesuai dengan faktor kebutuhan individual siswa, maka untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran dan pengajaran kontekstual guru seharusnya :
1) Merencanakan pembelajaran sesuai dengan perkembangan mental siswa.
2) Membentuk grup belajar yang saling tergantung.
3) Mempertimbangkan keragaman siswa.
4) Menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri dengan 3 karaketristik umumnya ( kesadaran berfikir, penggunaan strategi, dan motivasi berkelanjutan ).
5) Memperhatikan multi-intelegensi siswa.
6) Menggunakan teknik bertanya ( inquiry ) yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan ketrampilan berfikir tingkat tinggi.
7) Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna jika ia diberi kesempatan untuk bekerja, menemukan, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru ( constructivism ).
8) Memfasilitasi kegiatan penemuan ( inquiry ) agar siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan melalui penemuannya sendiri, bukan hasil mengingat sejumlah fakta.
9) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pengajuan pertanyaan ( questioning ).
10) Menciptakan masyarakat belajar ( learning community ) dengan membangun kerjasama antar siswa.
11) Memodelkan ( modelling ) sesuatu agar siswa dapat menirunya untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan baru.
12) Mangarahkan siswa untuk merefleksikan tentang apa yang sudah dipelajari.
13) Menerapkan penialaian autentik ( authentic assessment ).
Berkaitan dengan faktor peran guru, agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif, maka guru seharusnya :
1) Mengkaji konsep atau teori ( materi ajar ) yang akan dipelajari oleh siswa.
2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama.
3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa, selanjutnya memilih dan mengaitkannya dengan konsep atau teori yang akan dibahas.
4) Merancangg pengajaran dengan mengaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertinmbangkan pengalaman siswa dan lingkungan kehidupannya.
5) Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong siswa untuk mengaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan / pengalaman sebelumnya dan fenomena kehidupan sehari-hari, serta mendorong siswa untuk membangun kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa terhadap konsep atau teori yang sedang dipelajarinya.
6) Melakukan penilaian autentik yang memungkinkan siswa untuk menunjukkan penguasaan tujuan dan pemahaman yang mendalam terhadap pembelajarannya, sekaligus pada saat yang bersamaan dapat meningkatkan dan menemukan cara untuk peningkatan pengetahuaannya.
2. Kajian Empiris
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kharisma Lestari dengan judul penerapan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Umbulan Winongan Pasuruan yang dilakukan pada tahun 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan : a) Pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) pada pembelajaran IPA untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Umbulan Winingan Pasuruan. b) Peningkatan hasil belajar siswa kelas IV SDN Umbulan Winongan Pasuruan dengan penerapan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ).
Penelitian ini menggunakan rancangan PTK. Subyek penelitian ini adalah guru dan siswa kelas IV SDN Umbulan Winongan Pasuruan sebanyak 20 siswa. Instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar observasi dan tes.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa penerapan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) dalam pembelajaran IPA untuk meningkatkan hasil belajar IPA, siswa kelas IV SDN Umbulan Winongan Pasuruan dilakukan melalui constructivism, questioning, inquiry, learning community, modelling, authentic assessment, reflection. Skenario pembelajaran IPA dengan contextual teaching and learning ( CTL ) pada siklus I belum bisa dilaksanakan semua tetapi pada siklus II skenario pembelajaran telah dilaksanakn sesuai rencana yang telah dibuat. Pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Umbulan Winongan Pasuruan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata hasil belajar siswa pada pra tindakan ( 57,3 ), siklus I ( 67,4 ), siklus II ( 85, 3 ).
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa : penerapan contextual teaching and learning ( CTL ) pada pembelajaran IPA untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Umbulan Winongan Pasuruan ditunjukkan dengan skenario pembelajaran contextual teaching and learning ( CTL ) pada siklus I belum bisa dilaksanakan semua, tetapi pada siklus II skenario pembelajaran telah dilaksanakan sesuai rancangan yang dibuat. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata pada pratindakan adalah 57,3 siklus I adalah 67,4 dan siklus II adalah 85,3.
3. Kerangka Berpikir
IPA adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mengingat besarnya peranan IPA, maka pelajaran IPA di semua jenjang pendidikan khususnya sekolah menengah, siswa perlu dituntun untuk menguasai konsep dalam IPA.
Kenyataan selama pembelajaran IPA masih menggunakan pendekatan konvensional. Pendekatan ini memusatkan pembelajaran pada guru sehingga banyak siswa yang merasa bosan. Pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan sendiri dan melakukakan sendiri apa yang dipelajarinya, sehingga siswa tidak merasa bosan karena hanya mendengarkan informasi dari guru. Dengan itu siswa akan merasa lebih senang dalam mengikuti pelajaran, sehingga diharapkan dapar meningkatkan kualitas pembelajaran IPA.
Dari pernyataan tersebut dapat dibuat skema sebagai berikut :
4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan paparan diatas, penulis mengajukan hipotesis tindakan sebagai berikut : Dengan menggunakan pendekatan contextual teaching and learning ( CTL ) maka nilai IPA yang berada dibawah KKM, yaitu 70 dapat teratasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar