OH, USTADZ
Dia terus merangkai kata-katanya, pelan dan jelas. Dalamnya ilmu yang dia miliki membuat Aku dan ke Empat temanku merasa beruntung dan takjub kepadanya. Dua tahun ini Aku berguru’ kepadanya, sepekan sekali membahas ilmu Al Quran, Wawasan ke Islaman dan semua hal yang berkaitan dengan hidup. Sejak bertemu dengannya Aku, Riky, Soleh dan dua temanku lainnya merasa ada energi baru yang dia berikan, terutama energi cinta dan kasih sayang.
Ustadz Rahendra yang ustadzku ini telah mengajarkan hakikat kehidupan, bukan saja arti hidup dalam bingkai ‘Kebaikan Dunia dan Akhirat’, akan tetapi hakikat perubahan dalam menjalani kehidupan. Kerasnya keduniawian tidak akan mudah lepas dari hati-hati manusia yang di tumbuhi kawajaran dalam cinta dunia, keinginan untuk bahagia, senang dan bebas dari masalah-masalah yang di hadapi, meskipun dia harus menggadaikan sebuah kejujuran, keadilan dan kebenaran, meskipun dia harus memberikan ‘kesucin jiwanya’ hanya untuk tetap survive dalam hidupnya. Sekian banyak para ahli ibadah dan alim pun tidak luput dari ‘kegilaan’ ini. Dengan dalih unutk dakwah dan ibadah mereka menumpuk harta, sebagian kecil orang tersebut menangguhkan eksistensinya sebagai pengelola jiwa-jiwa ilahi, mereka melepaskan jubah ke’ustadzan’nya demi mencapai kebahagiaan dunia yang dari hari ke hari terus menjalar keseluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Tapi, berbeda dengan Ustadzku ini, dia konsisten dengan kecintaannya untuk tetap menemani hidup kami.
“Teman-teman semuanya, hari ini hanya itu saja yang ingin saya sampaikan, dan saya mohon maaf pekan besok kita libur dulu, kita istirahat dulu, kita berhenti sejenak! Karena saya ada keperluan keluarga.” Ustadzku menyudahi pengajian hari ini. Aku menyalaminya dengan penuh kehangatan. Dia memeluk kami satu persatu, kata perpisahan meluncur dari bibirnya yang indah.
“Tetap semangat Mujahid! Tularkan virus-virus kebaikan ini kepada setiap orang yang kalian jumpai. Saatnya kembali kepada kebenaran dan keadilan. Allahu Akbar!”
Matahari berjalan dari ujung Timur ke ujung Barat, tanpa lelah dan sedikitpun mengeluh kepada tuannya. Berganti bulan yang berselimutkan awan hitam, gelap di hati dan terangnya lampu-lampu manusia. Energi cinta dan kasih sayang masih melekat dalam darah kepemudaanku, energi yang di berikan ustadz Rahendra masih membakar kerinduanku untuk berjumpa denganNya, kerinduan akan kedamaian, kebenaran dan kejujuran. Hari berputar, Aku tetap berjalan di jalanNya. Hari berjalan, Aku masih ingat kata-katanya dan semangat-semangatnya. Hari berganti, Aku selalu menyampaikan nasehat-nasehatnya. Hari berlalu, Aku semakin rindu.
“Aden, hari ini ustadz ternyata tidak bisa datang juga, beliau hanya memberi kita tugas merangkum buku tentang ‘Cinta Dunia Cinta Semu’.” Riky menunjukkan Handphonenya yang beberapa detik tadi mendapat sms dari ustadzku. Padahal Aku sudah rindu akan suara merdunya, akan ilmunya, akan resapan cintanya akan kasih sayangnya. Tapi, sudah dua pekan ini hatiku tidak di isi embun ciptaannya.
Aku kembali dalam dekapan hiruk pikuknya duniawi, dengan tetap mengingat semua ilmu yang telah diturunkan oleh ustadzku. Ilmu tentang berjalan di dunia dengan penuh kasih sayang, penuh penghargaan, penuh kecintaan dan kebesaran hati. Ilmu tentang semangat dalam berjuang menghadapi hidup, agar hidup bahagia tanpa cela, agar hidup sehat tanapa maksiat.
Pekan ke pekan berganti dengan cepatnya, sebulan lebih Aku tidak berjumpa dengan ustadzku itu, dia seperti menghilang di telan awan. Aku dan teman-temanku tidak bisa menghubungnya lagi, dia seperti lenyap tak ada bekas. Entah kemana. Jiwa ini terasa kering, aku seperti kehilangan arah, ustadzku tak lagi berada disampingku.
“Oh, Ustadz, I Miss You. So, Much!”
***
Matahari tepat di ubun-ubun kepala. Siang ini sengaja Aku pergi ke pasar atas perintahibuku tersayang. Dengan motor butut warisan bapak, aku masuki pasar Anyar Bogor dengan hat-hati, dengan tetap menjaga hati dan pandangan meski di depan pemandangan maksiat bertumpuk-tumpuk. Bebarapa menit kemudian, dari arah sepuluh meter tempatku berbelanja terdengar suara ricuh, saling ejek, saling hina dan saling menghardik.
“Sialan…. Brengsek……. Monyet….. Setan Alas…..”
Aku buru-buru mendekati kerumunan orang-orang itu, sebagian mereka menarik-narik temannya, sebagai lagi malah menyuruhnya melawan. Aku masih ingat kata-kata ustadzku : “Jika ada yang berkelahi maka lerailah… Laranglah… Nasehatilah… Itu merupakan shodaqoh yang sangat berharga.” Aku langsung mendekati mereka.
“Hey… Jangan berkelahi…” Teriakku.
Seorang yang sedang mencoba melayangkan pukulan sekilas menatapku, Akupun dengan jelas menatapnya. Namun, sedetik orang yang nampak beringas itu mengingatkanku pada seseorang.
“Ustadz….” Lirihku setengah percaya.
“Den…. Bantuin Ustadz Den, dia merebut pelanggan Ustadz, orang ini main curang… Kamu harus bantuin ustadz… Ini Jihad Den!” Teriaknya membuatku lemas tak percaya, dan tidak ingin mempercayainya!
“Tidak! Kamu bukan Ustadz aku, kamu bukan ustadzku!” Sambil berlari dan menancap gas motor aku menauh dan semakin jauh dari keruamunan orang-orang itu. Dan tentu saja sosok yang selama ini aku kagumi.
“Ustadz, I Miss you. So, Much!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar