Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

Proposal PTK Matematika SD 1




PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS


PENINGKATAN MINAT BELAJAR MATEMATIKA
PADA SISWA KELAS VI SDN 1 WANOGARA WETAN  
MELALUI PENDEKATAN KOOPERATIF
TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENTS (TGT)


Disusun Oleh :
Maoidatul Dwi Kurniati
NIM 1402408303






PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011


PROPOSAL / USULAN PTK

A.     Judul
Peningkatan Minat Belajar Matematika  Pada Siswa Kelas VI SDN 1 Wanogara Wetan  Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournaments (TGT)
B.     Bidang Kajian
Motivasi Belajar
C.     Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern. Matematika mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya fikir manusia. Perkembangan pesat dibidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini  tidak terlepas dari hasil perkembangan matematika. Untuk  menguasai dan mengembangkan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (Permendiknas No.11 Tahun 2009: 337 ).
Untuk menciptakan sebuah pembelajaran matematika yang menarik, maka pembelajaran matematika hendaknya disesuaikan dengan perkembangan anak SD. Hal ini diungkapkan ahli pendidikan matematika Dr. H. Djaali dari IKIP Jakarta (Kompas, 6 Mei 1999), bahwa pembelajaran matematika di SD harus disesuaikan dengan perkembangan kesiapan intelektual anak. Juga perlu kesesuaian antara banyaknya materi yang ada dalam kurikulum dengan alokasi waktu yang tersedia dan disesuaikan dengan perkembangan intelektual atau struktur kognitif dan pengalaman belajar yang telah diperoleh anak, sehingga anak termotivasi untuk belajar dengan mengaitkan pengalaman belajar yang telah ada dengan materi yang akan dipelajari.
Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut masih ditemui banyak hambatan. Masalah pokok berkaitan dengan pendidikan yang banyak disoroti adalah soal rendahnya mutu pendidikan. Salah satu indikator rendahnya mutu pendidikan ditunjukkan oleh rendahnya hasil belajar siswa di sekolah. Pada konteks pelajaran Matematika khususnya di Sekolah Dasar (SD) rendahnya hasil belajar tidak hanya pada aspek kemampuan untuk mengerti matematika sebagai pengetahuan, tetapi juga aspek rendahnya sikap terhadap matematika. Pada aspek sikap siswa, selama ini banyak siswa yang menganggap pelajaran Matematika sebagai mata pelajaran yang menakutkan. Hal ini berkaitan dengan penyajian pembelajaran matematika dengan cara yang monoton, sehingga siswa kurang berminat terhadap pelajaran matematika yang mengakibatkan hasil belajarnya rendah.
Selama ini, banyak yang mengklaim akibat minimnya kesejahteraan, menyebabkan guru tidak bisa mengembangkan diri sehingga tidak kreatif. Masih banyak guru yang mengajar tidak menarik (hanya teacher telling). Guru aktif mentransfer pengetahuan dan siswa hanya menerima secara pasif. Selain itu padatnya kurikulum juga menyebabkan guru sulit mencoba berbagai variasi metode pembelajaran sehingga terkesan membosankan di depan siswa. Hal ini akan menyebabkan siswa kurang antusias dalam mengikuti pelajaran matematika atau bahkan tidak menyenangi mata pelajaran tersebut.
(http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=524.0, diunduh tanggal 25 Mei 2011, pukul 13.00 WIB).
Kondisi ini juga merupakan fenomena yang terjadi di SDN 1 Wanogara Wetan. Berdasarkan refleksi awal dengan tim kolaborasi yang dilakukan pada bulan Oktober 2010 dan observasi pada bulan November 2010 bahwa dalam proses pembelajaran Matematika, sebagian besar siswa kurang antusias terhadap mata pelajaran tersebut, terlihat dari partisipasi siswa yang masih sangat rendah di dalam pembelajaran. Apabila ditanya apakah sudah paham mengenai suatu topik, siswa hanya diam, tidak mau menjawab sudah paham atau belum paham. Rendahnya motivasi terhadap mata pelajaran Matematika berpengaruh pula terhadap hasil belajar siswa dalam mata pelajaran tersebut.
Hal tersebut didukung data dari pencapaian hasil evaluasi mata pelajaran matematika pada siswa kelas VI mid semester I tahun pelajaran 2010/2011 masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 65. Data hasil belajar ditunjukkan dengan nilai terendah 35 dan nilai tertinggi 85, dengan rerata kelas 60,97. Ada 22 dari 30 siswa yang mengalami ketidaktuntasan belajar. Dengan melihat data hasil belajar dan pelaksanakan mata pelajaran tersebut perlu sekali menciptakan proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan antusiasme belajar siswa terhadap mata pelajaran Matematika, sehingga hasil belajar siswa meningkat.
Berdasarkan diskusi tim peneliti dengan guru kelas VI,  untuk memecahkan masalah pembelajaran tersebut, tim kolaborasi menetapkan alternatif tindakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, yang dapat  mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran, menumbuhkan minat belajar siswa, meningkatkan hasil belajar siswa dan meningkatkan kreativitas guru. Oleh karena itu, peneliti menggunakan salah satu model pembelajaran inovatif yaitu pendekatan kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT).
Pendekatan kooperatif tipe TGT adalah salah satu tipe pendekatan kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Seperti halnya dengan Student Teams Achievement Divisions (STAD), TGT juga membagi siswa dalam tim belajar yang beranggotakan 4 orang yang merupakan campuran menurut tingkat kinerja, jenis kelamin, dan suku. Dalam metode Teams Games Tournaments (TGT), siswa memainkan permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka (Slavin: 1994).
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran Matematika, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa serta kreativitas guru dalam mendesain pembelajaran yang menyenangkan. Hal tersebut mengacu pada tingkat perkembangan anak usia SD yang masih suka bermain dan berkelompok.
Dari ulasan latar belakang tersebut di atas maka peneliti akan mengkaji melalui penelitian tindakan kelas dengan judul “Peningkatan Motivasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas VI SDN 1 Wanogara Wetan  Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournaments (TGT)”.

2.      Perumusan Masalah dan Pemecahan masalah
a.       Rumusan masalah
Berdasar latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah cara meningkatkan minat belajar siswa kelas VI SDN 1 Wanogara Wetan terhadap pelajaran Matematika?
Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut ini:
1)      Apakah pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VI SDN 1 Wanogara Wetan dalam mata pelajaran Matematika?
2)      Apakah pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament dapat meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran Matematika di SDN 1 Wanogara Wetan?
3)      Apakah pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament  dapat meningkatkan antusiasme belajar siswa kelas VI SDN 1 Wanogara Wetan terhadap mata pelajaran Matematika?
4)      Apakah pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament  dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI SDN 1 Wanogara Wetan dalam mata pelajaran Matematika?

b.      Pemecahan masalah
Langkah-langkah pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament adalah sebagai berikut:
1)      Mengajar (teach): Mempersentasekan atau menyajikan materi, menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan motivasi.
2)      Belajar Kelompok (teamstudy): Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 sampai 6 orang dengan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras/ suku yang berbeda. Setelah guru menginformasikan materi, dan tujuan pembelajaran, kelompok berdiskusi dengen menggunakan LKS. Dalam kelompok terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama, saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok yang salah dalam menjawab.
3)      Permainan (gametournament): Permainan diikuti oleh anggota kelompok dari masing – masing kelompok yang berbeda. Tujuan dari permainan ini adalah untuk mengetahui apakah semua anggota kelompok telah menguasai materi, dimana pertanyaan – pertanyaan yang diberikan berhubungan dengan materi yang telah didiskusikan dalam kegiatan kelompok.
4)      Penghargaan terhadap kelompok (team recognition): Pemberian   penghargaan (rewards) berdasarkan pada rerata poin yang diperoleh oleh kelompok dari permainan. Lembar penghargaan dicetak dalam kertas HVS, dimana penghargaan ini akan diberikan kepada tim yang memenuhi kategori rerata poin sebagai berikut.

3.      Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah :
Untuk meningkatkan minat belajar siswa kelas VI SDN 1 Wanogara Wetan terhadap pelajaran Matematika.

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :
a.       Mendeskripsikan peningkatan aktivitas belajar siswa dalam pelajaran Matematika dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT).
b.      Mendeskripsikan peningkatan keterampilan guru dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT).
c.       Mendeskripsikan peningkatan antusiasme belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT).
d.      Meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran Matematika dengan pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT).

4.      Manfaat Penelitian     
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bagi dunia pendidikan di Indonesia khususnya. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi :
a.       Siswa
1)      Menumbuhkan minat belajar siswa pada pembelajaran Matematika, sehingga Matematika menjadi mata pelajaran yang menarik bagi siswa.
2)      Meningkatkan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran.
3)      Menumbuhkan rasa solidaritas dan semangat bekerjasama di antara siswa.
4)      Meningkatkan hasil belajar siswa dalam pelajaran Matematika.
b.      Guru
1)      Dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengevaluasi terhadap pembelajaran yang sudah berlangsung.
2)      Mengembangkan kurikulum di tingkat kelas, serta untuk mengembangkan dan melakukan inovasi pembelajaran.
3)      Membantu guru untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran.
4)      Membuat guru lebih kreatif dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
c.       Sekolah
1)      Digunakan sebagai pertimbangan dalam memotivasi guru untuk melaksanakan proses pembelajaran yang mampu meningkatkan motivasi belajar siswa dengan menerapkan pendekatan kooperatif tipe Team Games Tournament.
2)      Menumbuhkan kerja sama antar guru yang berdampak positif pada kualitas pembelajaran di sekolah. 
A.     Kajian Pustaka
  1. Kajian teori
a.      Pengertian Minat Belajar
Minat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap suatu gairah keinginan. sedangkan menurut Crow dan Crow, minat sangat erat hubungannya dengan dorongan, motif, dan reaksi emosi (Sri Rukmini, 1998: 118).
Cony Semiawan mengatakan bahwa minat (interest) adalah keadaan mental yang menghasilkan respon terarah kepada sesuatu, situasi atau obyek tertentu yang menyenangkan dan memberikan kepuasan kepadanya (statisfiers). Demikian juga minat dapat menimbulkan sikap yang merupakan suatu kesiapan berbuat bila ada stimulasi sesuai dengan keadaan tersebut.
Slameto, (2003:180) menyatakan bahwa minat adalah satu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan suatu hubungan antara diri sendiri dan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.
Sedangkan pengertian tentang belajar banyak dikemukakan oleh ahli psikologi seperti Leflon. Leflon (1991) menyatakan bahwa learning as a relatively permanent change in the organism that occurs as a result of experience, this change is often seen in overt or observed behavior, but not always. Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa belajar adalah terjadinya perubahan perilaku dalam diri organisme yang bersifat relatif permanen sebagai hasil dari pengalaman.
Pengertian tersebut didukung oleh Gage (1984), yang menyatakan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. (Sri Rukmini, 1998: 156).
Jadi, yang dimaksud dari minat belajar adalah aspek psikologi seseorang yang menampakkan diri dalam beberapa gejala, seperti : gairah, keinginan, perasaan suka untuk melakukan proses perubahan tingkah laku melalui berbagai kegiatan yang meliputi mencari pengetahuan dan pengalaman, dengan kata lain, minat belajar itu adalah perhatian, rasa suka, ketertarikan seseorang (siswa) terhadap belajar yang ditunjukkan melalui keantusiasan, partisipasi dan keaktifan dalam belajar.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa minat belajar adalah rasa suka atau ketertarikan peserta didik terhadap pelajaran sehingga mendorong peserta didik untuk menguasai pengetahuan dan pengalaman, hal tersebut dapat ditunjukkan melalui partisipasi dan keaktifan dalam mencari pengetahuan dan pengalaman tersebut.

b.      Pentingnya Minat Belajar
Zakiah Darajat, (2001:57) mengatakan bahwa titik permulaan dalam mengajar yang berhasil adalah membangkitkan minat belajar anak didik karena rangsangan. Rangsangan tersebut, membawa kepada senangnya anak didik terhadap pelajaran dan membangkitkan semangat belajar mereka.
Selain itu, guru harus mampu memelihara minat belajar siswa dalam belajar, yaitu dengan memberikan kebebasan tertentu untuk pindah dari satu aspek ke lain aspek pelajaran dalam situasi belajar (Slameto, 2003:176).
Berbicara mengenai faktor yang mempengaruhi minat belajar siswa, dapat ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi minat siswa itu sendiri. Namun pada dasarnya faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam faktor intern (dalam diri) siswa yang belajar. Faktor ekstern (dari luar diri) siswa yang belajar dan faktor teknik atau pendekatan belajar.
Minat mengandung unsur-unsur kognisi (mengenal), emosi (perasaan), dan konasi (kehendak). Atas dasar tersebut minat dianggap sebagai respon yang sadar dari diri individu. Yang dimaksud kognisi adalah minat tersebut didahului oleh pengetahuan dan informasi mengenai obyek yang dituju, kemudian menimbulkan emosi (perasaan) tertentu, dan akan menuju pada konasi (kehendak) untuk mencapainya, seperti adanya keinginan dan kemauan dari diri individu tersebut.
Minat memiliki manfaat sebagai pendorong yang kuat dalam mencapai prestasi. Dengan memiliki minat belajar, peserta didik lebih memperkuat ingatan tentang pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Dengan ingatan yang kuat, peserta didik berhasil memahami materi pelajaran yang diberikan oleh pendidik. Sehingga, tidak sulit bagi peserta didik dalam mengerjakan soal atau pertanyaan dari peserta didik. Hal tersebut menghasilkan nilai yang bagus dan meningkatkan prestasi peserta didik.
Selain itu, Minat belajar menciptakan dan menimbulkan konsentrasi dalam belajar. Peserta didik akan memiliki konsentrasi yang baik apabila dalam dirinya terdapat minat untuk mempelajari hal yang ingin mereka ketahui. Konsentrasi yang terbentuk inilah, yang mempermudah peserta didik memahami materi yang dipelajari.
Seperti yang dijelaskan diatas, minat merupakan pendorong bagi peserta didik dalam belajar. Dengan minat tersebut, belajar bukan lagi sebagai beban bagi peserta didik. Belajar menjadi hal yang menggembirakan bahkan peserta didik dapat belajar dengan perasaan senang karena mengetahui hal-hal yang baru. Dengan kata lain, memperkecil kebosanan peserta didik terhadap pelajaran. Hal ini, menunjukkan bahwa minat sangat erat hubungannya dengan belajar.
(http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=524.0, diunduh tanggal 23 April 2011, pukul 13.00 WIB)

Persoalannya saat ini adalah minat peserta didik yang berbeda atau bahkan tidak adanya minat pada diri peserta didik. Minat tersebut ada yang berasal dari diri peserta didik yang disebut bakat. Tapi, ada kalanya minat tersebut perlu mendapatkan pengaruh dari lingkungan. Minat dari lingkungan tersebut, karena adanya pengaruh dari guru yang menggunakan variasi gaya belajar.
Pendidik harus memiliki perhatian khusus terhadap peserta didiknya, sehingga pendidik dapat mengetahui peserta didik yang memiliki minat dalam belajar dan peserta didik yang harus dibantu dalam menciptakan minat belajar tersebut. Guru dapat memperhatikan hal-hal kecil yang menunjukkan bahwa peserta didik memiliki minat yang cukup terhadap pelajaran, antara lain adalah sebagai berikut.
1.      Melalui pekerjaan rumah
Secara sekilas, pendidik dapat menilai minat peserta didik melalui pekerjaan rumah. Peserta didik yang memiliki minat terhadap pelajaran tersebut, akan mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan kepadanya dengan baik.
2.      Diskusi
Diskusi yang diciptakan dalam ruang kelas dengan teman sebaya, dapat memberi petunjuk mengenai minat mereka dan seberapa kuat minat tersebut. Jadi, dalam berdiskusi peserta didik tersebut akan antusias dan berprestasi.
3.      Memberi Pertanyaan
Apabila proses belajar mengajar berlangsung dengan aktif, artinya peserta didik aktif bertanya dan pertanyaan tersebut sesuai dengan materi yang diterangkan oleh pendidik. Hal tersebut menunjukkan bahwa peserta didik memiliki minat terhadap pelajaran tersebut.

Membangkitkan minat dalam diri peserta didik merupakan kewajiban dari pendidik, orang tua, dan masyarakat. Sekolah merupakan salah satu badan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peserta didik. Di dalam sekolah, pendidik harus mempunyai strategi-srategi untuk membangkitkan minat peserta didik untuk belajar. Misalnya, pendidik bercerita tentang hal yang dapat menarik yang berhubungan denga materi, sehingga menimbulkan minat terhadap pelajaran tersebut. Selain itu, pendidik dapat memotivasi peserta didik dengan cara memberikan hadiah bagi peserta didik yang mendapat nilai seratus. Serta masih banyak hal-hal lain yang dapat dikembangkan oleh pendidik untuk menumbuhkan keaktifan pserta didik dalam belajar.
(http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/02/minat-belajar/, diakses 23 April 2011 pukul 14.40 WIB)



c.       Aktivitas Siswa
Menurut Sriyono, aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani atau rohani. Aktivitas siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk belajar. Aktivitas siswa merupakan kegiatan atau perilaku yang terjadi selama proses belajar mengajar. Kegiatan – kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang mengarah pada proses belajar seperti bertanya, mengajukan pendapat, mengerjakan tugas – tugas, dapat menjawab pertanyaan guru dan bisa bekerjasama dengan siswa lain, serta tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.
Mengerjakan matematika mengandung makna aktivitas guru mengatur kelas sebaik – baiknya dan menciptakan kondisi yang kondusif sehingga murid dapat belajar metematika. Aktifnya siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan atau motivasi siswa untuk belajar. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemukan cirri – ciri perilaku seperti : sering bertanya kepada guru atau siswa lain, mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, mampu menjawab pertanyaan, senang diberi tugas belajar, dan lain sebagainya. Semua ciri perilaku tersebut pada dasarnya dapat ditinjau dari dua segi yaitu segi proses dan dari segi hasil.
Trinandita (1984) menyatakan bahwa ”hal yang paling mendasar yang dituntut dalam proses pembelajaran adalah keaktifan siswa”. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masing – masing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi.
(http://ipotes.wordpress.com/2008/05/24/prestasi-belajar/, diakses 23 April 2011 pukul 14.30)

Aktivitas belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan perubahan pengetahuan-pengetahua, nilai-nilai sikap, dan keterampilan pada siswa sebgai latihan yang dilaksanakan secara sengaja.
Berdasarkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip diatas, diharapkan kepada guru untuk dapat mengembangkan aktivitas siswa. Diatas jenis-jenis aktivitas yang dimaksud dapat digolongkan menjadi:
a)        Visual Activities, yaitu segala kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas siswa dalam melihat, mengamat, dan memperhatikan.
b)        Oral Activities, yaitu aktivitas yang berhubungan dengan kemampuan siswa dalam mengucapkan, melafazkan, dan berfikir.
c)        Listening Aktivities, aktivitas yang berhubungan dengan kemampuan siswa dalam berkonsentrasi menyimak pelajaran.
d)       Motor Activities, yakni segala keterampilan jasmani siswa untuk mengekspresikan bakat yang dimilikinya.

d.      Antusiasme Belajar
Pada dasarnya setiap orang ingin dipandang sebagai seseorang yang berhasil dalam hidupnya, dan tidak ada orang yang senang jika menghadapi kegagalan dalam hidupnya, ini adalah cerminan bahwa pada diri seseorang terdapat antusiasme. Antusiasme berkenaan dengan memberi seseorang suatu dorongan, rangsangan, atau membangkitkan sesuatu sedangkan memotivasi orang bukan hanya berhubungan dengan memperkaya sifat sifat positif, tetapi juga berhubungan dengan membuang sifat negatif (Martin, 2009)
Antusiasme mendorong seseorang untuk mengatasi rintangan dan mencapai hasil yang lebih baik dari hasil sebelumnya dan juga akan mendorong seseorang untuk bersaing secara sehat. Antusiasme adalah perubahan energi yang ditandai dengan munculnya perasaan dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Antusiasme juga dapat dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi kondisi tertentu sehingga seseorang itu mau dan ingin melakukan, dan bila tidak suka maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakan perasaan tidak suka itu (Mc.Donald, dalam Muniroh, 2004).
Mc. Clelland (1987) mengemukakan bahwa individu yang mempunyai antusiasme berprestasi tinggi akan mempunyai rasa tanggung jawab dan rasa percaya diri yang tinggi, lebih ulet dan giat dalam melaksanakan suatu tugas, mempunyai keinginan menyelesaikan tugasnya dengan baik dimana pelatihan motivasi berprestasi merupakan salah satu usaha untuk mengajarkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap tentang antusiasme berprestasi yang nantinya akan membawa perubahan energi didalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif atau perasaan dan reaksi untuk mengatasi rintangan, melatih kekuatan dan untuk mencapai sukses.
Antusisme adalah suatu perasaan kegembiraan terhadap sesuatu hal yang terjadi. Respon yang positif terhadap sesuatu yang ada di sekitar kita, tentu sangat diharapkan, karena respon ini akan berdampak pada perilaku sehari-hari. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, antusisme berarti gairah, gelora semangat, minat besar. Gairah terhadap sesuatu yang ada di dalam kehidupan. Antusiasme bersumber dari dalam diri, secara spontan atau melalui pengalaman terlebih dahulu.
Antusisme terhadap siswa dapat dilatih sedini mungkin dengan hal-hal yang mampu menggugah, sehingga respon positif yang diharapkan muncul secara bertahap. Hal yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1.        Guru sebagai fasilitator mampu menciptakan arena perlombaan pada pembelajaran, tanpa melepaskan norma yang ada, tidak dengan mendiskreditkan sebagian siswa dan membela siswa lainnya.
2.        Selalu dekat dengan trend yg sedang in: guru mengambil kasus-kasus yang dikorelasikan dengan bahan ajar sehingga mampu menggugah siswa. Siswa diminta untuk memutuskan suatu masalah yang terjadi di lapangan.
3.        Nikmatnya menjalankan missi: visi, missi, strategy , dan mampu diaplikasikan di lapangan, dengan berbagai variasi.
4.        Manfaatkan media yang ada untuk menambah wawasan guru, agar tidak ketinggalan jaman, serta mampu membantu siswa untuk berani memecahkan masalahnya serta masalah yang dihadapi lingkungan sekitarnya.

Rabideau (2006) pada penelitiannya yang berkaitan antusiasme berprestasi menyatakan bahwa dorongan dan motivasi berprestasi dapat menjadi pendorong semua tindakan individu. Motivasi membuat seseorang menjadi kuat untuk meraih tujuan yang diinginkan. Motivasi memiliki banyak bentuk diantaranya yaitu motivasi instrinsik, ekstrinsik fisiologis dan motivasi berprestasi. Keterkaitan dengan penelitian ini adalah motivasi dapat menjadikan individu memiliki sikap optimisme yang kuat untuk meraih prestasi belajar setinggi-tingginya dan akan membentuk sikap dan kepribadian yang kuat dalam menghadapi tantangan.
Seifert (2004) pada penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa untuk memahami motivasi pada siswa dapat dijelaskan melalui beberapa pendekatan, antara lain yaitu self-efficay theory, attribution theory, self worth theory dan achievement goal theory. Pada penelitian ini antusiasme berprestasi merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan menghadapi tantangan pada siswa.
Magnesen (Martin, 2009) mengatakan 90% pemahaman belajar individu diperoleh dari melakukan sesuatu. Begitu pula di sekolah, perilaku siswa dalam belajar harus ditunjukkan melalui antusiasme berprestasi yang tinggi dan seyogyanya dapat dimiliki setiap siswa sebagai potensi untuk mengembangkan kemampuan menghadapi tantangan pada siswa, serta permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan proses perkembgan individu maupun dalam proses pembelajaran di sekolah. Ulasan terseabut dapat diasumsikan bahwa Apabila seorang itu ingin mendapatkan keberhasilan dan prestasi yang tinggi di sekolah maka ia ia memerlukan berbagai kecerdasan. Kecerdasan disini bukan hanya kecerdasan akademik saja, tetapi ada yang lebih berperan yaitu yang disebut dengan kecerdasan adversity. Kecerdasan ini memiliki komponen yang sangat komplek dan terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan kemampuan dan potensinya dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam kualitas kerja.
Mendukung uraian di atas Kusuma (2004) mengemukakan seseorang yang mempunyai kecerdasan adversity tinggi, dimungkinkan untuk mengatasi hambatan/kesulitan ketika sedang melakukan proses pekerjaan. Ditambahkan oleh Stoltz (2005) yang mengemukakan konsep Adversity Quotient/AQ (kecerdasan adversity) merupakan faktor yang paling penting dalam meraih kesuksesan. AQ adalah teori yang ampuh, sekaligus ukuran yang bermakna dan merupakan seperangkat instrument yang telah diasah untuk membantu individu supaya tetap gigih melalui saat-saat yang penuh dengan tantangan. AQ akan merangsang untuk memikirkan kembali rumusan keberhasilan yang sekarang ini. Namun, tantangan-tantangan yang ada sekarang membutuhkan lebih dari sekedar gagasan-gagasan baru sehingga akan lebih merangsang pikiran-pikiran yang tangguh dan mampu bersaing. Harapannya antusiasme berprestasi dapat digunakan sebagai potensi untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi tantangan pada setiap siswa. Hal ini karena dalam antusiasme berprestasi terhadap tedapat aspek control, origin dan ownership, reach, endurance yang dapat dimanfaatkan karyawan untuk berpikir lebih kreatif, kritis dan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang pekerjaan, selain itu pula diharapkan karyawan yang memiliki adversity tinggi lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang adversity-nya rendah. Pada perilaku tampak individu yang tinggi antusiasme berprestasinya akan memperlihatkan perilaku individu yang cenderung mengejar atau mendekati kesuksesan dan individu dengan antusiame berprestasi rendah akan menonjolkan usaha untuk menghindari kegagalan atau ketakutan akan kegagalan.

e.       Keterampilan Mengajar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterampilan merupakan “kecakapan untuk menyelesaikan tugas”,  sedangkan mengajar adalah “melatih”. DeQueliy dan Gazali (Slameto, 2010:30) mendefinisikan mengajar adalah menanamkan pengetahuan pada seseorang dengan cara paling singkat dan tepat.
Definisi yang modern di Negara-negara yang sudah maju bahwa “teaching is the guidance of learning”. Mengajar adalah bimbingan kepada siswa dalam proses belajar. Alvin W.Howard (Slameto, 2010:32) berpendapat bahwa mengajar adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skill, attitude, ideals (cita-cita), appreciations (penghargaan) dan knowledge.
Berdasarkan pengertian tersebut maka yang dimaksud dengan keterampilan mengajar guru adalah seperangkat kemampuan/ kecakapan guru dalam melatih/ membimbing aktivitas dan pengalaman seseorang serta membantunya berkembang dan menyesuaikan diri kepada lingkungan. Jadi, persepsi siswa tentang keterampilan mengajar guru adalah penilaian berupa tanggapan/pendapat  siswa terhadap kemampuan/kecakapan guru dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Turney (Uzer Usman, 2010:74) mengemukakan ada 8 (delapan) keterampilan mengajar/membelajarkan yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran, diantaranya:
1.      Keterampilan bertanya
Ada yang mengatakan bahwa “berpikir itu sendiri adalah bertanya”. Bertanya merupakan ucapan verbal yang meminta respon dari seseorang yang dikenal. Respon yang di berikan dapat berupa pengetahuan sampai dengan hal-hal yang merupakan hasil pertimbangan. Jadi bertanya merupakan stimulus efektif yang mendorong kemampuan berpikir.
Dalam proses belajar mengajar, bertanya memainkan peranan penting sebab pertanyaan yang tersusun dengan baik dan teknik pelontaran yang tepat akan memberikan dampak positif terhadap siswa, yaitu:
a.        Meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar-mengajar,
b.       Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu masalah yang sedang dihadai atau dibicarakan,
c.        Mengembangkan pola dan cara belajar aktif dari siswa sebab berfikir itu sendiri sesungguhnya adalah bertanya,
d.       Menuntun proses berfikir siswa sebab pertanyaan yang baik akan membantu siswa agar dapat menentukan jawaban yang baik,
e.        Memusatkan perhatian siswa terhadap masalah yang sedang dibahas.
2.      Keterampilan mempeberikan penguatan
Penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk respons, apakah bersifat verbal ataupun non verbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan memberikan informasi atau umpan balik (feed back) bagi si penerima atas perbuatannya sebagai suatu dorongan atau koreksi. Penguatan juga merupakan respon terhadap suatu tingkah laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkah laku tersebut.
3.      Keterampilan mengadakan variasi
Variasi stimulus adalah suatu kegiatan guru dalam konteks proses interaksi belajar mengajar yang ditujukan untuk mengatasi kebosanan siswa sehingga, dalam situasi belajar mengajar, siswa senantiasa menunjukkan ketekunan, antusiasme, serta penuh partisipasi.
4.      Keterampilan menjelaskan
Keterampilan menjelaskan adalah penyajian informasi secara lisan yang diorganisasikan secara sistematik untuk menunjukkan adanya hubungan yang satu dengan yang lainnya. Penyampaian informasi yang terencana dengan baik dan disajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan menjelaskan.
5.      Keterampilan membuka dan menutup pelajaran
Membuka pelajaran (set induction) ialah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar untuk menciptakan prokondusi bagi siswa agar mental maupun perhatian terpusat pada apa yang akan dipelajarinya sehingga usaha tersebut akan memberikan efek yang positif terhadap kegiatan belajar. Sedangkan menutup pelajaran (closure) ialah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mengakhiri pelajaran atau kegiatan belajar mengajar. Usaha menutup pelajaran itu dimaksudkan untuk memberi gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari oleh siswa, mengetahui tingkat pencapaian siswa dan tingkat keberhasilan guru dalam proses belajar-mengajar.
Komponen keterampilan membuka pelajaran meliputi: menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberi acuan melalui berbagai usaha, dan membuat kaitan atau hubungan di antara materi-materi yang akan dipelajari dengan pengalaman dan pengetahuan yang telah dikuasai siswa. Komponen keterampilan menutup pelajaran meliputi: meninjau kembali penguasaan inti pelajaran dengan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, dan mengevaluasi.
6.      Keterampilam membimbing diskusi kelompok kecil
Diskusi kelompok adalah suatu proses yang teratur yang melibatkan sekelompok orang dalam interaksi tatap muka yang informal dengan berbagai pengalaman atau informasi, pengambilan kesimpulan, atau pemecahan masalah. Diskusi kelompok merupakan strategi yang memungkinkan siswa menguasai suatu konsep atau memecahkan suatu masalah melalui satu proses yang memberi kesempatan untuk berpikir, berinteraksi sosial, serta berlatih bersikap positif. Dengan demikian diskusi kelompok dapat meningkatkan kreativitas siswa, serta membina kemampuan berkomunikasi termasuk di dalamnya keterampilan berbahasa.
7.      Keterampilan mengelola kelas
Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila terjadi gangguan dalam proses belajar mengajar. Dengan kata lain kegiatan-kegiatan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar, misalnya penghentian tingkah laku siswa yang menyelewengkan perhatian kelas, pemberian ganjaran bagi ketepatan waktu penyelesaian tugas oleh siswa, atau penetapan norma kelompok yang produktif.
Suatu kondisi belajar yang optimal dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pengajaran serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran.
Dalam usaha mengelola kelas secara efektif ada sejumlah kekeliruan yang harus dihindari oleh guru, yaitu sebagai berikut: (1) campur tangan yang berlebihan (teachers instruction). (2).  kesenyapan (fade away) (3). ketidaktepatan memulai dan mengakhiri kegiatan (stop and stars) (4).  penyimpangan (digression) (5). bertele-tele (overdwelling)

8.      Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan
Secara fisik bentuk pengajaran ini ialah berjumlah terbatas, yaitu berkisar antara 3- 8 orang untuk kelompok kecil, dan seorang untuk perseorangan. Pengajaran kelompok kecil dan perseorangan memungkinkan guru memberikan perhatian terhadap setiap siswa serta terjadinya hubungan yang lebih akrab antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa.

f.       Pembelajaran Matematika di SD
Depdiknas (2003) menekankan bahwa dalam mengelola pembelajaran matematika, siswa dikondisikan untuk menemukan kembali rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika melalui bimbingan guru. Ditegaskan bahwa belajar akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya.
Soedjadi (2003) menyatakan, guru hendaknya jangan punya anggapan bahwa siswa harus selalu diberi tahu, tetapi harus mulai percaya bahwa  siswa pun memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat muncul dari dirinya sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa guru perlu memberi waktu “cukup” kepada siswa untuk mencoba berpikir sendiri, menemukan sendiri dan berani mengungkapkan pendapat sendiri.
Menurut Slavin (1997), salah satu prinsip yang paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam pikiran mereka sendiri. Guru dapat memudahkan proses ini, dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa.
Ausubel (Suparno, 2001) menyatakan bahwa pembelajaran secara bermakna adalah pembelajaran yang lebih mengutamakan proses terbentuknya suatu konsep daripada menghafalkan konsep yang sudah jadi. Konsep-konsep dalam matematika tidak diajarkan melalui definisi, melainkan melalui contoh-contoh yang relevan dengan melibatkan konsep tertentu yang sudah terbentuk dalam pikiran siswa. Pembelajaran secara bermakna terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka, tidak hanya sekedar menghafal.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan suatu bentuk kegiatan pembelajaran yang mengutamakan keterlibatan siswa untuk membangun pengetahuan matematikanya dengan caranya sendiri. Dalam kegiatan tersebut guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. Sebagai fasilitator, guru menyediakan berbagai sarana pembelajaran yang memudahkan siswa membangun pengetahuan matematikanya sendiri. Sebagai mediator, guru menjadi perantara dalam interaksi antar siswa atau antara siswa dengan ide matematika dan menghindari pemberian pendapatnya sendiri ketika siswa sedang mengemukakan pendapat.

g.      Hasil belajar
Menurut Anni (2007: 5) hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku tersebut tergantung pada apa yang dipelajari oleh pembelajar. Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan (Suprijono, 2010: 5). Sedangkan menurut Bloom (dalam Suprijono, 2010: 6) hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Keberhasilan belajar sangat dipengaruhi oleh beberapa fektor. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu faktor dalam diri siswa sendiri (intern) dan faktor dari luar diri siswa (ekstern). Faktor diri dalam siswa yang berpengaruh terhadap hasil beklajar diantaranya adalah kecakapan, minat, bakat, usaha, motivasi, perhatian, kelemahan dan kesehatan, serta kebiasaan siswa. Sedangkan faktor dari luar diri siswa yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah lingkungan fisik dan non fisik, lingkungan sosial budaya, lingkungan keluarga, program sekolah, guru, pelaksan pembelajaran, dan teman sekolah. (Anitah, 2009: 2.6)
Dalam pelaksanaanya hasil belajar perlu diadakan evaluasi agar hasil belajar tersebut dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Dalam hal ini sasaran dari evaluasi hasil belajar tersebut harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah direncanakan sebelumnya. Tujuan pembelajaran tersebut yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Sugandi, 2007: 115). 
Hasil belajar adalah perubahan perilaku seseorang setelah mengalami aktivitas belajar. Hasil belajar mencakup afektif, kognitif dan psikomotorik. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar meliputi faktor dari dalam diri siswa sendiri (intern) dan faktor dari luar diri siswa (ekstern).

h.      Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu alternatif pembelajaran dikelas yang bukan saja meningkatkan kemampuan siswa tetapi meningkatkan jiwa sosialisasi, saling menghargai dan jiwa saling membantu dalam diri siswa. Lie (2002 : 12 ) berpendapat bahwa “pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dalam tugas-tugas yang terstruktur”.
Johnson dan Johnson (dalam Puspasari, 2003 :12) mengemukakan bahwa ‘pembelajaran kooperatif adalah suatu model diskusi yang dibimbing guru, terdiri dari beberapa kelompok didalam kelas, satu kelompok kecil terdiri dari empat sampai enam orang’. Pembelajaran kooperatif adalah instruksi yang melibatkan para siswa untuk bekerjasama dalam regu atau kelompok untuk mencapai hasil optimum.
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu pendekatan yang menitikberatkan pada pengelompokan siswa dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda kedalam kelompok-kelompok kecil (Saptono, 2003:32). Kepada siswa diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompoknya, seperti menjelaskan kepada teman sekelompoknya, menghargai pendapat teman, berdiskusi dengan teratur, siswa yang pandai membantu yang lebih lemah, dan sebagainya.
Dalam pembelajaran kooperatif  siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang kemampuan siswanya heterogen. ‘Maksud kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin dan suku’ (Thomson dalam Karuru, 2000:9). Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerjasama di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, memberikan penjelasan kepada teman sekelompok dengan baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarakan.
Menurut Vygotsky (dalam Karuru, 2001 : 3) bahwa ‘implikasi utama dalam pembelajaran menghendaki seting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif, dengan siswa berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif pada masing-masing zona perkembangan terdekat mereka’.
Selain itu, pembelajaran kooperatif merupakan strategi alternatif untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika yang antara lain berupaya untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bekerja sama, berpikir kritis, dan pada saat yang sama meningkatkan prestasi akademiknya. ‘pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang positif terhadap siswa yang rendah hasil belajarnya karena siswa yang rendah hasil belajarnya dapat meningkatkan motivasi untuk belajar lebih giat lagi dan mendapatkan materi pelajaran dalam waktu yang lebih lama’ (Lundgren dalam Aisyah, 2000 : 10).
Tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama  dan kolaborasi. Bukan hanya itu, siswa juga mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan sosial yang merupakan bagian dari komunikasi. “keterampilan sosial itu sering disebut sebagai keterampilan kooperatif berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas” (Wartono, et al., 2004 : 12).
Menurut Lundgren (Sukarmin, 2002:2), Unsur-unsur dasar yang perlu ditanamkan pada diri siswa agar pembelajaran kooperatif lebih efektif adalah sebagai berikut :
a.       Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”
b.      Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi.
c.       Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
d.      Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya diantara anggota kelompok.
e.       Para siswa akan diberikan suatu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
f.       Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.
g.      Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Sementara itu, menurut Nur (2001: 3) pembelajaran yang menggunakan pendekatan kooperatif pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
b.      Kelompok dibentukdari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
c.       Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, bangsa, suku, dan jenis kelamin yang berbeda-beda.
d.      Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang cukup berhasil pada kelompok-kelompok kecil, di mana pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa dari berbagai tingkat kemampuan, melakukan berbagai kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan rekan belajar, sehingga bersama-sama mencapai keberhasilan. Semua Siswa berusaha sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan melengkapinya.

i.        Pendekatan Kooperatif Tipe Team Games Tournament (TGT)
TGT adalah salah satu tipe pendekatan kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok – kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing – masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan  bersama – sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.
Akhirnya, untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam    meja – meja turnamen, dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai 6 orang yang merupakan wakil dari kelompoknya masing – masing. Dalam setiap meja permainan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya dalam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara. Hal ini dapat ditentukan dengan melihat nilai yang mereka peroleh pada saat pre-test. Skor yang diperoleh setiap peserta dalam permainan akademik dicatat pada lembar pencatat skor. Skor kelompok diperoleh dengan menjumlahkan skor – skor yang diperoleh anggota suatu kelompok, kemudian dibagi banyaknya anggota kelompok tersebut. Skor kelompok ini digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa sertifikat dengan mencantumkan predikat tertentu.
Pendekatan kooperatif tipe TGT merupakan suatu cara yang dipandang lebih menjanjikan suatu kondisi yang dapat memberikan sentuhan dan kebiasaan siswa untuk terampil dalam bekerja sama ataupun berkompetisi melalui turnamen akademik. Menurut Rahadi (2002 :15) bahwa “pendekatan kooperatif tipe TGT mempunyai beberapa komponen untuk mendukung pelaksanaannya yaitu : presentasi kelas, kelompok belajar, turnamen dan penghargaan terhadap kelompok”.
Dalam pembelajaran kooperatif TGT siswa dilatih untuk teliti, bekerjasama, bergotong royong, tukar pendapat dengan teman sekelompok, atau dengan siswa lainnya. Siswa dilatih untuk berdiskusi dengan baik, menghargai pendapat teman, dan mempertahankan pendapatnya sendiri apabila ada teman yang melanggarnya.
Menurut Slavin (dalam Rahadi, 2002 : 37), kelebihan pendekatan kooperatif tipe TGT antara lain yaitu:
a.       Melalui interaksi dengan anggota kelompok, siswa memiliki kesempatan untuk belajar mengemukakan pendapatnya atau memperoleh pengetahuan dari hasil diskusi dengan anggota kelompoknya.
b.      Pengelompokkan siswa secara heterogen dalam hal tingkat kemampuan, jenis kelamin, maupun ras diharapakan dapat membentuk rasa hormat diantara siswa.
c.       Dengan belajar kooperatif siswa mendapatkan keterampilan kooperatif yang tidak dimiliki pada pembelajaran yang lain.
d.      Dengan diadakannya turnamen diharapkan dapat membangkitkan motivasi siswa untuk berusaha lebih baik lagi bagi dirinya maupun kelompoknya.
e.       Dengan turnamen dapat membentuk siswa mempunyai kebiasaan bersaing yang selanjutnya dapat menumbuhkan keberanian dalam berkompetisi.  Akibatnya siswa selalu dalm posisi unggul.
f.       Dengan belajar kooperatif TGT, dapat menanamkan kepada siswa betapa pentingnya bekerja sama dalam pencapaian tujuan belajar baik untuk dirinya maupun seluruh anggota kelompok.

Menurut penelitian Suhaermin, et al., (dalam Dwina, 2004 : 10) dihasilkan bahwa ‘pendekatan kooperatif tipe TGT mampu menghindarkan siswa dari kesalahan-kesalahan yang selanjutnya dapat menjadikan kurangnya pemahaman matematika siswa secara menyeluruh’. Dengan begitu banyak hasil yang diperoleh dari belajar kelompok maka guru perlu mempertimbangkan belajar kelompok ini sebagai suatu model yang diterapkan dikelas yang mampu meningkatkan keaktifan, kenyamanan dalam belajar, motivasi dan ternyata mampu menghadirkan siswa dari kesalahan-kesalahan rutin. 
2.      Kajian Empiris
Lidya Tri Maharani (2010), dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Pendekatan Kooperatif Teams Games Tournaments (TGT) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Operasi Hitung Pecahan Kelas V SDN Purwodadi 3 Kota Malang”, menemukan bahwa: 1) Penggunaan model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. 2) Model pembelajaran Teams Games Tournaments (TGT) mampu membuat siswa termotivasi untuk turut aktif dalam pembelajaran, karena model pembelajaran tersebut sangat sesuai dengan karakteristik anak-anak usia sekolah dasar, yaitu suka bermain. 3) Siswa dapat memahami materi pembelajaran yang diberikan oleh guru serta dapat menyelesaikan soal-soal yang diberikan dengan baik.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sriudin (2008) dengan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Konsep Operasi Hitung Perkalian Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT di Kelas IV SDN Tambak Sirang Baru” menyimpulkan bahwa: 1) Melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT guru dapat melaksanakan semua langkah-langkah pembelajaran dengan baik. 2) Melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT mampu meningkatkan motivasi belajar siswa terhadap pembelajaran Matematika sehingga hasil belajar siswa turut mengalami peningkatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Diyanto tahun 2006 dengan judul ”Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Melalui Tipe TGT (Teams Games Tournaments) dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII.6 MTs. Filial Al Iman Adiwerna Tegal pada Pokok Bahasan Bilangan Bulat” menunjukkan bahwa: 1) Dengan model pembelajaran cooperative learning melalui tipe TGT (Teams Games Tournaments) dapat meningkatkan motifasi dan hasil belajar siswa kelas VII6 MTs. Filial Al Iman Adiwerna Tegal pada pokok bahasan bilangan bulat. 2) Model pembelajaran cooperative learning melalui tipe TGT (Teams Games Tournaments) maka aktifitas belajar siswa meningkat dan pola pikir anak terbentuk dalam menyelesaikan suatu permainan matematika sehingga ketuntasan belajar siswa dapat dicapai.

3.      Kerangka Berpikir
Dalam pembelajaran Matematika dibutuhkan tingkat aktivitas yang tinggi baik mental maupun fisik. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pembelajaran Matematika, yaitu mengembangkan aktivitas kreatif siswa dalam memahami konsep Matematika.
Penggunaan pendekatan kooperatif yang dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar sangat penting sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar Matematika siswa. TGT memiliki potensi lebih besar untuk memaksimalkan keaktifan siswa dalam belajar matematika serta dapat membangkitkan kreativitas belajar siswa karena siswa mengikuti dan melakukan seluruh rangkaian kegiatan dimulai dari pembentukkan kelompok, bekerjasama mengerjakan soal dalam kelompok, dan mempresentasikan hasil kerja kelompok melalui permainan dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan angka yang tertera pada kartu yang telah dipilih secara acak oleh wakil masing-masing kelompok yang dimainkan pada meja turnamen.
Pembelajaran dengan tipe TGT ini mengutamakan adanya kerjasama dalam kelompok-kelompok kecil dalam mempelajari materi pelajaran sehingga memungkinkan siswa mempunyai kesempatan yang besar untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Siswa yang mengalami kesulitan belajar cenderung lebih berani bertanya kepada teman-temannya dibanding kepada guru. Dalam kondisi ini memungkinkan hasil belajar siswa akan semakin meningkat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model kooperatif tipe TGT dapat memaksimalkan keaktifan dan menumbuhkan minat siswa dalam belajar matematika. Hal ini akan berdampak pada peningkatan hasil belajar matematika siswa.



Skema alur kerangka berfikir
Kondisi akhir
Kondisi awal
·       Guru masih menggunakan metode ceramah, dalam mengajar masih monoton, belum menggunakan pembelajaran inovatif yang menarik bagi siswa.
·       Siswa merasa jenuh, lebih sering bermain sendiri, dan kurang berperan aktif ketika pembelajaran. Sehingga siswa kurang memahami materi.

Tindakan
Menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe TGT:
·       Mengajar (teach): Mempersentasekan atau menyajikan materi, menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan motivasi.
·       Belajar Kelompok (teamstudy): Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 sampai 6 orang dengan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras/ suku yang berbeda.
·       Permainan (gametournament): Permainan diikuti oleh anggota kelompok dari masing – masing kelompok yang berbeda.
·       Penghargaan terhadap kelompok (team recognition): Pemberian   penghargaan (rewards) berdasarkan pada rerata poin yang diperoleh oleh kelompok dari permainan.
·         Siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran.
·         Minat siswa terhadap pelajaran matematika meningkat.
·         Guru lebih kreatif dalam merancang kegiatan pembelajaran.
·         Hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika meningkat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar