Senyuman Terakhir
Pertama kali kami bertemu tak ada terbersit niat untuk saling mengenali satu sama lain. Dia dengan dunianya, dan aku dengan duniaku. Namun karena statusnya adalah seniorku, mau tidak mau akhirnya aku mengenali dirinya. Izam, itulah panggilanku kepadanya dan nama itu juga yg terpahat di hati setelah hampir dua tahun kami saling berkenalan. Izam seorang lelaki yg sederhana, sejuk dipandang mata, dan yang paling aku suka, senyuman manis yang selalu merekah di bibirnya. Mungkin keramahannya yg membuatkan aku mengaguminya dan maluluhkan aku. Sehingga ketika dia meminta cintaku, kuberikan cinta itu padanya. Bersamanya, aku merasa seperti pasangan paling bahagia di dunia. Izam dan maira....
Hari ini kuliahku selesai agak awal jadi aku mengambil keputusan untuk menunggu izam di kantin. Ada sesuatu yg ingin kuberi kepadanya, karena sebentar lagi adalah hari ulang tahunnya. Aku tahu, terlalu awal untuk hadiah itu namun aku tetap ingin menghadiahkan izam sesuatu. Hampir lima menit menunggu, kemudian izam tiba dengan senyuman manis terukir di bibirnya.
“Assalamualaikum... maaf,ya. Tadi ada urusan sebentar.” Dia mengambil tempat di sebelahku, perlahan aku menjawab salamnya.
Aku mengambil bungkusan di dalam tas, lalu kuserahkan kepadanya. Raut wajah izam agak panik, digaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Emm... ini apa? “
“Untuk kamu. Semoga kamu menyukainya.” Aku tersenyum. Dahi izam berkerut-kerut. Dengan penuh rasa penasaran, ia merobek bungkusan itu. Kemudian dibukanya kotak kecil yang berbentuk hati. Matanya bersinar cerah, lantas dikeluarkannya jam tangan hadiah pemberianku itu.
“Ya Allah... maira! Ini jam tangan yang waktu itu,kan!? Ini kan mahal. Bukankah lebih baik kamu gunakan uangmu untuk hal lain.”
“Suka tidak?”
Di kota ini aku dan izam sama-sama kost. Saat akhir pekan kami sering jalan berdua. Sewaktu kami jalan-jalan di mal, aku sempat melihat Izam memandangi sebuah jam tangan indah yang saat ini aku berikan padanya. Aku coba menduga. Itulah jam tangan yang paling diinginkan izam. Namun karena kekurangan uang, ia urung membelinya.
Izam menggangguk kecil. “Suka, tapi aku kurang suka kamu boros demi aku.” Aku tersenyum memandang gelagat izam. Dia memang selalu begitu. Selalu menasehatiku agar tidak boros dan rajin menabung. Katanya, dia sudah merasakan susahnya mendapatkan uang untuk membantu keuangan keluarganya. Keluarganya memang sangat sederhana, tapi kaya akan kasih sayang. Bagiku, bukankah kasih sayang itu lebih berharga?
”Terus, maksud kamu memberiku hadiah ini apa? Ulang tahunku masih bulan depan, maira...”
“Apa salah seorang teman ingin memberi sesuatu untuk temannya?”
“Tidak, tapi kamu sudah sering memberiku hadiah.”
“Baru beberapa kali. Nanti, waktu kamu ulang tahun, aku akan memberimu lagi hadiah yang lebih spesial.” Kataku dengan penuh semangat.
“Maira… aku mau menerima hadiah ini dan aku menganggapnya sebagai kado ulang tahunku. Jadi saat aku ulang tahun, kamu tidak perlu lagi memberiku hadiah.”
”Kenapa sih?”
”Sepakat atau tidak?” izam mengacungkan jari kelingkingnya, meninta aku sepakat, ”Kalau tidak mau, kamu simpan kembali kado ini dan berikan padaku tepat di hari ulang tahunku.”
Mata izam memandangku penuh makna. Akhirnya aku mengalah di hadapannya. Aku mengait kelingkingnya dengan kelingkingku, tanda aku sepakat dengannya. Dalam hati aku tetap mau menghadiahkan sesuatu untuk izam. Belakangan ini kami jarang bertemu karena izam sudah berada di semester akhir, banyak tugas yang perlu diurus. Jadi aku tak mau hubungan kami menjadi hambar. Sebisa mungkin aku mau kami sentiasa gembira.
Jam tanganku sudah menunjukkan jam 08.30 malam. Hari ini, 19 Juni, usia izam genap 23 tahun. Hari ulang tahunnya yang akan kami rayakan berdua untuk kedua kalinya. Aku sudah siap menanti kedatangan izam yang akan menjemputku di rumah. Kami sepakat akan merayakan ulang tahun izam di sebuah restoran seafood. Itu adalah ideku. Aku ingin melihat izam selalu bahagia dengan senyumannya yang mampu menenangkan hatiku.
Izam datang ke rumah tepat pada waktunya. Malam itu ia sangat tampan. Tiba-tiba aku tersadar kalau warna pakaian yang kami kenakan sama. Warna biru. Aku tersenyum.
”Kebetulan sekali kita memakai pakaian yang sama warnanya.” kataku.
”Sudah jodoh.” jawab izam seraya mengajak aku naik motornya.
Izam memacu motornya dengan semangat menuju tempat tujuan. Kami tidak banyak bercakap-capak, karena aku tahu izam sedang berkonsentrasi mengendarai motornya. Sesampainya di tempat tepi pantai, terlihat banyak sekali kendaraan yang terparkir. Memang setiap malam minggu tempat itu selalu ramai dikunjungi. Izam sampai kebingungan mencari tempat parkir yang kosong. Izam memandangku sekilas, sempat aku melihat dia tersenyum manis. Ah, senyuman itu lagi.
”Maira... kita sudah sampai. Kamu turun dulu nanti, nanti aku menyusul. Aku mau mencari tempat parkir dulu.”
Aku menggeleng, “Aku ikut. Lagipula aku sudah memesan tempat, jangan khawatir!” Izam tersenyum dan mengelus rambutku. Akhirnya kami bersama mencari tempat parkir yang kosong.
Setelah memarkir motor, kami berjalan menuju restoran. Restoran sangat ramai malam itu. Untung saja aku telah memesan satu meja yang terletak di sudut restoran, tepat menghadap ke arah pantai. Suasananya kurasakan sangat romantis, apalagi berada di samping izam.
“Selamat hari ulang tahun, izam. Ini untukmu.” Sebuah bungkusan berpita merah aku serahkan kepada izam.
Izam memandangku agak serius. Aku tahu dia marah karena aku melanggar permintaannya supaya tidak memberikan hadiah lagi. Entah mengapa, aku ingin memberi izam sesuatu, dan kali ini aku menghadiahkan sebuah cincin silver untuknya. Izam masih cemberut. Tak ada balasan senyuman yang biasa ia terima.
”Izam... hadiah waktu itu adalah sebagai tanda sayang. Dan ini, benar-benar hadiah untuk ulang tahunmu. Terimalah….” Aku mencoba membujuk. Sepertinya kata-kataku membuatnya terkesan, terlihat sedikit senyum ia berikan padaku.
”Bisa bersamamu saja aku sudah senang, tak perlu hadiah lagi... apa yang kamu bagi selama ini pun sudah cukup. Kasih sayang, perhatian, canda tawa.... Ah! Aku juga punya sesuatu untukmu. Ambillah!”
Sebuah bungkusan berbalut merah hati diulurkan kepadaku. Aku kaget, namun setelah didesak izam, bungkusan itu bertukar tangan. Lantas aku membuka bungkusan itu. Sebuah kotak berbentuk hati, sama seperti yang aku berikan untuk izam, hanya saja ukurannya lebih kecil. Kubuka kotak itu, dan kali ini aku terharu. Sebuah liontin silver berbentuk hati dan di dalamnya ada foto kami berdua. Cantik!
”Ini....”
”Pakailah. Aku akan senang jika kamu menyukainya. Kalau bisa, pakailah setiap hari hingga selama-lamanya. Kalau kamu merindukan aku, lihatlah liontin itu. Dan kalau aku merindukanmu... aku nisa apa?” Aku tertawa dibuatnya. Izam betul-betul pandai mengambil hati.
“Kalau kamu merindukan aku, tersenyumlah!”
“Senyum? Kenapa senyum?” Dia bertanya heran.
Aku menarik nafas dalam-dalam, “Sebab aku bisa merasakan saat kamu tersenyum. Jadi kalau kamu tersenyum, aku akan tahu kalau kamu sedang merindukan aku.””
“Oh, begitu?” izam menghadiahkan senyumannya kepadaku, dan aku merasa inilah senyuman paling manis yang pernah aku lihat di wajah izam. Rasanya tenang sekali setiap kali aku melihatnya tersenyum.
Tiba-tiba izam menepuk dahinya, “Jam tangannya tertinggal di motor. Aku ambil sebentar,ya. Hadiah spesial mana boleh kalau tidak dipakai.”
“Sudahlah, diambil nanti saja. Kita makan dulu.” Aku mecoba menghalanginya. Sayang kalau saat-saat indah seperti ini berlalu begitu saja.
Tapi Izam tetap berkeras mau mengambil jam tangan pemberianku. Akhirnya aku mengalah, membiarkan izam pergi ke tempat parkir. Aku terus memandangi izam hingga kelebatnya menghilang di balik mobil-mobil yang terparkir.
Aku memandangi liontin yang izam berikan untukku. Foto di dalamnya aku rasa pasangan yang sangat serasi. Aku berharap kami akan selalu bersama seperti sepasang foto di dalam liontin ini. Aku melihat jam tanganku, sudah jam 09.30 malam. Beberapa mobil datang dan menambah sesak tempat parkir tepat di depan restoran. Aku melemparkan pandangan ke arah jalan yang semakin sesak. Izam sudah berada di seberang jalan dan sempat melambaikan tangannya ke arahku. Bibirnya mengukir senyuman lagi, malah lebih menawan. Aku membalas lambaiannya dan izam berlari-lari kecil untuk menyeberangi jalan. Malangnya, tiba-tiba ada sebuah mobil yang melesat di jalan itu.
DEBUMMMMM!!!!
Ketika itu segalanya berlangsung begitu cepat. Aku melihat tubuh izam melayang sebelum jatuh ke atas sebuah mobil. Kemudian, tubuh yang berlumuran darah itu tergolek jatuh di atas jalan raya. Izam mencoba untuk bangun dengan seluruh sisa tenaga yang masih ia miliki. Dan ketika itu juga sebuah mobil dari arah yang berlawanan menabrak tubuh tak berdaya itu. Izam kembali terjatuh. Dan tak tampak lagi gerakan tubuhnya.
Dan aku? Aku kaku, tergamam dengan apa yg sedang terjadi. Aku betul-betul keliru. Setelah beberapa orang mengerumuni tubuh izam yg sudah terbujur kaku itu barulah aku tersadar. Aku berlari sekuat tenaga ke arah izam. Keadaanya sangat parah. Aku tak kuasa menahan tangisan ketika memangku kepalanya yang mengeluarkan banyak darah. Dengan gemetar tangannya yang berlumuran darah memegang pipiku. Ia mengembangkan seulas senyuman. Hanya sekejap… hingga akhirnya senyuman itu menghilang seiring izam memejamkan matanya. Aku menangis masih tak percaya. Hari ini, izam memberikan senyuman terakhirnya kepadaku. Senyuman yang tak mungkin aku lihat lagi. Tangannya masih menggenggam erat jam tangan pemberianku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar