Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

KARENA CINTA


Langit cerah tanpa awan, sang rembulan sempurna bulatnya, terang, memantulkan cahya mentari yang sedang bersinar di belahan bumi lainnya.
"Mas, kok pelan banget sih bawa motornya", suara lembut seorang penumpang di belakang terdengar, "katanya pembalap", dia tertawa pelan.
"Iya, habis mas ngga mau bawaan berharga yang mas bawa terjatuh"
"Lho, kita kan ngga bawa apa-apa"
"Kamu ngga bawa apa-apa, tapi aku kan bawa permata yang berharga"
"Permata..? Dimana?", tanya wanita berjilbab putih yang melambai-lambai tertiup angin.
"Permata tersebut adalah kamu, sayang. Engkaulah permata hatiku, permata duniaku, dan aku berharap, engkaulah permata akhiratku. Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan yang kumiliki adalah dirimu, isteriku"
Pipi putih sang wanita memerah, tersipu malu.
Kendaraan terus melaju menembus jalan malam yang sepi. Di sebuah tikungan yang tajam, ban belakang mendadak pecah, keseimbangan tidak terjaga, motor terjatuh. Suara logam yang membentur aspal, terdengar mengejutkan.
"Astagfirullah hal adzim", pekik sang wanita spontan. Motor terseret beberapa meter menggerus aspal.
"Engkau tidak apa-apa dek?", tanya pria berjaket hitam yang terjatuh. Tak dihiraukannya celana di lututnya yang berlubang dan mengeluarkan darah. Ia langsung bangkit, mendekati wanita yang terduduk, teman berkendaranya.
Sang wanita diam, ia terlihat shock, kaget. Telapak tangannya lecet berdarah. Dipapahnya wanita tersebut menepi. Dilepasnya helm yang dikenakan. Berjalan pelan setengah tertatih ke trotoar.
Wanita itu memperbaiki jilbab dan pakaiannya yang berantakan."Aduh sepertinya kakiku keseleo mas", rintihnya.
Seorang pria penjaga warung rokok, berlari mendekat. Membangunkan motor Kawasaki Ninja RR berwarna hijau lumut. Beberapa kali ia mencoba menetralkan gigi dan mendorongnya ke sisi jalan.
"Kita cek ke rumah sakit ya", sang pria coba menenangkan.
"Itu di depan sana ada praktek dokter mas", pria pemilik warung berkata. Sebuah plang putih terlihat di sebuah rumah, lima puluh meter di depan.
"Mas saya titip motor saya dulu ya sama sampean", pria separuh baya tersebut mengangguk.
"Yuk kita jalan", sang pria kembali menatap wanita yang terlihat sedikit pucat.
"Awww, aduh.., aku ngga bisa jalan mas, sakit", keluh sang wanita setelah berdiri dan coba melangkah.
"Ya udah sini mas gendong", diangkatnya sang wanita, tangan kanannya memegangi pundaknya, sedang tangan kirinya mengangkat kakinya.
Setelah berjalan sekitar dua puluh meter.
"Dik, sepertinya kamu bertambah berat ya, kayaknya setahun lalu waktu saya nikahin kamu, kamu ngga seberat ini deh", sang pria meringis. Antara tertawa di mulut dan peluh kecil yang menetes di dahi.
"Yeee, beratku tetap sama kok mas. Mas aja yang udah lama sih ngga pernah ngegendong adik, makanya jadi ngga terlatih deh"
"Hahahaha.., iya ya", tawa kecil bergema antara kedua pasangan tersebut.
Rok putih yang melambai ternoda darah dan lutut yang terluka sepertinya sudah sedikit terhiraukan oleh obat penawar sakit yang luarbiasa, cinta. Langit malam yang cerah tanpa awan, rembulan yang bulat sempurna, menyaksikan cinta menyelimuti dua insan yang sedang terluka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar