Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

MASIH ADA PELANGI DI BALIK HUJAN


Hujan sore ini, laksana panah-panah cair yang dilesatkan awan dari hamparan lembaran angkasa yang kelam terselimut mendung. Angin semilir merayap menelusuri setiap titik-titik udara, menjalar sepanjang nafas yang menggigil menahan dinginnya cuaca, yang seolah menampar asaku yang semu, menghantam hatiku yang sendu.
Disini, aku duduk menyendiri, di pojok teras rumahku yang berdinding bilik. Masih teringat jelas, tanggal 2 September lalu, aku pertama kali bertatap muka dengannya. Sungguh, aku langsung jatuh cinta. Seakan hari-hariku menjadi segegap gempita malam berhiaskan bintang gemintang, dengan puluhan kembang api yang serentak meledak. Sungguh memesona.
Namun, hari ini, ditemani gemerisik hujan dan belaian angin senja, kesedihan menerkamku tiba-tiba. Pedih, ingin rasanya aku terbang layaknya merpati, meliuk-liuk di langit berhias surya, berharap segala yang aku alami, terbakar panasnya pancaran mentari, bebas lepas seolah aku tidak pernah mengenalnya, seseorang yang telah mencabut paksa hatiku dan memutilasinya tanpa perasaan!!
Namaku Rangga, seorang remaja yang baru merasakan, betapa sakit cinta itu sesungguhnya, serupa penyiksaan ala PKI dalam tragedy lubang buaya; hati disayat tipis oleh tajamnya derita, dan raga disiksa para algojo abstrak bergelar pembantai asmara.
Tidak lama berselang, terlihat samar-samar sebuah siluet yang menantang hujan di ujung jalan sana, sembari setengah berlari berlindungkan payung. Semakin dekat semakin jelas terlihat bahwa dia ternyata Dela, teman dekatku dari SD. Dia tersenyum, memamerkan lesung pipit yang tertempel dipipinya, yang terbebas dari serbuan jerawat-jerawat nakal, ketika sudah sampai di depan pagar. Aku menghampirinya dan membuka pagar kayu, pembatas duniaku dan dunianya, sembari menyapa lirih.
“Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikumsalam.” jawabnya halus, lembut. Seakan pita suaranya adalah kumpulan sulaman-sulaman berbahan sutra.
“Del, tumben kesini. Hujan-hujan lagi.” Kataku dengan tangan diatas kepala menahan gempuran air hujan yang semakin membabi-buta tak keruan. “Ada apa?” Aku mengajak Dela duduk di teras, menghindari serbuan tembakan beruntun air hujan yang tak kenal ampun.
Dela menyerahkan bungkusan misterius padaku. “Nih, Laskar Pelangimu kebawa sama aku. Niatnya sih, mau dikembaliin tadi di sekolah, tapi kamunya minggat gitu aja.” Aku tersenyum simpul, dan mengucapkan terima kasih padanya yang telah rela menembus sekat pembatas antara kering dan batas, untuk mengembalikan novelku ini. Memang, rumah Dela lumayan dekat dengan rumahku, jadi wajar saja jika Dela sering main ke rumahku.
“Oh iya. Gina gimana? Udah kamu tembak?” Ekspresiku berubah seketika, secepat membalikan telapak tangan. Tak segera kujawab pertanyaannya. Hening sekejap, dan akhirnya aku angkat bicara.
“Aku ditolak.” jawabku lirih, sendu. Tak berani kutatap wajah Dela yang terperangah, terlalu malu, terlalu pedih. Kesedihan menyeretku kedalam ruangan penuh air mata pilu. Aku seakan terhisap lubang hitam yang kemudian melemparku ke dimensi gelap gulita tanpa cahaya.
“Masa? Kamu ditolak?” air mukanya memancarkan keheranan yang meluap-luap, tak terbendung. “Emang, apa alasannya sampai kamu ditolaknya?” pertanyaan yang membuatku sesak untuk beberapa saat.
“Katanya, dia sudah punya pacar, dan tak kusangka seperti tertusuk jarum suntik berkali-kali, pacarnya adalah Randy, sobatku yang kusangka baik, tapi ternyata palsu, menusukku dari belakang, merebut harta karun yang telah kucari dan kudapatkan dengan susah payah.” jelasku tanpa semangat.
Dela diam, sunyi, tanpa suara. Seakan dia mengerti, betapa hancur harap dan cita yang tercecer berantakan dalam nalar dan logika. Kemudian, Dela tersenyum penuh arti.
“Kalau gitu hasilnya, lebih baik kamu lupakan saja cewek itu. Jangan pernah lagi memikirkannya, toh dia juga tak pernah memikirkanmu. Hapus segala kenangan pahit dan songsong hari esok dengan senyum memesona, jangan terlalu larut dalam derita.” Nasihatnya membuatku tenang, seakan lantunan katanya menggusur hatiku, meninggalkan aura sendu sedan, ke alam berhias bunga mewangi dan kesejukan sepoi angin yang bersemilir merasuki setiap segmen rasa rindu yang kian menggebu.
Ketika kulirik dan kuperhatikan seksama, paras Dela ternyata tak kalah ayu dibanding Gina. Bahkan Dela selalu menemaniku disaat sedihku, ada disampingku disaat ceriaku. Pelan perlahan, bubuk-bubuk asmara bertaburan disekitarku, melayang istimewa karena diterpa angin badai seperti apapun, bubuk itu tak bisa terhempas begitu saja. Setidaknya, itu menurutku.
Memang terasa begitu cepat, perasaan ini terlalu dini untuk singgah dihatiku saat ini. Namun ini cinta yang tak pernah kita tahu kapan datangnya dan pada siapa akan bersinggah.
Melihatku menatapnya, Dela tersenyum, “Ada apa? Ko ngeliatinnya kaya gitu, sih.”
Jujur, untuk melupakan Gina, aku perlu waktu yang lamanya mungkin tak pasti. Aku tidak bisa begitu saja pindah ke lain hati, walaupun kini tiba-tiba dirongrong rasa cinta untuk yang kesekian kali.
“Del, aku tak kuat, melepuh sendiri. Yang kubutuhkan sekarang, hanya seseorang yang mampu membangkitkan semangatku, seperti dulu. Saat semua ini tak pernah terjadi. Dan aku telah menemukannya sekarang.” kataku tanpa ragu.
“Siapa itu?” tanyanya spontan.
“Kamu.” jawabku singkat, dan jelas terlihat Dela setengah terkejut, seakan kakinya tergigit tarantula tanpa bisa.
“Aku? Gak salah?” ujarnya sambil tersenyum simpul. Aku pegang tangannya dan berucap, “Sungguh, aku serius. Maukah kamu jadi putriku yang menemaniku setiap waktu?”
Dela benar-benar membeku, bisu, dan dengan berat dia berujar, “Gak mungkin!!” Tangannya menepis tanganku. Aku terpatung, kaku.
Tapi, keyakinanku menyuruhku bersuara, ”Sungguh, aku gak bercanda, Del. Jangan pernah kamu berpikir, aku memilihmu hanya sebagai pelarianku.” Ungkapku meyakinkannya.
Bingung, gundah, resah, seakan menyeruak keluar dari ekspresi Dela, meyuruhku mengerti bahwa cinta, logika, naluri dan perasaan, tidaklah semudah ku memetik bunga seroja. Diam, hening, datar, dan sepi untuk sekejap saat, dan akhirnya kalimat yang kutunggu pun terlantur juga, “Ini terlalu cepat, Rangga.”
Aku lagi-lagi terdiam mematung. “Memang ini terlalu cepat, aku mengerti itu. Tapi, apa kamu juga mengerti aku, Del? Perasaanku datang tanpa kuduga, selayak mentari yang terbit tiba-tiba dihari pagi, dan terbenam tanpa diminta di ufuk senja.” lirihku, dalam hati.
Angin menghembuskan butir-butir hujan, menghempaskan embun-embun yang tersaring rerumputan kecil ke arahku tanpa bisa ku menghindarinya. Aku sudah terlalu beku untuk bergerak, apalagi mengelak. Waktu sepertinya tengah menertawakanku terbahak, melihatku seolah burung nuri yang tak lagi mampu bernyanyi. Ku hanya terdiam seakan suaraku telah pergi, mati.
Della bangkit dari duduknya, dan melangkah menjauhiku. Apa yang harus kuperbuat? Sel-sel dalam setiap jaringan tubuhku, seolah berlarian panik, memekik dan menjerit-jerit, “Rangga!! Apa yang kamu lakukan? Jangan diam saja, ayo kejar bidadarimu!! Jangan kau biarkan dia terbang tanpamu dihatinya!!”
Aku sadar, aku tak mau lagi kehilangan hartaku untuk yang kedua kali. Aku pun bangkit, mengejarnya, dan meraih tangannya. Dela berbalik, kami saling berhadapan, saling bertatapan. Sekaranglah saat yang tepat untukku mengutarakan semuanya.
“Della, mungkin perasaan ini terlalu cepat untuk singgah di hatiku. Tapi, percayalah. Aku tak pernah ragu akan cinta. Aku menyukaimu. Karenamu lukaku sirna, karenamu bahagiaku ada, dan selama ini aku tak sadar, jika bidadari yang kucari-cari ternyata ada didekatku. Kaulah bidadariku, dan akulah yang akan merajutkan sayap-sayap putih di punggungmu kelak, jika kau mau. Entah apa jawabanmu, yang terpenting, kamu sudah tahu bahwa inilah perasaanku sesungguhnya.”
Setelah mendengar semuanya, Dela tersenyum. Senyuman yang walaupun terbaur air hujan, tapi instingku bisa merasakannya.
“Rangga, aku percaya, cinta yang kita punya hanyalah milik Tuhan yang diberikan untuk siapa saja termasuk kita. Aku juga percaya, rasa cinta itu akan datang kapan saja, dimana saja, dan singgah dihati siapa saja, tanpa kita duga sebelumnya…”
Dela terdiam sejenak, “Aku percaya semua itu. Jadi…”
Hujan mulai menipis, gerimis. Awan kelam sudah berhijrah entah ke galaksi mana. Yang terlihat sekarang, langit biru terbentang seluas mata memandang. Pelangi tergores indah dengan tinta tujuh warna, menambah indahnya lembaran senja hari ini.
“Aku mau.” jawab Dela sembari tersenyum penuh makna.
Aku tak percaya, Dela menerimaku. Aku peluk dia erat, sungguh terasa hangat. Hatiku melonjak girang, seakan aku tengah melayang terbang menembus awan berbentuk cinta, berputar-putar mengelilingi dunia, melampaui bintang-bintang alam semesta. Begitu indah.
Aku tersenyum menatap langit. Pelangi masih melengkung memesona. Seakan menyapaku dan membisikku syahdu, “Masih ada pelangi dibalik hujan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar