Mas Parman Mencari Tuhan
"Ada yang aku lupa laporkan padamu, Yon," kata Mas Ihsan padaku, "ketika aku bertemu dengan Mas Parman."
"Wah, apa yang lupa, Mas?" tukasku menanyakan soal yang kelihatannya sangat penting. "Aku sempat bertanya begini," jelas Mas Ihsan padaku. "Apakah Mas sekarang sudah percaya dengan adanya Tuhan?"
Lalu, Mas Parman menjawab, "Loh, aku selama ini, sejak tidak percaya kepada Tuhan, tidak mencari-cari lagi. Sebab, apa saja yang telah aku temukan sebelumnya, pasti bukan Tuhan. Kalaupun ada, itu pun Tuhan ciptaan manusia. Tapi, mengapa tiba-tiba saja, kau menanyakan hal itu, San?" Mas Parman balik bertanya kepadaku.
"Kita kan sama-sama tahu, jika seseorang ingin bertemu dengan Tuhan, lakukanlah dengan amal saleh. Menurut hematku, sekalipun orang itu sudah atheis sejak awalnya, jika perbuatannya itu baik, ia akan menemukan Tuhan melalui pintu hidayah."
"Oh, begitu."
"Saya punya permintaan kepada Mas Parman, sebagai saudara tua yang paling kami cintai dan sayangi."
"Apa permintaanmu itu?"
"Begini Mas, tetapi jangan tersinggung kalau memang selama ini Mas Parman tidak lagi bermaksud mencari Tuhan, bagaimana jika waktu masuk masa pensiun, Sampeyan sekarang ini terus mempertahankan budi pekerti luhur sebagai jembatan untuk memperoleh penjelasan mengenai Tuhan. Jadi, Mas Parman mencari Tuhan atas permintaan saya dan demi seluruh saudara-saudara kita."
"Lalu, bagaimana hasilnya?" tanyaku tak sabar ingin mengetahui reaksi yang ditunjukkan Mas Parman.
"Alhamdulillah, Yon, Mas Parman mau. Tetapi, dia memerlukan bantuanku. Dia ingin mencari dan menemukan Tuhan melalui proses dialog denganku."
"Memang Sampeyan berdua itu paling akur, akrab, dan cocok pula. Kalau aku tidak sanggup, sebagaimana Sampeyan juga tahu, aku orangnya tidak sabar. Sebaliknya, Sampeyan, Mas Ihsan, memang telaten. Kemudian, apa saja yang sudah Sampeyan berdua lakukan dan bisa diceritakan padaku, Mas?" aku terus mengejar lantaran makin penasaran.
"Ya, pertama-tama aku mengajaknya sowan ke Gus Dur. Sebelum sowan, aku pertemukan Mas Parman dengan KH Agus Miftah, seorang kiai pengembara yang belajar di pelbagai pesantren, persis seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim."
"Apa yang Sampeyan dan Mas Parman dapatkan dari kiai itu?"
Ia bilang seperti ini:
"Wah, kalau sampeyan-sampeyan tanya tentang eksistensi Tuhan padaku, aku belum tahu jawabannya. Mari kita sowan ke Gus Dur dulu dan menanyakan pertanyaan ini kepadanya."
Ketika kami bertemu dengan Gus Dur, Kiai Agus bertanya kepada sang kiai yang sering dijuluki sebagai wali itu, "Kami ingin tanya, Gus..."
"Apa pertanyaanmu itu? Pasti aku kesulitan menjawabnya, sebab kamu ini kiai NU yang mbeling."
"Gus, sebetulnya Tuhan itu ada atau tidak ada, sih?"
"Oh, kalau pertanyaan itu, gampang saja menjawabnya."
"Apa jawabannya, Gus?"
"Ya, kalau orang percaya pada Tuhan, Tuhan ada. Tetapi kalau orang itu tidak percaya Tuhan, ya Tuhan tidak ada," jawab Gus Dur tidak mau repot.
Namun, seusai sowan dengan Gus Dur dan berpisah dengan Kiai Agus, Mas Parman berujar, "Saya kira, saya setuju dengan pendapat Gus Dur, kendati pendapat saya tetap berbeda dengan pandangan Gus Dur itu. Menurut saya, Tuhan itu tidak ada, karena itu tidak usah dicari-cari."
Setelah itulah aku menegaskan kembali maksud utamaku kepada Mas Parman sambil mengungkapkan pikiranku, "Kalau aku sendiri," demikian aku berkata pada Mas Parman, "sejalan dengan kedua pandangan Kiai Agus Miftah dan Gus Dur, karena itulah, lagi-lagi, kami saudara-saudara Sampeyan, memohon agar Mas Parman memenuhi permintaan kami."
Selang beberapa hari kemudian, kami menerima undangan untuk menghadiri Majelis Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah. Pengajian itu dilaksanakan di Simprug, rumah Kiai Agus Miftah. Di rumah itu, pengajian dilaksanakan di tepi kolam renang dengan udara terbuka. Kebetulan, waktu itu muncul bulan sabit di sela-sela pohon kelapa. Suasananya memang indah, hanya saja dingin. Yang cukup menarik lagi, ternyata pengajian tersebut dihadiri orang-orang dan tokoh-tokoh lintas agama. Tentu saja, pembicaranya tidak hanya ulama-ulama, tetapi juga pendeta dan romo-romo. Pesertanya bisa beragam dan hampir dari semua kalangan. Karena itu, pengajiannya lebih berbentuk diskusi yang bersifat dialog kritis. Acara presentasi yang biasanya dilakukan paling sedikit oleh dua orang dan didahului dengan uraian dari Kiai Agus Miftah. Tak dapat disangkal, kiai itu luas sekali pengetahuannya, tidak saja mengenai Islam tetapi agama-agama lain juga. Dalam ceramah yang kami hadiri itu, Kiai Agus mencoba menjawab pertanyaan kami, yaitu apakah Tuhan itu ada? Sesuai dengan jawaban Gus Dur, Kiai Agus Miftah juga berpendapat bahwa hal itu sesuai dengan orang yang bertanya. Apabila orang itu percaya, ya Tuhan ada, jika tidak, ya Tuhan tidak ada. Kemudian Kiai Agus menguraikan selintas sejarah Tuhan, seperti halnya dilakukan oleh Karen Amstrong.
Ia mengawali keterangannya seperti ini: "Sebagian manusia memang percaya dengan adanya Tuhan. Masalahnya, mereka tidak mampu memberikan argumen yang memadai tentang adanya Tuhan. Ilmu pengetahuan yang ilmiah telah gagal. Dengan kata lain, Tuhan memang tidak dapat dicari dengan ilmu pengetahuan, tetapi dengan pengalaman kebatinan. Menyelami pengalaman mencari Tuhan merupakan laku seorang sufi. Sebagian dari mereka merasa telah menemukan Tuhan. Misalnya, Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn 'Arabi, dan sebagainya. Namun, permasalahan asal dari semua itu akan selalu berbenturan dengan adagium dasar. Yakni, Tuhan yang ditemukan oleh siapa pun adalah bukan Tuhan. Tuhan hanya bisa ditemukan di akhirat kelak. Itu pun kita tidak bisa tahu dan memastikannya. Dari pengalaman mencari Tuhan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhan yang kita percaya selama ini adalah Tuhan buatan manusia."
Di tengah-tengah paparan Kiai Agus, Mas Parman berbisik kepadaku, "Makanya aku tidak memercayai Tuhan yang digambarkan oleh manusia, kalaupun harus percaya, aku hanya percaya kepada Tuhan yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri. Tetapi, kalau boleh tanya, dari mana informasi ihwal Tuhan dapat diperoleh, apakah dari Alquran?"
"Ya memang tidak," jawabku. Aku pun lantas menambahkan, "Kita bisa mendapatkan informasi tentang Tuhan dari semua Kitab Suci, bahkan juga penjelasan dari para filsuf dan sufi. Akan tetapi, informasi yang tetap autentik pasti dari Kitab Suci, bukan filsafat. Karena, lagi-lagi semua yang dideskripsikan oleh filsuf atau seorang sufi sekalipun, itu adalah Tuhan ciptaan manusia atau yang dipersepsikan oleh manusia. Akibatnya, deskripsi tentang Tuhan berbeda-beda. Antara lain, Tuhan menurut orang Islam: Allah, orang Kristen: Tri-Tunggal, Sang Bapak, Sang Anak, dan Roh Kudus, yang merupakan three in one. Di sisi lain, Tuhan menurut orang Yahudi sering disebut Yahweh. Jadi, Mas Parman, masalahnya tetap soal kepercayaan."
"Demikianlah diskusi antara aku dan Mas Parman di sela-sela pengajian Kiai Agus Miftah. Kemudian kami terus mendengarkan dengan khidmat ceramahnya," ungkap Mas Ihsan.
"Yon," Mas Ihsan mencoba memberikan pengertian padaku, "Itulah sebabnya kita mesti dapat memahami sikap Mas Parman yang selama ini menyimpulkan bahwa Tuhan tidak ada, namun akhir-akhir ini dia mulai berusaha mencari-Nya. Tak pelak, yang dilakukan Mas Parman itu tidak berbeda sama sekali dengan laku para sufi, yaitu mencari Tuhan dengan pengalaman batin. Pada prinsipnya, Tuhan memang bisa dicari dengan pelbagai cara. Kita sendiri meyakini seseorang yang mampu menemukan Tuhan, semata-mata berkat hidayah-Nya. Untuk bisa memperoleh hidayah, kita harus beribadah. Menurut Kiai Agus konsep ketuhanan Islam itu berasal dari konsep Yahweh. Keduanya, Islam dan Yahudi, menyebut Tuhan itu sebagai Baal. Sedangkan simbol ketuhanan dalam Islam sendiri adalah Kakbah, yang di dalamnya terdapat Hajar Aswad. Konsep itu sejatinya mengikuti simbol ketuhanan Yahudi, yang disebut rock of the doom. Bagi kami, orang Islam, Tuhan Yahudi, dan Tuhan orang Islam pada hakikatnya sama. Tetapi, sebagian ulama memberikan tafsiran bahwa Tuhan Yahudi itu merupakan Tuhan yang keras, sedangkan Tuhan orang Kristen adalah Tuhan yang Pengasih, dan Islam sendiri menyebut Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu, Tuhan dalam Islam menyempurnakan konsep-konsep Tuhan sebelumnya, terutama Tuhan orang Kristen dan Yahudi."
Kemudian, aku mengajukan pertanyaan lebih lanjut pada Mas Ihsan, yang setelah lulus dari Pabelan memang berhasil menjadi seorang teolog Muslim. Aku sendiri malah menjadi seorang petani-pengusaha, karena aku memasuki Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, setelah lulus dari Pesantren Al-Islam, "Bagaimana hasil yang dicapai para sufi itu?" Mas Ihsan menjawab, "Beberapa orang sufi merasa telah menemukan Tuhan. Al-Hallaj merasa menemukan Tuhan setelah mengalami hulul, atau persatuan dengan Tuhan, sehingga dia mengeluarkan pernyataan ana al-haq (aku adalah Tuhan). Banyak kesalahpahaman terhadap perkataan Al-Hallaj itu, yang menyebabkan Al-Hallaj akhirnya dihukum mati. Padahal, yang dimaksud oleh Al-Hallaj sebenarnya menurut pendapatku, ia telah menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri, yang selama ini memang sangat dekat, karena teramat rajin dan khusyuknya Al-Hallaj dalam beribadah. Tuhan sedekat urat lehernya. Hemat saya, pada waktu itu Al-Hallaj memperoleh hidayah dan diberikan pengertian yang terang tentang Tuhan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jalaluddin Rumi. Ia akhirnya mampu bercerita bahwa selama ini ia merasa berada di kamar gelap. Lalu ia dengan sekuat tenaga mencari tahu. Namun, ternyata hampa dan tidak menemukan apa-apa dalam kamar gelap itu. Artinya, usaha mencari Tuhan itu tidak perlu. Karena Ia sudah ada dalam diri seseorang yang dapat dirasakan lewat pengalaman batin, melalui kesadaran
rohani."(...pengalaman sufistik Ibn Arabi mencari Tuhan...)
"Oh, begitu," gumamku.
"Pengalaman rohani yang dilalui Mas Parman," begitulah Mas Ihsan mencoba mengaitkan pencarian Tuhan Mas Parman dengan laku para sufi, mulai tumbuh persis seusai mengikuti ceramah dan diskusi bersama majelis pengajian Kiai Agus Miftah. Mas Parman langsung berkomentar di dalam mobil:
"Wah, ini memang pengajian yang hebat. Selama ini saya tidak pernah mengalami pengajian yang menarik seperti ini. Saya kagum dengan Kiai Agus Miftah yang menyampaikan pandangannya melalui proses diskusi dengan pendengar yang kritis dan beranekaragam pendapatnya. Dengan begitu, respons dari para peserta pengajian sangat penting artinya. Maka itu, kalau saya, lain kali diundang lagi, saya mau menghadirinya."
Alhamdulillah dengan respons Mas Parman itu, aku pun jadi turut belajar banyak.
"Dik," sahut Mas Parman lagi, "terus terang saya bangga karena memiliki adik seperti kamu. Tanpa kamu saya tidak akan pernah bisa belajar seperti ini."
"Kalau begitu, berilah aku kesempatan untuk terus mendampingi Sampeyan, Mas. Aku juga masih perlu banyak belajar dari Mas Parman yang bijaksana ini."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar