Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

SALAHKAH DIA PUNYA CINTA?

“Ini tidak adil… kenapa hanya padaku? Ya Allah....”
Kulihat air mata meleleh di pipi Asna, gadis berkerudung biru berperawakan kurus kecil yang kini berada tepat di hadapanku. Pundaknya tampak ikut berguncang menahan isak tangis yang mungkin bisa meledak andai dia seorang diri berada di tengah hutan belantara. Sesekali ia menggigit bibirnya sendiri, mensiratkan bahwa ada sebuah ganjalan berat di hatinya.
Meskipun aku tidak begitu dekat dengannya, namun aku bisa mengerti apa yang saat ini tengah ia rasakan. Kudekap lembut ukhti kecilku itu, dan kurasakan isak tangisnya yang semakin tak tertahan.
”Ness... hatiku sakit sekali.” katanya sambil terisak-isak.
Asna membalas dekapanku begitu erat, hingga aku susah bernapas. Aku pahan, dia butuh tempat bersandar ketika dia kini merasa seorang diri.
”Hapus air matamu, As. Aku yakin, Kak Alif tidak pernah bermaksud menyinggung perasaanmu. Apa yang dia sampaikan merupakan sebuah nasehat untuk kita semua. Bukan sesuatu yang bertujuan untuk memojokkanmu.” kataku, berusaha meyakinkan.
”Tapi dia mengatakannya dalam forum. Andai dia ingin menasehatiku, apa tidak bisa melakukannya secara personal?”
Aku mengajak Asna singgah ke ruang UKS. Keadaan sekolah sudah tampak mulai lengang. Kebanyakan siswa, guru, dan para staf sekolah sudah pulang. Namun masih ada beberapa anak OSIS dan klub basket yang terlihat mondar-mandir dengan kesibukannya masing-masing. Sementara anak-anak Rohis langsung berhamburan pulang usai rapat yang sedikit tidak mengenakan tadi. Asna belum mau pulang. Aku pun mengikutinya bertahan.
Sebenarnya semua berjalan seperti biasa. Akan tetapi, rapat yang diadakan untuk membahas kegiatan baksi sosial itu tiba-tiba menjadi kaku ketika kak Alif-Ketua Rohis-menyampaikan suatu nasehat yang bersinggungan dengan masalah pribadi Asna.
“Sebagai anggota Rohis, sudah seharusnya kita sadar bahwa jalan yang telah kita pilih ini adalah sesuatu yang membutuhkan komitmen dan pengorbanan. Dalam ikatan Ukhuwah Islamiyah yang kita bangun bersama melalui lembaga da’wah ini, masih ingatkah kita akan tujuan kita bersama dalam forum ini? Bukankah untuk menumbuhkan suatu pergaulan sehat di SMA kita tercinta ini? Masih maukah kita menjalankan komitmen ini? Sadarkah bahwa kita adalah panutan bagi yang lain, dimana sifat dan perilaku kita sebagai aktivis da’wah selalu menjadi perhatian? Meskipun sebagai manusia kita memiliki kelemahan, tak pernah luput dari kesalahan, marilah kita senantiasa berusaha untuk senantiasa menjadi insan yang lebih baik dari hari ke hari. Ingatlah bahwa kita adalah panutan. Kalau aktivis Rohis sendiri berpacaran, apakah misi da’wah kita akan berubah haluan untuk melestarikan budaya tersebut di kalangan remaja muslim?”
Begitulah kata-kata terakhir yang disampaikan Kak Alif sebelum menutup forum. Kata-kata yang sangat menyinggung perasaan Asna. Sudah bukan rahasia lagi, di kalangan aktivis Rohis, Asna baru-baru ini menjalin kedekatan yang intensif dengan Iqbal, wakil ketua Rohis periode ini.
Sebenarnya bukan sekali ini rekan aktivis ada yang terjangkit Virus Merah Jambu (VMJ). Dalam setiap masa, ada saja aktivis Rohis yang melanggar komitmennya sendiri. Namun baru kali ini kasusnya menjadi sangat fenomenal hingga merambah dalam forum.
Asna aktif dalam Rohis di bidang syi’ar An-Nisa’. Sementara Iqbal marupakan wakil ketua Rohis. Keduanya memiliki kedudukan penting dalam organisasi. Tak heran jika Kak Alif menaruh perhatian yang lebih terhadap perkembangan hubungan mereka yang kedepannya bukan hanya akan berimbas pada kehidupan pribadi, tetapi juga terhadap organisasi dan syi’ar mereka terhadap siswa-siswa lainnya. Pada setiap kesempatan mereka gencar melakukan penyadaran, tapi mereka sendiri tak beristiqomah terhadap apa yang telah mereka sampaikan.
Aku tak memihak siapapun. Harapanku, dalam masalah ini, tak perlu saling mencari-cari kesalahan. Alangkah indahnya jika masing-masing pihak melakukan introspeksi diri. Asna dan Iqbal seharusnya memahami, bagaimana kedudukan mereka saat ini. Kedekatan mereka yang menjurus kepada pacaran merupakan suatu hal yang tidak dapat dibenarkan. Sedangkan Kak Alif, sebagai ketua Rohis seharusnya dapat lebih bijak dalam menyikapi masalah ini. Tidak seharusnya dia membahas hal yang bersifat personal dalam forum, meskipun tujuannya baik, agar semua ingat terhadap komitmen.
”As... sudah sore. Pulanglah.”
Aku terkejut, tiba-tiba Iqbal melongokkan kepalanya di pintu. Asna tetap diam tak merespon. Pandangannya kosong. Suasana menjadi kaku.
“Ness, tolong ajak Asna pulang, ya. Hati-hati di jalan.” pintanya lembut. Ah, dia memang selalu bertutur lembut.
Aku hanya membalas dengan anggukkan. Iqbal langsung pergi setelah menyampaikan permintaannya. Tapi aku yakin, dia tidak akan pulang sebelum memastikan kami berdua pulang.
“Ayo pulang, As.” Bujukku.
“Salahkah aku punya cinta?”
Satu pertanyaan itu membuatku tertegun. Aku tak kuasa menjawabnya. Cinta... satu kata yang menyimpan berjuta rasa dan makna.
”Kita pulang saja, ya.” bujukku lagi.
”Apa aku tak berhak jatuh cinta? Kenapa Kak Alif bersikap seperti ini padaku? Kenapa hanya padaku? Ya Allah... dia sadah tidak mau lagi menyapaku.”
”Mungkin seperti itulah bentuk kepeduliannya padamu dan Iqbal, As.”
Asna terus menangis. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu hingga perasaannya sedikit membaik.
***
Suasana di ruang Rohis terasa dingin. Bukan karena ada AC yang baru di pasang, tapi karena ada konflik yang disebabkan virus VMJ. Asna kini lebih memilih diam dalam forum An-Nisa’. Bahkan dia semakin jarang menghadiri forum dengan alasan banyak kesibukan di luar sekolah dan organisasi. Tak ada lagi sumbangan pemikiran yang biasanya selalu ia sampaikan dengan penuh semangat. Selama ini, dialah yang paling kritis dan buah pemikirannya selalu menarik.
Aku berharap Asna bisa segera mengambil sebuah langkah bijak. Bisakah dia melepaskan hasrat pribadinya menjadi Asna yang dulu? Sebegitu dasyatkah pengaruh virus VMJ hingga ia tak kuasa lagi mempertahankan prinsipnya?
Lagi-lagi Asna tidak menghadiri forum An-Nisa’. Usai jam pelajaran terakhir, dia memintaku untuk menyampaikan izinnya kepada Aisya, ketua forum An-Nisa’, karena siang ini dia harus mengantar ibunya ke rumah tantenya. Namun seringnya ia tidak hadir dalam forum, membuat rekan-rekan merasa ada yang tidak beres dengan perubahan sikap Asna. Aku merasa tidak nyaman setiap kali mendengar ada omongan yang tidak enak tentang asna. Adakah yang salah dengan orang yang sedang jatuh cinta?
“Ais, boleh aku berpendapat sebentar?” kata Iqbal yang tiba-tiba hadir dalam forum kami.
“Silakan.” Kata Aisya.
“Untuk seluruh akhwat An-Nisa’, terutama ukhti Aisya. Sebagai ketua forum An-Nisa’, seharusnya anti bisa mengajak rekan-rekan yang lain untuk santun dalam bergaul. Ana rasa selama ini anti seperti ingin mengarahkan An-Nisa’ menjadi sebuah geng yang sok esklusif dan sengaja membuat gap dengan orang lain. Geng yang merasa lebih baik dari yang lain, yang merasa paling esklusif! Forum An-Nisa’ dan Rohis dibentuk bukan untuk ajang pamer dan bergaya, Ukh! Tapi untuk mempererat ukhuwah islamiyah. Jadi ana mohon, akhwat fillah sekalian bisa merubah sikap. Itu saja.”
Untaian kata-kata yang Iqbal lontarkan sungguh sangat menyakiti perasaanku. Mungkin juga perasaan rekan-rekan yang lain. Aku tak percaya Iqbal mampu berkata kasar. Selama ini, dia selalu lembut dalam bertutur. Marah pun dia tak pernah meledakkan emosinya di depan umum.
Aisya menitihkan air mata. Tangisnya tak bersuara. Batinnya pasti menangis. Sebagai ketua forum An-Nisa’, dia merasa punya tanggung jawab besar terhadap anggotanya. Apalagi kritikan Iqbal langsung mengarah pada dirinya.
Aku tidak mengerti, apa yang dimaksud membuat gap dan esklusifisme itu? Bukankah selama ini kami bergaul secara wajar dengan teman-teman yang lain? Di luar Rohis kami berbaur dengan siapa saja. Kami tak pernah menutup diri dan menganggap bahwa aktivis-aktivis Rohis lebih baik dari yang lain. Apalagi Aisya, dia selalu bersikap ramah terhadap siapapun. Mungkin salah satu orang yang tak pantas memiliki musuh di SMA ini adalah Aisya. Dia sangat baik.
”Sudahlah, Ais. Tak perlu diambil hati.” Ujar Tifani.
“Astaghfirullah… apa dia tidak bisa berkaca diri atas apa yang dia lakukan saat ini? Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang samudra tampak.”
”Mungkin dia ingin semua akhwat An-Nisa’ menjadi seperti Asna.”
”Sudah, sudah... jangan ghibah di sini. Biarlah itu menjadi urusan mereka. Kita ambil saja sisi positifnya dari nasehat Iqbal. Mungkin selama ini banyak teman-teman yang menganggap kita terlalu menutup diri dan tidak mau bergaul dengan mereka. Sekarang, ayo kita lanjutkan agenda kita hari ini.” tutur Aisya bijak.
Hari-hari terus berlanjut dalam kekakuan yang senantiasa tidak membuat nyaman. Sejak kejadian itu, rekan-rekan akhwat terlihat semakin menjauhi Asna. Tapi Aisya masih tetap bersikap biasa terhadap Asna dan meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja dan tidak akan mengubah pertemanan mereka. Aku masih berharap Asna bisa kembali seperti dulu. Namun apa yang terjadi kemudian, tak seperti apa yang aku harapkan. Asna memilih untuk mengundurkan diri dari Rohis.
Pada rapat mingguan, Asna resmi mengundurkan diri dalam forum dengan alasan banyak kesibukan yang membuatnya tak bisa tetap aktif dalam Rohis. Sejak itu, dia tidak pernah lagi berkumpul bersama kami di ruang Rohis. Untuk berteman biasa di luar Rohis saja, sepertinya dia sudah tak mau dekat denganku maupun yang lain. Dia telah memilih teman-teman baru yang membuatnya merasa nyaman.
Ya Allah... begitu besarkah imbas yang harus terjadi hanya karena sebuah cinta? Hubungan aku dan Asna merenggang. Asna telah banyak berubah dalam waktu yang cukup singkat. Hal yang paling mencolok terlihat dari penampilannya. Dandanannya kini tak lagi sekedar memakai celak, tapi ditambah polesan bedak dan sesekli bibirnya dipoles warna merah. Pakaiannya semakin menegcil, menyesuaikan ukuran tubuhnya yang memang mungil. Kerudungnya kelihatan lebih ringan, tak selebar dulu. Lebih modis.
”Asna, kamu sudah sangat berubah.” kataku di suatu siang di sudut perpustakaan.
”Selama masih ada nafas kehidupan, bersiaplah menghadapi perubahan. Maafkan aku, Ness, jika kamu kurang menyukai aku yang sekarang.” jawabnya seraya berlalu pergi.
Asna... salahkah dia punya cinta?
***

1 komentar: