Laman

Minggu, 24 Oktober 2010

OH, USTADZ

OH, USTADZ

Nafas terus berkejaran. Menghantam sekat tembok yang membaja. Derunya tak mampu membiaskan sedikitpun noda-noda hitam yang kian hari kian menjelma. Jiwaku tak bisa lagi diam dalam keheningan walupun ia terus bersuara dalam gelap. Di atas batu besar ini, aku menerawang dalam kejauhan, melolong suara detak jantung yang semakin berdegup. Burung-burung di atas sungai berkeliling menari-nari, dengan hiasan indahnya pelangi, pelangi yang ikut menatapku di ujung bebatuan. Sejenak aku pejamkan mata, merasakan suara air yang mengalir di bawah sana, suara sungai di bawah sana, di bawahku, di atas batu besar yang kuinjak. Air sungai yang mengalir di sana sangat deras, jarak sungai itu dengan tempatku berdiri kira-kira berjarak dua puluh meter.
Saat kelopak mataku menutup, hanya gelap kulihat, hanya titik merah yang kuraba. Kubuka kembali mataku lalu jiwaku terbang ke hari-hari yang lalu yang di hiasi hiruk pikuknya problema.
***
Kurang lebih Empat tahun aku hidup di lingkungan pesantren, berbagai kitab telah lenyap aku lahap, kitab kuning maupun kitab kontemporer yang penuh dengan ilmu-ilmu agama habis kubaca. Kepandaian dalam bertutur dan berargumen modal dasarku dalam menyampaikan semua isi kitab-kitab yang dulu hinggap dibenakku. Tak satupun orang-orang yang mampu mengangkat kepala dan mencemoohku, mereka menunduk dan menciumi tanganku yang dianggapnya telah begitu banyak mengecap ilmu agama.
“Pak Ustadz, apakah seorang penjudi, pencuri dan perbuatan maksiat lainnya bisa di ampuni?” Tanya seorang saat pengajian para pemuda di desaku.
“Iya, bisa, Ri.” Jawabku kepada Ari, seorang pemuda yang dari ekonominya serba kekurangan.
“Benar Ustadz?” Tanya seorang lainnya, sepertinya tidak yakin apa yang aku ucapkan, mereka masih belum percaya apa yang aku dapatkan di pesantren. Padahal aku sudah paham betul bahwa Allah swt akan mengampuni dosa-dosa hambanya, asalkan dia mau betobat dan tidak mengulangi dosa perbuatannya.
“Iya, meskipun dosa engkau setinggi gunung dan seluas hamparan pasir di pantai, Allah akan mengampunimu.” Jawabku dengan wajah serius.
“Kalau mencuri bisa di ampuni, kalau berzina di ampuni tidak?” Tanya Sukri, seorang pemuda tampan dengan matanya yang berbinar-binar.
“Bagaimana aku meyakinkan kamu Sukri, dengar ya, dulu saja ada seorang pelacur yang masuk syurga karena seekor lalat. Juga, ada kisah seorang yang telah membunuh seratus orang, namun karena niatnya untuk bertobat dia masuk syurga, meskipun belum berbuat kebaikan. Allah Maha pengampun...” Jelasku membuat Sukri dan teman-temannya berdecak kagum.
“Ustadz, akhir-akhir ini kan di desa kita sering terdengar banyak para pemuda yang mnghisap ganja, pil ekstasi dan minum-minuman keras, apakah yang seperti itu bisa di ampuni juga?” Udin yang pendiam kembali bertanya.
“Pokoknya semua perbuatan maksiat bisa di ampuni, kecuali dosa syirik,” Jelasku dengan nada tinggi.
“Dosa syirik itu dosa menyekutukan Allah, dosa yang mengotori akidah kita. Syirik itu percaya kepada sesuatu selain percaya kepada Allah.” Tambahku membuat para pemuda itu seperti paham apa yang aku jelaskan.
Setelah hari itu para pemuda mengikuti pengajian seperti biasanya, namun dari pertemuan ke pertemuan selanjutnya sesuatu keganjilan terjadi, mereka satu persatu menghilang, tanpa diketahui apa sebabnya. Yang ada hanya anak kecil dan beberapa pemuda saja.
“Fit, Fitri. Pemuda yang lainnya kok akhir-akhir ini semakin berkurang ya? Kamu tahu kemana saja mereka? Apa ada kegiatan lain yang membuat mereka tidak ada waktu ikut pengajian?” Tanyaku ke salah seorang muridku yang perempuan.
“Fitri juga tidak tahu ustadz, tapi tadi Fitri lihat Udin sedang di depan jalan duduk-duduk sama pemuda desa sebelah, kalau Sukri, Fitri sering lihat sama Retno, mereka sering berduaan ustadz.” Jelas Fitri, wajahnya nampak cemberut saat menyebut Sukri berdua dengan Retno.
Sebulan lebih hal demikian terjadi ditempat pengajianku, mereka nampaknya semakin susah diajak kembali untuk ikut pengajian. Bahkan Fitri pun malah ikut terbawa, sudah tidak ikut ke pengajian lagi. Aku terus berfikir dan memikirkan, apa sebenarnya yang terjadi. Sebelumnya mereka sangat rajin dan semangat datang kepengajian bahkan walaupun aku belum datang mereka sudah berkumpul di ditempat pengajian.
Ba’da Ashar, Aku masih tetap mengajar, kini aku hanya mengajar anak-anak kecil yang berumuran di bawah tujuh belas tahun, sedangkan mereka yang sudah remaja dan dewasa tidak nampak lagi.
Selepas pengajian aku hendak pulang, namun di depan pintu seorang perempuan dengan wajah muram mendatangiku, lalu bertanya.
“Ustadz, Retno ingin bertanya.” Ucapnya.
“Retno! Ada apa? Kamu punya masalah? Dan akhir-akhir ini kemana saja?”
“Maafkan Retno Ustadz, akhir-akhir ini Retno tidak ikut pengajian ustadz lagi. Maksud saya kesini ingin bertanya sama ustadz.”
“Iya, boleh saja. Ada apa?”
“Bagaimana cara saya bertobat?”
“Bertobat? Maksud kamu?”
“Dulu ustadz pernah bilang, semua dosa kita pasti akan di ampuni Allah swt, dan sekarang saya sudah berdosa ustadz. Saya ingin bertobat. Bagaimana ustadz?”
“Astaghfirullah, memangnya apa yang kamu lakukan?” Tanyaku dengan nada melamban.
“Saya… Saya…” Retno seperti gugup dan malu. Sedetik kemudian dia malah mencucurkan air matanya, tak ada sepatah katapun yang bisa dia ucapkan, aku menjadi terharu.
“Katakan saja, kalau itu sebuah kekhilafan InsyaAllah akan Allah ampuni.”
“Saya… Saya… Saya… Telah berhubungan seks! Saya berzina ustadz. Saya berzina! Sekarang saya hamil satu setengah bulan.”
“Apa……! Astagfirullah…. Kenapa… Kenapa Retno, kenapa berbuat seperti itu?”
“Semua ini karena rayuan Sukri, dia yang memulai, dia yang mengajak saya… Kata dia, kita bisa bertobat, Sukri bilang ini juga karena ceramah ustadz waktu lalu…”
“Astagfirullah… Jadi, kamu sama Sukri? Ya, Allah… Dan itu karena mendengar dari kata-kataku waktu itu? Kenapa di artikan seperti itu. Kenapa?” Aku tak bisa lagi menahan rasa kecewa dan bersalah, perkataanku yang mengajak dalam kebenaran ternyata di artikan yang berbeda oleh anak-anak desa ini.
Sejak itu aku semakin menutup diri. Pengajianpun tak berjalan lagi, semuanya jadi bubar entah karena apa. Kejadian demi kejadian pun sering terdengar dan semua itu ulah para pemuda yang dulu ikut di pengajianku, otomatis mereka murid-muridku.
“Men… Armen…” Suara Ibu terdengar dari luar. Aku langsung keluar kamar dan menemui Ibu.
“Kamu mendengar keributan malam tadi, Men?”
“Keributan apa Bu? Armen tidur pulas semalam.”
“Iya, Ibu juga baru tahu tadi waktu di warung, kata ibu-ibu yang di warung semalam terjadi pencurian di rumah Pak Sarwo.”
“Apa? Pencuri? Terus tertangkap tidak? Bagaimana Pak Sarwo?”
“Justru itulah, ternyata pencurinya itu si Ari. Kamu kenal kan si Ari yang dulu pernah ikut pengajian sama kamu?”
“Ari…. Ya Allah.” Aku semakin terpukul, apa sebenarnya yang di lakukan oleh para pemuda itu.
Kejadian berikutnya, terjadi sama Udin yang di tangkap oleh polisi karena di ketahui menghisap ganja di jalanan. Aku semakin bingung dengan yang di lakukan para pemuda itu.
Sore hari selepas Ashar, Fitri terlihat berjalan bergandengan tangan dengan Ismet. Tepat di hadapanku Fitri mencium Ismet dengan mesranya, tentu saja jiwa imanku bergejolak, di depanku nyata-nyata terjadi kemaksiatan, seorang laki-laki berciuman dengan wanita yang belum halal baginya.
“Hai.. Fitri, Ismet, kalian tak tahu adab. itu zina, kalian berzina!” bentakku, membuat kedua mantan muridku tersentak, aku kira mereka mau minta maaf atau malu di hadapanku.
“Ah, ustadz, jangan sok sucilah, nanti kita bisa bertobat kan… Kata Ustadz selain dosa syirik kita bisa bertobat, bisa di ampuni… Mereka yang lainnya juga sama, mereka berbuat hal yang buruk karena nanti bisa bertobat. Bukankah itu kata Ustadz!!??”
Deg…
Jiwaku berdegup, aku semakin lemah dan lemas, tak bisa lagi berkata-kata.
***
Aku kembali dalam riuhnya suara air, kembali memejamkan kelopak mataku, namun tak mampu berlama-lama dalam gelap. Kata-kataku yang sempat kukeluarkan di hadapan para pemuda di desaku ini terasa membisikiku.
“Semua perbuatan kita toh nanti di ampuni… Mencuri… Berzina… Mabuk-mabukan.. Pacaran… Semua itu akan di ampuni.”
Aku menghela nafas panjang, kedua kaki kurapatkan, di bawah sana air deras melambai-lambai mengajakku mengecupnya, dengan hiasan batu-batu besar menganga dan tajam ujung-ujungnya. Dengan sekuat tenaga aku hempaskan tubuhku kedepan, lalu aku melayang… Aku melayang di atas air deras.. Di atas batu-batu yang terjal. Sebersit aku teringat semua kata-kataku di hadapan anak-anak muda itu.
“Semua perbuatan kejahatan dan maksiat akan di ampuni, jika kita bertobat.. Jika bertobat…” Sedetik aku terkaget, semua perbuatan jahat pasti akan di ampuni kalau kita bisa bertobat…
Lalu, kalau kita sudah mati?
Tak sempat bertobat?
Aku semakin melayang, beberapa detik lagi menghantam batu-batu yang menganga dan terjal…
Kalau masih hidup bisa bertobat… Kalau sudah mati?
Aku pun lupa, bagaimana dengan dosa bunuh diri?
Apa akan diampuni? Apa aku akan di ampuni???
Oh, tidak… Tidakkkkk…!
Buk!!
Kepalaku menghantam sebuah batu.
Keras. Sakitnya tak tertahankan.
Dan, gelap….
-Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar