Laman

Minggu, 24 Oktober 2010

SENYUMAN TERAKHIR

Senyuman Terakhir


Pertama kali kami bertemu tak ada terbersit niat untuk saling mengenali satu sama lain. Dia dengan dunianya, dan aku dengan duniaku. Namun karena statusnya adalah seniorku, mau tidak mau akhirnya aku mengenali dirinya. Izam, itulah panggilanku kepadanya dan nama itu juga yg terpahat di hati setelah hampir dua tahun kami saling berkenalan. Izam seorang lelaki yg sederhana, sejuk dipandang mata, dan yang paling aku suka, senyuman manis yang selalu merekah di bibirnya. Mungkin keramahannya yg membuatkan aku mengaguminya dan maluluhkan aku. Sehingga ketika dia meminta cintaku, kuberikan cinta itu padanya. Bersamanya, aku merasa seperti pasangan paling bahagia di dunia. Izam dan maira....

Hari ini kuliahku selesai agak awal jadi aku mengambil keputusan untuk menunggu izam di kantin. Ada sesuatu yg ingin kuberi kepadanya, karena sebentar lagi adalah hari ulang tahunnya. Aku tahu, terlalu awal untuk hadiah itu namun aku tetap ingin menghadiahkan izam sesuatu. Hampir lima menit menunggu, kemudian izam tiba dengan senyuman manis terukir di bibirnya.
“Assalamualaikum... maaf,ya. Tadi ada urusan sebentar.” Dia mengambil tempat di sebelahku, perlahan aku menjawab salamnya.
Aku mengambil bungkusan di dalam tas, lalu kuserahkan kepadanya. Raut wajah izam agak panik, digaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Emm... ini apa? “
“Untuk kamu. Semoga kamu menyukainya.” Aku tersenyum. Dahi izam berkerut-kerut. Dengan penuh rasa penasaran, ia merobek bungkusan itu. Kemudian dibukanya kotak kecil yang berbentuk hati. Matanya bersinar cerah, lantas dikeluarkannya jam tangan hadiah pemberianku itu.
“Ya Allah... maira! Ini jam tangan yang waktu itu,kan!? Ini kan mahal. Bukankah lebih baik kamu gunakan uangmu untuk hal lain.”
“Suka tidak?”

Di kota ini aku dan izam sama-sama kost. Saat akhir pekan kami sering jalan berdua. Sewaktu kami jalan-jalan di mal, aku sempat melihat Izam memandangi sebuah jam tangan indah yang saat ini aku berikan padanya. Aku coba menduga. Itulah jam tangan yang paling diinginkan izam. Namun karena kekurangan uang, ia urung membelinya.

Izam menggangguk kecil. “Suka, tapi aku kurang suka kamu boros demi aku.” Aku tersenyum memandang gelagat izam. Dia memang selalu begitu. Selalu menasehatiku agar tidak boros dan rajin menabung. Katanya, dia sudah merasakan susahnya mendapatkan uang untuk membantu keuangan keluarganya. Keluarganya memang sangat sederhana, tapi kaya akan kasih sayang. Bagiku, bukankah kasih sayang itu lebih berharga?
”Terus, maksud kamu memberiku hadiah ini apa? Ulang tahunku masih bulan depan, maira...”
“Apa salah seorang teman ingin memberi sesuatu untuk temannya?”
“Tidak, tapi kamu sudah sering memberiku hadiah.”
“Baru beberapa kali. Nanti, waktu kamu ulang tahun, aku akan memberimu lagi hadiah yang lebih spesial.” Kataku dengan penuh semangat.
“Maira… aku mau menerima hadiah ini dan aku menganggapnya sebagai kado ulang tahunku. Jadi saat aku ulang tahun, kamu tidak perlu lagi memberiku hadiah.”
”Kenapa sih?”
”Sepakat atau tidak?” izam mengacungkan jari kelingkingnya, meninta aku sepakat, ”Kalau tidak mau, kamu simpan kembali kado ini dan berikan padaku tepat di hari ulang tahunku.”

Mata izam memandangku penuh makna. Akhirnya aku mengalah di hadapannya. Aku mengait kelingkingnya dengan kelingkingku, tanda aku sepakat dengannya. Dalam hati aku tetap mau menghadiahkan sesuatu untuk izam. Belakangan ini kami jarang bertemu karena izam sudah berada di semester akhir, banyak tugas yang perlu diurus. Jadi aku tak mau hubungan kami menjadi hambar. Sebisa mungkin aku mau kami sentiasa gembira.

Jam tanganku sudah menunjukkan jam 08.30 malam. Hari ini, 19 Juni, usia izam genap 23 tahun. Hari ulang tahunnya yang akan kami rayakan berdua untuk kedua kalinya. Aku sudah siap menanti kedatangan izam yang akan menjemputku di rumah. Kami sepakat akan merayakan ulang tahun izam di sebuah restoran seafood. Itu adalah ideku. Aku ingin melihat izam selalu bahagia dengan senyumannya yang mampu menenangkan hatiku.

Izam datang ke rumah tepat pada waktunya. Malam itu ia sangat tampan. Tiba-tiba aku tersadar kalau warna pakaian yang kami kenakan sama. Warna biru. Aku tersenyum.
”Kebetulan sekali kita memakai pakaian yang sama warnanya.” kataku.
”Sudah jodoh.” jawab izam seraya mengajak aku naik motornya.

Izam memacu motornya dengan semangat menuju tempat tujuan. Kami tidak banyak bercakap-capak, karena aku tahu izam sedang berkonsentrasi mengendarai motornya. Sesampainya di tempat tepi pantai, terlihat banyak sekali kendaraan yang terparkir. Memang setiap malam minggu tempat itu selalu ramai dikunjungi. Izam sampai kebingungan mencari tempat parkir yang kosong. Izam memandangku sekilas, sempat aku melihat dia tersenyum manis. Ah, senyuman itu lagi.
”Maira... kita sudah sampai. Kamu turun dulu nanti, nanti aku menyusul. Aku mau mencari tempat parkir dulu.”
Aku menggeleng, “Aku ikut. Lagipula aku sudah memesan tempat, jangan khawatir!” Izam tersenyum dan mengelus rambutku. Akhirnya kami bersama mencari tempat parkir yang kosong.

Setelah memarkir motor, kami berjalan menuju restoran. Restoran sangat ramai malam itu. Untung saja aku telah memesan satu meja yang terletak di sudut restoran, tepat menghadap ke arah pantai. Suasananya kurasakan sangat romantis, apalagi berada di samping izam.
“Selamat hari ulang tahun, izam. Ini untukmu.” Sebuah bungkusan berpita merah aku serahkan kepada izam.
Izam memandangku agak serius. Aku tahu dia marah karena aku melanggar permintaannya supaya tidak memberikan hadiah lagi. Entah mengapa, aku ingin memberi izam sesuatu, dan kali ini aku menghadiahkan sebuah cincin silver untuknya. Izam masih cemberut. Tak ada balasan senyuman yang biasa ia terima.
”Izam... hadiah waktu itu adalah sebagai tanda sayang. Dan ini, benar-benar hadiah untuk ulang tahunmu. Terimalah….” Aku mencoba membujuk. Sepertinya kata-kataku membuatnya terkesan, terlihat sedikit senyum ia berikan padaku.
”Bisa bersamamu saja aku sudah senang, tak perlu hadiah lagi... apa yang kamu bagi selama ini pun sudah cukup. Kasih sayang, perhatian, canda tawa.... Ah! Aku juga punya sesuatu untukmu. Ambillah!”

Sebuah bungkusan berbalut merah hati diulurkan kepadaku. Aku kaget, namun setelah didesak izam, bungkusan itu bertukar tangan. Lantas aku membuka bungkusan itu. Sebuah kotak berbentuk hati, sama seperti yang aku berikan untuk izam, hanya saja ukurannya lebih kecil. Kubuka kotak itu, dan kali ini aku terharu. Sebuah liontin silver berbentuk hati dan di dalamnya ada foto kami berdua. Cantik!
”Ini....”
”Pakailah. Aku akan senang jika kamu menyukainya. Kalau bisa, pakailah setiap hari hingga selama-lamanya. Kalau kamu merindukan aku, lihatlah liontin itu. Dan kalau aku merindukanmu... aku nisa apa?” Aku tertawa dibuatnya. Izam betul-betul pandai mengambil hati.
“Kalau kamu merindukan aku, tersenyumlah!”
“Senyum? Kenapa senyum?” Dia bertanya heran.
Aku menarik nafas dalam-dalam, “Sebab aku bisa merasakan saat kamu tersenyum. Jadi kalau kamu tersenyum, aku akan tahu kalau kamu sedang merindukan aku.””
“Oh, begitu?” izam menghadiahkan senyumannya kepadaku, dan aku merasa inilah senyuman paling manis yang pernah aku lihat di wajah izam. Rasanya tenang sekali setiap kali aku melihatnya tersenyum.

Tiba-tiba izam menepuk dahinya, “Jam tangannya tertinggal di motor. Aku ambil sebentar,ya. Hadiah spesial mana boleh kalau tidak dipakai.”
“Sudahlah, diambil nanti saja. Kita makan dulu.” Aku mecoba menghalanginya. Sayang kalau saat-saat indah seperti ini berlalu begitu saja.

Tapi Izam tetap berkeras mau mengambil jam tangan pemberianku. Akhirnya aku mengalah, membiarkan izam pergi ke tempat parkir. Aku terus memandangi izam hingga kelebatnya menghilang di balik mobil-mobil yang terparkir.

Aku memandangi liontin yang izam berikan untukku. Foto di dalamnya aku rasa pasangan yang sangat serasi. Aku berharap kami akan selalu bersama seperti sepasang foto di dalam liontin ini. Aku melihat jam tanganku, sudah jam 09.30 malam. Beberapa mobil datang dan menambah sesak tempat parkir tepat di depan restoran. Aku melemparkan pandangan ke arah jalan yang semakin sesak. Izam sudah berada di seberang jalan dan sempat melambaikan tangannya ke arahku. Bibirnya mengukir senyuman lagi, malah lebih menawan. Aku membalas lambaiannya dan izam berlari-lari kecil untuk menyeberangi jalan. Malangnya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melesat di jalan itu.

DEBUMMMMM!!!!

Ketika itu segalanya berlangsung begitu cepat. Aku melihat tubuh izam melayang sebelum jatuh ke atas sebuah mobil. Kemudian, tubuh yang berlumuran darah itu tergolek jatuh di atas jalan raya. Izam mencoba untuk bangun dengan seluruh sisa tenaga yang masih ia miliki. Dan ketika itu juga sebuah mobil dari arah yang berlawanan menabrak tubuh tak berdaya itu. Izam kembali terjatuh. Dan tak tampak lagi gerakan tubuhnya.

Dan aku? Aku kaku, tergamam dengan apa yg sedang terjadi. Aku betul-betul keliru. Setelah beberapa orang mengerumuni tubuh izam yg sudah terbujur kaku itu barulah aku tersadar. Aku berlari sekuat tenaga ke arah izam. Keadaanya sangat parah. Aku tak kuasa menahan tangisan ketika memangku kepalanya yang mengeluarkan banyak darah. Dengan gemetar tangannya yang berlumuran darah memegang pipiku. Ia mengembangkan seulas senyuman. Hanya sekejap… hingga akhirnya senyuman itu menghilang seiring izam memejamkan matanya. Aku menangis masih tak percaya. Hari ini, izam memberikan senyuman terakhirnya kepadaku. Senyuman yang tak mungkin aku lihat lagi. Tangannya masih menggenggam erat jam tangan pemberianku.

SANG GURU

SANG GURU

“Kamu ngomong apa Dik? Apa saya tidak salah dengar?” tanya Tardi kepada istrinya. Ia seperti tidak percaya dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan Asfina. Betapa tidak, tanpa prolog terlebih dulu, tiba-tiba perempuan berhidung mancung itu mengatakan ingin berhenti kerja. “Benar, Mas. Saya sungguh-sungguh.” “Kenapa?” Asfina diam. “Apa kamu takut kita tidak segera punya momongan?” desak Tardi. Lelaki itu bertanya demikian, lantaran Asfina belum memberikan tanda-tanda akan mempunyai keturunan. Padahal ia sudah sangat merindukan segera datangnya sang buah hati. Sementara itu, usia perkawinan mereka sudah tiga tahun lebih.
Memang. Tardi sempat beberapa kali menyatakan keinginannya untuk segera punya keturunan. Itulah sebabnya mereka tidak ber-KB. Ia pernah merasa khawatir jika seorang perempuan sibuk tidak akan segera bisa hamil. Dua orang teman kerja Tardi - Ririn dan Ika - yang sudah cukup lama menikah belum juga punya keturunan. Memang. Ika baru empat tahun menikah. Tetapi, Ririn yang sudah enam tahun menikah belum juga memberi tanda-tanda akan hamil.
Ririn adalah atasan Tardi di tempat kerjanya. Tak jarang perempuan ini pulang paling akhir. Sering bekerja lembur. Ya, jika Ririn menyuruh anak buahnya bekerja lembur - tidak bisa tidak - ia pun akan ikut bekerja lembur. Kesibukan inilah yang dipercaya teman-teman kantor Tardi sebagai penyebab Ririn tidak kunjung hamil. Tardi pernah menceritakan hal ini kepada Asfina. “Ya, sangat mungkin sekali hal itu terjadi,” demikian komentar Asfina, tatkala Tardi menceritakan keadaan Ririn yang tak kunjung hamil, “Perempuan kalau terlalu sibuk bisa jadi akan mengalami hambatan untuk hamil. Masalahnya akan lain jika Bu Ririn ikut kabe. Tetapi, Mas bilang kalau Bu Ririn ….” “Saya bingung ngomongnya, Mas,” ujar Asfina membuyarkan lamunan suaminya. “Bingung bagaimana?” tanya Tardi, “Tetapi, apa kamu takut tidak segera bisa hamil kalau masih bekerja. Saya tidak akan …”
“Saya tidak berpikir sejauh itu Mas,” potong Asfina, “Siapa bilang orang yang bekerja dapat memengaruhi kehamilan. Lha wong, mBok-mbok tukang gendong di pasar tetap bisa hamil. Bahkan di antara mereka ada yang anaknya banyak.”
Tardi diam kembali. Mungkinkah Asfina sudah berubah pemikiran? tanyanya dalam batin. Atau barangkali ia tak ingin saya kecewa andaikata dirinya tak kunjung hamil. “Masalahnya kalau kamu berhenti kerja, tidak mudah untuk mendapat pekerjaan lagi,” kata Tardi, setelah agak lama diam, “Cari kerja sekarang ini susah, Dik.”
Asfina bergeming. Ia masih belum tahu bagaimana menjelaskan permasalahan yang sedang dihadapi di tempat kerjanya kepada suami sendiri. Sebab khawatir akan dianggap membuka aib korp. “Apa kamu diteror seseorang?”Asfina diam. Asfina pernah menceritakan ada seorang bapak yang tidak terima karena anaknya dipulangkan. Gara-garanya anak itu menunggak iuran bulanan. Lelaki itu datang ke sekolah dengan membawa golok. Ia marah-marah di sana. “Siapa yang telah menyuruh anak saya pulang? Siapa yang tidak mengizinkan Sani mengikuti pelajaran?” kata lelaki itu setengah berteriak, di depan pintu ruang guru.
Para guru yang tengah duduk di sana tidak ada yang melayani lelaki itu. Para tenaga pendidik yang sedang beristirahat di ruangan itu tampak tegang. Waw-was. Takut. Ngeri. Mereka tidak ada yang mencoba mendekati lelaki yang tengah dikuasai rasa marah itu. “Siapa yang menyuruh anak saya pulang?” ulangnya, setengah berteriak.
Lelaki itu datang ke sekolah bukan semata-mata disebabkan anaknya disuruh pulang. Melainkan sesungguhnya ia masih belum rela melepas tanah warisan yang telah dijadikan sekolah. Ia memang salah seorang pemilik sebagian lahan yang kini sudah menjadi kompleks perumahan, dan salah satunya dijadikan bangunan sekolah. Meskipun ia sudah menerima ganti rugi dari pihak pengembang. Tetapi, Marsam - demikian nama lelaki itu - seperti kebanyakan pemilik tanah lainnya yang sudah dijadikan kompleks perumahan, masih belum sepenuhnya rela melepas tanahnya menjadi kompleks perumahan. Untungnya, tidak lama kemudian ada seorang tentara yang anaknya juga bersekolah di tempat itu datang. Aparat berpakaian seragam loreng-loreng itu turun tangan menghadapi Marsam. “Atau ada anak brengsek yang bikin kamu….” “Tidak ada, Mas,” kembali Asfina memotong kalimat yang belum usai disampaikan suaminya. “Nah, kalau begitu sebetulnya tidak ada masalah. Kenapa kamu ingin berhenti?” Asfina diam.
Tardi kembali diam. Ia benar-benar merasa bingung dengan permintaan istrinya yang dianggap tidak masuk akal. Aneh. Janggal. Betapa tidak, di saat orang susah mendapatkan pekerjaan Asfina justru ingin berhenti kerja. “Apa karena pendapatan kamu tidak sesuai dengan yang kita harapkan?” Tardi kembali melontarkan pertanyaan, setelah cukup lama ia menunggu reaksi dari istrinya. Namun, Asfina tetap bergeming.
Pertanyaan ini dilontarkan Tardi, lantaran istrinya pernah melontarkan kekecewaannya dengan besarnya gaji yang ia terima setiap bulan. Memang. Gaji yang diterima Asfina setiap bulan nyaris pas-pasan. Apalagi jika Asfina, misalnya, terpaksa menggunakan jasa ojek ketika berangkat kerja. Tak heran bila Asfina pernah beberapa kali melontarkan kekecewaannya. “Jika dihitung-hitung saya ini jadi seperti orang kerja bakti, Mas,” kata Asfina.
“Kalau memang begitu, ya lebih baik kamu tidak usah kerja saja, Dik,” komentar Tardi, setelah berkali-kali istrinya melontarkan kalimat yang sama, ketika itu.
“Toh kamu kerja atau tidak, penghasilan kamu tidak pernah bisa ditabung. Jadi, buat apa kerja kalau tidak ada hasilnya,” lanjut Tardi memancing reaksi istrinya. “Ya, bukan tidak ada hasilnya Mas,” ujar Asfina. “Tadi kamu bilang kerja bakti. Lalu kenapa ….” “Maksud saya bukan itu hasilnya.” “Lantas?”. “Saya merasa senang apabila ada murid yang berprestasi. Bangga bila apa yang saya ajarkan dapat bermanfaat bagi mereka. Jadi, bukan materi yang saya peroleh Mas. Melainkan kepuasan batin.”
Tardi menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tardi merasa aneh lantaran di satu sisi istrinya mengeluh tetapi di sisi lain ia memperoleh kepuasan batin. Padahal kepuasan batin tak bisa diukur dengan materi. Bahkan seringkali orang yang ingin mendapat kepuasan batin harus berkorban materi. Ketika ia masih bujangan, misalnya. Kegemaran Tardi memancing - tidak bisa tidak - memerlukan pengorbanan materi yang tidak sedikit. Namun, ia memperoleh kepuasan batin ketika kailnya dimakan ikan. Kepuasan ini dirasakan ketika ia menarik senar pancing. Bukan semata-mata banyaknya ikan yang berhasil ia peroleh. Sebab jika ia mendapat ikan acapkali hasilnya justru diberikan kepada tetangga.
Sementara itu, Asfina mendapat kepuasan batin dengan pekerjaan yang ditekuninya. Mendapat kepuasan batin tanpa harus mengeluarkan biaya. Tidak merasa sia-sia menuntut ilmu hingga perguruan tinggi. Lalu kenapa mesti mengatakan kerja bakti? Tardi membatin. “Ada kebanggaan yang tidak bisa dijelaskan bila anak didik saya nanti ada yang jadi orang. Ya, misalnya di antara anak didik saya nanti ….” “Saya ingin berhenti bukan karena gaji, Mas,” Asfina membuyarkan pikiran Tardi. “Ya, bagus kalau kamu tidak mempersoalkan gaji. Toh, saya pernah bilang pekerjaan kamu itu mulia. Pekerjaan mendidik generasi penerus bangsa tak bisa dinilai dengan apa pun. Jadi, …” “Kenyataannya tidak demikian, Mas,” potong Asfina. “Maksudnya?” “Saya merasa mendidik ketidakjujuran mereka.” Tardi diam. Ia terkejut mendengar kalimat istrinya. Meskipun demikian ia tidak ingin menunjukkan rasa kaget itu di depan Asfina.
Selanjutnya Asfina menceritakan konflik yang terjadi dalam batinnya selama ini. Ya, lantaran setiap menjelang UN semua guru di sekolahnya - termasuk Asfina, tentunya - harus membantu murid-muridnya agar mereka lulus. Caranya dengan memberikan contekan kepada peserta UN. Jika tidak demikian, bisa dipastikan, yang lulus tidak sampai separuhnya. Apalagi standar kelulusan makin ditingkatkan. Padahal jumlah siswa yang lulus sangat memengaruhi penilaian terhadap pendidik di sekolah.
“Bukankah ini artinya guru mendidik anak menjadi manusia yang tidak jujur,” lanjut Asfina.
“Apa pengawas independen….”
“Pengawas independen juga manusia. Kalau mereka diajak damai dalam tanda kutip juga mau. Nonsense! Jika mereka benar-benar mengawasi pelaksanaan UN. Itu sebabnya saya selalu dihantui rasa bersalah, Mas.”
Pantas banyak orang tidak jujur. Rupa-rupanya mereka salah didik, pikir Tardi. Kalau begitu tak heran jika ada politisi tidak jujur dengan istrinya - melakukan perselingkuhan. Ada yang tidak jujur dengan negara dan bangsa, melakukan tindak korupsi. Ada yang tidak jujur dengan rakyat, mengingkari janji terhadap rakyat. Ada yang tidak jujur dengan keadilan yang harus ditegakkan, seperti yang dilakukan aparat …..
“Mas Tardi pasti tidak akan percaya kenyataan di lapangan tidak sama dengan teori para pejabat tinggi negara,” untuk ke sekian kalinya Asfina menghentikan pertanyaan yang bergejolak dalam batin Tardi.
Tardi masih tetap diam.
“Bagaimana pendapat Mas Tardi kalau saya berhenti?”
“Sudahlah nanti kita pikirkan lagi bagaimana baiknya. Sekarang kita tidur dulu. Sudah malam Dik,” kata Tardi. br
Lalu Tardi ke kamar tidur diikuti istrinya, setelah sebelumnya mematikan lampu yang sudah tak terpakai.
Di tempat tidur Tardi langsung merebahkan diri. Memejamkan mata. Namun, pikiran- nya masih dipenuhi setumpuk pertanyaan mengenai istrinya. Sebab ia tak pernah menduga Asfina masih punya idealisme ketika sudah banyak orang yang kehilangan nilai-nilai luhur ini. Istrinya menjadi guru sebuah sltp bukan karena agar tidak menganggur lantaran ia seorang sarjana. Asfina menjadi guru karena panggilan hati nurani. Andaikata semua guru seperti istri saya mungkinkah peserta UN yang lulus tidak akan sampai separuhnya? tanyanya dalam batin. Meskipun demikian Tardi tak ingin melontarkan pertanyaan ini. Entah sampai kapan Tardi tak bisa memejamkan mata. Yang jelas, ia baru benar-benar tertidur setelah seluruh tubuhnya terasa lemas.

PERTEMUAN YANG MENGGETARKAN

PERTEMUAN YANG MEMBAWA HIDAYAH

Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.
“Nur” begitu dia biasa dipanggil oleh teman - temannya. Berita terakhir menyebutkan bahwa Nur merantau keluar kota buat mencari pekerjaan dan berhasil. Untuk ukuran seorang pemuda yang masih melajang dia tergolong sudah cukup mapan. Nur adalah shahabat Sholeh yang senantiasa mengingatkan tentang agama saat belum merantau.
Saat ini Nur rupanya sedang mencintai seorang gadis, hatinya telah dimasuki oleh kecintaan yamg kuat terhadap gadis itu. Berbagai cara telah dia jalani untuk menarik hati gadis yang didambakannya, tetapi Allah berkehendak lain, sikap sigadis membuat bingung Nur.
Setiap pertemuan yang telah diatur dengan memakan waktu dan pikirannya tidak membuahkan hasil, setiap bertemu tidak menjadikan dia bahagia, berbeda sekali dengan apa yang ada didalm bayangannya.
Setiap menit pikirannya dipacu untuk berpikir bagaimana cara yang terbaik untuk menaklukan hati gadis itu, memberi hadiah yang mahal sudah , pergi ketempat wisata dengan biaya yang besar pun sudah dijalankan tetapi tidak menunjukkan tanda- tanda yang pasti. Nur mulai kacau, shalat dia tinggalkan, mengingat Allah tidak pernah, setiap detik dan menit pikiran dan hatinya cuma memikirkan gadis pujaannya itu, minuman keras pun mulai memasuki jadual hariannya, gitar menjadi pendampingnya.
Nur bahkan pernah berucap. Kalau aku tidak bersama dia maka hidupku tidak akan bahagia. Astaghfirullah hal Adzhiem. Hari demi hari hidupnya makin kacau, miras dan guitar yang dia pikir bisa menyelesaikan maslahnya malah menambah daftar kekacauan dalam hidupnya, pekerjaannya mulai tidak beres dan dia sering mendapat teguran dari atasannya, seolah olah tidak ada hari tanpa masalah bertumpuk tumpuk, seperti awan gelap yang akan menurunkan badai.
Tidak ada teman yang menasihatkan dia, setiap orang yang berjumpa dengan dia hanyalah orang orang yang memiliki kebiasaan buruk seperti dia. Semakin jauh dari petunjuk, semakin banyak masalah datang bertumpuk-tumpuk. Mandi dan makan pun tidak menjadi kebiasaan, pokoknya yang ada dalam pikirannya hanya wajah gadis itu.
Suatu saat terlintas dalam benaknya bayangan seolah olah dia itu seperti tikus yang berada dalam permainan mencari jalan keluar, setiap dia yakin jalan itu jalan keluar semakin dia tersesat, dan dia merasa ada sebuah kekuatan yang membuat dia tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya, tetapi apa? Mulai terasa ada sesuatu yang tidak tampak dan mempunyai kekuatan besar dan mampu mengatur dan menggagalkan setiap keinginannya, akan tetapi itu bukan manusia…lalu siapa? Nur tahu bahwa itu Allah Penguasa Timur an Barat, yang ditanganNYA lah kekuasaan. tetapi dia masih dalam keadaan bingung dan bingung. Semua orang di dekatnya mendukung dan membantu dia untuk mendapatkan hati gadis itu tapi hasilnya nihil itu yang membuat dia bingung, tampang dan penghasilan pun mendukung tetapi kenapa ini bisa terjadi????kegelapan dan kekusutan menjadi teman hidup.
Malam Kamis, Sholeh sedang berada dalam kamar, khusyuk melakukan shalat hajat. Sementara diluar, suasana begitu tenang seolah olah ikut dalam kekhusyukan seorang hamba yang sedang menghadap Penciptanya. Sesekali terdengar suara isak tangis Sholeh mengiringi bacaan dalam sholat.
Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam, Selesai memanjatkan do’a tiba - tiba terdengar suara mengucapkan salam dari arah luar…..Sholeh pun segera beranjak dari sajadahnya
mendatangi arah suara.
Begitu pintu dibuka tampak disitu berdiri shahabat lama sholeh yang sudah sekian tahun tidak kelihatan batang hidungnya.
Nur : ” Assalammu’alaikum Leh……. Sholeh : ” Wa ‘alaikum salam Nur……Masya Allaah senang ketemu ente lagi…., waaah sudah sukses ya sekarang….? eh….yuk kita masuk kedalam……” ajak sholeh.
Sholeh : ” Enak ya sekarang Nur…….” Sholeh melanjutkan.
Dalam pandangan Sholeh dan orang banyak memang Nur terlihat bahagia dengan keadaanya sekarang, padahal Nur sedang mengalami masalah yang dia sendiri tidak menemui pemecahannya.
Nur : ” Ahh Sholeh ente bisa aja……, Justru ente yang ane lihat bahagia sekali, tidak ada raut muka kegelisahan dan kecemasan…..”
Dalam pandangan Nur keadaan sholeh yang masih memakai gamis putih lengkap dengan kopiah putihnya ditambah lagi wajahnya yang ceria memberikan gambaran yang sangat membekas dihatinya.
Nur : ” Wajah sholeh kok seperti bercahaya, cerah sekali dan tenang, berbeda sekali dengan keadaanku, padahal nasibnya dari segi materi jauh sekali dibanding aku, dia tadi bilang enak jadi aku…….? seandainya dia tahu aku sedang kusut dan kacau, tak ada kebahagiaan sama sekali dalam kehidupanku ( Nur berujar dalam hati )
Sholeh : “Nur……Allah itu mampu membolak balikkan hati manusia, sedangkan manusia tidak. Betapapun kita menginginkan agar hati seseorang berubah meskipun dengan berbagai cara yang menurut kita akan mampu merubah hati orang tersebut tanpa izin Allah maka itu semua tidak akan terjadi…….sia-sia aja” Entah mengapa Sholeh tiba tiba berkata seperti itu, dan itu cukup membuat Nur terkejut. Padahal dia belum menceritakan apa - apa mengenai permaslahannya, tapi kenapa kok sepertinya apa yang diucapkan si Sholeh berhubungan.
Sholeh : ” Allah itu maha melihat dan maha mendengar dan Allah itu sebaik baik perencana. Tak ada satupun makhluk yang dapat bergerak atau diam melainkan dengan izin Allah “.
Sholeh : ” Kebahagiaan dan kejayaan umat manusia itu hanya ada dalam agama yang sempurna,Semakin kita dekat dan banyak mengingat Allah maka hati kita akan diberikan ketenangan jiwa. Kebahagiaan ada di tangan Allah Penguasa alam semesta. Sebagaimana ikan yang hidup tanpa air, maka seperti itulah hidup manusia apabila tanpa agama.
Nur bertambah kaget dan tidak terasa dari bibirnya keluar ucapan “Allaahu Akbar”, kata yang selama ini sudah lama sekali tidak diucapkan, bahkan telah lama tidak terbersit di dalam hatinya untuk mengingat Allah. Rupanya kepergian Nur untuk merantau jauh dari kampungnya telah membuat dirinya pun jauh dari Allah.
Tak terasa air matanya meleleh demi merasakan kejadian malam itu, rupanya pertemuan kedua orang shahabat itu dirasakan oleh Nur adalah rencana dan kasih sayang Allah….
Kejadian itu menghunjam hatinya, menggetarkan batinnya dan menampakkan kembali ingatannya pada masa dia dulu saat dekat dengan Allah pencipta langit, bumi beserta isinya.
Kalimat - kalimat yang terlontar dari Sholeh shahabatnya dirasakan sebagai peringatan dari Allah untuk dirinya sekaligus kasih sayang Allah untuk memberi kesempatan pada dirinya sebelum ajal menjemput untuk kembali kepada keimanan.
Betapa dirinya telah Zhalim karena menganggap bahwa ada sesuatu benda atau makhluk yang dapat memberikan kebahagiaan selain Allah, padahal Tiada satupun yang mampu memberikan manfaat atau mudharat selain Allah.
Nur : ” Ane udah lama nggak sholat Leh, Bener harta dan kedudukan tidak menjamin kebahagiaan seseorang….., ente bilang ane udah enak dengan apa yang ane miliki, tapi ane lihat ente lebih bahagia daripada ane. Ente bener Allah maha melihat dan maha tahu isi hati hambanya.
Sholeh : ” Subhanallah Nur, Allah telah menyediakan Air yang cuma-cuma untuk kita pakai berwudhu kemudian shalat dan menghadap kepada Allah, mengadu kepada Allah atas segala permaslahan kita. Sebagaimana Rasulullah pun menjadikan shalat sebagai penyejuk matanya, dan juga para shahabat RA, menjadikan shalat dan sabar sebagai penolong mereka. Ingat kan Nur kita harus senantiasa mengeluarkan kebesaran makhluk dan benda - benda dalam diri kita dan memasukkan kebesaran Allah kedalam hati kita”
Setelah itu Nur pun menceritakan semua yang dialaminya sampai kemudian dia sampai di rumah Sholeh.
Sholeh : “Allah benar benar Maha Perencana yang baik ya Nur….., Maha suci Allah”
Nur berdoa dalam hati : ” Ya Allah telah lama hamba melupakan MU, tetapi sekarang dengan kasih sayangMU Engkau tunjukkan aku ke jalan MU, Engkau Beri kesempatan kepada hamba untuk mendekat kepada Mu dengan jalan yang baik, Ampunilah Dosa hamba ya Allah, Hamba telah menganggap dan berkeyakinan bahwa tanpa gadis itu hamba tidak akan bahagia, padahal tanpa Engkaulah hidupku akan sengsara, sekarang engkau telah tunjukkan bahwa tanpa gadis itu kebahagiaan telah hadir dalam jiwaku dengan mengingat keberadaanMU……Laa ilah ha ilallaah…..tiada yang dapat memberikan manfaat, kebahagiaan , keburukan kecuali Engkau ya Allah……”
Kepulangan Nur kekampung dan kerumah Sholeh sebenarnya dikarenakan dia ingin mengambil barang miliknya yang dulu pernah dipinjamkan kepada Sholeh tanpa batas waktu, sekalian dia ingin main saja. Rupanya pertemuan itu telah membuka mata hatinya.
Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. (S. al-Furqan: 31). Ingat saat ketika datang waktunya kita masuk ke dalam alam yang kita tidak bisa melakukan amalan kebaikan, yang ada hanyalah pembalasan atas amalan kita selama ini ….Kehidupan Akhirat……Kubur…….Mashyar

OH USTADZ

OH, USTADZ

Dia terus merangkai kata-katanya, pelan dan jelas. Dalamnya ilmu yang dia miliki membuat Aku dan ke Empat temanku merasa beruntung dan takjub kepadanya. Dua tahun ini Aku berguru’ kepadanya, sepekan sekali membahas ilmu Al Quran, Wawasan ke Islaman dan semua hal yang berkaitan dengan hidup. Sejak bertemu dengannya Aku, Riky, Soleh dan dua temanku lainnya merasa ada energi baru yang dia berikan, terutama energi cinta dan kasih sayang.
Ustadz Rahendra yang ustadzku ini telah mengajarkan hakikat kehidupan, bukan saja arti hidup dalam bingkai ‘Kebaikan Dunia dan Akhirat’, akan tetapi hakikat perubahan dalam menjalani kehidupan. Kerasnya keduniawian tidak akan mudah lepas dari hati-hati manusia yang di tumbuhi kawajaran dalam cinta dunia, keinginan untuk bahagia, senang dan bebas dari masalah-masalah yang di hadapi, meskipun dia harus menggadaikan sebuah kejujuran, keadilan dan kebenaran, meskipun dia harus memberikan ‘kesucin jiwanya’ hanya untuk tetap survive dalam hidupnya. Sekian banyak para ahli ibadah dan alim pun tidak luput dari ‘kegilaan’ ini. Dengan dalih unutk dakwah dan ibadah mereka menumpuk harta, sebagian kecil orang tersebut menangguhkan eksistensinya sebagai pengelola jiwa-jiwa ilahi, mereka melepaskan jubah ke’ustadzan’nya demi mencapai kebahagiaan dunia yang dari hari ke hari terus menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Tapi, berbeda dengan Ustadzku ini, dia konsisten dengan kecintaannya untuk tetap menemani hidup kami.
“Teman-teman semuanya, hari ini hanya itu saja yang ingin saya sampaikan, dan saya mohon maaf pekan besok kita libur dulu, kita istirahat dulu, kita berhenti sejenak! Karena saya ada keperluan keluarga.” Ustadzku menyudahi pengajian hari ini. Aku menyalaminya dengan penuh kehangatan. Dia memeluk kami satu persatu, kata perpisahan meluncur dari bibirnya yang indah.
“Tetap semangat Mujahid! Tularkan virus-virus kebaikan ini kepada setiap orang yang kalian jumpai. Saatnya kembali kepada kebenaran dan keadilan. Allahu Akbar!”
Matahari berjalan dari ujung Timur ke ujung Barat, tanpa lelah dan sedikitpun mengeluh kepada tuannya. Berganti bulan yang berselimutkan awan hitam, gelap di hati dan terangnya lampu-lampu manusia. Energi cinta dan kasih sayang masih melekat dalam darah kepemudaanku, energi yang di berikan ustadz Rahendra masih membakar kerinduanku untuk berjumpa denganNya, kerinduan akan kedamaian, kebenaran dan kejujuran. Hari berputar, Aku tetap berjalan di jalanNya. Hari berjalan, Aku masih ingat kata-katanya dan semangat-semangatnya. Hari berganti, Aku selalu menyampaikan nasehat-nasehatnya. Hari berlalu, Aku semakin rindu.
“Aden, hari ini ustadz ternyata tidak bisa datang juga, beliau hanya memberi kita tugas merangkum buku tentang ‘Cinta Dunia Cinta Semu’.” Riky menunjukkan Handphonenya yang beberapa detik tadi mendapat sms dari ustadzku. Padahal Aku sudah rindu akan suara merdunya, akan ilmunya, akan resapan cintanya akan kasih sayangnya. Tapi, sudah dua pekan ini hatiku tidak di isi embun ciptaannya.
Aku kembali dalam dekapan hiruk pikuknya duniawi, dengan tetap mengingat semua ilmu yang telah diturunkan oleh ustadzku. Ilmu tentang berjalan di dunia dengan penuh kasih sayang, penuh penghargaan, penuh kecintaan dan kebesaran hati. Ilmu tentang semangat dalam berjuang menghadapi hidup, agar hidup bahagia tanpa cela, agar hidup sehat tanapa maksiat.
Pekan ke pekan berganti dengan cepatnya, sebulan lebih Aku tidak berjumpa dengan ustadzku itu, dia seperti menghilang di telan awan. Aku dan teman-temanku tidak bisa menghubungnya lagi, dia seperti lenyap tak ada bekas. Entah kemana. Jiwa ini terasa kering, aku seperti kehilangan arah, ustadzku tak lagi berada disampingku.
“Oh, Ustadz, I Miss You. So, Much!”
***
Matahari tepat di ubun-ubun kepala. Siang ini sengaja Aku pergi ke pasar atas perintahibuku tersayang. Dengan motor butut warisan bapak, aku masuki pasar Anyar Bogor dengan hat-hati, dengan tetap menjaga hati dan pandangan meski di depan pemandangan maksiat bertumpuk-tumpuk. Bebarapa menit kemudian, dari arah sepuluh meter tempatku berbelanja terdengar suara ricuh, saling ejek, saling hina dan saling menghardik.
“Sialan…. Brengsek……. Monyet….. Setan Alas…..”
Aku buru-buru mendekati kerumunan orang-orang itu, sebagian mereka menarik-narik temannya, sebagai lagi malah menyuruhnya melawan. Aku masih ingat kata-kata ustadzku : “Jika ada yang berkelahi maka lerailah… Laranglah… Nasehatilah… Itu merupakan shodaqoh yang sangat berharga.” Aku langsung mendekati mereka.
“Hey… Jangan berkelahi…” Teriakku.
Seorang yang sedang mencoba melayangkan pukulan sekilas menatapku, Akupun dengan jelas menatapnya. Namun, sedetik orang yang nampak beringas itu mengingatkanku pada seseorang.
“Ustadz….” Lirihku setengah percaya.
“Den…. Bantuin Ustadz Den, dia merebut pelanggan Ustadz, orang ini main curang… Kamu harus bantuin ustadz… Ini Jihad Den!” Teriaknya membuatku lemas tak percaya, dan tidak ingin mempercayainya!
“Tidak! Kamu bukan Ustadz aku, kamu bukan ustadzku!” Sambil berlari dan menancap gas motor aku menauh dan semakin jauh dari keruamunan orang-orang itu. Dan tentu saja sosok yang selama ini aku kagumi.
“Ustadz, I Miss you. So, Much!”

OH, USTADZ

OH, USTADZ

Nafas terus berkejaran. Menghantam sekat tembok yang membaja. Derunya tak mampu membiaskan sedikitpun noda-noda hitam yang kian hari kian menjelma. Jiwaku tak bisa lagi diam dalam keheningan walupun ia terus bersuara dalam gelap. Di atas batu besar ini, aku menerawang dalam kejauhan, melolong suara detak jantung yang semakin berdegup. Burung-burung di atas sungai berkeliling menari-nari, dengan hiasan indahnya pelangi, pelangi yang ikut menatapku di ujung bebatuan. Sejenak aku pejamkan mata, merasakan suara air yang mengalir di bawah sana, suara sungai di bawah sana, di bawahku, di atas batu besar yang kuinjak. Air sungai yang mengalir di sana sangat deras, jarak sungai itu dengan tempatku berdiri kira-kira berjarak dua puluh meter.
Saat kelopak mataku menutup, hanya gelap kulihat, hanya titik merah yang kuraba. Kubuka kembali mataku lalu jiwaku terbang ke hari-hari yang lalu yang di hiasi hiruk pikuknya problema.
***
Kurang lebih Empat tahun aku hidup di lingkungan pesantren, berbagai kitab telah lenyap aku lahap, kitab kuning maupun kitab kontemporer yang penuh dengan ilmu-ilmu agama habis kubaca. Kepandaian dalam bertutur dan berargumen modal dasarku dalam menyampaikan semua isi kitab-kitab yang dulu hinggap dibenakku. Tak satupun orang-orang yang mampu mengangkat kepala dan mencemoohku, mereka menunduk dan menciumi tanganku yang dianggapnya telah begitu banyak mengecap ilmu agama.
“Pak Ustadz, apakah seorang penjudi, pencuri dan perbuatan maksiat lainnya bisa di ampuni?” Tanya seorang saat pengajian para pemuda di desaku.
“Iya, bisa, Ri.” Jawabku kepada Ari, seorang pemuda yang dari ekonominya serba kekurangan.
“Benar Ustadz?” Tanya seorang lainnya, sepertinya tidak yakin apa yang aku ucapkan, mereka masih belum percaya apa yang aku dapatkan di pesantren. Padahal aku sudah paham betul bahwa Allah swt akan mengampuni dosa-dosa hambanya, asalkan dia mau betobat dan tidak mengulangi dosa perbuatannya.
“Iya, meskipun dosa engkau setinggi gunung dan seluas hamparan pasir di pantai, Allah akan mengampunimu.” Jawabku dengan wajah serius.
“Kalau mencuri bisa di ampuni, kalau berzina di ampuni tidak?” Tanya Sukri, seorang pemuda tampan dengan matanya yang berbinar-binar.
“Bagaimana aku meyakinkan kamu Sukri, dengar ya, dulu saja ada seorang pelacur yang masuk syurga karena seekor lalat. Juga, ada kisah seorang yang telah membunuh seratus orang, namun karena niatnya untuk bertobat dia masuk syurga, meskipun belum berbuat kebaikan. Allah Maha pengampun...” Jelasku membuat Sukri dan teman-temannya berdecak kagum.
“Ustadz, akhir-akhir ini kan di desa kita sering terdengar banyak para pemuda yang mnghisap ganja, pil ekstasi dan minum-minuman keras, apakah yang seperti itu bisa di ampuni juga?” Udin yang pendiam kembali bertanya.
“Pokoknya semua perbuatan maksiat bisa di ampuni, kecuali dosa syirik,” Jelasku dengan nada tinggi.
“Dosa syirik itu dosa menyekutukan Allah, dosa yang mengotori akidah kita. Syirik itu percaya kepada sesuatu selain percaya kepada Allah.” Tambahku membuat para pemuda itu seperti paham apa yang aku jelaskan.
Setelah hari itu para pemuda mengikuti pengajian seperti biasanya, namun dari pertemuan ke pertemuan selanjutnya sesuatu keganjilan terjadi, mereka satu persatu menghilang, tanpa diketahui apa sebabnya. Yang ada hanya anak kecil dan beberapa pemuda saja.
“Fit, Fitri. Pemuda yang lainnya kok akhir-akhir ini semakin berkurang ya? Kamu tahu kemana saja mereka? Apa ada kegiatan lain yang membuat mereka tidak ada waktu ikut pengajian?” Tanyaku ke salah seorang muridku yang perempuan.
“Fitri juga tidak tahu ustadz, tapi tadi Fitri lihat Udin sedang di depan jalan duduk-duduk sama pemuda desa sebelah, kalau Sukri, Fitri sering lihat sama Retno, mereka sering berduaan ustadz.” Jelas Fitri, wajahnya nampak cemberut saat menyebut Sukri berdua dengan Retno.
Sebulan lebih hal demikian terjadi ditempat pengajianku, mereka nampaknya semakin susah diajak kembali untuk ikut pengajian. Bahkan Fitri pun malah ikut terbawa, sudah tidak ikut ke pengajian lagi. Aku terus berfikir dan memikirkan, apa sebenarnya yang terjadi. Sebelumnya mereka sangat rajin dan semangat datang kepengajian bahkan walaupun aku belum datang mereka sudah berkumpul di ditempat pengajian.
Ba’da Ashar, Aku masih tetap mengajar, kini aku hanya mengajar anak-anak kecil yang berumuran di bawah tujuh belas tahun, sedangkan mereka yang sudah remaja dan dewasa tidak nampak lagi.
Selepas pengajian aku hendak pulang, namun di depan pintu seorang perempuan dengan wajah muram mendatangiku, lalu bertanya.
“Ustadz, Retno ingin bertanya.” Ucapnya.
“Retno! Ada apa? Kamu punya masalah? Dan akhir-akhir ini kemana saja?”
“Maafkan Retno Ustadz, akhir-akhir ini Retno tidak ikut pengajian ustadz lagi. Maksud saya kesini ingin bertanya sama ustadz.”
“Iya, boleh saja. Ada apa?”
“Bagaimana cara saya bertobat?”
“Bertobat? Maksud kamu?”
“Dulu ustadz pernah bilang, semua dosa kita pasti akan di ampuni Allah swt, dan sekarang saya sudah berdosa ustadz. Saya ingin bertobat. Bagaimana ustadz?”
“Astaghfirullah, memangnya apa yang kamu lakukan?” Tanyaku dengan nada melamban.
“Saya… Saya…” Retno seperti gugup dan malu. Sedetik kemudian dia malah mencucurkan air matanya, tak ada sepatah katapun yang bisa dia ucapkan, aku menjadi terharu.
“Katakan saja, kalau itu sebuah kekhilafan InsyaAllah akan Allah ampuni.”
“Saya… Saya… Saya… Telah berhubungan seks! Saya berzina ustadz. Saya berzina! Sekarang saya hamil satu setengah bulan.”
“Apa……! Astagfirullah…. Kenapa… Kenapa Retno, kenapa berbuat seperti itu?”
“Semua ini karena rayuan Sukri, dia yang memulai, dia yang mengajak saya… Kata dia, kita bisa bertobat, Sukri bilang ini juga karena ceramah ustadz waktu lalu…”
“Astagfirullah… Jadi, kamu sama Sukri? Ya, Allah… Dan itu karena mendengar dari kata-kataku waktu itu? Kenapa di artikan seperti itu. Kenapa?” Aku tak bisa lagi menahan rasa kecewa dan bersalah, perkataanku yang mengajak dalam kebenaran ternyata di artikan yang berbeda oleh anak-anak desa ini.
Sejak itu aku semakin menutup diri. Pengajianpun tak berjalan lagi, semuanya jadi bubar entah karena apa. Kejadian demi kejadian pun sering terdengar dan semua itu ulah para pemuda yang dulu ikut di pengajianku, otomatis mereka murid-muridku.
“Men… Armen…” Suara Ibu terdengar dari luar. Aku langsung keluar kamar dan menemui Ibu.
“Kamu mendengar keributan malam tadi, Men?”
“Keributan apa Bu? Armen tidur pulas semalam.”
“Iya, Ibu juga baru tahu tadi waktu di warung, kata ibu-ibu yang di warung semalam terjadi pencurian di rumah Pak Sarwo.”
“Apa? Pencuri? Terus tertangkap tidak? Bagaimana Pak Sarwo?”
“Justru itulah, ternyata pencurinya itu si Ari. Kamu kenal kan si Ari yang dulu pernah ikut pengajian sama kamu?”
“Ari…. Ya Allah.” Aku semakin terpukul, apa sebenarnya yang di lakukan oleh para pemuda itu.
Kejadian berikutnya, terjadi sama Udin yang di tangkap oleh polisi karena di ketahui menghisap ganja di jalanan. Aku semakin bingung dengan yang di lakukan para pemuda itu.
Sore hari selepas Ashar, Fitri terlihat berjalan bergandengan tangan dengan Ismet. Tepat di hadapanku Fitri mencium Ismet dengan mesranya, tentu saja jiwa imanku bergejolak, di depanku nyata-nyata terjadi kemaksiatan, seorang laki-laki berciuman dengan wanita yang belum halal baginya.
“Hai.. Fitri, Ismet, kalian tak tahu adab. itu zina, kalian berzina!” bentakku, membuat kedua mantan muridku tersentak, aku kira mereka mau minta maaf atau malu di hadapanku.
“Ah, ustadz, jangan sok sucilah, nanti kita bisa bertobat kan… Kata Ustadz selain dosa syirik kita bisa bertobat, bisa di ampuni… Mereka yang lainnya juga sama, mereka berbuat hal yang buruk karena nanti bisa bertobat. Bukankah itu kata Ustadz!!??”
Deg…
Jiwaku berdegup, aku semakin lemah dan lemas, tak bisa lagi berkata-kata.
***
Aku kembali dalam riuhnya suara air, kembali memejamkan kelopak mataku, namun tak mampu berlama-lama dalam gelap. Kata-kataku yang sempat kukeluarkan di hadapan para pemuda di desaku ini terasa membisikiku.
“Semua perbuatan kita toh nanti di ampuni… Mencuri… Berzina… Mabuk-mabukan.. Pacaran… Semua itu akan di ampuni.”
Aku menghela nafas panjang, kedua kaki kurapatkan, di bawah sana air deras melambai-lambai mengajakku mengecupnya, dengan hiasan batu-batu besar menganga dan tajam ujung-ujungnya. Dengan sekuat tenaga aku hempaskan tubuhku kedepan, lalu aku melayang… Aku melayang di atas air deras.. Di atas batu-batu yang terjal. Sebersit aku teringat semua kata-kataku di hadapan anak-anak muda itu.
“Semua perbuatan kejahatan dan maksiat akan di ampuni, jika kita bertobat.. Jika bertobat…” Sedetik aku terkaget, semua perbuatan jahat pasti akan di ampuni kalau kita bisa bertobat…
Lalu, kalau kita sudah mati?
Tak sempat bertobat?
Aku semakin melayang, beberapa detik lagi menghantam batu-batu yang menganga dan terjal…
Kalau masih hidup bisa bertobat… Kalau sudah mati?
Aku pun lupa, bagaimana dengan dosa bunuh diri?
Apa akan diampuni? Apa aku akan di ampuni???
Oh, tidak… Tidakkkkk…!
Buk!!
Kepalaku menghantam sebuah batu.
Keras. Sakitnya tak tertahankan.
Dan, gelap….
-Tamat-

PERTEMUAN YANG MEMBAWA HIDAYAH

PERTEMUAN YANG MEMBAWA HIDAYAH

Sabtu pagi yang cerah, tidak secerah hatiku. Sudah beberapa bulan ini hanya bisa mondar-mandir dirumah, tidak ada aktifitas yang dapat kulakukan. Walaupun keluar hanya melaksanakan Sholat lima waktu yang terkadang dikerjakan dirumah. Gelar sarjana yang kumiliki hanya terpajang dalam sebuah transkip nilai IPK (Indeks Prestasi Komulatif) di kamar yang berantakan, tak pernah kurapikan. Foto saat wisuda nampak tersenyum, senyuman sekaligus menertawai kepada seorang sarjana yang masih menganggur. Bukannya tidak mau bekerja, aku berusaha mencari pekerjaan, akantetapi perusahaan-perusahaan itu tidak mau menerimaku sebagai karyawan. Jadi, sehari-hari hanya didepan komputer merangkai kata bak seorang pujangga, menulis bait syair atau novel picisan yang membuat melotot anak remaja.
Pagi tadi ibu berteriak menggetarkan seluruh alam. Menulis sejuta kata dalam kekesalan. Menagih janji yang tak kunjung tiba. Pedas kata ibu mengiris hati.
“Ade…!! Empat tahun kamu kuliah, berapa juta yang kau habiskan??, Tapi kamu hanya bisa ber-tapa dikamar yang bau apek!! Sarjana macam apa kamu, hah!! Kerjanya melototi komputer setiap jam, setiap hari…, bukannya cari kerja. Bukannya cari duit. Mau jadi apa kamu nanti, hah!!”
Sakit hati ini…, rasa sakit bukan karena marah sama ibu, tapi menangis karena keadaan yang melambungkan kemiskinan dan pengangguran.
Akhirnya, sebelum Dzuhur aku mengemasi semua peralatan, memasukkan setumpuk map berisi biodata dan setumpuk lembaran cerpen plus novel yang telah rapi kususun kedalam tas yang menemani sejak kuliah dulu. Entah mau kemana, yang pasti diluar sana mudah-mudahan Allah memberikan rizkinya.
Bis Rudi dengan tujuan baranangsiang menghampiriku yang memang sedari tadi menunggu. Tidak biasanya, bis hari ini sepi dan nyaman. Aku duduk dibarisan tengah yang dua bangkunya masih kosong, sengaja aku duduk disitu karena ingin merasakan kenyamanan dan menghilangkan kepenatan di rumah. Bis melaju menyusuri jalanan yang berdebu, menyalip angkot-angkot yang tak berdaya melawan gagahnya sang bis. Diluar kulihat rumah-rumah dan toko-toko bertingkat berjejer disepanjang jalan, mengganti lahan padi menjadi bangunan yang angkuh dan sombong.
Tak lama bis kurasa berhenti, tak tahu sedang menurunkan atau menaikkan penumpang, yang jelas sedetik setelah bis melaju kembali, sesosok wanita dengan enaknya duduk disampingku, seorang wanita dengan jilbab lebar berwarna putih dengan pakaian yang berwarna biru muda. Aku tak peduli, yang ada hanya kekaguman melihat gunung salak jauh disana, terlihat samar-samar berwarna kebiru-biruan.
Sejenak aku diam. Wanita disampingku menggerakkan tangannya, nampak sebuah buku yang dikeluarkannya, kuperhatikan ternyata sebuah buku berwarna Pink.
“Pasti tentang cinta.” sedetik aku berpikir. Benar dugaanku, sebuah buku berjudul: Aku mencintaimu, Akhi!! Jadikan aku istrimu.
“Cinta lagi…, cinta lagi…, Wah!! apa dunia ini tak pernah bosan-bosannya dengan cinta? Apa Allah menciptakan manusia hanya karena cinta?” ucapku dalam hati. Membayangkan kisah cinta yang selalu menemani setiap jiwa manusia. Hmm, sebenarnya aku juga akan selalu merindukan cinta.
Aku menghempaskan pandangan, kembali kejendela menyaksikan berjuta manusia bertarung dalam riuhnya suasana, manusia yang bertarung demi sesuap nasi. Mendadak mataku terasa perih, dengan refleks membuang muka tepat kearah wanita tadi. Subhanallah, ternyata wajah wanita itu sangat cantik. Ayu manis. Matanya sayu-bening, dagunya indah, bibir tipis merah-jambu, disempurnakan dengan hidungnya yang aduhai. Hatiku berdegup kencang, meletup-letup membangunkan syaraf kedewasaaan.
Aaakhh…, wajahnya tenang penuh kesejukan. Bersih bersinar bak rembulan yang tidak malu menampakkan keindahannya.
“Kenapa aku baru melihatnya. Kenapa baru sekarang menyadari seorang bidadari duduk disampingku.” pikiran terus menyesali keterlambatanku. Semua kepenatan masalah dirumah seketika lenyap, terbius oleh sosok bidadari cantik yang duduk disampingku.
Jari-jari lentiknya membuka halaman demi halaman buku yang sedari tadi dibacanya dengan penuh takzim dan penghayatan. Aku mencintaimu, akhi!!, jadikan aku istrimu.
Tanpa sadar dia melirikku, aaakhh…, indah sekali. Bola matanya memancarkan kesholehan yang tersimpan di sela-sela warna biru. Dia tersenyum. Memamerkan bibir tipisnya yang sungguh menggoda, andai saja dia jadi istriku tak akan kulepas bibir indahnya itu. Kedua pipinya bersih, lesung pipit semakin menggoda para lelaki yang sedang dirundung kesepian. Aaakhh…, jiwaku bergetar. Tak kuasa terus menatap wajahnya yang terlukis indah. Aku palingkan muka, kembali menatap keluar, namun wajah wanita itu masih berkelebatan. Aaakhh…, andai saja wanita ini menjadi istriku tak akan henti kucumbu-bermesra dengannya. Aku tetap menatap keluar sana, membayangkan indahnya bersama permaisuri cantik, bermimpi dalam indahnya sang bidadari.

***

Sesaat kemudian wanita itu menyapa. Tadinya aku tidak percaya, apa urusan dia denganku?
“Assalamu’alaikum. Mas…?” suaranya begitu merdu, merembes keseluruh kujur tubuh. Membasahi jiwa yang kering.
“Wa’alaikum salam. Ada yang bisa saya bantu mbak’??” akhirnya aku menjawab dengan tak kalah sopannya. Duh… mawar mewangi….! Betapa cantik wanita ini, senyumnya menebar aroma kesturi yang merangsang keorgan yang paling dalam. Saking terlenanya, aku tak kuasa menahan pandangan. Menyusuri semua bagian wajahnya yang ayu.
“Maaf mas, Masjid raya masih jauh ya??” tanya dia. Masih jelas menatapku dengan kebeningan matanya semakin menggoda khayalku.
“Masjid raya? Owh…, dekat. Sebentar lagi, kebetulan saya juga mau mampir dulu, hendak sholat Dzuhur. Nanti kita bareng saja turunnya.” dengan semangat kujawab tutur halusnya.
Dia diam, membuka lembaran baru buku yang dibacanya. “Ini kesempatan emas, harus kugunakan untuk berkenalan.” pikirku, sekilat merangkai kata yang tepat untuk mengatakan satu pertanyaan saja.
“Maaf, mba dari mana asalnya?” sangat hati-hati kuucap.
“Saya dari Bandung.”
“Bandung??”
“Iya!”
“Jadi, bisa sunda.”
“Tiasa (Baca:Bisa). Mas, asli bogor??”
“Iya.”
“Kalau begitu panggil saja saya teteh, teh Indah Nurhikmah.” Amboii…! namanya Indah, seperti orangnya penuh keindahan.
“Saya Ade. Ade kelana. Panggil aja Aa Ade.”
“Masih kuliah? Atau sudah kerja?” tanyaku memperpanjang pembicaraan.
“Masih. Sedang nyusun skripsi.” singkatnya. Lalu kami terdiam, dia meneruskan membacanya, sedangkan aku tak puas-puasnya mengamati keelokannya.
“Sudah bersuami??” tanyaku memecahkan kesunyian, pertanyaan yang meluncur tanpa di olah dalam sel otakku. Raut mukanya tampak terkejut, namun masih terlihat cantik.
“Oh…, belum. Masih menunggu pinangan seorang laki-laki.” jawabnya polos.
Aku diam, sejuta asa menyelimuti jiwa, perasaan mengharu biru. Entah datangnya darimana, keberadaan dirinya terasa sangat menentramkan, sepanjang jalan tak hentinya aku bertanya dan bercerita. Walaupun dia tak berani menatapku. Namun, sesekali aku curi sorot matanya yang indah.
Sekejap masjid raya terlihat. Aku bangkit. Kubisikan ketelinga Indah, bahwa masjid sudah dekat. Diapun mengangguk pelan… sambil berjalan kepintu mengikutiku yang sudah terlebih dahulu. Tiga puluh meter dari masjid bis berhenti, aku turun melangkah keluar, Indah satu per satu menuruni tangga bis. Aku berdiri dengan gagahnya menjaga kalau-kalau bidadari ini jatuh, sayang kalau kulitnya yang mulus tergores aspal jalanan.
Sepuluh meter sampai di masjid. Tak henti aku menoleh kebelakang, Indah mengikuti dengan-cukup jaga jarak. Aku jadi gemes, kenapa sih tidak jalan disampingku saja, kan lebih romantis sambil mengecup harumnya mawar yang merekah. Dia memang sholehah, tidak mau berjalan berdua dengan lelaki bukan muhrim. Pantas saja jilbabnya begitu lebar, menutupi keanggunannya. Beberapa langkah masuk masjid, sengaja aku berhenti. Indah terkejut, sekarang sudah tepat disampingku, nyaris menubruk. Dia tersenyum, masih cantik.
“Lhoo.., kok berhenti A??” tanya lembutnya.
“Sampai lupa, boleh Aa minta nomor Ha-Penya??” balasaku, dia mengerti. Lalu diberinya nomor Ha-Pe, lengkap dengan alamat rumah, jln. Dewi pesona indah, Bandung.
“Ngapain pake alamat rumah segala sih?” bisikku dalam hati.

Seminggu sudah melewati waktu, berlari dalam seribu tanda tanya. Berkali-kali kucoba menghubunginya lewat HP, tapi nomornya tidak aktif. Aaakhh…, mungkin yang diberikannya bukan nomornya yang asli. Siapa juga yang akan memberikan nomor HP kesembarang orang yang tak dikenalnya.

Sejak pertemuan di bis itu jiwaku seakan merasa ada sesuatu yang hilang, tumbuh asmara yang tiada henti melayang. Wajahnya yang cantik tak mampu kulupakan, keelokan-kejelitaan-wajahnya membasahi seluruh jiwa. Membenamkan asa yang begitu kuat menghujami diri.
Disetiap malam aku merintih, meneteskan air mata menengadahkan kedua tangan, berdoa. Bersujud dalam kebimbangan jiwa, terhempas dalam titian rindu yang merana. Hati yang sudah teramat jatuh keseorang wanita, tak akan mudah ditelan waktu, ia selalu hadir meski hanya dalam bayang-bayang. Apa dia akan kembali padaku?, apa aku dapat bertemu kembali dengannya? Apa dia benar-benar nyata? Seribu tanya menyelimuti hati.
Dihari yang berbeda, hari kebahagiaan sahabatku. Kebahagiaan yang diimpikan oleh setiap orang, juga impian aku yang semakin ditinggalkan oleh sahabat-sahabat seperjuanganku. Sahabatku hari ini menikah. Ya, menikah. Dengan seorang gadis yang telah dipinangnya setahun yang lalu. aku belum pernah melihatnya, jangankan aku, sahabatku saja baru dua kali melihatnya, ketiga kalinya langsung aqad nikah.
“Hmmm, aku baru bertemu sekali, jadi yang ketiganya adalah proses meminang.” pikirku dalam hati, membuat gumpalan hasrat yang suci. Kesucian dalam melangsungkan pernikahan. Tercipta dikhayal sosok wanita bernama Indah.

Usiaku memang sudah cukup. Terlebih melihat teman-teman yang sebagian besar sudah menikah, aku selalu saja diprovokasi agar menyusul. Aaakhh…, mereka seakan menyuruhku untuk cepat-cepat menikah. Betapa tidak, setiap berkunjung kerumah. Mereka selalu berpasangan, berduaan, berjalan berdua, merasakan indahnya malam pertama, tak jarang mereka didepanku menciumi istrinya, mengecup keningnya, meremas jarinya. Aaakhhhh… Aku iri!! Aku juga ingin cepat menikah, aku ingin merasakan nikmatnya memadu kasih. Tapi, semua tahu bahwa keluargaku saja belum mengizinkanku menikah, dengan alasan belum dapat kerja atau usia masih kecil. Padahal, dari usia aku sudah cukup.
Dikeramaian walimahan seorang sahabat, suasana begitu romantis, beberapa sahabat yang datang menyalami. Mereka memboyong istri-istri mereka, masih membelai mesra.
Disudut depan, seorang wanita yang tak pernah kulupakan duduk dengan manisnya, dekat pengntin wanita. Dengan senyuman yang mempesona indah. Disana Indah, yang selama ini aku cari menampakkan diri saat resepsi pernikahan sahabtku. Aaakhh…, jodoh memang tidak kemana. Saat yang tepat, tak boleh aku sia-sia kan. Secepat kilat aku mendekatinya, sedetik kemudian sudah disampingnya. Dia nampak terkejut, namun masih terlihat cantik.
“A…, Ade?”
“Indah?”
Sejenak kami terdiam, sorot matanya penuh kebahagiaan. Pengantin wanita membuyarkan lamunan kami.
“Rupanya kalian sudah saling kenal?, Indah kamu sudah mengenal Ade, sahabat suamiku, kini. Ade, kamu mengenal Indah, dia sahabatku.”
Selanjutnya, kami membahagiakan pengantin, saling bercerita dengan indah, tentang sahabatku Dodi yang saat ini sedang bermesraan dengan istrinya yang syah, Indah menceritakan persahabatannya dengan Istri Dodi. Dengan diselingi tawa renyah dari kami. Menyegarkan suasana walimahan.
“Kamu tidak memakai nomor ha-pe dulu lagi ya?, pernah (padahal beberapa kali) aku hubungi kamu, kok gak nyambung sih?” seketika ucapku.
“Ooooh! Maaf, waktu shalat dzuhur itu ha-peku terjatuh dan semua isinya berantakan termasuk pin-kartu yang kupakai, dan sampai sekarang tidak ketemu.” jelasnya. Sejuta hati yang gundah, seribu kekecewaan dan prasangka gak baik seketika lenyap ditelan waktu yang terus berlari.
Jam terus berputar, ibu pasti marah besar jika sudah siang aku belum pulang mengembalikan baju batik yang kupinjam ketetangga sebelah.
“Wah, maaf ya. Aku harus pulang, sudah siang nih.” ucapku, segurat kekecewaan terlintas di wajah Indah.
“Saya juga harus pulang.” singkatnya.
Akhirnya, aku dan dia pulang bersamaan. Diperjalanan kami brcerita tentang masa depan. Tentang indahnya berkeluarga. Tentang Sakinah, Mawaddah Wa rahmah.
Sebelum brpisah…
“Indah….,” sapaku pelan, dengan nada bergetar terbata-bata.
“Kenapa, A?” balasnya lembut.
“Hmmm, sudah ada niat untuk me…ni..kah?” dengan harapan yang teramat agung.
“Sudah ada..,”jawabnya pelan.
“Apa??!!” aku terkejut.
“Sudah ada niat, tapi belum ada laki-laki yang berani menyatakan: Cinta.” balasnya dengan mata berbinar-binar penuh harapan. Meredakan kegalauan yang nyaris membuat patah hati.
Jiwa pemudaku muncul. Kegagahan yang telah lama terpatri seketika meledak. Keyakinan dan keinginan selam ini terpendam membuncah, membanjiri rona alam yang mempesona. Melahirkan kekuatan dan keberanian yang semakin kuat, terbang melayang keseluruh arah.
“Maukah Dinda menjadi istriku??”
Sebuah pengakuan yang terdalam dari isi hatiku. Wajahnya merona merah. Keayuannya memancarkan butir-butir kebahagiaan. Nampak keindahan syurgawi yang selama ini terpelihara dalam diri. Dia tertunduk malu. Jari-jemarinya tak bisa diam. Gemuruh didadanya terdengar menyentuh gemuruhnya hatiku. Sebuah penyatuan jiwa yang selama ini mendamba hadirnya cinta.
“A…, Insyaallah…, Indah siap. Indah bersedia.”
masih tertunduk, bibirnya menyusun kata-kata yang selama ini kuharapkan. Jilbabnya yang melambai-lambai terbawa angin yang seakan menjadi saksi bisu cinta kami berdua.
Tentu saja setelah hari yang teramat bahagia itu, kuungkapkan kepada ibu, memohon doa restu, dengan merayu penuh cinta mengucap keinginan menikahi seorang bidadari. Aaakhh…, alam tidak selalu cerah, ibu menolak dengan tegas.
“Mau kawin? mau pake apa? Pake uang kertas!! Semuanya sekarang harus pakai uang, kerja belum… minta kawin!! Kamu bukan di zaman nabi lagi, yang hanya dengan mengucap basmallah kamu bisa kawin, hanya dengan sepeser kamu bisa kawin!!” kata-kata ibu menusuk ulu hatiku, semua memang salahku sendiri. Kenapa sampai detik ini belum kerja, kenapa tidak mencari uang, mencari penghasilan. Kalau saja waktu kuliah aku mengikuti saran Farhan membuka kios, tentu saja saat ini beberapa lembar uang unuk menikah dapat terkumpul.
Aku menangis, lelehan air mata membasahi pipiku. Menyiksa batin yang selama ini aku hiasi dengan cinta.
“Maafkan aa, dinda. Aa belum bisa menikahimu!!”
Dua minggu sudah harapan itu berlalu, perlahan redup. Indah yang menunggu tak sabar memintaku menemui orangtuanya, sebagai komitmen cinta dan kata kalbuku. Aku tak sanggup menahan sesaknya dada ini. Hanya dimalam yang hening kubersujud padaNya, memohon kemurahanNya, meminta belas kasihNya. Mengharapkan kasih sayangNya.
Jumat pagi, ponselku berbunyi. Sajadah yang basah oleh air mata kulipat dengan khidmat. Kuterima suara diujung ha-pe. Suara lelaki berucap.
“Selamat…!!, sekali lagi selamat! Bapak Ade kelana menjadi pemenang dalam lomba penulisan karya ilmiah, sebagai juara pertama. Mendapat uang tunai sebesar 20 Juta. Benar 20 juta! Besok silahkan ambil langsung di panitia.”
Bagai bumi yang kering setahun mendadak tersiram air hujan. Aku bahagia sekali. Mulutku tak bisa berucap. Sekejap terpaku dalam hening. Lalu sederet takbir menggema, takbir memekikan kemenangan. Takbir akan kekuasaan sang ilahi. Memang tiga bulan yang lalu aku mengirim sebuah karya ilmiah, dan aku sendiri lupa bahwa pengumumannya kemarin.
Hari ini, dengan gagah dan rapi bergegas mendatangi panitia lomba. Dengan wajah yang ceria dan tubuh yang sehat. Tidak biasanya, pagi tadi ibu menyiapkan sarapan yang enak, membuat selera makanku bangkit. Dua piring habis kulahap. Ibu dengan wajah berbinar-binar, ikut senang anaknya dapat uang banyak, tentu saja beberapa lembar akan jatuh ketangan kasarnya.
Ditempat panitia lomba aku langusng menagih hadiahku, gepokan uang seratus ribuan berderet dihadapanku. Dengan teliti kuhitung perlembarnya, sudah cukup. Sejurus pulang kerumah dengan wajah berseri-seri.
Sejak itu semuanya lancar. Orangtua indah mengizinkan kami menikah. Indah tersenyum, malu-malu. Ia masuk ke kamarnya. Aku hanya melihatnya berjalan seperti bidadari yang hendak dikecup.
“Sebulan lagi aku akan di kamar itu, bersamamu.” gumamku dalam hati.
Sebulan waktu yang pendek, persiapan diatur sedemikian rupa. Keluara Indah yang memiliki perusahaan dua, hendak menyenangkan hati putri satu-satunya. Jadi, gelar S1 cukup bisa memegang sebuah perusahaan yang dihadiahkan oleh ibu mertua untuk kami, kelak.
Hari yang cerah, disebuah rumah yang megah. Bersama dua keluarga besar, berkumpul menyaksikan sebuah sejarah baru dari dua insan yang hendak memadu kasih. Sebuah aqad nikah yang sakral, dan hanya sekali.
Indah sudah merelakan untuk menjadi teman hidupku, maka sesaat lagi jalinan perasaan itu akan sah. Sesaat lagi, apa-apa yang haram bagi kami telah menjadi halal atas karunia Allah. Sesaat lagi, seorang jejaka akan memberikan kelembutan sikap kepada wanita, bernama Indah yang beberapa waktu lalu aku pinang. Inilah akad nikah. Inilah akad yang menjadikan halal apa-apa yang sebelumnya haram, dan membuat berpahala apa-apa yang sebelumnya merupakan dosa.
Aqad nikah diakhiri dengan takbir para undangan. Menyambut kami yang sudah Syah. Sebagai suami-istri. Indah resmi menjadi isriku, aku menjadi suaminya.
“Alhamdulillah, aku jadi nikah juga.” bisikku pada seorang sahabat yang datang dengan istrinya.
Mulai hari ini, dia akan kujaga, tak akan kubiarkan air matanya menetes karena kesombonganku. Dia akan kubahagiakan, ku jadikan bidadari dalam rumahku. Aku akan menjadi suami yang berada didepannya dalam keadaan sesulit apapun. Semua kesedihan, sakit, dan kegalauannya adalah milikku juga.
Kupegang tangan istriku yang cantik. Kuremas jari-jarinya yang lembut. Ia tertunduk malu. Kuangkat dagunya yang indah. Nampak tetesan air mata kebahagiaan. Aaakhh…., Aku terbang keawan yang biru, indah. Indah sekali. Dengan sejuta asa dalam hati. Dengan seribu urat syaraf yang berlarian. Diiringi detak jantung yang saling berkejaran. Aku dekatkan bibirku pada keningnya. Ah, kecupan pertama yang indah. Hangat. Meresap dalam rongga dada. Ia membuka matanya yang sayu-putih. Aku tersenyum, Indah membalas senyumku, senyuman termanis sejak ia jadi istriku.
Aqad telah berakhir, suasana ramai menyertai kebahagiaan kami, semua karib kerabat mengucapkan selamat, menyalami dengan hangat.
Malam cepat berkunjung. Burung-burung telah terbang kembali kesarangnya. Suasana diluar cerah. Para tamu berangsur meninggalkan malam yang hening. Setelah semua sepi, Indah meninggalkanku pergi berwudhu, sedetik kulihat ia berjalan kekamar, kulihat senyumnya menggoda hatiku, ia menganggukan kepala. Akupun mengambil wudhu, mengikutinya memasuki kamar. Kami melaksanakan sholat Isya bersama. Rasa cinta menghadirkan kerinduan-kerinduan halus. Walau dihiasi salah tingkah dan malu-malu. Dua rakaat sunnah kami laksanakan.
Selepas sholat dia mencium tanganku penuh kelembutan, meminta doa akan kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga. Segelas air susu tersedia sedari tadi, aku meminumnya dia pun menghabiskan setengah gelas yang masih tersisa.
Aku duduk di tempat tidur yang bertaburan bunga. Wangi semerbak menggoda gairah pengantin baru. Indah duduk disampingku. Perlahan melepaskan jilbabnya. Subhanallah, rambutnya halus terurai. Wajahnya nampak indah dengan rambut halusnya terurai. Kini telah hadir sosok bidadari dihadapanku. Kembali kuremas jari jemarinya yang lembut. Kutatap bola matanya, dan kukecup keningnya. Ah, masih hangat. Tanganku memegang pipinya yang ayu. Ia tertunduk malu. Kugoda dengan kata-kata manis yang membuatnya semangat. Setelah itu kami terdiam, diam seribu kata. Kuangakat dagunya, dia tersenyum. Kupandangi bibir tipisnya yang merah-jingga. Kudekatkan bibirku ke bibirnya. Namun, seketika telunjuknya menghentikan bibirku, menempel sebuah telunjuk yang halus. Kedua tangannya memegang pundakku, meremas-remasnya. Aku tetap menatapnya. Membiarkan dirinya merasakan apa yang diinginkan. Aku mengikhlaskan diri, membiarkan istriku yang sedang merasakan kebahagiaan denganku. Dia menggoyangkan bahuku, pelan… pelan.. pelan.
Namun semakin lama semakin kuat.. semakin keras… Ia goyangkan tubuhku dengan kerasnya. Terus… terus.. terus… aku hampir jatuh. Ia seakan tertawa, melihatku yang sedikit ketakutan. Ia memukul dadaku. Menggoyangkan tubuhku, kali ini lebih keras lagi. Dorongannya semakin kuat. Aku terkejut!! Ia dorong lagi. sampai terjatuh. Aku terjatuh, keras sekali.
“Uuhkhhh… Sakit!!”
“Mas… bangun mas… sudah sampai terminal Baranangsiang!!” kulihat seorang bapak berkumis berdiri dihadapanku, bangku-bangku bis nampak berjejer. Kulihat sekeliling sudah sepi. Wanita yang disamping pun lenyap.
“Aaaaaaaakhh…, ternyata semua ini hanya mimpi.”

SIFAT ISTRI SHALIHAH

SIFAT ISRTI SALIHAH


Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:
1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ

“Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ

“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)

Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah, amin.

asysyariah.com

NADA GALAU BUNGA

Nada Galau Bunga

Namaku Prahmitha Bunga Diphya. Aku dibesarkan dikeluarga yang berkecukupan. Aku anak terakhir dari empat bersaudara, kuliah disebuah perguruan tinggi negeri fakultas ekonomi. Suatu tempat beribu kenangan, yang tak pernah henti memaksa airmataku mengalir ketika terhanyut pada suasananya. Mita, begitu teman-teman memanggilku. Aku si bungsu yang manja, terkadang aku benci sifatku yang satu itu. Buah kekanak-kanakanku telah menorehkan rasa pahit yang harus aku telan. Dan hingga kini, aku belum menemukan penawar untuk menjadikannya manis.
Aku berpuisi, menyisakan perih merintih
Rasa sesal yang larut tak berkesudahan...
Aku menepi, berharap berlabuh dari samudera derita
Tapi tonggak tambat tak satu pun ku temui...
Aku menunduk, berharap anginnya tak lagi menerpaku.
Lagi-Lagi aku salah besar, justru pusaran dibawahnya semakin menggilingku
ke puncak tak beratap
Setetes embun murni, aku cari dari beribu buih air asin samudera itu
Menengadah menanti hujan, tapi hanya tampak awan kelam…
Bumi memusuhiku, dunia mencercaku
Aku sedih, tertatih…
Aku pilu, berkutat dalam pelik roda waktu
Tak ada yang menyalahkan aku, tapi hatiku tak mau tahu
Ia telah terlanjur malu, dan kini hanya tertunduk membisu
Mataku tak berani menatap, ia bersembunyi dibalik kelopaknya yang terkatup rekat
Aku bernyanyi, dalam lagu datar yang tersisih
Iramanya, tak seorangpun mengerti…

Aku begitu hampa menjalani hari-hariku. Begitu banyak tangan berusaha menggapaiku, tapi aku tak berani menyambutnya. Rina dan Dewi teman baikku, mereka telah melesat luar biasa. Mereka menandingi cepat Fatimah, melangkah dengan deru menggelegar. Harusnya aku menaiki lagi perahu yang belum selesai berlayar itu. Tapi aku belum siap. Siti Puji Hanifah, saudara seperjuanganku, terus-menerus merangkulku. Sosok yang sopan dan rendah hati, kesan itulah yang aku dapatkan darinya selain sifatnya yang tidak mudah mengeluh dalam mengerjakan sesuatu.
Aku berpuisi,menyisakan perih merintih
Seharusnya samudera itu menarik bagiku…
Seharusnya angin itu adalah teman dalam perjalananku…
Aku butuh mereka untuk melayarkan bahteraku
Mereka adalah bagian dari episode ribuan kisah yang menjadi legenda…
Cerita mengenai seorang puteri yang mengarungi dunia
Aku bernyanyi, dalam lagu datar yang tersisih
Iramanya, tak seorang pun mengerti…
***
Hari berikutnya… Aku takjub melihat saudara-saudaraku. Mereka bekerja sekuat tenaga, membangun ukhuwah meneratas keimanan. Aku terpanggil. Aku berusaha mendekat, namun tanganku terikat entah oleh apa…
"Mita, apa yang kau tunggu…"
"Puji…, Rina…, Dewi…, Kalianlah Fatimah-Fatimah sejati…." Aku takut jika harus membayangkan salah satu dari mereka terlempar dari jalan yang telah mereka pilih itu. Sedangkan aku, teronggok dalam bongkahan bersama para yang berjatuhan.
Aku berpuisi, menyisakan perih merintih
Rasa sesal yang larut tak berkesudahan...
Aku mulai terendam sebatas muka
Tak butuh banyak waktu untuk segera menenggelamkan aku
Menunggu satu angin lagi, yang menderu ombak beranak pinak
Menunggu satu angin lagi, maka habislah aku…
Aku bernyanyi, dalam lagu datar yang tersisih
Iramanya, tak seorang pun mengerti…
"Bunga…!"
Aku terkejut. Benarkah suara itu tertuju padaku…
"Iya, engkaulah Bunga. Bunga yang dibanggakan Fatimah…"
Aku terdiam. Seketika berlinang airmataku. "Kau benar, aku adalah Bunga…"
***
Namaku Prahmitha Bunga Diphya. Aku dibesarkan dikeluarga yang berkecukupan. Aku anak terakhir dari empat bersaudara, kuliah disebuah perguruan tinggi negeri fakultas ekonomi. Suatu tempat beribu kenangan, yang menyimpan begitu banyak senyuman dalam tangis haru kebahagiaan. Bunga, begitu teman-teman memanggilku. Aku si bungsu yang mujahidah. Buah atas kekuatan keimanan yang menorehkan kenikmatan tiada tara. Dan hingga kini, aku belum menemukan racun yang mampu merusak aroma dan rasanya.
Aku berpuisi, melantunkan nada indah menyentuh hati
Rasa cinta yang getarannya memenuhi dunia ...
Aku terus berlayar tanpa pernah terpikir menepi
Walau beribu tonggak tambat acap kali ku temui...
Aku berdiri tegak, angin-angin itu belum mampu membuatku bergerak
Pusaran dibawahnya hanya berputar sebentar kemudian pudar
Berjuta embun murni, berbaur menawar buih air asin samudera itu
Menengadah menatap hujan, awannya menggelayut bersahabat
Bumi menyambutku, dunia tersenyum padaku
Aku kokoh, pantang roboh…
Aku bergemuruh, membalap putar roda waktu
Tak ada yang menyalahkan aku, hatiku tahu itu
Ia begitu berani, dan kini semakin teguh memilih
Mataku lantang menatap, kelopaknya tak pernah berkejap
Aku bernyanyi, dalam lagu berbait kedamaian
Iramanya, akan selalu dinantikan
Ku tuliskan perasaan terdalamku pada secarik kertas, tumpahan pesan yang ingin kusampaikan kepada saudaraku yang telah berpulang…
"Fatimah…, Aku takut jika harus membayangkan salah satu dari kami terlempar dari jalan yang telah kami pilih ini. Aku berjanji, akan kujaga ukhuwah ini sekuat tenaga, yang dengannya aku rasakan kelapangan dalam menjalani hari-hari yang melelahkan, keindahan kebersamaan mereguk nikmat memahami keletihan. satu pun, tak akan kubiarkan ada yang berjatuhan. Tanganku cukup kuat untuk membantu memapah, karena tanganku berisikan tenaga dari Tuhan-ku yang Maha memiliki daya…"
***

MAS PARMAN MENCARI TUHAN

Mas Parman Mencari Tuhan

"Ada yang aku lupa laporkan padamu, Yon," kata Mas Ihsan padaku, "ketika aku bertemu dengan Mas Parman."
"Wah, apa yang lupa, Mas?" tukasku menanyakan soal yang kelihatannya sangat penting. "Aku sempat bertanya begini," jelas Mas Ihsan padaku. "Apakah Mas sekarang sudah percaya dengan adanya Tuhan?"
Lalu, Mas Parman menjawab, "Loh, aku selama ini, sejak tidak percaya kepada Tuhan, tidak mencari-cari lagi. Sebab, apa saja yang telah aku temukan sebelumnya, pasti bukan Tuhan. Kalaupun ada, itu pun Tuhan ciptaan manusia. Tapi, mengapa tiba-tiba saja, kau menanyakan hal itu, San?" Mas Parman balik bertanya kepadaku.
"Kita kan sama-sama tahu, jika seseorang ingin bertemu dengan Tuhan, lakukanlah dengan amal saleh. Menurut hematku, sekalipun orang itu sudah atheis sejak awalnya, jika perbuatannya itu baik, ia akan menemukan Tuhan melalui pintu hidayah."
"Oh, begitu."
"Saya punya permintaan kepada Mas Parman, sebagai saudara tua yang paling kami cintai dan sayangi."
"Apa permintaanmu itu?"
"Begini Mas, tetapi jangan tersinggung kalau memang selama ini Mas Parman tidak lagi bermaksud mencari Tuhan, bagaimana jika waktu masuk masa pensiun, Sampeyan sekarang ini terus mempertahankan budi pekerti luhur sebagai jembatan untuk memperoleh penjelasan mengenai Tuhan. Jadi, Mas Parman mencari Tuhan atas permintaan saya dan demi seluruh saudara-saudara kita."
"Lalu, bagaimana hasilnya?" tanyaku tak sabar ingin mengetahui reaksi yang ditunjukkan Mas Parman.
"Alhamdulillah, Yon, Mas Parman mau. Tetapi, dia memerlukan bantuanku. Dia ingin mencari dan menemukan Tuhan melalui proses dialog denganku."
"Memang Sampeyan berdua itu paling akur, akrab, dan cocok pula. Kalau aku tidak sanggup, sebagaimana Sampeyan juga tahu, aku orangnya tidak sabar. Sebaliknya, Sampeyan, Mas Ihsan, memang telaten. Kemudian, apa saja yang sudah Sampeyan berdua lakukan dan bisa diceritakan padaku, Mas?" aku terus mengejar lantaran makin penasaran.
"Ya, pertama-tama aku mengajaknya sowan ke Gus Dur. Sebelum sowan, aku pertemukan Mas Parman dengan KH Agus Miftah, seorang kiai pengembara yang belajar di pelbagai pesantren, persis seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim."
"Apa yang Sampeyan dan Mas Parman dapatkan dari kiai itu?"
Ia bilang seperti ini:
"Wah, kalau sampeyan-sampeyan tanya tentang eksistensi Tuhan padaku, aku belum tahu jawabannya. Mari kita sowan ke Gus Dur dulu dan menanyakan pertanyaan ini kepadanya."
Ketika kami bertemu dengan Gus Dur, Kiai Agus bertanya kepada sang kiai yang sering dijuluki sebagai wali itu, "Kami ingin tanya, Gus..."
"Apa pertanyaanmu itu? Pasti aku kesulitan menjawabnya, sebab kamu ini kiai NU yang mbeling."
"Gus, sebetulnya Tuhan itu ada atau tidak ada, sih?"
"Oh, kalau pertanyaan itu, gampang saja menjawabnya."
"Apa jawabannya, Gus?"
"Ya, kalau orang percaya pada Tuhan, Tuhan ada. Tetapi kalau orang itu tidak percaya Tuhan, ya Tuhan tidak ada," jawab Gus Dur tidak mau repot.
Namun, seusai sowan dengan Gus Dur dan berpisah dengan Kiai Agus, Mas Parman berujar, "Saya kira, saya setuju dengan pendapat Gus Dur, kendati pendapat saya tetap berbeda dengan pandangan Gus Dur itu. Menurut saya, Tuhan itu tidak ada, karena itu tidak usah dicari-cari."
Setelah itulah aku menegaskan kembali maksud utamaku kepada Mas Parman sambil mengungkapkan pikiranku, "Kalau aku sendiri," demikian aku berkata pada Mas Parman, "sejalan dengan kedua pandangan Kiai Agus Miftah dan Gus Dur, karena itulah, lagi-lagi, kami saudara-saudara Sampeyan, memohon agar Mas Parman memenuhi permintaan kami."
Selang beberapa hari kemudian, kami menerima undangan untuk menghadiri Majelis Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah. Pengajian itu dilaksanakan di Simprug, rumah Kiai Agus Miftah. Di rumah itu, pengajian dilaksanakan di tepi kolam renang dengan udara terbuka. Kebetulan, waktu itu muncul bulan sabit di sela-sela pohon kelapa. Suasananya memang indah, hanya saja dingin. Yang cukup menarik lagi, ternyata pengajian tersebut dihadiri orang-orang dan tokoh-tokoh lintas agama. Tentu saja, pembicaranya tidak hanya ulama-ulama, tetapi juga pendeta dan romo-romo. Pesertanya bisa beragam dan hampir dari semua kalangan. Karena itu, pengajiannya lebih berbentuk diskusi yang bersifat dialog kritis. Acara presentasi yang biasanya dilakukan paling sedikit oleh dua orang dan didahului dengan uraian dari Kiai Agus Miftah. Tak dapat disangkal, kiai itu luas sekali pengetahuannya, tidak saja mengenai Islam tetapi agama-agama lain juga. Dalam ceramah yang kami hadiri itu, Kiai Agus mencoba menjawab pertanyaan kami, yaitu apakah Tuhan itu ada? Sesuai dengan jawaban Gus Dur, Kiai Agus Miftah juga berpendapat bahwa hal itu sesuai dengan orang yang bertanya. Apabila orang itu percaya, ya Tuhan ada, jika tidak, ya Tuhan tidak ada. Kemudian Kiai Agus menguraikan selintas sejarah Tuhan, seperti halnya dilakukan oleh Karen Amstrong.
Ia mengawali keterangannya seperti ini: "Sebagian manusia memang percaya dengan adanya Tuhan. Masalahnya, mereka tidak mampu memberikan argumen yang memadai tentang adanya Tuhan. Ilmu pengetahuan yang ilmiah telah gagal. Dengan kata lain, Tuhan memang tidak dapat dicari dengan ilmu pengetahuan, tetapi dengan pengalaman kebatinan. Menyelami pengalaman mencari Tuhan merupakan laku seorang sufi. Sebagian dari mereka merasa telah menemukan Tuhan. Misalnya, Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn 'Arabi, dan sebagainya. Namun, permasalahan asal dari semua itu akan selalu berbenturan dengan adagium dasar. Yakni, Tuhan yang ditemukan oleh siapa pun adalah bukan Tuhan. Tuhan hanya bisa ditemukan di akhirat kelak. Itu pun kita tidak bisa tahu dan memastikannya. Dari pengalaman mencari Tuhan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhan yang kita percaya selama ini adalah Tuhan buatan manusia."
Di tengah-tengah paparan Kiai Agus, Mas Parman berbisik kepadaku, "Makanya aku tidak memercayai Tuhan yang digambarkan oleh manusia, kalaupun harus percaya, aku hanya percaya kepada Tuhan yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri. Tetapi, kalau boleh tanya, dari mana informasi ihwal Tuhan dapat diperoleh, apakah dari Alquran?"
"Ya memang tidak," jawabku. Aku pun lantas menambahkan, "Kita bisa mendapatkan informasi tentang Tuhan dari semua Kitab Suci, bahkan juga penjelasan dari para filsuf dan sufi. Akan tetapi, informasi yang tetap autentik pasti dari Kitab Suci, bukan filsafat. Karena, lagi-lagi semua yang dideskripsikan oleh filsuf atau seorang sufi sekalipun, itu adalah Tuhan ciptaan manusia atau yang dipersepsikan oleh manusia. Akibatnya, deskripsi tentang Tuhan berbeda-beda. Antara lain, Tuhan menurut orang Islam: Allah, orang Kristen: Tri-Tunggal, Sang Bapak, Sang Anak, dan Roh Kudus, yang merupakan three in one. Di sisi lain, Tuhan menurut orang Yahudi sering disebut Yahweh. Jadi, Mas Parman, masalahnya tetap soal kepercayaan."
"Demikianlah diskusi antara aku dan Mas Parman di sela-sela pengajian Kiai Agus Miftah. Kemudian kami terus mendengarkan dengan khidmat ceramahnya," ungkap Mas Ihsan.
"Yon," Mas Ihsan mencoba memberikan pengertian padaku, "Itulah sebabnya kita mesti dapat memahami sikap Mas Parman yang selama ini menyimpulkan bahwa Tuhan tidak ada, namun akhir-akhir ini dia mulai berusaha mencari-Nya. Tak pelak, yang dilakukan Mas Parman itu tidak berbeda sama sekali dengan laku para sufi, yaitu mencari Tuhan dengan pengalaman batin. Pada prinsipnya, Tuhan memang bisa dicari dengan pelbagai cara. Kita sendiri meyakini seseorang yang mampu menemukan Tuhan, semata-mata berkat hidayah-Nya. Untuk bisa memperoleh hidayah, kita harus beribadah. Menurut Kiai Agus konsep ketuhanan Islam itu berasal dari konsep Yahweh. Keduanya, Islam dan Yahudi, menyebut Tuhan itu sebagai Baal. Sedangkan simbol ketuhanan dalam Islam sendiri adalah Kakbah, yang di dalamnya terdapat Hajar Aswad. Konsep itu sejatinya mengikuti simbol ketuhanan Yahudi, yang disebut rock of the doom. Bagi kami, orang Islam, Tuhan Yahudi, dan Tuhan orang Islam pada hakikatnya sama. Tetapi, sebagian ulama memberikan tafsiran bahwa Tuhan Yahudi itu merupakan Tuhan yang keras, sedangkan Tuhan orang Kristen adalah Tuhan yang Pengasih, dan Islam sendiri menyebut Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu, Tuhan dalam Islam menyempurnakan konsep-konsep Tuhan sebelumnya, terutama Tuhan orang Kristen dan Yahudi."
Kemudian, aku mengajukan pertanyaan lebih lanjut pada Mas Ihsan, yang setelah lulus dari Pabelan memang berhasil menjadi seorang teolog Muslim. Aku sendiri malah menjadi seorang petani-pengusaha, karena aku memasuki Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, setelah lulus dari Pesantren Al-Islam, "Bagaimana hasil yang dicapai para sufi itu?" Mas Ihsan menjawab, "Beberapa orang sufi merasa telah menemukan Tuhan. Al-Hallaj merasa menemukan Tuhan setelah mengalami hulul, atau persatuan dengan Tuhan, sehingga dia mengeluarkan pernyataan ana al-haq (aku adalah Tuhan). Banyak kesalahpahaman terhadap perkataan Al-Hallaj itu, yang menyebabkan Al-Hallaj akhirnya dihukum mati. Padahal, yang dimaksud oleh Al-Hallaj sebenarnya menurut pendapatku, ia telah menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri, yang selama ini memang sangat dekat, karena teramat rajin dan khusyuknya Al-Hallaj dalam beribadah. Tuhan sedekat urat lehernya. Hemat saya, pada waktu itu Al-Hallaj memperoleh hidayah dan diberikan pengertian yang terang tentang Tuhan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jalaluddin Rumi. Ia akhirnya mampu bercerita bahwa selama ini ia merasa berada di kamar gelap. Lalu ia dengan sekuat tenaga mencari tahu. Namun, ternyata hampa dan tidak menemukan apa-apa dalam kamar gelap itu. Artinya, usaha mencari Tuhan itu tidak perlu. Karena Ia sudah ada dalam diri seseorang yang dapat dirasakan lewat pengalaman batin, melalui kesadaran
rohani."(...pengalaman sufistik Ibn Arabi mencari Tuhan...)
"Oh, begitu," gumamku.
"Pengalaman rohani yang dilalui Mas Parman," begitulah Mas Ihsan mencoba mengaitkan pencarian Tuhan Mas Parman dengan laku para sufi, mulai tumbuh persis seusai mengikuti ceramah dan diskusi bersama majelis pengajian Kiai Agus Miftah. Mas Parman langsung berkomentar di dalam mobil:
"Wah, ini memang pengajian yang hebat. Selama ini saya tidak pernah mengalami pengajian yang menarik seperti ini. Saya kagum dengan Kiai Agus Miftah yang menyampaikan pandangannya melalui proses diskusi dengan pendengar yang kritis dan beranekaragam pendapatnya. Dengan begitu, respons dari para peserta pengajian sangat penting artinya. Maka itu, kalau saya, lain kali diundang lagi, saya mau menghadirinya."
Alhamdulillah dengan respons Mas Parman itu, aku pun jadi turut belajar banyak.
"Dik," sahut Mas Parman lagi, "terus terang saya bangga karena memiliki adik seperti kamu. Tanpa kamu saya tidak akan pernah bisa belajar seperti ini."
"Kalau begitu, berilah aku kesempatan untuk terus mendampingi Sampeyan, Mas. Aku juga masih perlu banyak belajar dari Mas Parman yang bijaksana ini."

JODOH UNTUK SAUDARIKU

Jodoh untuk saudariku

“Serius Akh! Aku sudah siap untuk menikah!” Suara itu masih terngiang di telingaku. Ya, beberapa bulan yang lalu Ria Alysia, berumur dua puluh dua tahun, tiga tahun di bawah umurku dengan semangatnya memintaku untuk mencari seorang laki-laki yang siap menikahinya.
“Benar Akh Rendy, aku sudah siap menikah dengan laki-laki manapun. Mungkin saja di antara teman-teman atau sahabatmu ada yang sudah siap dan bersedia menikah!”
Semua kata-katanya aku rekam dalam pita otakku dan akupun menganggukan kepala menyetujui mencari seorang laki-laki untuk teman dakwahku yang paling semangat diantara yang lainnya ini. Ria seorang muslimah yang sangat semangat dan menjadi mesin penggerak di kalangan para muslimah yang kukenal. Aku mengenalnya lebih dekat saat diberi amanah sebagai ketua Forum Kajian Islam (For KALAM) dan dia menjadi ketua divisi keakhwatan.
Ria sosok muslimah yang teguh, tegar, cerdas dan mudah bergaul. Namun, di balik semua itu ada sebuah perasaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang tahu, yaitu masalah laki-laki! Dia tidak terlalu dekat dengan sembarang laki-laki. Yang kulihat dia hanya berbicara jika ada keperluan penting saja, terutama masalah dakwah, dan tentu saja setelah aku menjadi ketua For KALAM dia lebih dekat denganku dan saat kedekatannya itulah dia berani memintaku untuk mencari calon pendamping hidupnya.
“Ini foto Mas Rudi, ini Kang Sakti dan yang kemarin aku kenalkan adalah seorang guru SD yang sudah siap menikah. Mana yang kamu pilih?” Tanyaku minggu lalu setelah sekian lamanya aku mencari-cari sosok laki-laki yang bersedia menikah dengan Ria. Namun, raut muka Ria seakan tidak menyetujui semua teman-teman yang aku ajukan itu.
Dia hanya berkata: ”Akh Rendy, aku tidak menyangka bisa seperti ini…”
Aku heran dan tidak mengerti apa yang Ria katakan, diapun semakin hari semakin berprilaku berbeda. Setiap berbicara denganku nada suaranya bergetar dan sering salah kata.
Hari ini dia memintaku untuk bertemu dengannya di koridor masjid yang kuurus ini, bukan membicarakan masalah dakwah tapi membicarakan calon suami yang dia pilih diantara tiga laki-laki yang sempat aku ajukan.
“Asslamu’alaikum Akh.” Salamnya sekilas duduk satu setengah meter dari hadapanku, Sulis temannya yang mengantar malah duduk lebih jauh dari dia.
“Wa’alaikum salam Ukh.” Jawabku tak lupa menebarkan senyuman cerah yang sering kulakukan saat berbicara dengannya.
“Akh Rendy, Ummi dan Abi sudah mendesak Ria untuk mencari calon suami. Ummi dan Abi meminta Ria untuk segera menikah!” Ucapnya segurat harap terlihat di wajahnya.
“Ria yang sholehah. Aku sudah mengatakan beberapa minggu yang lalu, aku hanya memiliki tiga orang itu saja yang saat ini siap menikah. Aku tidak bisa mencari laki-laki lain. Dan, afwan, bukankah kamu siap menikah dengan laki-laki manapun? Bukankah kamu tidak keberatan walaupun dia bukan aktifis dakwah yang terbayang dalam benakmu?” Tanyaku dengan segudang pertanyaan.
“Bukan itu masalahnya akh!” Jawabnya singkat, sebening pecahan kaca jatuh dari kelopak matanya. Ia menunduk.
“Ya, Allah. Lantas apa yang menghambat niat sucimu itu ya… Ukhti??” Tanyaku dengan nada ditekan.
“Afwan Akh…!” Ucapnya pendek, dia diam, tidak ada sepatah kata penambah yang dia ucapkan.
“Ria, Mas Rudi walaupun hanya seorang lulusan SMA dan bekerja sebagai pegawai pabrik, tapi, dia laki-laki yang hanif, baik dan insyaallah bertanggung jawab. Dia sahabat SMAku dulu,” Ucapku kembali mempromosikan sahabat SMA yang sampai detik ini masih sering berhubungan.
“Kang Sakti walaupun hanya seorang pedagang sembako kecil-kecilan dia guru TPA di Masjid ini setiap hari, insyaallah diapun sholeh!” Tambahku.
“Akh Rendy! Antum benar-benar tidak mengerti juga??” Nada suara Ria membuatku tersentak, baru kali ini dia berkata sedikit tinggi. Aku menjadi heran, apa sebenarnya yang ada di pikiran Ria, padahal Ria yang kukenal adalah sosok Muslimah lembut dan baik di hadapanku.
“Afwan Ria, aku benar-benar tidak mengerti. Apa maksud Ria?” Tanyaku dengan segurat tanda tanya besar di kepala.
“Akh Rendy… Awalnya memang aku bersedia menikah dengan siapapun, desakan Ummi dan Abi membuatku tidak bisa berpikir. Tapi, setelah sekian lama mengenal seorang laki-laki aku menginginkan dialah yang menjadi suamiku.” Jelas Ria.
“Oh... Jadi, kamu sudah menemukan sendiri jodoh yang akan menjadi calon suamimu?” Tanyaku dengan memancarkan wajah gembira.
“Insyaallah sudah.” Jawabnya singkat.
“Alhamdulillah! Jadi, apa lagi yang Ria risaukan?” Tanyaku.
“Masalahnya Ria belum tahu apa dia bersedia menikah dengan Ria atau tidak.” Jawabnya.
“Memang siapa orangnya, mungkin aku bisa menemuinya, apa aku mengenal dia?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Dia sangat mengenal dan sangat dekat Akh Rendy…”
“Hah! Siapa Ria?”
“Ria malu akh!”
“Tidak apa-apa, katakan saja!”
“Dia.. Dia..”
“Katakan Ria…”
“Malu ah…!”
“Tidak apa-apa, nanti aku bantu!” Aku terus memaksanya untuk berterus terang, dia malah menunduk. Sekilas wajahnya merah merona. Aku menatap lekat wajahnya yang dibalut jilbab.
“Dia.. Dia.. Dia ada didepanku…!!!”
“Apa? Maksud… Maksud Ria… Maksud Ria… Aku???” Aku terkejut luar biasa. Aku tidak menyangka Ria mengatakan hal itu.
“Afwan akh Rendy… Awalnya memang aku juga tidak menyangka bisa seperti ini. Tapi, selama kita berinteraksi lambat laun ada perasaan yang indah, ada cinta, ada kenyamanan dan ketentraman saat bersama dan berbicara dengan akh Rendy. Afwan akh!” Jelas Ria, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku. Aku malah diam seribu kata.
“Bagaimana akh? Apa akh Rendy bersedia menikah denganku?” Tanyanya menyudutkanku.
“Ukhti Ria yang sholehah, sebelum ukhti Ria memutuskan, apa sudah dipikirkan lebih dahulu. Apa ukhti tidak akan menyesal memilihku?” Tanyaku memastikan ucapannya.
“Aku sudah memikirkannya jauh-jauh sebelumnya akh!” Jawabnya mantap. Aku diam terpaku, apa benar yang dikatakan Ria? Ria yang berwajah manis dan cantik itu memilihku? Apa dia tidak salah pilih mencintaiku yang cacat ini? Apa dia tidak berpikir dulu menginginkan aku yang tidak memiliki apa-apa? Tidur saja di masjid, tidak ada sepeser uang yang kumiliki, sedangkan dia anak pengusaha sukses di Jakarta ini.
“Ukh Ria. Apa yang akan kau dapatkan dari sosok pemuda yang pincang seperti aku? Apa yang akan kau dapatkan dari pemuda yang hanya mementingkan dakwah dan dakwah saja setiap harinya. Sedangkan kamu adalah wanita yang berketurunan dan memiliki masa depan yang cerah.” Jelasku dengan nada tinggi.
“Allah… Allah! Cinta Allah yang aku pilih akh, karena Dia aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu, saat keikhlasan dan kejujuran yang kau miliki. Aku ingin kau menikahiku Rendy. Jadikan aku istrimu… Jadikan aku pendamping yang akan menentramkan perjuangan jihadmu dan aku bersedia mengarungi indahnya syurga dunia dan syurga nanti di akhirat. Mau ya akh Rendy…” Kata-katanya membuatku meneteskan air mata. Air mata bahagia atas rahmat dan nikmat yang Allah berikan. Aku tak bisa lagi berucap, Ria yang cantik dan sholehah ini memilihku menjadi suaminya. Ini nikmat yang teramat besar.. Allahu…
“Akh… bagaimana?” Tanyanya. Aku diam, sorot matanya membuatku berdesir dan tak bisa menahan desah cinta yang terlahir detik ini. Aku menganggukkan kepala, wajah Ria cerah bak rembulan di malam hari. Senyumannya sangat menyentuh jiwaku yang merindukan cinta yang tak terduga. Perlahan aku ambil tongkat yang tergeletak di sampingku. Dengan tertatih-tatih aku mengangkat kaki kananku yang masih kuat, aku berdiri sekuat tenaga mengangkat kaki kiri yang hanya selutut karena diamputasi saat kecelakaan motor tahun lalu. Secepat kilat aku pijakkan krek diantara dua tanganku. Berjalan dengan penuh bunga-bunga indah. Berjalan dengan bantuan krek kayu. Perlahan-lahan tapi tenang. Berjalan meninggalkan Ria Alysia yang entah apa yang ada dipikirannya sekarang.

UMMI

UMMI

UMMI. Aku biasa memanggil ibu dengan sebutan itu. Tidak ada yang istimewa menapaki perjalanan hidup bersamanya, selama 24 tahun lebih didunia ini. Namun, apa benar tidak ada yang istimewa dari setiap perjalanan hidup seorang manusia? Perjalanan yang sedikit saja bisa kita tulis sebagai sejarah yang cukup merenyuhkan hati? Apalagi kisah bersama seorang ibu? Yang telah memberikan begitu banyak kasih sayangnya kepada kita? Ah, bohong! kalau kita berkata tidak ada kisah yang layak kita tuliskan di atas selembar kertas putih.
***
UMMI, sejak kecil selalu kusaksikan engkau sebagai sosok yang tegar dan bekerja keras. Banting tulang membantu Bapak menafkahi 4 orang anak-anaknya. Dengan ekonomi yang pas-pasan, cukup makan saja sudah Alhamdulillah. Aku masih ingat, saat hari-hariku memakai seragam putih-merah, Ummi pagi-pagi buta sudah bersiap pergi kesawah, ikut membantu mengurusi tanaman padi milik orang lain, memanen saat musim panen atau membantu mahasiswa IPB yang sedang penelitian menanam cabai di lahan penelitian. Terkadang aku juga ikut serta bersama mereka, sekedar meembawakan air minum atau berkotor–kotor bersama teman-teman kecilku. Hari-hari itu terus berlanjut sampai aku menapaki bangku SMP. Ketegaran yang terus terpatri dalam keseharian Ummi terus mengalir mengisi anak-anaknya yang perlahan bertambah dewasa. Saat itu aku masih sebagai pelajar SMP, namun Keseharian Ummi masih di isi dengan kerja keras (saat itulah Ummi perlahan meninggalkan dunia sawahnya), pagi-pagi menyiapakan sarapan (nasi goreng buatan Ummi merupakan sarapan favorit keluarga kami), jam 6 – 7 Ummi cepat-cepat berangkat ke Kostan Mahasiswa IPB, memasak, mencuci pakaian mereka dan membersihkan rumah yang di isi oleh anak-anak kostan.Ya, Ummi berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).
“De, teu era boga Ummi pembantu?”1 tanya Ummi suatu hari, tangannya sambil mengerakkan strika kekanan-kekiri, saat itu aku ikut bersamanya.
“Era kunaon, Mi. Nu penting mah Halal..!”2 balasku singkat, dengan rasa bangga dan pasrah. Kebanggaan memiliki Ummi yang bisa membantu Bapak dan kepasrahan menikmati hidup sebagai anak yang dibesarkan oleh ibu sebagai PRT (Bukan menyesal dilahirkan dari pangkuan Ummi, tapi merasa kasihan melihat Ummi yang terus kerja keras ikut mencari uang untuk menafkahi anak-anaknya). Ummi terus bekerja, walaupun upah yang diterima tidak seberapa, tapi semangat kerja, kejujuran dan keuletan tidak menyurutkannya untuk tetap dalam aktifitas sebagai Ummi yang super sibuk.
“Ah, Ummi. Seandainya aku sudah besar, tidak akan kubiarkan Ummi seperti ini. Aku akan memberikan setumpuk uang buat Ummi gunakan, yang terpenting Ummi jangan ber-capek-capek!” pikirku saat itu, dengan bayangan mudahnya mendapat uang yang banyak dan dipersembahkan hanya untuk Ummi. Walaupun sampai detik ini aku belum bisa memberikan tumpukan uang itu.
“Ummi sih terserah Dede wae, rek sakola deui apa moal. Cuman, Ari Ummi mah moal bisa mantuan biayana.”3 Kata-kata itu begitu polos keluar dari mulut Ummi, saat itu aku bersi keras ingin melanjutkan sekolah ke SMA. Sampai akhirnya dengan keinginanku yang kuat aku dapat sekolah lagi. Dengan uang hanya beberapa ratus ribu saja aku memberanikan diri mendaftar ke SMA, sampai akhirnya lulus. Di awal memang biaya sekolah dari kantongku sendiri, tapi kelas dua sampai lulus Ummi lebih besar menghabiskan biaya seolahku. Lagi-lagi Ummi berjuang mencari uang, masih bekerja keras namun sebagai sejak itu Ummi berjualan Nasi uduk dan Gorengan. Selama itu Ummi tidak mengeluh atau berputus asa, jiwanya yang tegar membawa kami anak-anaknya keruang waktu yang demikian panjang, aku tidak pernah mendengar Ummi mengatakan bosan dengan kerja kerasnya itu, atau sekedar menyalahkan Bapak yang hanya mampu memberi uang sebatas untuk makan, tidak cukup untuk membiayai sekolah, kebutuhan sehari-hari (selain urusan perut) atau biaya tak terduga lainnya.
“Ummi kos kieu teh ti ngongora, Jadi, Ummi geus teu aneh deui, geus biasa weh.”4 ucap Ummi saat bercakap-cakap, sekilas membeberkan perjalanan hidupnya sebagai PRT di Jakarta, saat Ummi masih berumur belasan tahun. Saat itu aku semakin mengerti betapa perihnya hidup Ummi, sejak muda harus bekerja keras , banting-tulang, bersimbah peluh. Namun, ketegaran, keuletan, kesabaran dan kekuatan menghadapi hidup yang Ummi tanamkan terpatri dengan kuat di lubuk hatiku, adik dan dua orang kakak ku. Bahkan, kakak perempuanku sudah 6 tahun lebih tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Grabag, Jawa Tengah, sebuah warisan kesabaran dan ketabahan yang Ummi tanamkan.
Sampai saat ini kesabaran, ketegaran, dan keuletan Ummi masih terlihat didepan mataku. Sampai detik ini Ummi masih ikut kerja keras membantu Bapak membiayai keluarga, meskipun wajahnya sudah nampak berkerut dan rambutnya kian memutih, meski dua kakak ku sudah memisahkan diri (Berkeluarga), meski adikku sudah bisa mencari uang, meski beberapa bulan lagi aku menjadi seorang sarjana. Ummi masih tetap bangun jam 3 pagi setiap harinya, sholat malam lalu mulai beraktifitas didapur membuat adonan Gorengan, membungkus nasi uduk dan kegiatan lainnya. Ah, Ummi…, Seandainya aku sudah bisa memberikan setumpuk uang, aku tidak mau melihatmu sibuk membuat gorengan dipagi hari, memikirkan bagaimana caranya mencari uang. Ah, Ummi…, seandainya kau bisa mengeja satu per satu kata ini ingin sekali aku merangkai semua kisah hidupmu, semua kisah ketegaranmu. Tapi, kau tidak mampu membaca tulisan-tulisan ini, meskipun satu kalimat, meskipun satu kata. Karena sesuai namamu yang indah kusebut, UMMI. Kau tidak bisa membaca apalagi menulis karena ekonomi yang di warisi oleh nenek moyang kita, tidak ada kesempatan untuk mengenal huruf-huruf ini. Semoga, semua kesabaran dan perjuangan Ummi sampai detik ini mendapatkan Ridho dan kebaikan disisi-Nya, sebagai tabungan amal sholeh yang akan engkau petik dihari nanti.
Sujud syukurku buat Ummi, yang telah membimbingku dan mengajariku arti kesabaran dan ketegaran, sampai saatnya nanti, saat kuliahku selesai, yang tinggal satu semester lagi.
I LOVE U, Ummi..! FOREVER!