Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

Laut Mulai Bosan Pada Warnanya

Semuanya berantakan. Nafas mereka tersengal. Mata mereka tak lagi mengatakan sesuatu. Mereka hanya berdiam diri. Dan cuaca panas dalam kenangan mereka menjelma jadi api yang membakar kebisuan. Tujuh orang tentara Israel membawanya di malam hari buta. Semua yang mereka bawa sepertinya memang disiapkan untuk membunuh.
Lihatlah, mereka mengetuk pintu dengan kaki. Setelah menenangkan anak-anaknya, sekalipun dengan amat gelisah, ibu tua itu keluar juga membuka pintu.
Ketika pintu terbuka, dengan kasar tentara-tentara itu menggeletakkannya di atas tanah. Ibu tua itu nampak cemas menatap tentara-tentara Israel tersebut. Ia tak dapat melihat mereka dengan jelas. Matanya sudah hampir rabun. Lalu, seketika yang nampak hanya alam yang tiba-tiba menjelma jadi daun kecil yang diombang-ambingkan keputusasaan.
Dilemparkannya dirinya ke dekat tubuh mayat itu. Lalu ditatapnya, dan tiba-tiba saja kegelapan memenuhi segenap ruangan. Ia mencoba merabanya kembali. Ya benar, itu anaknya! Tubuhnya yang penuh ekspresi keperkasaan kini tergolek kuyuh di atas tanah dengan tenang. Rambutnya yang dibauri darah terjumbai ke tengkuknya. Dulu, kawan-kawannya sering mengolok postur tubuhnya yang kurus ceking. Baju biru yang begitu lama dipakainya seakan mengeluh rindu. Masih jelas dalam ingatan ibunya bagaimana ia menambal lengan kiri bajunya yang robek dengan secarik kain dari baju saudaranya, Yusuf. Suatu ketika ia tersenyum sambil merangkul ibunya, "Hidup tanpa apa-apa adalah ketololan, di situ hidup tak pernah indah!"
Perempuan tua itu kembali menatap tubuh yang kini sedang tergolek kaku di atas tanah. Ia mencermati wajahnya lamat-lamat. Dan dilihatnya wajah itu kini sedang terbaring dalam dekapan kematian. Perlahan-lahan air matanya gugur satu-satu. Lalu, sebentar kemudian, ia tak tahan lagi. Ia menangis sejadi-jadinya. Biar, serunya, lambungnya yang panas menyemburkan satu teriakan yang melukiskan tatapan bisu penuh amarah yang ditancapkan ke arah tentara-tentara Israel itu. Malam hanya berpura-pura menawarkan ketenangan. Ia sesungguhnya memendam marah. Namun juga sedih.
Mereka selalu melakukan itu : membunuh anak-anak muda dan membuangnya di malam hari buta, biar bangkai-bangkai itu dikuburkan dengan air mata ibu mereka. Tanpa teriakan, dan tanpa harus mengganggu cekaman keheningan yang memenuhi mata seperti kuburan. Wajah mayat-mayat itu pun selalu mengerikan, selalu dalam keadaan tercabik-cabik. Hingga terkesan mayat-mayat itu seperti hendak menyembunyikan wajahnya dari tatapan orang-orang yang masih hidup.
Yah, itu anaknya! Tangannya masih menggenggam beberapa batu kerikil. Cincin kecilnya masih sempit di tangannya. Ia tak mungkin lepas dari situ. Cincin itu mengingatkan ia akan sesuatu yang amat dalam, indah dan sakral. Ibu itu masih ingat kata-kata anaknya, yang ia ucapkan sembari melambaikan tangan dan tersenyum renyah. "Tanah air itu seperti cincin ini, Bu! Kita tak mungkin lepas darinya."
Saudara sepupunya, Bassam, menimpali dengan sesak. "Andaikan tanah air itu serupa dengan sesuatu yang lain, kita tak harus mati untuknya."
"Tinggalkan kata-kata bombastis itu, Bassam. Ucapkanlah sesuatu yang bisa dipahami oleh ibuku."
Hari itu ibunya, menatap telapak tangannya dalam-dalam. Dan kini ia kembali menatap telapak tangannya dalam-dalam. Tapi telapak tangan itu kini dingin dan beku. Dan cincin itu narnpak bagai sesuatu yang aslng, ia sepertinya baru melihatnya sekali ini. Ia meraba kedua telapak kakinya dengan tangannya. Ya, benar dia anaknya! Mereka sering mentertawakan postur tubuhnya yang kurus ceking. Mereka bilang dia jelek. Tetapi mereka sangat menyukainya. Tanah air bagi anaknya, bagai sebuah cincin, tak mungkin lepas darinya.
Ia kembali menatap tentara-tentara itu. Ia hanya menemukan pelecehan dan kepongahan di mata mereka. Lalu ditatapnya anaknya kembali dengan gemetar. Wajah anaknya yang berlumuran darah, kini tercabik-cabik. Cuma bekas-bekas peluru yang nampak kelihatan. Lalu tiba-tiba tatapannya berubah jadi teriakan yang keras, dan sebuah tangisan histeris yang begitu memilukan memenuhi angkasa. Ia memeluk anaknya sekuat-kuatnya, dan terus berteriak sekeras-kerasnya. Ia seperti hendak menyayat nurani setiap insan yang hadir di situ.
Para penduduk pun berhamburan dari rumah-rumah mereka. Mereka ingin melihatnya. Tentara-tentara itu segera menarik mayat tersebut dan menjauhkannya dari jangkauan mereka. Tapi ibunya terus mempertahankannya. Dan tubuhnya menjadi bagian dari jemari tangan ibunya yang hanya dapat menggenggam bajunya. Mereka menguburnya di kegelapan malam hari. Mata-mata mereka laksana kuburan. Dan kuburan itu bagaikan sembilu yang menyayat-nyayat hati ibunya. Namun ciuman terakhir dari saudara-saudaranya seperti mengukir cahaya di atas kuburan yang menakutkan para tentara Yaudi itu. Maka mereka pun memberondongkan peluru-peluru. Lalu ada batu yang murka, teriakan tanpa henti dan tanpa rasa takut. Lalu ada tangan-tangan yang gemetar, terus memegang pelatuk senapan, untuk menembak apa saja dan membunuh siapa saja.
lbunya kemudian pulang ke rumah. Saudara-saudaranya pun menyusul bagai bayang-bayang lesu. Ia diam membisu. Seperti mereka yang juga tak melakukan apa-apa. Hanya ada air mata yang terus membulir, tak terhitung. Sesampainya di rumah, ibunya langsung membuka lemari pakaiannya. Dan dengan amat emosional ia mengobrak-abrik lemari itu sampai kosong. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah baju putih dengan motif garis-garis hitam yang saling melintang. Dipegangnya baju itu erat-erat. Ditatapnya dalam-dalam dengan mata berkaca-kaca. Lalu didekapnya kuat-kuat. Hampir saja ia terjatuh karena tak sanggup menahan tangis. Nasir segera memegang ibunya sembari menangis tersedu. Ia berusaha menghibur ibunya.
"Sudahlah, Bu! Tinggalkan baju Basysyar. Ia takkan kembali lagi. Begitupun ayahku dan Faris. Semua yang telah pergi takkan kembali lagi."
Sebentar kemudian Nasir melepas pegangannya. Ia makin tersedu. Wajahnya merah padam. Seram, namun sangat memilukan. Akhirnya ibunya pun memeluknya sembari menangis dan terus mengulangi kalimatnya. "Ya, itulah harga surga, Nasir! Surga!"
Kemudian dirangkulnya Nasir ke dadanya erat-erat. Biar kesedihannya menjelma jadi angkara murka, bukan ketakutan atau kebingungan. Ia terus mendekapnya dengan debaran jantung yang tiada menentu, biar tangan kecilnya yang gemetar tak sampai membuat ia takut. Menjelang tidur Nasir kembali bergumam.
"Dulu kami delapan bersaudara." Sejenak ia menghapus air matanya dengan lengan bajunya. Ia menatap sendu ke sekelilingnya.
"Sekarang kami tinggal berenam," gumamnya pelan. Hampir tak kedengaran. Ia berusaha memejamkan kedua matanya. Tapi kemudian dibukanya kembali. Ia menengok kepada ibunya. Lalu, "Basysyar itu tidak jelek, Bu!" ujamya.
Untuk kedua kalinya ibu itu kembali mendekap anaknya. Dibacanya ayat-ayat Qur'an yang masih dihafalnya, hingga anaknya tertidur dalam pelukannya. Dan tetes-tetes air matanya seakan membasahi ruang kamarnya dengan kesedihan. Senandung azan dari masjid suci Ibrahim seperti membasuh luka hatinya dengan tetes-tetes embun. Sepanjang malam ia menunggu senandung itu. Hanya kata-kata itulah yang sanggup mengangkat ruh anaknya ke singgasana yang dapat membuatnya tersenyum. Kemudian ia berdiri pelan. Ia mulai berwudhu. Kini ia mencuci kedua tangannya dengan air suci, dan juga air matanya.
Sejenak ia berusaha melupakan kesedihannya. Tapi mustahil! Ia takkan pernah sanggup melupakan kesedihan. Bagaimana mungkin, kalau satu-satunya kekuatan yang dimilikinya adalah justru mengingat kesedihan itu, minimal bagi dirinya sendiri ? Dalam kesejukan air wudhu ia berusaha mencari sebentuk ketenangan. Tapi sia-sia. Ia ingin menanggung kesedihannya sendiri. Tapi ia justru menjelma menjadi seratus kemarahan. Ia menolak semua belasungkawa. Ia merasa hatinya sudah terbiasa mengubur mayat-mayat. Tapi, tidak juga. Sebab sampai kini ia masih saja menangis. Kuburan itu masih menutupi pelupuk matanya dengan kabut tebal.
Air. Ya, ia benar-benar menyukai air. Ia pernah bilang begini, "Yang terindah dalam sholat itu adalah wudhu. Dan yang terindah dalam wudhu itu adalah air." Kini ia memegang pundak anaknya penuh kasih.
"Belum sholat?"
"Lho, kapan ibu bangun?"
"Ibu baru saja sholat subuh di masjid Ibrahim."
"Kenapa ibu tidak membangunkan saya?"
"Nah sekarang, ibu membangunkan kamu."
Pagi itu Basysysar keluar ke jalan raya membawa cangkul kecil dengan kopiah yang terus menghiasi kepalanya. Ia tahu bahwa ia takkan kembali. Ia paling suka melihat bagaimana ketakutan di mata ibunya justru membuat tentara Israel berteriak ketika mereka menanyakannya pada ibunya. Suatu saat tentara-tentara Israel datang ke rumahnya. Ia segera berlari meninggalkan rumah. Karena tentara-tentara itu tidak dapat menangkapnya, akhirnya mereka melampiaskan kemarahan dengan memukul saudaranya, Yusuf. Hampir saja mereka membunuhnya. lbunya hanya terdiam. Tapi kemudian, sambil memegang Yusuf ia berujar, "Basysyar tidak ada di sini. Kalian menghukum orang lain."
"Saya akan membunuh si kecil ini."
"Silakan! Ini dia di depan matamu."
"Kamu tidak takut?"
"Kalau ajalnya belum tiba, ia pasti tak akan mati."
"Gila! Kalian benar-benar sudah gila."
Ia mengatakan itu sambil mendorong Yusuf. Disuruhnya tentara-tentara itu keluar dari rumahnya. Dan tentara-tentara itu hanya bisa terbengong-bengong melihat sang ibu, ketika ia justru terus memelototi mereka. Ia berdoa agar Allah membutakan mereka, hingga tak dapat menemukan Basysyar. Dan untuk menghibur Yusuf, ia menggodanya sambil tertawa.
"Basysyar yang mengganggu mereka, eh malah kamu yang dipukul. Ayo, sekarang kamu yang ganggu mereka, biar mereka memukul Nasir."
Sejenak ibunya tertegun, sedih. Ia memandang sekelilingnya, sembari bergumam. "Ah, Basysyar. Kalau saja hidup itu diberikan lebih dari sekali! Kalau saja kematian itu mengikuti warna kesedihan kita! Mungkin kematianmu bagai musim semi, dan kuburanmu adalah cahaya yang menerangi kegelapan mata kami."
Sebenarnya ia ingin sholat di rumah saja. Tapi entah mengapa, langkah kakinya seperti terdorong ke masjid suci Ibrahim. Ia ingin mencari ketenangan di haribaan masjid suci itu. Gemerlap cahaya yang bergelantungan di masjid suci itu, yang bentukan keseluruhannya menuliskan nama Allah dan Muhammad, seakan-akan menculik kedua matanya dan melekatkannya dengan masjid suci itu. (Sungguh, inilah jalan yang telah merengkuh kedua telapak kaki Basysyar. Oo, betapa indah tanah ini. Tentulah ia berhak merebut kesedihan Basysyar.
Sungguh sholat itu indah. Bahwa engkau menumpahkan segala keluhmu tanpa sedikit pun rasa enggan. Bahwa engkau menangis hingga membasahi tempat sujud kepalamu. Betapa itu semua, merupakan warna lain dari nikmat Allah. Yang senantiasa mengajakmu kepada ketabahan. Agar langit menjadi bentangan bagi sholatmu, dan harapanmu, juga bagi angkara murka yang terpancar dari kedua bola matamu. Agar sedih di haribaanmu menjelma, jadi tempat bernaung yang diharumi ketenangan. Sesuatu yang akan memaksamu untuk terus melangkah.
Ketika pulang ke rumah, ia singgah duduk di atas batu kecil. Kini ia memutuskan untuk kembali kepada anak-anaknya tanpa sedikit pun kesedihan. Suatu ketika Basysyar pernah berkata, "Kesedihan itu adalah saudara kelemahan." Dan Bassam, anak bibinya takkan pernah melupakan darah saudara kandungnya yang berbaur dengan tinta buku catatannya.
Sekolah adalah buku bercampur mimpi. Tapi merekalah, yang telah menjelmakannya menjadi kesedihan berdarah. Dan desingan peluru yang menelan bocah-bocah kecil. Dulu Basysyar pernah bilang, "Sesuatu yang indah itu takkan mati. Meskipun ia terkubur dalam tanah."
Ibu tua itu memegang kepalanya dengan sedih. Ia tak dapat memahami, kata-kata yang diucapkan Basysyar dan Bassam. Di salah satu pojok rumah itu, Bassam duduk menghapus air matanya sembari membuka-buka buku catatan lama Faris. Sementara di pojok lain, Basysyar sedang asyik membuat cangkul baru.
"Semua kesedihan ini ternyata tak berhasil membuatmu jadi manusia baru. Lihat, sekarang kamu menangis seperti perempuan, Bassam!"
"Karena anjing-anjing keparat itu!!"
"Anjing-anjing itu telah membunuh saudaramu dengan peluru, sementara kamu mau membalas dendam dengan air mata?"
Tiba-tiba Bassam berteriak marah.
"Ternyata, hatimu tidak lebih indah dari wajahmu, Basysyar!"
Basysyar terdiam sejenak. Ia berusaha memendam emosi Bassam, ketika dengan tenang ia berkata, "Kesedihan itu adalah saudara kandung kelemahan."
Dengan putus asa, Bassam menunjuk keluar dan bergumam, "Tapi teriakan kemarahanmu tak akan membuat mereka tuli."
"Tapi itu menakutkan mereka!"
"Mereka akan mencari rasa aman dalam tubuh seorang bocah yang dicabik-cabik."
"Memang begitu adanya. Sesuatu yang agung itu selalu mahal."
"Tapi toh, kita tak akan mendapatkan apa-apa. Iya kan?"
"Pada kedua hal itu, kita memang tak mendapatkan apa-apa."
"Tapi kita kehilangan diri kita saat perlawanan."
"Itu lebih baik daripada kehilangan kebangsaan kita!"
"Kalau begitu, biarkan kesombonganmu itu memberi makan ibumu, saat mereka membunuhmu!"
"Oke. Lalu, apa pendapatmu tentang tanah air?!"
Ditatapnya mata Basysyar lamat-lamat. Butir-butir air matanya menari-nari di pelupuk matanya.
"Tapi di sana mereka mengkhianati kita. Mereka bahkan melecehkan darah kita," ujar Bassam pelan.
"Biarlah. Esok mereka pasti menangis."
"Kita kan bukan hidup, untuk menyaksikan air mata mereka?"
"Tapi mereka akan hidup, untuk menyaksikan ketegaran kita!"
Ibu tua itu kembali tersenyum renyah, saat dikenangnya senyum anaknya. Kemudian ia berdiri dengan lega. Hari-hari Palestina berlalu seperti kura-kura. Ia selalu melihat segala sesuatu secara mendalam. Ia yakin, ia pasti sampai ke tujuannya. Betapa pun panjangnya perjalanan, betapa pun wajah zaman terus berubah.
Ketika sorotan mata mulai menajam, dan kebisuan pun terlarang, dan kata-kata mulai mengenakan baju darahnya, dan berlalu lalang di jalan-jalan. Ketika mata-mata rnereka menangis perih, dan kaki-kaki mereka menapaki bumi dengan murka. Ketika ... oh, Tidak! Biarkan segalanya binasa kecuali Al-Aqsha. Bunuhlah anak-anak kami, potonglah kepala-kepala mereka! Kematian takkan menakutkan kami. Kematian takkan membuat kami menangis. Peluru-peluru kalian hanya memicu perlawanan kami. Cabutlah akar-akar zaitun dari genggaman kami, penjarakanlah musim semi, perangilah butir-butir hujan, lakukan semuanya. Tapi jangan coba-coba mendekati Al-Aqsha!
Suara-suara itu menggema di jalan-jalan. "Mereka menyerang Al-Aqsha. Mereka mendirikan Haikal Sulaiman. Dan darah-darah Palestina akan membersihkan tanah suci itu dari najis kaki-kaki mereka!" Dan darah pun memenuhi pelupuk mata hingga ia tak sanggup melihat kesedihan. Yang dilihatnya hanyalah angkara murka. Lalu ada darah, orang-orang terluka, orang-orang terbunuh, ibu-ibu menangis, dan bocah-bocah yang terus mencari makna kematian. Tak seorang pun yang pandai membisu ketika darah berbicara.
Kesedihan telah berlalu di pelupuk matanya dengan marah. Tak ada lagi air mata, yang tersisa hanya kematian : satu-satunya yang dapat dipahami dengan sederhana. Ada sebuah peluru kecil, tangan gemetar, tubuh tergeletak. Lalu sebuah teriakan memilukan yang terbenam dalam kubur. Ia ingin membunuh pembangkang yang marah, yang telah merobek-robeknya. Ia ingin mengubur sisa-sisa darah di halaman masjid. Agar ia tak kehilangan semua pemandangan dan kenangan, biar tak ada lagi yang terlihat di depan matanya kecuali kuburan. Tapi sia- sia! Darah masih saja mendesis-desis dalam benaknya. Ia masih saja melawan kesedihannya. Ia berteriak sekuat tenaga dan memecahkan semua yang ada di sekitarnya.
Seperti biasa matahari terbit kembali. Kegelisahan nampak membayangi wajah-wajah penduduk Al-Khalil. Sementara bumi memberikan mereka peluru, langit tak kunjung menjanjikan hujan bagi mereka. "Hari Jum'at selalu membawa nuansa lain di jalan-jalan yang sedih." Begitu ujar matanya saat menyaksikan warna hari di kala siang. Ia bosan dengan semua kenangan. Dicobanya mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan makanan bagi anak-anaknya. Ditemukannya beberapa butir kacang, lalu dimakannya dengan lahap. Ya, itu dia! Warna merah menyala. Mengapa semua warna berubah jadi satu warna yang aneh, yang menumpahkan ratapan dari tubuh? Kemudian ditatapnya sebuah pisau di depannya lamat-lamat. Dan ribuan suara saling berkecamuk dalam benaknya.
"Mengapa hanya kami yang mati?! Batu telah membuat mereka marah, membuat mereka takut, rnenggerakkan peluru mereka. Namun itu tidak membuat mereka mati. Hanya kami saja yang terus mati;" batinnya. Ia rnulai mendekatkan pisau itu ke wajahnya pelan-pelan. Hampir menyentuhnya. Lalu ditatapnya anak-anaknya dengan iba. Tiba-tiba sejumput ketakutan mencuat. Ia melempar pisau ke tanah.
"Mereka masih terlalu kecil. Mereka takkan sanggup menanggung beban ketololan yang kulakukan," batinnya lagi. Seketika matanya tertumbuk pada wajah Yusuf. Anak itu memiliki hati seperti Basysyar. Murka kesedihannya, senyumnya yang licik dan diamnya, dan teriakannya. Lalu dirangkulnya kepala Yusuf dengan kedua tangannya sembari bergumam.
"Batu Basysyar telah membuat mereka marah. Tapi peluru mereka telah membunuh Basysyar. Itulah kematian! Tidak ada lagi yang tersisa selain kematian. Mereka harus mati seperti kita. Mereka harus merasakan kesedihan kita!"
Ia mengambil pisau itu kembali. Ia menatapnya bengong. Lalu dilemparkannya kembali ke atas tanah dengan rasa takut. Kemudian ia berpaling menatap wajah anak-anaknya. Seketika ia menciumi semua mereka. Dipeluknya Nasir kuat-kuat hingga ia hampir terbangun. Lalu diciumnya dalarn-dalam. Sementara air matanya melukis panorama aneh di permukaan wajah Nasir. Kemudian ia menyelimuti anak-anaknya dengan tenang. Lalu ia pergi ke dapur menyiapkan sarapan pagi untuk mereka. Setelah itu, ia menyelipkan pisau itu dalam jubahnya dan keluar dari rumah.
Tak lama kemudian ia kembali lagi ke rumah. Sekali lagi ia menatap anak-anaknya. Dibacanya beberapa ayat Qur'an di atas kepala mereka sambil menangis. Lalu melangkah keluar. Ia memandangi semua sudut kota dengan cinta. Pasar sayur-mayur, anak-anak, jalan lama, gerbang pasar yang tertutup, kios-kios kecil di depan masjid Ibrahim. Ya, itu semua benar-benar nyata. Dan empat koreat itu tak mungkin dapat mengalahkannya. Sernuanya mengucapkan selamat tinggal padanya dengan tangis.
Ia meraba pisau itu di balik jubahnya, lalu berdiri di pintu masjid Ibrahim. Ia mendekati seorang tentara Israel yang berdiri di samping kedua kawannya. Tentara itu mendorongnya dengan senjatanya. Tapi secepat kilat ditikamnya tentara itu. Dan seketika kilatan pisau itu menjelma jadi warna menyala yang selama ini menyiksa batinnya. Tentara Israel yang lain segera menembakinya. Sebuah peluru menembus pundak kirinya. Tentara itu lalu mendekatinya. Tapi seketika ia menancapkan pisaunya di paha tentara itu, lalu perlahan-lahan rebah ke bumi bersama berondongan peluru.
Yusuf, anaknya, ternyata tidak menangis. Ciumannya subuh tadi masih membekaskan senyuman di wajah Yusuf. Tangan lembut ibunya menariknya menuju kesedihan dengan segala kemarahan, ketika ia menyaksikan tentara-tentara itu bersiap-siap membumihanguskan rumah mereka. Sementara itu Nasir meninggalkan saudara-saudaranya dan pergi seorang diri. Ia menangis sejenak. Kemudian ia duduk di atas tembok sembari menghapus air matanya. Sambil memungut batu, ia berkata pada dirinya sendiri.
"Kini kami tinggal berempat."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar