Sabtu pagi yang cerah, tidak secerah hatiku. Sudah beberapa bulan ini hanya bisa mondar-mandir dirumah, tidak ada aktifitas yang dapat kulakukan. Walaupun keluar hanya melaksanakan Sholat lima waktu yang terkadang dikerjakan dirumah. Gelar sarjana yang kumiliki hanya terpajang dalam sebuah transkip nilai IPK (Indeks Prestasi Komulatif) di kamar yang berantakan, tak pernah kurapikan. Foto saat wisuda nampak tersenyum, senyuman sekaligus menertawai kepada seorang sarjana yang masih menganggur. Bukannya tidak mau bekerja, aku berusaha mencari pekerjaan, akantetapi perusahaan-perusahaan itu tidak mau menerimaku sebagai karyawan. Jadi, sehari-hari hanya didepan komputer merangkai kata bak seorang pujangga, menulis bait syair atau novel picisan yang membuat melotot anak remaja.
Pagi tadi ibu berteriak menggetarkan seluruh alam. Menulis sejuta kata dalam kekesalan. Menagih janji yang tak kunjung tiba. Pedas kata ibu mengiris hati.
“Ade…!! Empat tahun kamu kuliah, berapa juta yang kau habiskan??, Tapi kamu hanya bisa ber-tapa dikamar yang bau apek!! Sarjana macam apa kamu, hah!! Kerjanya melototi komputer setiap jam, setiap hari…, bukannya cari kerja. Bukannya cari duit. Mau jadi apa kamu nanti, hah!!”
Sakit hati ini…, rasa sakit bukan karena marah sama ibu, tapi menangis karena keadaan yang melambungkan kemiskinan dan pengangguran.
Akhirnya, sebelum Dzuhur aku mengemasi semua peralatan, memasukkan setumpuk map berisi biodata dan setumpuk lembaran cerpen plus novel yang telah rapi kususun kedalam tas yang menemani sejak kuliah dulu. Entah mau kemana, yang pasti diluar sana mudah-mudahan Allah memberikan rizkinya.
Bis Rudi dengan tujuan baranangsiang menghampiriku yang memang sedari tadi menunggu. Tidak biasanya, bis hari ini sepi dan nyaman. Aku duduk dibarisan tengah yang dua bangkunya masih kosong, sengaja aku duduk disitu karena ingin merasakan kenyamanan dan menghilangkan kepenatan di rumah. Bis melaju menyusuri jalanan yang berdebu, menyalip angkot-angkot yang tak berdaya melawan gagahnya sang bis. Diluar kulihat rumah-rumah dan toko-toko bertingkat berjejer disepanjang jalan, mengganti lahan padi menjadi bangunan yang angkuh dan sombong.
Tak lama bis kurasa berhenti, tak tahu sedang menurunkan atau menaikkan penumpang, yang jelas sedetik setelah bis melaju kembali, sesosok wanita dengan enaknya duduk disampingku, seorang wanita dengan jilbab lebar berwarna putih dengan pakaian yang berwarna biru muda. Aku tak peduli, yang ada hanya kekaguman melihat gunung salak jauh disana, terlihat samar-samar berwarna kebiru-biruan.
Sejenak aku diam. Wanita disampingku menggerakkan tangannya, nampak sebuah buku yang dikeluarkannya, kuperhatikan ternyata sebuah buku berwarna Pink.
“Pasti tentang cinta.” sedetik aku berpikir. Benar dugaanku, sebuah buku berjudul: Aku mencintaimu, Akhi!! Jadikan aku istrimu.
“Cinta lagi…, cinta lagi…, Wah!! apa dunia ini tak pernah bosan-bosannya dengan cinta? Apa Allah menciptakan manusia hanya karena cinta?” ucapku dalam hati. Membayangkan kisah cinta yang selalu menemani setiap jiwa manusia. Hmm, sebenarnya aku juga akan selalu merindukan cinta.
Aku menghempaskan pandangan, kembali kejendela menyaksikan berjuta manusia bertarung dalam riuhnya suasana, manusia yang bertarung demi sesuap nasi. Mendadak mataku terasa perih, dengan refleks membuang muka tepat kearah wanita tadi. Subhanallah, ternyata wajah wanita itu sangat cantik. Ayu manis. Matanya sayu-bening, dagunya indah, bibir tipis merah-jambu, disempurnakan dengan hidungnya yang aduhai. Hatiku berdegup kencang, meletup-letup membangunkan syaraf kedewasaaan.
Aaakhh…, wajahnya tenang penuh kesejukan. Bersih bersinar bak rembulan yang tidak malu menampakkan keindahannya.
“Kenapa aku baru melihatnya. Kenapa baru sekarang menyadari seorang bidadari duduk disampingku.” pikiran terus menyesali keterlambatanku. Semua kepenatan masalah dirumah seketika lenyap, terbius oleh sosok bidadari cantik yang duduk disampingku.
Jari-jari lentiknya membuka halaman demi halaman buku yang sedari tadi dibacanya dengan penuh takzim dan penghayatan. Aku mencintaimu, akhi!!, jadikan aku istrimu.
Tanpa sadar dia melirikku, aaakhh…, indah sekali. Bola matanya memancarkan kesholehan yang tersimpan di sela-sela warna biru. Dia tersenyum. Memamerkan bibir tipisnya yang sungguh menggoda, andai saja dia jadi istriku tak akan kulepas bibir indahnya itu. Kedua pipinya bersih, lesung pipit semakin menggoda para lelaki yang sedang dirundung kesepian. Aaakhh…, jiwaku bergetar. Tak kuasa terus menatap wajahnya yang terlukis indah. Aku palingkan muka, kembali menatap keluar, namun wajah wanita itu masih berkelebatan. Aaakhh…, andai saja wanita ini menjadi istriku tak akan henti kucumbu-bermesra dengannya. Aku tetap menatap keluar sana, membayangkan indahnya bersama permaisuri cantik, bermimpi dalam indahnya sang bidadari.
***
Sesaat kemudian wanita itu menyapa. Tadinya aku tidak percaya, apa urusan dia denganku?
“Assalamu’alaikum. Mas…?” suaranya begitu merdu, merembes keseluruh kujur tubuh. Membasahi jiwa yang kering.
“Wa’alaikum salam. Ada yang bisa saya bantu mbak’??” akhirnya aku menjawab dengan tak kalah sopannya. Duh… mawar mewangi….! Betapa cantik wanita ini, senyumnya menebar aroma kesturi yang merangsang keorgan yang paling dalam. Saking terlenanya, aku tak kuasa menahan pandangan. Menyusuri semua bagian wajahnya yang ayu.
“Maaf mas, Masjid raya masih jauh ya??” tanya dia. Masih jelas menatapku dengan kebeningan matanya semakin menggoda khayalku.
“Masjid raya? Owh…, dekat. Sebentar lagi, kebetulan saya juga mau mampir dulu, hendak sholat Dzuhur. Nanti kita bareng saja turunnya.” dengan semangat kujawab tutur halusnya.
Dia diam, membuka lembaran baru buku yang dibacanya. “Ini kesempatan emas, harus kugunakan untuk berkenalan.” pikirku, sekilat merangkai kata yang tepat untuk mengatakan satu pertanyaan saja.
“Maaf, mba dari mana asalnya?” sangat hati-hati kuucap.
“Saya dari Bandung.”
“Bandung??”
“Iya!”
“Jadi, bisa sunda.”
“Tiasa (Baca:Bisa). Mas, asli bogor??”
“Iya.”
“Kalau begitu panggil saja saya teteh, teh Indah Nurhikmah.” Amboii…! namanya Indah, seperti orangnya penuh keindahan.
“Saya Ade. Ade kelana. Panggil aja Aa Ade.”
“Masih kuliah? Atau sudah kerja?” tanyaku memperpanjang pembicaraan.
“Masih. Sedang nyusun skripsi.” singkatnya. Lalu kami terdiam, dia meneruskan membacanya, sedangkan aku tak puas-puasnya mengamati keelokannya.
“Sudah bersuami??” tanyaku memecahkan kesunyian, pertanyaan yang meluncur tanpa di olah dalam sel otakku. Raut mukanya tampak terkejut, namun masih terlihat cantik.
“Oh…, belum. Masih menunggu pinangan seorang laki-laki.” jawabnya polos.
Aku diam, sejuta asa menyelimuti jiwa, perasaan mengharu biru. Entah datangnya darimana, keberadaan dirinya terasa sangat menentramkan, sepanjang jalan tak hentinya aku bertanya dan bercerita. Walaupun dia tak berani menatapku. Namun, sesekali aku curi sorot matanya yang indah.
Sekejap masjid raya terlihat. Aku bangkit. Kubisikan ketelinga Indah, bahwa masjid sudah dekat. Diapun mengangguk pelan… sambil berjalan kepintu mengikutiku yang sudah terlebih dahulu. Tiga puluh meter dari masjid bis berhenti, aku turun melangkah keluar, Indah satu per satu menuruni tangga bis. Aku berdiri dengan gagahnya menjaga kalau-kalau bidadari ini jatuh, sayang kalau kulitnya yang mulus tergores aspal jalanan.
Sepuluh meter sampai di masjid. Tak henti aku menoleh kebelakang, Indah mengikuti dengan-cukup jaga jarak. Aku jadi gemes, kenapa sih tidak jalan disampingku saja, kan lebih romantis sambil mengecup harumnya mawar yang merekah. Dia memang sholehah, tidak mau berjalan berdua dengan lelaki bukan muhrim. Pantas saja jilbabnya begitu lebar, menutupi keanggunannya. Beberapa langkah masuk masjid, sengaja aku berhenti. Indah terkejut, sekarang sudah tepat disampingku, nyaris menubruk. Dia tersenyum, masih cantik.
“Lhoo.., kok berhenti A??” tanya lembutnya.
“Sampai lupa, boleh Aa minta nomor Ha-Penya??” balasaku, dia mengerti. Lalu diberinya nomor Ha-Pe, lengkap dengan alamat rumah, jln. Dewi pesona indah, Bandung.
“Ngapain pake alamat rumah segala sih?” bisikku dalam hati.
Seminggu sudah melewati waktu, berlari dalam seribu tanda tanya. Berkali-kali kucoba menghubunginya lewat HP, tapi nomornya tidak aktif. Aaakhh…, mungkin yang diberikannya bukan nomornya yang asli. Siapa juga yang akan memberikan nomor HP kesembarang orang yang tak dikenalnya.
Sejak pertemuan di bis itu jiwaku seakan merasa ada sesuatu yang hilang, tumbuh asmara yang tiada henti melayang. Wajahnya yang cantik tak mampu kulupakan, keelokan-kejelitaan-wajahnya membasahi seluruh jiwa. Membenamkan asa yang begitu kuat menghujami diri.
Disetiap malam aku merintih, meneteskan air mata menengadahkan kedua tangan, berdoa. Bersujud dalam kebimbangan jiwa, terhempas dalam titian rindu yang merana. Hati yang sudah teramat jatuh keseorang wanita, tak akan mudah ditelan waktu, ia selalu hadir meski hanya dalam bayang-bayang. Apa dia akan kembali padaku?, apa aku dapat bertemu kembali dengannya? Apa dia benar-benar nyata? Seribu tanya menyelimuti hati.
Dihari yang berbeda, hari kebahagiaan sahabatku. Kebahagiaan yang diimpikan oleh setiap orang, juga impian aku yang semakin ditinggalkan oleh sahabat-sahabat seperjuanganku. Sahabatku hari ini menikah. Ya, menikah. Dengan seorang gadis yang telah dipinangnya setahun yang lalu. aku belum pernah melihatnya, jangankan aku, sahabatku saja baru dua kali melihatnya, ketiga kalinya langsung aqad nikah.
“Hmmm, aku baru bertemu sekali, jadi yang ketiganya adalah proses meminang.” pikirku dalam hati, membuat gumpalan hasrat yang suci. Kesucian dalam melangsungkan pernikahan. Tercipta dikhayal sosok wanita bernama Indah.
Usiaku memang sudah cukup. Terlebih melihat teman-teman yang sebagian besar sudah menikah, aku selalu saja diprovokasi agar menyusul. Aaakhh…, mereka seakan menyuruhku untuk cepat-cepat menikah. Betapa tidak, setiap berkunjung kerumah. Mereka selalu berpasangan, berduaan, berjalan berdua, merasakan indahnya malam pertama, tak jarang mereka didepanku menciumi istrinya, mengecup keningnya, meremas jarinya. Aaakhhhh… Aku iri!! Aku juga ingin cepat menikah, aku ingin merasakan nikmatnya memadu kasih. Tapi, semua tahu bahwa keluargaku saja belum mengizinkanku menikah, dengan alasan belum dapat kerja atau usia masih kecil. Padahal, dari usia aku sudah cukup.
Dikeramaian walimahan seorang sahabat, suasana begitu romantis, beberapa sahabat yang datang menyalami. Mereka memboyong istri-istri mereka, masih membelai mesra.
Disudut depan, seorang wanita yang tak pernah kulupakan duduk dengan manisnya, dekat pengntin wanita. Dengan senyuman yang mempesona indah. Disana Indah, yang selama ini aku cari menampakkan diri saat resepsi pernikahan sahabtku. Aaakhh…, jodoh memang tidak kemana. Saat yang tepat, tak boleh aku sia-sia kan. Secepat kilat aku mendekatinya, sedetik kemudian sudah disampingnya. Dia nampak terkejut, namun masih terlihat cantik.
“A…, Ade?”
“Indah?”
Sejenak kami terdiam, sorot matanya penuh kebahagiaan. Pengantin wanita membuyarkan lamunan kami.
“Rupanya kalian sudah saling kenal?, Indah kamu sudah mengenal Ade, sahabat suamiku, kini. Ade, kamu mengenal Indah, dia sahabatku.”
Selanjutnya, kami membahagiakan pengantin, saling bercerita dengan indah, tentang sahabatku Dodi yang saat ini sedang bermesraan dengan istrinya yang syah, Indah menceritakan persahabatannya dengan Istri Dodi. Dengan diselingi tawa renyah dari kami. Menyegarkan suasana walimahan.
“Kamu tidak memakai nomor ha-pe dulu lagi ya?, pernah (padahal beberapa kali) aku hubungi kamu, kok gak nyambung sih?” seketika ucapku.
“Ooooh! Maaf, waktu shalat dzuhur itu ha-peku terjatuh dan semua isinya berantakan termasuk pin-kartu yang kupakai, dan sampai sekarang tidak ketemu.” jelasnya. Sejuta hati yang gundah, seribu kekecewaan dan prasangka gak baik seketika lenyap ditelan waktu yang terus berlari.
Jam terus berputar, ibu pasti marah besar jika sudah siang aku belum pulang mengembalikan baju batik yang kupinjam ketetangga sebelah.
“Wah, maaf ya. Aku harus pulang, sudah siang nih.” ucapku, segurat kekecewaan terlintas di wajah Indah.
“Saya juga harus pulang.” singkatnya.
Akhirnya, aku dan dia pulang bersamaan. Diperjalanan kami brcerita tentang masa depan. Tentang indahnya berkeluarga. Tentang Sakinah, Mawaddah Wa rahmah.
Sebelum brpisah…
“Indah….,” sapaku pelan, dengan nada bergetar terbata-bata.
“Kenapa, A?” balasnya lembut.
“Hmmm, sudah ada niat untuk me…ni..kah?” dengan harapan yang teramat agung.
“Sudah ada..,”jawabnya pelan.
“Apa??!!” aku terkejut.
“Sudah ada niat, tapi belum ada laki-laki yang berani menyatakan: Cinta.” balasnya dengan mata berbinar-binar penuh harapan. Meredakan kegalauan yang nyaris membuat patah hati.
Jiwa pemudaku muncul. Kegagahan yang telah lama terpatri seketika meledak. Keyakinan dan keinginan selam ini terpendam membuncah, membanjiri rona alam yang mempesona. Melahirkan kekuatan dan keberanian yang semakin kuat, terbang melayang keseluruh arah.
“Maukah Dinda menjadi istriku??”
Sebuah pengakuan yang terdalam dari isi hatiku. Wajahnya merona merah. Keayuannya memancarkan butir-butir kebahagiaan. Nampak keindahan syurgawi yang selama ini terpelihara dalam diri. Dia tertunduk malu. Jari-jemarinya tak bisa diam. Gemuruh didadanya terdengar menyentuh gemuruhnya hatiku. Sebuah penyatuan jiwa yang selama ini mendamba hadirnya cinta.
“A…, Insyaallah…, Indah siap. Indah bersedia.”
masih tertunduk, bibirnya menyusun kata-kata yang selama ini kuharapkan. Jilbabnya yang melambai-lambai terbawa angin yang seakan menjadi saksi bisu cinta kami berdua.
Tentu saja setelah hari yang teramat bahagia itu, kuungkapkan kepada ibu, memohon doa restu, dengan merayu penuh cinta mengucap keinginan menikahi seorang bidadari. Aaakhh…, alam tidak selalu cerah, ibu menolak dengan tegas.
“Mau kawin? mau pake apa? Pake uang kertas!! Semuanya sekarang harus pakai uang, kerja belum… minta kawin!! Kamu bukan di zaman nabi lagi, yang hanya dengan mengucap basmallah kamu bisa kawin, hanya dengan sepeser kamu bisa kawin!!” kata-kata ibu menusuk ulu hatiku, semua memang salahku sendiri. Kenapa sampai detik ini belum kerja, kenapa tidak mencari uang, mencari penghasilan. Kalau saja waktu kuliah aku mengikuti saran Farhan membuka kios, tentu saja saat ini beberapa lembar uang unuk menikah dapat terkumpul.
Aku menangis, lelehan air mata membasahi pipiku. Menyiksa batin yang selama ini aku hiasi dengan cinta.
“Maafkan aa, dinda. Aa belum bisa menikahimu!!”
Dua minggu sudah harapan itu berlalu, perlahan redup. Indah yang menunggu tak sabar memintaku menemui orangtuanya, sebagai komitmen cinta dan kata kalbuku. Aku tak sanggup menahan sesaknya dada ini. Hanya dimalam yang hening kubersujud padaNya, memohon kemurahanNya, meminta belas kasihNya. Mengharapkan kasih sayangNya.
Jumat pagi, ponselku berbunyi. Sajadah yang basah oleh air mata kulipat dengan khidmat. Kuterima suara diujung ha-pe. Suara lelaki berucap.
“Selamat…!!, sekali lagi selamat! Bapak Ade kelana menjadi pemenang dalam lomba penulisan karya ilmiah, sebagai juara pertama. Mendapat uang tunai sebesar 20 Juta. Benar 20 juta! Besok silahkan ambil langsung di panitia.”
Bagai bumi yang kering setahun mendadak tersiram air hujan. Aku bahagia sekali. Mulutku tak bisa berucap. Sekejap terpaku dalam hening. Lalu sederet takbir menggema, takbir memekikan kemenangan. Takbir akan kekuasaan sang ilahi. Memang tiga bulan yang lalu aku mengirim sebuah karya ilmiah, dan aku sendiri lupa bahwa pengumumannya kemarin.
Hari ini, dengan gagah dan rapi bergegas mendatangi panitia lomba. Dengan wajah yang ceria dan tubuh yang sehat. Tidak biasanya, pagi tadi ibu menyiapkan sarapan yang enak, membuat selera makanku bangkit. Dua piring habis kulahap. Ibu dengan wajah berbinar-binar, ikut senang anaknya dapat uang banyak, tentu saja beberapa lembar akan jatuh ketangan kasarnya.
Ditempat panitia lomba aku langusng menagih hadiahku, gepokan uang seratus ribuan berderet dihadapanku. Dengan teliti kuhitung perlembarnya, sudah cukup. Sejurus pulang kerumah dengan wajah berseri-seri.
Sejak itu semuanya lancar. Orangtua indah mengizinkan kami menikah. Indah tersenyum, malu-malu. Ia masuk ke kamarnya. Aku hanya melihatnya berjalan seperti bidadari yang hendak dikecup.
“Sebulan lagi aku akan di kamar itu, bersamamu.” gumamku dalam hati.
Sebulan waktu yang pendek, persiapan diatur sedemikian rupa. Keluara Indah yang memiliki perusahaan dua, hendak menyenangkan hati putri satu-satunya. Jadi, gelar S1 cukup bisa memegang sebuah perusahaan yang dihadiahkan oleh ibu mertua untuk kami, kelak.
Hari yang cerah, disebuah rumah yang megah. Bersama dua keluarga besar, berkumpul menyaksikan sebuah sejarah baru dari dua insan yang hendak memadu kasih. Sebuah aqad nikah yang sakral, dan hanya sekali.
Indah sudah merelakan untuk menjadi teman hidupku, maka sesaat lagi jalinan perasaan itu akan sah. Sesaat lagi, apa-apa yang haram bagi kami telah menjadi halal atas karunia Allah. Sesaat lagi, seorang jejaka akan memberikan kelembutan sikap kepada wanita, bernama Indah yang beberapa waktu lalu aku pinang. Inilah akad nikah. Inilah akad yang menjadikan halal apa-apa yang sebelumnya haram, dan membuat berpahala apa-apa yang sebelumnya merupakan dosa.
Aqad nikah diakhiri dengan takbir para undangan. Menyambut kami yang sudah Syah. Sebagai suami-istri. Indah resmi menjadi isriku, aku menjadi suaminya.
“Alhamdulillah, aku jadi nikah juga.” bisikku pada seorang sahabat yang datang dengan istrinya.
Mulai hari ini, dia akan kujaga, tak akan kubiarkan air matanya menetes karena kesombonganku. Dia akan kubahagiakan, ku jadikan bidadari dalam rumahku. Aku akan menjadi suami yang berada didepannya dalam keadaan sesulit apapun. Semua kesedihan, sakit, dan kegalauannya adalah milikku juga.
Kupegang tangan istriku yang cantik. Kuremas jari-jarinya yang lembut. Ia tertunduk malu. Kuangkat dagunya yang indah. Nampak tetesan air mata kebahagiaan. Aaakhh…., Aku terbang keawan yang biru, indah. Indah sekali. Dengan sejuta asa dalam hati. Dengan seribu urat syaraf yang berlarian. Diiringi detak jantung yang saling berkejaran. Aku dekatkan bibirku pada keningnya. Ah, kecupan pertama yang indah. Hangat. Meresap dalam rongga dada. Ia membuka matanya yang sayu-putih. Aku tersenyum, Indah membalas senyumku, senyuman termanis sejak ia jadi istriku.
Aqad telah berakhir, suasana ramai menyertai kebahagiaan kami, semua karib kerabat mengucapkan selamat, menyalami dengan hangat.
Malam cepat berkunjung. Burung-burung telah terbang kembali kesarangnya. Suasana diluar cerah. Para tamu berangsur meninggalkan malam yang hening. Setelah semua sepi, Indah meninggalkanku pergi berwudhu, sedetik kulihat ia berjalan kekamar, kulihat senyumnya menggoda hatiku, ia menganggukan kepala. Akupun mengambil wudhu, mengikutinya memasuki kamar. Kami melaksanakan sholat Isya bersama. Rasa cinta menghadirkan kerinduan-kerinduan halus. Walau dihiasi salah tingkah dan malu-malu. Dua rakaat sunnah kami laksanakan.
Selepas sholat dia mencium tanganku penuh kelembutan, meminta doa akan kesejahteraan dan kedamaian dalam keluarga. Segelas air susu tersedia sedari tadi, aku meminumnya dia pun menghabiskan setengah gelas yang masih tersisa.
Aku duduk di tempat tidur yang bertaburan bunga. Wangi semerbak menggoda gairah pengantin baru. Indah duduk disampingku. Perlahan melepaskan jilbabnya. Subhanallah, rambutnya halus terurai. Wajahnya nampak indah dengan rambut halusnya terurai. Kini telah hadir sosok bidadari dihadapanku. Kembali kuremas jari jemarinya yang lembut. Kutatap bola matanya, dan kukecup keningnya. Ah, masih hangat. Tanganku memegang pipinya yang ayu. Ia tertunduk malu. Kugoda dengan kata-kata manis yang membuatnya semangat. Setelah itu kami terdiam, diam seribu kata. Kuangakat dagunya, dia tersenyum. Kupandangi bibir tipisnya yang merah-jingga. Kudekatkan bibirku ke bibirnya. Namun, seketika telunjuknya menghentikan bibirku, menempel sebuah telunjuk yang halus. Kedua tangannya memegang pundakku, meremas-remasnya. Aku tetap menatapnya. Membiarkan dirinya merasakan apa yang diinginkan. Aku mengikhlaskan diri, membiarkan istriku yang sedang merasakan kebahagiaan denganku. Dia menggoyangkan bahuku, pelan… pelan.. pelan.
Namun semakin lama semakin kuat.. semakin keras… Ia goyangkan tubuhku dengan kerasnya. Terus… terus.. terus… aku hampir jatuh. Ia seakan tertawa, melihatku yang sedikit ketakutan. Ia memukul dadaku. Menggoyangkan tubuhku, kali ini lebih keras lagi. Dorongannya semakin kuat. Aku terkejut!! Ia dorong lagi. sampai terjatuh. Aku terjatuh, keras sekali.
“Uuhkhhh… Sakit!!”
“Mas… bangun mas… sudah sampai terminal Baranangsiang!!” kulihat seorang bapak berkumis berdiri dihadapanku, bangku-bangku bis nampak berjejer. Kulihat sekeliling sudah sepi. Wanita yang disamping pun lenyap.
“Aaaaaaaakhh…, ternyata semua ini hanya mimpi.”
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar