Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

UMMI

UMMI. Aku biasa memanggil ibu dengan sebutan itu. Tidak ada yang istimewa menapaki perjalanan hidup bersamanya, selama 24 tahun lebih didunia ini. Namun, apa benar tidak ada yang istimewa dari setiap perjalanan hidup seorang manusia? Perjalanan yang sedikit saja bisa kita tulis sebagai sejarah yang cukup merenyuhkan hati? Apalagi kisah bersama seorang ibu? Yang telah memberikan begitu banyak kasih sayangnya kepada kita? Ah, bohong! kalau kita berkata tidak ada kisah yang layak kita tuliskan di atas selembar kertas putih.
***
UMMI, sejak kecil selalu kusaksikan engkau sebagai sosok yang tegar dan bekerja keras. Banting tulang membantu Bapak menafkahi 4 orang anak-anaknya. Dengan ekonomi yang pas-pasan, cukup makan saja sudah Alhamdulillah. Aku masih ingat, saat hari-hariku memakai seragam putih-merah, Ummi pagi-pagi buta sudah bersiap pergi kesawah, ikut membantu mengurusi tanaman padi milik orang lain, memanen saat musim panen atau membantu mahasiswa IPB yang sedang penelitian menanam cabai di lahan penelitian. Terkadang aku juga ikut serta bersama mereka, sekedar meembawakan air minum atau berkotor–kotor bersama teman-teman kecilku. Hari-hari itu terus berlanjut sampai aku menapaki bangku SMP. Ketegaran yang terus terpatri dalam keseharian Ummi terus mengalir mengisi anak-anaknya yang perlahan bertambah dewasa. Saat itu aku masih sebagai pelajar SMP, namun Keseharian Ummi masih di isi dengan kerja keras (saat itulah Ummi perlahan meninggalkan dunia sawahnya), pagi-pagi menyiapakan sarapan (nasi goreng buatan Ummi merupakan sarapan favorit keluarga kami), jam 6 – 7 Ummi cepat-cepat berangkat ke Kostan Mahasiswa IPB, memasak, mencuci pakaian mereka dan membersihkan rumah yang di isi oleh anak-anak kostan.Ya, Ummi berprofesi sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT).
“De, teu era boga Ummi pembantu?”1 tanya Ummi suatu hari, tangannya sambil mengerakkan strika kekanan-kekiri, saat itu aku ikut bersamanya.
“Era kunaon, Mi. Nu penting mah Halal..!”2 balasku singkat, dengan rasa bangga dan pasrah. Kebanggaan memiliki Ummi yang bisa membantu Bapak dan kepasrahan menikmati hidup sebagai anak yang dibesarkan oleh ibu sebagai PRT (Bukan menyesal dilahirkan dari pangkuan Ummi, tapi merasa kasihan melihat Ummi yang terus kerja keras ikut mencari uang untuk menafkahi anak-anaknya). Ummi terus bekerja, walaupun upah yang diterima tidak seberapa, tapi semangat kerja, kejujuran dan keuletan tidak menyurutkannya untuk tetap dalam aktifitas sebagai Ummi yang super sibuk.
“Ah, Ummi. Seandainya aku sudah besar, tidak akan kubiarkan Ummi seperti ini. Aku akan memberikan setumpuk uang buat Ummi gunakan, yang terpenting Ummi jangan ber-capek-capek!” pikirku saat itu, dengan bayangan mudahnya mendapat uang yang banyak dan dipersembahkan hanya untuk Ummi. Walaupun sampai detik ini aku belum bisa memberikan tumpukan uang itu.
“Ummi sih terserah Dede wae, rek sakola deui apa moal. Cuman, Ari Ummi mah moal bisa mantuan biayana.”3 Kata-kata itu begitu polos keluar dari mulut Ummi, saat itu aku bersi keras ingin melanjutkan sekolah ke SMA. Sampai akhirnya dengan keinginanku yang kuat aku dapat sekolah lagi. Dengan uang hanya beberapa ratus ribu saja aku memberanikan diri mendaftar ke SMA, sampai akhirnya lulus. Di awal memang biaya sekolah dari kantongku sendiri, tapi kelas dua sampai lulus Ummi lebih besar menghabiskan biaya seolahku. Lagi-lagi Ummi berjuang mencari uang, masih bekerja keras namun sebagai sejak itu Ummi berjualan Nasi uduk dan Gorengan. Selama itu Ummi tidak mengeluh atau berputus asa, jiwanya yang tegar membawa kami anak-anaknya keruang waktu yang demikian panjang, aku tidak pernah mendengar Ummi mengatakan bosan dengan kerja kerasnya itu, atau sekedar menyalahkan Bapak yang hanya mampu memberi uang sebatas untuk makan, tidak cukup untuk membiayai sekolah, kebutuhan sehari-hari (selain urusan perut) atau biaya tak terduga lainnya.
“Ummi kos kieu teh ti ngongora, Jadi, Ummi geus teu aneh deui, geus biasa weh.”4 ucap Ummi saat bercakap-cakap, sekilas membeberkan perjalanan hidupnya sebagai PRT di Jakarta, saat Ummi masih berumur belasan tahun. Saat itu aku semakin mengerti betapa perihnya hidup Ummi, sejak muda harus bekerja keras , banting-tulang, bersimbah peluh. Namun, ketegaran, keuletan, kesabaran dan kekuatan menghadapi hidup yang Ummi tanamkan terpatri dengan kuat di lubuk hatiku, adik dan dua orang kakak ku. Bahkan, kakak perempuanku sudah 6 tahun lebih tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Grabag, Jawa Tengah, sebuah warisan kesabaran dan ketabahan yang Ummi tanamkan.
Sampai saat ini kesabaran, ketegaran, dan keuletan Ummi masih terlihat didepan mataku. Sampai detik ini Ummi masih ikut kerja keras membantu Bapak membiayai keluarga, meskipun wajahnya sudah nampak berkerut dan rambutnya kian memutih, meski dua kakak ku sudah memisahkan diri (Berkeluarga), meski adikku sudah bisa mencari uang, meski beberapa bulan lagi aku menjadi seorang sarjana. Ummi masih tetap bangun jam 3 pagi setiap harinya, sholat malam lalu mulai beraktifitas didapur membuat adonan Gorengan, membungkus nasi uduk dan kegiatan lainnya. Ah, Ummi…, Seandainya aku sudah bisa memberikan setumpuk uang, aku tidak mau melihatmu sibuk membuat gorengan dipagi hari, memikirkan bagaimana caranya mencari uang. Ah, Ummi…, seandainya kau bisa mengeja satu per satu kata ini ingin sekali aku merangkai semua kisah hidupmu, semua kisah ketegaranmu. Tapi, kau tidak mampu membaca tulisan-tulisan ini, meskipun satu kalimat, meskipun satu kata. Karena sesuai namamu yang indah kusebut, UMMI. Kau tidak bisa membaca apalagi menulis karena ekonomi yang di warisi oleh nenek moyang kita, tidak ada kesempatan untuk mengenal huruf-huruf ini. Semoga, semua kesabaran dan perjuangan Ummi sampai detik ini mendapatkan Ridho dan kebaikan disisi-Nya, sebagai tabungan amal sholeh yang akan engkau petik dihari nanti.
Sujud syukurku buat Ummi, yang telah membimbingku dan mengajariku arti kesabaran dan ketegaran, sampai saatnya nanti, saat kuliahku selesai, yang tinggal satu semester lagi.
I LOVE U, Ummi..! FOREVER!

Bogor, 09 Desember 2007
Terjemahan:
1 “De, tidak malu punya ibu pembantu?”
2”Kenapa harus malu, Mi. Yang penting Halal…!”
3“Ummi sih te
rserah Dede, mau sekolah lagi atau tidak. Cuma, Ummi tidak bisa membantu biaya sekolahnya.”
4”Ummi seperti ini sudah sejak muda. Jadi, Ummi sudah tidak aneh lagi, sudah terbiasa.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar