Namaku Anesa Az-Zahra. Setiap orang yang baru pertama kali mendengar namaku, serta melihat penampilanku, pastilah akan berpikir bahwa aku adalah seorang gadis yang berasal dari keluarga dengan didikan yang sarat dengan nuansa keislaman. Bahkan, di SMA yang baru aku tempati selama 1 bulan ini, banyak yang mengira kalau aku salah satu akhwat rohis. Banyak yang mengira aku lulusan pondok. Terkadang sampai ada yang menanyakan soal agama terhadapku. Mungkin dari penampilanku terlihat seperti orang yang paham tentang masalah agama. Padahal aku tak sesempurna yang mereka pikirkan. Tidak seperti itu.
Aku berasal dari sebuah keluarga yang sangat miskin. Untuk membayar biaya kelahiranku saja, orang tuaku tidak mampu. Untunglah ada seorang dermawan yang berbaik hati membiayai peroses kelahiranku. Dermawan itulah yang kemudian memberiku nama indah ini: Anesa Az-Zahra. Aku tidak pernah tahu, seperti apa wajah si dermawan itu. Semoga Allah membalas kebaikannya dengan kebaikkan yang lebih baik. Amin.
Sejak kecil aku hidup di pemukiman kumuh yang tak terlalu peduli terhadap urusan agama. Dalam keluargaku, shalat bukanlah hal yang diutamakan. Hal pertama yang perlu diurusi adalah persoalan makan. Shalat seperlunya, kalau merasa mau dan butuh. Bacaan ayat-ayat suci Al Qur’an hampir tak pernah terdengar sebagai penyejuk rumah. Puasa? Kami puasa kalau tidak ada makanan. Makna puasa bagi kami adalah tidak makan.
Kemudian mungkin orang akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku bisa berubah drastis? Dari seorang gadis yang setiap harinya sangat suka bersolek dan berpenampilan modis dengan rok mini kesukaannya, menjadi seorang gadis anggun yang senantiasa sejuk dipandang mata dengan kerudungnya. Aku tak bisa menjawabnya dengan pasti. Siapakah yang bisa menolak hadirnya hidayah Allah SWT dalam hati manusia pilihannya?
Setahun yang lalu, keluargaku mengalami perbaikan nasib yang cukup signifikan. Ayah mendapatkan warisan berupa tempat pemancingan dan perkebunan karet. Dengan warisan itu, ayah bisa membawa keluargaku hijrah dari pemukiman kumuh ke komplek perumahan yang cukup mewah. Namun gaya hidup yang dulu masih tetap melekat. Tak ada peningkatan dalam aktivitas peribadatan sebagai rasa syukur atas apa yang telah kami peroleh. Aku bahkan semakin suka bersolek.
Entah apa yang terjadi padaku, lambat laun aku merasa jenuh dengan kehidupan yang aku alami. Aku tidak pernah merasa bahagia meskipun segala kebutuhan kini dapat tercukupi dengan mudah. Bahkan aku merasa lebih senang dengan segala kekurangan dan rasa perih menahan lapar ketika aku hidup di pemukiman kumuh. Aku merasa ada yang kurang dalam hidupku yang sekarang.
Aku terus berpikir tentang hal itu. Hingga suatu ketika, aku menemukan jawabannya. Jawaban yang aku peroleh lewat seorang wanita anggun berbalut kerudung dan gamis warna ungu yang aku temui di bus ketika aku hendak pergi ke taman kota. Tak ada tegur sapa di antara kami. Namun, kesejukkan parasnya begitu mempesona, teduh dan mampu menentramkan hatiku. Seketika itu aku menjadi rindu terhadap Tuhan-ku.
Aku mulai melaksanakan shalat. Memulai kembali membuka lembaran-lembaran Al Qur’an usang yang tak pernah terbaca. Segalanya terasa sulit karena aku tak terbiasa melakukannya. Juga karena tak ada dukungan dari keluarga. Mereka membiarkanku sendiri melakukan semua ini. Kadang aku tak kuasa menitihkan air mata meratapi hidupku. Andaikan aku bisa memilih, dari rahim siapa aku akan terlahir, mungkin segalanya tak akan seberat sekarang. Aku membutuhkan orang yang mampu menguatkanku. Dan aku rasa, bukan keluargaku. Ini bukan berarti aku tidak menyayangi ayah ibuku. Sungguh, aku sangat menyayangi mereka. Bahkan aku berharap, kami dapat memulai segala kebaikan ini bersama-sama.
Akhirnya aku mencari sebentuk kesejukkan yang tak pernah aku dapatkan di dalam rumah. Di sekolah, aku semakin dekat dengan Syifa, salah seorang akhwat rohis di SMA lamaku. Berkat dirinya, aku semakin banyak mengerti tentang Islam. Kepadanya, kucurahkan segala keluh kesah yang sekian lama membebani pikiranku. Tutur katanya begitu santun hingga mampu merasuk ke dalam hatiku.
Dia tak pernah mengungkit kesalahan-kesalahanku yang dulu. Dukungannya senantiasa menguatkanku untuk terus memperbaiki diri. Dia tak pernah memaksaku sekiranya aku belum bisa melakukan apa yang dia sarankan. Berangsur-angsur aku mulai berubah.
Dua bulan yang lalu, aku memutuskan untuk memakai kerudung. Keluargaku sangat terkejut melihat perubahanku yang sangat drastis.
”Sejak kapan kamu ikut aliran sesat? Siapa yang mengajakmu untuk ikut-ikutan sesat?” itulah pertanyaan yang terlontar dari ayah ketika pertama kali melihatku memakai kerudung.
”Astaghfirullah, ayah. Zahra tidak ikut-ikutan organisasi teroris atau agama-agama sesat. Bukankah memakai kerudung adalah kewajiban setiap wanita muslimah?”
”Tapi tidak perlu besar-besar kerudungnya. Tidak enak, jadi omongan tetangga.”
“Aneh. Kenapa orang-orang justru mempermasalahkan penampilan yang sesuai dengan tuntunan syari’at? Sedangkan orang-orang yang penampilannya suka buka-bukaan, dibiarkan. Seharusnya tetangga lebih memperhatikan orang-orang yang tidak mau shalat dan tidak mau menjalankan perintah agama. Orang-orang seperti itulah yang sebenarnya sedang dalam kesesatan yang nyata.”
“Plak!!!”
Ayah menamparku. Itulah tamparan pertama yang aku rasakan seumur hidup. Aku mendapatkan tamparan karena berpendapat. Pipiku tak terasa sakit. Justru hatiku yang terasa remuk redam. Apakah aku salah? Padahal aku telah bertutur dengan nada yang halus. Haruskah aku diam?
Sejak saat itu, aku mulai tidak bebas pergi-pergi. Ayah melarangku berteman dengan Syifa. Satu bulan kemudian, ayah mengirimku ke luar kota. Aku di suruh sekolah di luar kota dengan alasan agar aku lebih konsentrasi belajar. Aku tahu, alasan sebenarnya bukan itu. Mungkin mereka sudah bosan setiap saat mendapat ajakan untuk shalat, shalat, dan shalat. Mungkin juga karena tidak tahan mendengar omongan tetangga tentangku. Mereka mengira aku terlibat aliran sesat.
Saat ini, di kota asing inilah aku tinggal dalam keterasingan. Segalanya terasa baru untukku. Tapi ini lebih baik bagiku. Tak ada yang tahu masa laluku. Tak ada pula yang mempergunjingkanku. Tak perlu waktu lama untuk membuatku merasa nyaman bergaul dengan teman-teman baru. Aku merasa tenteram berada di antara para akhwat rohis yang begitu ramah menerima kehadiranku. Aku senang bersama mereka.
Akan tetapi, belakangan ini muncul satu pertanyaan dalam benakku. Akankah mereka tetap menerimaku, seandainya mereka tahu, siapa sebenarnya aku? Masihkah mereka mau berteman denganku, ketika mereka tahu, seperti apa latar belakang keluargaku? Mungkin aku akan sangat malu ketika saat itu tiba. Aku malu bukan karena diriku. Aku akan malu seandainya mereka memperolok kedua orang tuaku. Memperolok keluargaku. Bagaimanapun juga, sebagai anak aku berkewajiban untuk berbakti dan menjaga nama baik kedua orang tuaku.
Apa yang paling membuatku cemas bukanlah rasa malu di dunia. Aku mencemaskan, akankah bisa aku dan keluargaku berkumpul kembali di surga? Apa yang bisa aku lakukan untuk mewujudkan mimpi itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar