Jodoh untuk saudariku
“Serius Akh! Aku sudah siap untuk menikah!” Suara itu masih terngiang di telingaku. Ya, beberapa bulan yang lalu Ria Alysia, berumur dua puluh dua tahun, tiga tahun di bawah umurku dengan semangatnya memintaku untuk mencari seorang laki-laki yang siap menikahinya.
“Benar Akh Rendy, aku sudah siap menikah dengan laki-laki manapun. Mungkin saja di antara teman-teman atau sahabatmu ada yang sudah siap dan bersedia menikah!”
Semua kata-katanya aku rekam dalam pita otakku dan akupun menganggukan kepala menyetujui mencari seorang laki-laki untuk teman dakwahku yang paling semangat diantara yang lainnya ini. Ria seorang muslimah yang sangat semangat dan menjadi mesin penggerak di kalangan para muslimah yang kukenal. Aku mengenalnya lebih dekat saat diberi amanah sebagai ketua Forum Kajian Islam (For KALAM) dan dia menjadi ketua divisi keakhwatan.
Ria sosok muslimah yang teguh, tegar, cerdas dan mudah bergaul. Namun, di balik semua itu ada sebuah perasaan yang hanya orang-orang tertentu saja yang tahu, yaitu masalah laki-laki! Dia tidak terlalu dekat dengan sembarang laki-laki. Yang kulihat dia hanya berbicara jika ada keperluan penting saja, terutama masalah dakwah, dan tentu saja setelah aku menjadi ketua For KALAM dia lebih dekat denganku dan saat kedekatannya itulah dia berani memintaku untuk mencari calon pendamping hidupnya.
“Ini foto Mas Rudi, ini Kang Sakti dan yang kemarin aku kenalkan adalah seorang guru SD yang sudah siap menikah. Mana yang kamu pilih?” Tanyaku minggu lalu setelah sekian lamanya aku mencari-cari sosok laki-laki yang bersedia menikah dengan Ria. Namun, raut muka Ria seakan tidak menyetujui semua teman-teman yang aku ajukan itu.
Dia hanya berkata: ”Akh Rendy, aku tidak menyangka bisa seperti ini…”
Aku heran dan tidak mengerti apa yang Ria katakan, diapun semakin hari semakin berprilaku berbeda. Setiap berbicara denganku nada suaranya bergetar dan sering salah kata.
Hari ini dia memintaku untuk bertemu dengannya di koridor masjid yang kuurus ini, bukan membicarakan masalah dakwah tapi membicarakan calon suami yang dia pilih diantara tiga laki-laki yang sempat aku ajukan.
“Asslamu’alaikum Akh.” Salamnya sekilas duduk satu setengah meter dari hadapanku, Sulis temannya yang mengantar malah duduk lebih jauh dari dia.
“Wa’alaikum salam Ukh.” Jawabku tak lupa menebarkan senyuman cerah yang sering kulakukan saat berbicara dengannya.
“Akh Rendy, Ummi dan Abi sudah mendesak Ria untuk mencari calon suami. Ummi dan Abi meminta Ria untuk segera menikah!” Ucapnya segurat harap terlihat di wajahnya.
“Ria yang sholehah. Aku sudah mengatakan beberapa minggu yang lalu, aku hanya memiliki tiga orang itu saja yang saat ini siap menikah. Aku tidak bisa mencari laki-laki lain. Dan, afwan, bukankah kamu siap menikah dengan laki-laki manapun? Bukankah kamu tidak keberatan walaupun dia bukan aktifis dakwah yang terbayang dalam benakmu?” Tanyaku dengan segudang pertanyaan.
“Bukan itu masalahnya akh!” Jawabnya singkat, sebening pecahan kaca jatuh dari kelopak matanya. Ia menunduk.
“Ya, Allah. Lantas apa yang menghambat niat sucimu itu ya… Ukhti??” Tanyaku dengan nada ditekan.
“Afwan Akh…!” Ucapnya pendek, dia diam, tidak ada sepatah kata penambah yang dia ucapkan.
“Ria, Mas Rudi walaupun hanya seorang lulusan SMA dan bekerja sebagai pegawai pabrik, tapi, dia laki-laki yang hanif, baik dan insyaallah bertanggung jawab. Dia sahabat SMAku dulu,” Ucapku kembali mempromosikan sahabat SMA yang sampai detik ini masih sering berhubungan.
“Kang Sakti walaupun hanya seorang pedagang sembako kecil-kecilan dia guru TPA di Masjid ini setiap hari, insyaallah diapun sholeh!” Tambahku.
“Akh Rendy! Antum benar-benar tidak mengerti juga??” Nada suara Ria membuatku tersentak, baru kali ini dia berkata sedikit tinggi. Aku menjadi heran, apa sebenarnya yang ada di pikiran Ria, padahal Ria yang kukenal adalah sosok Muslimah lembut dan baik di hadapanku.
“Afwan Ria, aku benar-benar tidak mengerti. Apa maksud Ria?” Tanyaku dengan segurat tanda tanya besar di kepala.
“Akh Rendy… Awalnya memang aku bersedia menikah dengan siapapun, desakan Ummi dan Abi membuatku tidak bisa berpikir. Tapi, setelah sekian lama mengenal seorang laki-laki aku menginginkan dialah yang menjadi suamiku.” Jelas Ria.
“Oh... Jadi, kamu sudah menemukan sendiri jodoh yang akan menjadi calon suamimu?” Tanyaku dengan memancarkan wajah gembira.
“Insyaallah sudah.” Jawabnya singkat.
“Alhamdulillah! Jadi, apa lagi yang Ria risaukan?” Tanyaku.
“Masalahnya Ria belum tahu apa dia bersedia menikah dengan Ria atau tidak.” Jawabnya.
“Memang siapa orangnya, mungkin aku bisa menemuinya, apa aku mengenal dia?” Tanyaku dengan rasa penasaran.
“Dia sangat mengenal dan sangat dekat Akh Rendy…”
“Hah! Siapa Ria?”
“Ria malu akh!”
“Tidak apa-apa, katakan saja!”
“Dia.. Dia..”
“Katakan Ria…”
“Malu ah…!”
“Tidak apa-apa, nanti aku bantu!” Aku terus memaksanya untuk berterus terang, dia malah menunduk. Sekilas wajahnya merah merona. Aku menatap lekat wajahnya yang dibalut jilbab.
“Dia.. Dia.. Dia ada didepanku…!!!”
“Apa? Maksud… Maksud Ria… Maksud Ria… Aku???” Aku terkejut luar biasa. Aku tidak menyangka Ria mengatakan hal itu.
“Afwan akh Rendy… Awalnya memang aku juga tidak menyangka bisa seperti ini. Tapi, selama kita berinteraksi lambat laun ada perasaan yang indah, ada cinta, ada kenyamanan dan ketentraman saat bersama dan berbicara dengan akh Rendy. Afwan akh!” Jelas Ria, aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutanku. Aku malah diam seribu kata.
“Bagaimana akh? Apa akh Rendy bersedia menikah denganku?” Tanyanya menyudutkanku.
“Ukhti Ria yang sholehah, sebelum ukhti Ria memutuskan, apa sudah dipikirkan lebih dahulu. Apa ukhti tidak akan menyesal memilihku?” Tanyaku memastikan ucapannya.
“Aku sudah memikirkannya jauh-jauh sebelumnya akh!” Jawabnya mantap. Aku diam terpaku, apa benar yang dikatakan Ria? Ria yang berwajah manis dan cantik itu memilihku? Apa dia tidak salah pilih mencintaiku yang cacat ini? Apa dia tidak berpikir dulu menginginkan aku yang tidak memiliki apa-apa? Tidur saja di masjid, tidak ada sepeser uang yang kumiliki, sedangkan dia anak pengusaha sukses di Jakarta ini.
“Ukh Ria. Apa yang akan kau dapatkan dari sosok pemuda yang pincang seperti aku? Apa yang akan kau dapatkan dari pemuda yang hanya mementingkan dakwah dan dakwah saja setiap harinya. Sedangkan kamu adalah wanita yang berketurunan dan memiliki masa depan yang cerah.” Jelasku dengan nada tinggi.
“Allah… Allah! Cinta Allah yang aku pilih akh, karena Dia aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu, saat keikhlasan dan kejujuran yang kau miliki. Aku ingin kau menikahiku Rendy. Jadikan aku istrimu… Jadikan aku pendamping yang akan menentramkan perjuangan jihadmu dan aku bersedia mengarungi indahnya syurga dunia dan syurga nanti di akhirat. Mau ya akh Rendy…” Kata-katanya membuatku meneteskan air mata. Air mata bahagia atas rahmat dan nikmat yang Allah berikan. Aku tak bisa lagi berucap, Ria yang cantik dan sholehah ini memilihku menjadi suaminya. Ini nikmat yang teramat besar.. Allahu…
“Akh… bagaimana?” Tanyanya. Aku diam, sorot matanya membuatku berdesir dan tak bisa menahan desah cinta yang terlahir detik ini. Aku menganggukkan kepala, wajah Ria cerah bak rembulan di malam hari. Senyumannya sangat menyentuh jiwaku yang merindukan cinta yang tak terduga. Perlahan aku ambil tongkat yang tergeletak di sampingku. Dengan tertatih-tatih aku mengangkat kaki kananku yang masih kuat, aku berdiri sekuat tenaga mengangkat kaki kiri yang hanya selutut karena diamputasi saat kecelakaan motor tahun lalu. Secepat kilat aku pijakkan krek diantara dua tanganku. Berjalan dengan penuh bunga-bunga indah. Berjalan dengan bantuan krek kayu. Perlahan-lahan tapi tenang. Berjalan meninggalkan Ria Alysia yang entah apa yang ada dipikirannya sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar