Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

HIDAYAH MERAH JAMBU

“Hai ndi!” sapaan pertama dari Lusi pagi itu, ketika aku baru saja sampai di kampus sebelum dilanjutkan dengan sapaan berikutnya dari Anna, Dewi, Shinta, Tari, Maya dan Riska. Ugh, emang susah jadi salah satu cowok ganteng di kampus, pikirku.
Namaku Andi, mahasiswa tingkat 3 disalah satu universitas terkemuka di kawasan Depok, Jawa Barat. Salah satu ketua bidang atau yang biasa disingkat dengan Kabid pada organisasi kemahasiswaan Fakultas tempat aku kuliah, dengan IP terancam Cum Laude dan modal tampang serta sifat supel yang kumiliki, memang pantas membuat sebagian cewek di kampus ini rela menyisihkan waktu mereka untuk sekedar menyapaku.
Kubawa langkah-langkah kakiku menuju ruang Senat di lantai 2. Sejak aku dipilih oleh Wisnu sang Ketua Senat untuk menjadi salah satu Kabid, tempat tongkrongan yang paling sering kudatangi memang ruang Senat ini. Selain untuk melakukan rapat-rapat dengan para staf-ku, ruang Senat ini juga kerap kugunakan untuk mengerjakan tugas-tugas sebagai Kabid, atau bahkan untuk sekedar melepas lelah alias tidur. Maklum, aktifis seperti aku memang biasanya kurang tidur makanya harus pintar-pintar cari waktu untuk memuaskan kebutuhan yang satu itu.
“Hai ndi, pa kabar? Dah lama ga ketemu.” Sapaan manis dari Dita tadi tak urung membuat aku terkejut karena aku memang sedang serius didepan komputer Senat untuk membuat LPJ yang deadline-nya 2 hari lagi.
“Eh Dita, pa kabar juga? Gue baek-baek aja koq, alhamdulillah.”
“Kabar gue? Yah lumayan. Lagi ngapain, ndi?”
“Ini nih, lagi ngerjain LPJ acara Share kemaren.”
“Oh. Eh iya, tadi si Indah nanyain tentang rencana kerjasama BakSos bulan depan. Lo emang belum konfirmasi ke dia lagi ya, ndi?”
“Indah yang mana nih?” tanyaku sambil melepaskan pandangan dari layar komputer dan segera melihat ke arah Dita.
“Itu tuh, Indah yang anak SALAM. Jilbaber itu lho ndi, yang kemaren Wisnu kasi tau PO BakSos-nya SALAM.” jawabnya sambil membereskan berkas-berkas yang entah isinya apa.
“Masa lo ga inget sih ndi. BakSos-nya kan tinggal bulan depan, dan jangan bilang kalo elo bahkan belom pernah konfirmasi ke dia!” Dita sekarang menatap ke arahku yang sekarang memang sedang berpikir keras, berusaha mengingat-ingat orang yang bernama Indah.
“Ndi? Andi? Lo udah inget belom, ndi?” tanya Dita lagi.
“Ya ampun, kayaknya gue emang belom pernah konfirmasi ke tuh orang deh Dit, soalnya kalo udah pernah pasti gue inget kan orangnya?”
“Ya belum tentu lo inget juga sih, aktebal sibuk kayak elo bisa aja lupa muka orang yang emang sebenernya dah pernah lo temuin.”
“Aktebal? Apaan tuh aktebal?” tanyaku bingung. Istilah apaan tuh?
“Iya, kalo gue kan masih dalam taraf aktifis, nah kalo lo itu tarafnya udah aktebal. Iya kan?” jawabnya centil.
“Ya ampun, lo ada-ada aja sih. Trus, gimana nih masalah si Indah?”
“Ya elo mending cepetan konfirmasi ke dia aja. Gimana kerjasamanya? Jangan-jangan dia dah ga mau lagi gara-gara kelamaan. Kalo emang dia ga mau, yah siap-siap aja kena marah Wisnu.”
“Lo jangan nakut-nakutin gue gitu dong Dit.” Males juga sih kalo harus kena marah Wisnu cuma gara-gara lupa konfirmasi gini, mudah-mudahan si Indah ini orangnya baik, sabar, suka menolong, pokoknya ga nyusahin deh dan yang terpenting dia ga marah gara-gara gue lupa konfirmasi.
“Woi ndi. Malah ngelamun lagi. Cepetan konfirmasi.” kali ini Dita sudah beranjak dari tempat duduknya semula dan sudah ada di hadapanku.
“Tapi gimana dong LPJ-nya. Tinggal 2 hari lagi nih Dit.” ujarku memelas.
“Ya udah gue lanjutin dulu aja. Jangan lupa, si Indah tuh biasanya kalo enggak lagi kuliah atau bukan jam makan siang, dia pasti ada di Masjid. Namanya juga anak SALAM. Trus, lo dah tau nomor hp-nya kan?”
“Ehm …. Belom sih, lo ada ga?” jawabku cengar-cengir. Sambil geleng-geleng kepala, Dita menuju tasnya dan menarik keluar sebuah buku kecil.
“Nih, liat sendiri aja deh.” ucapnya sambil menyerahkan buku itu padaku dan duduk di kursi depan komputer untuk memulai melanjutkan LPJ yang tadi telah kubuat. Dengan langsung membuka indeks I pada buku itu, segera nama Indah kutemukan. “Indah Psikologi ini ya Dit?”
“Iya.” jawabnya singkat. Segera kucatat nomor hp-nya pada Phone Book hp-ku.
“Ya udah Dit. Makasih ya.” Kuambil tasku dan keluar dari Ruang Senat untuk segera menemui Indah.
Yang pertama harus gue lakukan adalah menghubungi Indah lewat telepon tuk nanya dimana bisa ketemu, trus ketemu sama dia untuk bicarain apa bentuk kerjasama di acara BakSos ini. Trus setelah itu baru gue ama dia akan kerjasama supaya BakSos ini dapat berjalan lancar dan sukses. Sambil memikirkan itu semua, aku menekan tombol nomor-nomor hp-nya dan tak lama kemudian,
“Assalamu’alaikum.” Terdengar suara di seberang sana.
“Ya, walaikumsalam. Ini Indah?” tanyaku langsung.
“Iya benar. Ini Indah, dari siapa ya?” Dari suara sih kayaknya boleh juga nih cewek, pikirku nakal..
“Saya Andi, Kabid PengMas Senat Fasilkom. Saya mau membicarakan tentang kerjasama BakSos bulan depan. Kira-kira, kita bisa bertemu dimana dan kapan ya untuk membicarakan masalah ini?” Duh, serius amat sih gue.
“Oh iya, mungkin harus dalam waktu dekat. Gimana kalau sekarang? Kebetulan saya lagi ga ada kesibukan hari ini.”
“OK kebetulan. Saya juga lagi ga sibuk sekarang.” Boong banget, inget LPJ mas, pikirku.
“Trus, kita ketemu dimana?”
“Apa Andi bisa ke Masjid sekarang? Saya lagi ada di Masjid, tapi kalau Andi ga bisa, ya terserah Andi aja mau ketemu dimana?” Masa gue nyuruh dia untuk nemuin gue, kan ga mungkin. Ya udah deh, gue ke Masjid aja, untung Masjidnya deket dari kampus.
“OK, kita ketemu di Masjid. Sekitar 10 menit lagi saya sampai.”
“Ya udah kalo gitu. Ehm, Assalamu’alaikum.” ucapnya sambil menutup telepon. Sepuluh menit kemudian, aku benar-benar tiba di Masjid Universitas ini. Aku pun me-misscall Indah untuk memberitahu bahwa aku sudah sampai. Beberapa saat kemudian sesosok gadis berjilbab lebar yang menunduk menghampiriku, “Assalamu’alaikum, Andi ya?” Saat ia mengangkat wajahnya untuk menyapaku, kurasakan ada sesuatu yang aneh menjalar dalam hatiku. Ok, lumayan juga, pikirku ketika itu.
“Iya, saya Andi. Ehm, kita ngomong dimana?”
“Di selasar sana aja, Andi bisa kesana duluan, saya mau nemuin teman saya dulu.”
“Oh, OK.” Aku pun segera beranjak menuju selasar yang ditunjuk oleh Indah tadi. Sesaat kemudian, Indah datang bersama dengan seorang gadis berjilbab lebar juga. Kemudian mereka berdua duduk agak jauh dariku.
“Ehm, kita mulai aja ya ndi.” ucap Indah masih sambil menunduk. Hah, udah mo mulai nih ceritanya. Tapi busyet aja, jauh amat duduknya. Tapi ya udahlah, ga masyalah..
“Oh OK, trus temen Indah itu apa juga berkaitan dengan acara ini? Sebagai apa?” tanyaku sambil menunjuk kearah teman Indah yang duduk disampingnya.
“Enggak, ini temen Indah namanya Ajeng. Dia cuma nemenin Indah aja kok, ga ikut kepanitiaan BakSos kita ini.” Oh, cuma nemenin. Apa si Indah ini takut ama gue ya, ampe ditemenin ama si Ajeng gitu. Sesaat, Ajeng mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
“Trus ndi, apa rencana dari Senat Fasilkom untuk BakSos ini? Dan bagaimana tentang dananya? Apa …..” Dimulailah pembicaraan antara aku dengan Indah. Hanya dari cara dia berbicara saja aku sudah tahu bahwa dia adalah gadis yang cerdas dan berwawasan luas, belum lagi tata bahasanya yang sopan, membuatku terasa nyaman berbicara lama dengannya. Agh, untung dia ga marah gara-gara gue lama konfirmasi ke dia. Alhamdulillah, ga jadi dimarahin Wisnu.
Tanpa terasa, BakSos kerjasama itupun telah selesai dilaksanakan dengan lancar dan sukses, seperti apa yang pernah aku inginkan dulu. Selain BakSos yang berjalan lancar dan sukses, hubunganku dengan Indah pun berjalan lancar dan sukses. Eit, bukan hubungan yang gimana-gimana lho, tapi hubungan teman yang baik. Sejak kenal dan berinteraksi cukup intens dengan Indah, bisa dibilang aku terserang virus yang cukup membahayakan yaitu Virus Merah Jambu. Ya begitulah, aku jatuh cinta dengannya. Virus itu membuat aku jadi ingin selalu bertemu dengannya, walaupun tidak ada alasan apapun seperti rapat atau pembicaraan mengenai BakSos dengannya. Just wanna see her, cieeh. Alhasil, aku pun punya tempat tongkrongan baru semenjak itu yaitu Masjid. Kalau dulu paling malas sholat di Masjid walaupun dekat dari kampusku, sejak kenal dengan Indah, aku paling tidak bisa lama-lama di kampus. Kalau memang tidak ada urusan lagi di kampus, aku pasti ke Masjid, syukur-syukur bisa ketemu Indah. Karena sering ke Masjid itulah, aku jadi kenal banyak ikhwan disana. Mereka tidak kalah baiknya dengan Indah.
Selain mahasiswa yang memang anggota SALAM, ada juga ikhwan-ikhwan yang sudah cukup berumur dan juga sudah berkeluarga, salah satunya adalah Bang Adit. Ia dikenal sebagai murobbi disana. Dari Bang Adit-lah aku banyak belajar tentang Islam. Memang sih, teman-temanku di Senat banyak juga yang ikhwan, tapi sampai aku ketemu Indah waktu itu, aku belum merasa tertarik untuk lebih berinteraksi dengan mereka walaupun memang mereka sama baiknya dengan ikhwan-ikhwan di Masjid ini. Kemudian aku pun mulai dikenal oleh teman-temanku sebagai salah seorang ikhwan juga. Iya, sejak bergaul dengan Bang Adit dan teman-teman Indah yang ikhwan, aku mulai ngeh sama aturan-aturan Islam, dan mulai membiasakan diri juga menjadi seorang ikhwan. Walaupun begitu, perasaanku pada Indah belum bisa aku hilangkan. Ketika aku menceritakannya pada Bang Adit, beliau bilang sepertinya aku sudah harus menikah. Malah beliau pun menantangku untuk segera melamar Indah. Sempat gak pede juga sih, tapi akhirnya aku beranikan diri untuk melamarnya walaupun sebenarnya lamaran yang aku maksud tidak resmi dalam arti belum melibatkan orangtuaku dan orangtua Indah melainkan hanya lamaran untuk menanyakan padanya apa dia bersedia menikah denganku.
Sehari menjelang lamaran tidak resmi-ku padanya, aku menerima sebuah surat undangan. Undangan pernikahan untuk tanggal yang kira-kira 10 hari lagi dari seseorang yang baru saja akan aku lamar keesokan harinya. Ya, Indah yang mengirimkan surat undangan itu untukku. Undangan yang benar-benar membuatku lumayan patah hati, tapi karena aku sudah mulai mengerti aturan Islam mengenai hal ini, aku pun tidak patah hati-patah hati amat. Pasti akan sangat berbeda jika hal ini terjadi padaku sebelum aku kenal dengan Indah, Bang Adit atau ikhwan-ikhwan di Masjid ini. Kupikir mungkin Indah memang bukan jodoh yang dikirimkan Allah untukku. Beberapa hari setelah pernikahan Indah dengan akh Ridho, ikhwan super baik yang pernah kukenal dan kujamin akan bisa membahagiakan Indah dunia akhirat, Bang Adit pun menemuiku untuk menanyakan apakah aku masih mempunyai keinginan untuk menikah.
“Ndi, abang pikir kamu memang sudah siap untuk menikah. Yah, walaupun akhwat yang kamu suka sudah keburu dinikahin orang, “ Bang Adit agak iseng melirikku sambil menarik bibirnya kebelakang membuat aku merasa ia sedang menggodaku, “abang yakin kamu ikhlas dan mau ber-ikhtiar lagi. Iya kan, ndi?” tanya Bang Adit ketika itu.
“Aku ga tau Bang, belum mikirin lagi.”
“Ya sudah, sekarang kamu istikharah lagi. Dan ini ndi, abang punya pilihan lain untuk kamu. Abang yakin akhwat yang satu ini pasti juga sesuai dengan selera kamu.”
“Apa bang? Akhwat apaan?” tanyaku bingung. Apa Bang Adit mau menjodohkan aku ya?
“Bukan maksud Abang untuk jodohin kamu lho ndi, mungkin kamu memang belum terbiasa dengan hal seperti ini, tapi ini memang sudah biasa ndi. Abang aja dulu juga dicarikan jodoh oleh murobbi abang.” ujar Bang Adit sambil menggerakkan dua jarinya pada kata dicarikan jodoh.
“Tapi bang, aku …. ehm aku…. ga tau bang.”
“Nah, makanya kamu istikharah dulu aja. Apa kamu mau liat fotonya sekarang?”
“Ehm, jangan sekarang deh bang, aku belum siap.” Aduh sumpah nih, aku bingung banget. Kalo nikah ama Indah sih, aku mau dalam waktu dekat ini, tapi kalo ama yang laen, ga tau juga deh. Yah, maklum aja, ilmunya masih sedikit.
“Ya udah ga pa-pa.” jawab Bang Adit sabar. Sejak saat itu, aku pun mulai berkonsultasi pada Allah mengenai tawaran Bang Adit itu, apa benar memang sudah waktuku untuk menikah, siapakah jodohku, dan, yah sekitar itulah. Dan akhirnya, aku pun memberanikan diriku untuk melihat foto akhwat yang ditawarkan oleh Bang Adit. Sesaat, aku masih belum mengenali siapa yang ada di foto itu, tapi beberapa menit kemudian, aku pun menjawab pertanyaan Bang Adit dengan mantap, “Iya Bang, aku mau menikah.”
Pernikahanku pun digelar dengan cukup lancar, alhamdulillah acara yang berlangsung dalam waktu sekitar 2 jam itu tidak kalah sukses dengan acara BakSos hasil kerjasamaku dengan Indah beberapa waktu lalu dan juga yang telah mengenalkanku pertama kalinya dengan istriku ini. Yah, memang ga jauh-jauh dari Indah juga. Istriku ini adalah teman yang sangat dekat dengan Indah, yaitu gadis berjilbab yang dulu Indah ajak untuk menemaninya berbicara denganku, gadis yang belakangan dikenalkan Indah bernama Ajeng padaku. Gadis itulah yang sekarang telah menjadi istriku, dan ternyata dia pun tahu bahwa Virus Merah Jambu yang membuatku sering datang ke Masjid itu dikarenakan oleh Indah, temannya sendiri dan yang membuatku bangga dan senang padanya adalah bahwa dia tidak marah sedikitpun. Saat melihat Indah datang dengan suaminya pada acara resepsi, dengan nakal akupun berbisik kepadanya, “Jeng, Indah makin cantik aja ya!” Mendengar itu dia pun mencubit pinggangku sambil tersenyum manis. Melihatnya tersenyum sepeti itu aku berpikir, Ah ga kalah cantik kok dari Indah, malah karena sekarang Ajeng bini gue, jelas Ajeng lebih cantik daripada Indah. He he he. .

“Huek, huek… huuk!” Akhirnya muntah juga. Perutku seperti diaduk-aduk. Bau busuk rasanya tak hilang-hilang dari hidungku.“Masya Allah, telurnya busuk. Nggak jadi deh orak-arik kangkungnya!” Aku bergumam kesal. Segera aku mengangkat wajan dan membawanya keluar. Mantan orak-arik kangkungku kubuang perlahan di tempat sampah.
“Tapi ganti sayur apa?” tanyaku dalam hati. Tak lama aku mendapat ide.“Bu Is, minta kangkungnya, ya,” kataku pada tetangga paling dekat rumah.“Ambil sajalah, Mbak.” Bu Is, tetangga baruku, menjawab dari dalam rumahnya.

Aku segera mengambil pisau dan wadah. Dengan gesit kupetik batang-batang kangkung di kebun belakang rumah Bu Is. Alhamdulillah, tidak perlu ke pasar untuk beli sayuran lagi. Satu genggam cukuplah untuk makan berdua. Aku cepat-cepat mencuci dan memasaknya.“Abi, tahu nggak?”“Apanya?” tanya suamiku sambil menyendok nasinya lambat-lambat. Begitulah dia, makannya lambat. Bahkan lebih lambat dariku. Padahal, aku ini kalau makan dari dulu sudah paling lambat dibanding teman-teman kosku.“Ummi tadi masak sayurnya sampai dua ronde, lho! Gara-gara telurnya busuk. Telur yang dijual di sini banyak yang busuk ya, Bi?”“Ya, memang begitu,” jawabnya ringan.“Kalau di Jawa nggak ada yang sengaja jualan telur busuk. Tapi kata Bu Is, di sini lain.” Suaraku menggantung.“Ummi jangan samakan Jawa dengan Timika sini. Kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri.” Pesan sponsor suamiku itu selalu kudengar kalau aku sudah cerita, tepatnya membandingkan, Jawa dengan Papua.

Kesan pertama tinggal di sini memang tak menggoda. Sampah-sampah menumpuk di pinggir-pinggir jalan. Belum lagi ludah merah, bekas orang mengunyah buah pinang dan kapur sirih, ada di mana-mana, tak sedap dipandang. Dan pasarnya…. luar biasa beceknya.Pengalaman belanja di pasar sempat pula membuatku takut belanja. “Kalau tak punya uang, tak usah beli!” teriak seorang pedagang saat aku berusaha menawar sebuah labu kuning kecil. Enam ribu, yang benar saja. Aku memilih pergi, tidak jadi membeli. Dengan uang belanja yang pas-pasan, aku harus berpikir keras untuk mendapatkan sayur dan lauk yang tepat.

Di sini semua dijual dengan pembulatan sampai seribu. Tak ada recehan. Seperti supermarket tradisional saja, keterampilan menawar barangpun tidak terpakai di sini.“Saya saat awal-awal tinggal di sini, sempat stres, Mbak. Harga-harga barang sangat mahal. Jadi harus pinter mengaturnya!” cerita seorang tetanggaku“Iya, uang lima ratus nggak laku. Pernah saya kumpulkan sampai satu kantong dan saya bawa pulang ke Jawa. Sampai digeledah petugas bandara karena dikira bawa emas,” cerita Bu Is yang suaminya pegawai di sebuah perusahaan asing penambang emas di Papua. Tapi, kebanyakan orang Indonesia tak tahu kalau Papua ada emasnya. Tahunya tambang timah. Kasihan betul negeriku ini…Aku memang baru beberapa hari tiba di Timika Tengah, di kota kecil yang padat. Suamiku sudah lebih lama tinggal di sini. Ia merantau dan berdagang di sini sejak lima tahun yang lalu.Sejak hari pertama, aku sadar untuk belajar banyak melapangkan dadaku. Bayangkan saja, saat melihat-lihat kota untuk pertama kalinya, ada pengendara sepeda motor yang meluncur tepat berhadapan dengan kami dari arah yang berlawanan, padahal kami berada di lajur kiri. Untung saja suamiku mengendarai sepeda motornya dengan pelan, sehingga tabrakan bisa dihindarkan.“Ya, di sini kita harus banyak mengalah.

Bahkan, kalau sampai ada anjing yang tertabrak, kita langsung kena denda!” Begitu suamiku menerangkan “peraturan” di jalan. Karenanya, ia tak pernah berani ngebut. Di sini aku memang melihat orang-orang begitu menyayangi anjingnya.Papua. Tanah impianku ini memang tak seeksotik yang kubayangkan. Bayangan tumpukan sampah dan rumput liar yang mengisi tanah-tanah kosong, jelas bukan gambaran yang eksotik. Dulu, sebelum menikah, aku punya obsesi untuk tinggal di pulau ini. Sebuah kesadaran akan perluasan dakwah menumbuhkan semangat itu. Aku begitu bersemangat mendengar ceramah seorang ustadz tentang dakwah di Indonesia Timur. Aku lantas merasa terpanggil.Tidak terbayangkan bahwa Allah memberiku peluang itu. Sebuah tawaran untuk menikah dari seorang ikhwan di Papua aku terima beberapa bulan lalu. Saat itu hatiku begitu takjub. Allah hampir memenuhi obsesiku. Dengan cara inikah aku sampai ke Papua, ya Allah? Akhirnya dengan dukungan teman-teman dan orangtua, aku menerima lamaran itu. Dengan proses cepat, aku menikah secara sederhana.

Dan Papua telah menungguku.“Huek, huek!” Insiden telur busuk itu seolah tak bisa kulenyapkan dari pikiranku. Aku jadi mudah mual dan muntah-muntah. Bahkan, aku jadi sulit makan beberapa hari ini. Perutkupun terasa sakit sekali. Rasanya aku belum pernah merasakan sakit perut lebih dari ini. Keringat dingin mulai menetes di keningku. Badanku panas dingin.Aku meninggalkan piring-piring yang belum kucuci. Segera aku masuk kamar, lalu mengoleskan minyak tawon di beberapa bagian tubuhku. Sambil menahan sakit, aku hanya tiduran sambil menunggu suamiku pulang.“Makanya, kalau disuruh makan itu nurut. Begini akibatnya, malaria. Di sini tidak baik membiarkan perut kosong. Rawan penyakit!” Ceramah suamiku saat mengendarai motor pulang dari klinik. “Masih untung malaria tertiana, kalau tropicana bisa-bisa bahaya. Ada teman yang kena syaraf sampai jadi gila, lho!”“Abi jangan bikin takut gitu, ah.” Aku menyodok pinggangnya.“Eh, bener, di sini banyak yang begitu. Sudahlah, pokoknya besok Ummi harus banyak makan. Abi tidak mau melihat Ummi sakit!”“Tapi Ummi nggak bisa! Bau telur busuk itu masih teringat terus. Atau, Ummi nggak masak dulu? Ganti Abi yang masak, ya?” He-he-he, akhirnya keluar juga manjaku.Begitulah, dalam beberapa hari suamiku mengerjakan tugas domestik. Badanku masih lemah. Obat malaria yang sangat pahit itu juga mengurangi nafsu makanku. Cuma roti dan susu yang bisa selamat kucerna.

Makanan lain masih termuntahkan.Konon, wabah malaria adalah sapaan hangat bagi pendatang di pulau ini. Pokoknya bukan orang Papua kalau belum kenalan dengan malaria. Makan kina seperti makan permen saja bagi orang Papua. Padahal, rasanya pahit sekali.Setelah pulih, aku sangat ingin jalan-jalan.“Sudah kuat? Nanti sakit lagi,” ujar suamiku.“Buat refreshing lah, Bi.”“Risiko nggak ditanggung, lho!”“Ya, pokoknya keluar. Ke mana saja deh. Cari matoa juga boleh,” pintaku penuh semangat.Beberapa kali aku sempat melihat orang menjual matoa di pasar. Sekarang lagi musim matoa, buah asli Papua. Bentuknya lonjong, sedikit lebih besar dari telur puyuh, dan rasanya mirip kelengkeng. Harganya relatif murah dibanding buah lainnya.“Apa kerja mereka, Bi?” tanyaku saat melihat beberapa penduduk asli yang asyik mengobrol di pinggir jalan yang kami lewati.“Nggak tahu, ya. Masih banyak yang berladang dan hanya mengambil hasil hutan. Tapi, ada yang kerja di proyek bangunan.”“Iya, kelihatannya mereka kuat-kuat. Yang perempuan juga. Ummi pernah lihat perempuan yang bekerja di proyek dekat apotek itu.”“Abi, apa mereka baik pada kita?” Hatiku ragu. Aku melihat sorot mata tidak bersahabat saat kami melintasi mereka.“Ya, sulit dikatakan. Mereka itu keras dan suka berkelahi.

Kalau sedang marah, apalagi dengan pendatang, mereka tidak peduli orang mana, asal bukan dari kalangan mereka, ya jadi sasaran. Bagi mereka pendatang, ya pendatang.”“Bahaya kalau gitu.”“Makanya, tidak aman pergi sendirian, apalagi perempuan.”Tak lama kulihat botol-botol minuman keras berceceran di jalan. Mabuk-mabukan agaknya sudah jadi kebiasaan di sini. Di pasar, aku juga sering melihat orang mabuk.Suamiku juga menjelaskan praktek pelacuran yang sudah lazim di sini. “Di dekat jalan tadi itu banyak rumah-rumah buat ‘begituan’,” tambah suamiku. Ah, pantas saja Papua punya angka penderita AIDS yang begitu tinggi.“Ke mana nih? Sudah sore,” tegur suamiku.“Ke dekat bandara saja. Pasti enak jalan-jalan sore begini.”Suamiku mengarahkan sepeda motornya keluar dari jalan raya, menyusuri jalan pinggir kota menuju bandara. Ada sebuah sungai yang cukup besar mengalir di tepinya. Airnya cukup jernih tapi gelap, sepertinya berlumpur dan banyak ganggangnya. Aku jadi ingat ikan air tawar yang aku beli di pasar kemarin. Kotor dan berlumut sehingga aku harus bekerja keras membersihkan sisiknya.“Kok dingin, ya? Rasanya aneh, bikin tidak enak badan.”“Makanya, sebenarnya Abi tak ingin mengajak Ummi ke luar. Cuaca di sini beda. Maunya jalan-jalan, eh malah dapat penyakit nanti. Tapi, biar Ummi merasakan sendiri, daripada ngambek,” kata suamiku datar.Suara serangga hutan yang berisik membuatku merasa tidak nyaman.

Nyamuk-nyamuk hutan terasa berseliweran di sekitarku. Pohon-pohon besar dan rimbun membuat suasana gelap. Aku jadi ingin segera pulang. Tanpa banyak berdebat, suamiku menuruti keinginanku.Kini aku tercenung, Terpikir kembali obsesiku untuk berdakwah di sini. Namun sekarang aku dihadapkan pada kondisi sesungguhnya. Orang-orang berperangai keras. Para pendatang yang matrealistis dengan tingkat moral yang memprihatinkan. Daerah transmigrasi yang kurang diminati karena kondisi jalan yang demikian buruk. Lingkungan yang rawan penyakit.Lalu, bagaimana caraku berdakwah? Hatiku jengah. Aku teringat buku-bukuku yang tersusun rapi di rak. Bayangan materi dakwah yang kupelajari tiba-tiba hadir. Aku menarik napas perlahan. Bergunakah semua itu di sini? Dengan apa kuketuk hati mereka untuk dekat pada Allah? Hatiku sibuk berdialog.Setelah sampai di rumah, aku lebih banyak diam. Berpikir. Hingga jauh malam aku sulit tidur.

Sementara suara gitar dan nyanyian parau berbahasa aneh membuatku terasa berada di negeri asing.“Apakah di tempat seperti ini, akan lahir anak-anakku nanti? Akan tumbuh seperti apa mereka?” Aku mencoba mengais harap. Aku teringat saat suatu siang kulihat kaki-kaki kecil berjalan tanpa sepatu dan bangunan sekolah yang tidak terawat. Wajah pendidikan yang meresahkan hati. Ada banyak yang mesti disiapkan. Dan aku mesti ambil bagian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar