TEMPAT TERINDAH
Ini adalah suatu masa di mana isu Pemanasan Global menyebar dengan gencarnya. Musim kini tak lagi bersahabat. Tak ada lagi kepastian antara pergantian musim hujan dan kemarau. Tapi aku menyukai musim kali ini. Suatu musim yang penuh dengan kehadiran angin-angin nakal yang senantiasa mengajakku menari bersama dedaunan yang berguguran, rerumputan yang bergoyang, dan kesunyian di kebun belakang sekolah.
Aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Hingga kini aku belum pernah mengatakan kata indah itu padanya. Rasanya tak ada sedikitpun keberanian untuk mengatakannya. Dalam hati ini, rasa itu semakin meluap dan agaknya mau meledak. Tapi aku masih saja bisa menekannya.
Kini ada suatu kekhawatiran besar di hatiku. Sebuah kekhawatiran, seandainya saja kata itu tak pernah terucap dari mulutku, akankah aku tak akan menyesal? Kali ini saja aku akan segera kehilangan sosoknya. Empat bulan lagi akan ada acara kelulusan. Aku pasti akan berpisah dengannya. Tapi lidah ini tak juga mau bergoyang untuk mengatakannya.
Dia tepat ada di depanku. Tapi aku tak pernah bisa menjangkaunya. Menyapanya saja aku tak berani. Apa seumur hidupku, kata itu tak akan pernah terucap? Apa aku harus terus menjadi pengagum rahasianya? Dida... tak bisakah kau melihatku sebentar?
”Venus....” sebuah belaian lembut membuyarkan pikiranku tentang Dida. Ku arahkan pandangan kepada orang yang tiba-tiba saja datang.
”Sudah aku duga, kau pasti ada di sini.” dia tersenyum. Ah... aku hampir saja lupa dengan pria ini. Seorang pangeran yang kini menjadi kekasihku. Senyumnya begitu indah, namun tak mampu menghapus keberadaan seseorang dalam hatiku.
”Melvi, kau mencariku?”
Dia tertawa kecil, menertawakan pertanyaan bodohku. Sementara kini, aku tak peduli lagi dengan orang yang sedang bermain voli di sana.
”Pertanyaanmu aneh. Untuk apa aku ke tempat ini kalau tidak untuk mencarimu? Tidak mungkin aku ingin bermain voli dengan mereka. Ah, sudahlah. Ayo kita ke kantin.”
Aku hanya mengangguk. Ia menggenggam erat tanganku seraya mengajak aku melangkah. Aku ini kejam sekali. Mengapa lelaki baik ini tak juga membuat hatiku luluh? Aku adalah kekasihnya. Tapi... mengapa di dalam hatiku justru ada Dida.
Teman-teman selalu mengatakan kalau aku adalah gadis beruntung yang bisa mendapatkan Melvi. Mereka selalu membayangkan, betapa bahagianya perasaanku sebagai gadis yang beruntung itu. aku mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa itu kebahagiaan? Apa aku merasa bahagia seperti yang selalu mereka katakan? Akupun tak bisa menjawabnya.
Seharusnya aku merasa bahagia. Seharusnya aku selalu tersenyum untuk Melvi. Tapi... hanyah ekspresi biasa-biasa saja yang selalu aku tampilkan. Aku memang pendiam. Itu yang semua orang tahu. Tapi dalam hatiku, aku selalu menggerutu hingga mata dan telingaku merasa lelah untuk mendengarkan keluh kesahku. Ini semua tentang Dida. Tapi bukan salahnya kalau aku menjadi seperti ini, meskipun sosoknya membuatku tak bisa melihat cinta dan ketulusan Melvi padaku.
”Kau adalah hatiku. Jika kau berkata tidak, akupun akan berkata tidak. Jangan pernah terlepas dariku. Karena tanpamu, aku tak akan pernah bisa berpikir.” begitu kata-kata yang pernah Melvi ucapkan padaku. Aku tak tahu mengapa ia bisa menyukaiku, hingga berkata demikian padaku.
Aku seperti seorang peri yang datang membawanya pada perubahan. Melvi adalah seorang yang keras dan emosian. Ia sering berkelahi layaknya seorang jagoan tanpa takut kepada peraturan sekolah. Kedudukan orangtuanya sebagai pemilik yayasan membuatnya tampak semakin berkuasa. Aku tak pernah suka orang seperti itu. Bahkan dia adalah salah satu orang yang selalu aku hindari.
Pertama kali berbicara padanya, ketika aku melihatnya sedang memukuli teman sebelah rumahku, Joe. Saat itu, banyak sekali orang yang melihat aksi kejamnya, tapi tak ada yang mau melerai. Aku lama-lama tak tahan melihat arena tinju dadakan itu. Kulangkahkan kaki meski aku sebenarnya sangat takut. Tanpa basa-basi, aku langsung memegang pundaknya. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan membantingku cukup keras ke tanah. Tulang-tulangku seakan patah semua. Aku melihat tatapan tajamnya mengarah padaku.
”Jangan sakiti dia....” kataku. Saat itu aku benar-benar ketakutan. Aku tak kuasa menahan tangis, karena seluruh tubuhku terasa sakit. Ia terus memandangiku seraya berjongkok di sampingku. Aku mencoba duduk sambil menghapus air mata.
”Maaf.” itu kata terakhir yang ia ucapkan sebelum memapahku ke ruang kesehatan. Kulihat tatapan matanya berubah menjadi sebuah tatapan yang hangat.
Entah apa sebabnya, mungkin sejak saat itu ia mulai menjadi pelindungku. Ia begitu baik. Sangat baik. Mungkin itu yang membuatku mau menjadi kekasihnya.
Selama aku bersamanya, telah banyak perubahan pada dirinya. Ia tak lagi berkelahi atau memukuli orang sembarangan. Meski terkadang ia masih suka emosian, tapi tak pernah sekalipun ia berkata kasar padaku. Ia selalu berusaha untuk membuatku tersenyum bahagia. Meskipun hal itu tak pernah terjadi.
Siang ini udara terasa panas, mengiringi kegembiraan Melvi dan teman-temannya yang telah mengalahkan SMA Garuda Sakti dalam pertandingan basket. Mereka merayakannya dengan makan-makan. Aku... tentu saja ikut bersama mereka. Ya... meskipun kemenangan itu biasa saja untukku. Sebenarnya saat itu aku ingin sekali pergi dan berkunjung ke tempat di belakang sekolah yang biasa aku datangi. Suatu tempat di mana aku bisa melihat pangeranku yang sesungguhnya. Rasanya hidupku tak mungkin tenang sebelum kata ’cinta’ itu terucap untuknya. Aku menunggu waktu yang tepat. Tapi... kapankah saat itu akan tiba?
”Venus... apa yang sedang kamu lamunkan?” sapaan halus Melvi selalu saja membuatku tersentak.
”Ah! Tidak.” jawabku singkat.
”Kenapa tidak dimakan? Tidak suka?”
”Aku tidak lapar.” ya ampun... lagi-lagi jawaban seperti itu yang aku ucapkan padanya. Venus... kenapa kamu seperti itu terhadap orang sebaik Melvi? Kenapa aku terus menerus seperti mayat hidup yang kehilangan harapan? Apa sebenarnya yang aku inginkan? Aku hanya bisa membuat Melvi bingung dan kecewa. Dia selalu berusaha membuatku tersenyum. Sedangkan aku... tak bisa sekalipun memberikan senyuman tulus untuknya.
”Jangan seperti ini terus. Aku bingung, Venus. Apa kau tidak pernah merasa bahagia bersamaku?” akhirnya pertanyaan itu terlontar juga.
”Maaf. Maaf telah membuatmu bingung. Maaf, karena aku tidak pernah bisa terlihat gembira di depanmu. Aku tak tahu, mengapa ekspresi wajahku seperti ini hingga membuatmu sedih.” tanpa sengaja aku menitihkan air mata. Rasanya tak tega juga kalau Melvi tahu yang sebenarnya.
”Sudahlah, aku tidak apa-apa. Jangan menyalahkan diri sendiri. Lain kali, aku tidak akan menanyakannya lagi.” ia menyeka air mataku sembari menebarkan senyuman, kemudian membelai rambut panjangku dengan lembut.
”Oo... diakah gadis yang sangat kau cintai itu?” tiba-tiba Firman dan teman-temannya dari SMA Garuda Sakti datang menghampiri kami. Melvi mengarahkan pandangan kepadanya. Teman-teman yang lain juga telah mengambil ancang-ancang seolah akan ada pertempuran hebat. Melvi memberi isyarat agar teman-temannya tenang.
”Apa karena dia, kau berhenti dari balapan liar? Tak aku sangka kau tak lebih dari seorang pecundang. Gadis lugu seperti dia bukanlah tipemu. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia.”
”Bug...!!” sebuah tinju melayang begitu kuat ke arah Firman hingga dia terjatuh, ”kau boleh mengatakan apapun tentang aku. Tapi aku tidak terima kau menghinanya! Anjing!” aku melihat amarah itu kembali menjalari Melvi.
Firman tersenyum sembari mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya, ”Hah! Hanya sebatas ini pukulanmu? Banyak kemunduran. Dulu kita teman, sekarang bermusuhan.” Firman bangkit, ”aku akan membalasnya pukulan ini seratus kali lebih menyakitkan dan tak akan pernah kau lupakan. Jaga baik-baik gadismu kalau kau tak ingin melihatku menyakitinya.” kata Firman sembari mengacungkan jari tengahnya.
Firman dan teman-temannya tersenyum mengejek sambil berlalu pergi.
”Bangsat!” Melvi mencoba mengejar mereka. Tapi sebelum itu terjadi, aku memegangi lengannya.
”Aku menyukai Melvi yang baik hati dan tidak suka berkelahi.” kataku.
Melvi menggenggam tanganku, ”Aku tidak akan memukul orang sembarangan. Kecuali, ada yang ingin mengganggu dan menyakitimu... aku tak akan segan membunuhnya.”
Semangat itu yang selalu membuatku tak nyaman. Ia mau melakukan segalanya untuk melindungi aku. Tatapan mata itu... tatapan mata yang tajam membara penuh dendam, tapi kadang berubah menjadi tatapan cinta yang penuh kehangatan. Aku tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika Melvi tahu kalau selama ini aku hanyah menyukai Dida. Apa dia akan menyakiti Dida? Seandainya begitu, lebih baik kusimpan rapat-rapat bayangan Dida di hatiku.
Daun-daun jatuh terbawa angin. Sungguh hangat sapaan mentari pagi ini. Seperti semangatku yang dasyat pagi ini. Aku kembali memainkan jemari, menuntun pensil menggambar sebuah sosok dalam selembar kertas. Hanya sketsa wajah itu yang selalu ingin aku abadikan dalam setiap liukan jemari yang memainkan pensil ini. Aku begitu takut kehilangan sosoknya. Aku takut jika suatu ketika aku tak bisa membayangkannya lagi. Dida... tidak apa-apa aku seperti ini. Tidak apa-apa kalau kau tak pernah tahu kalau aku menyukaimu.
”Apa yang sedang kau gambar?” ah... suara itu kembali muncul. Mengapa Melvi selalu muncul ketika aku sedang membicarakan Dida di hatiku. Aku langsung menjauhkan apa yang sedang aku gambar dari jangkauan pangeran yang duduk di sampingku ini.
”Apa aku tidak boleh melihat?” tanyanya. Akupun menggeleng.
”Kenapa!?” tanyanya lagi dengan penuh ekspresi keheranan.
”Karena aku belum menjadi seorang pelukis terkenal. Kalau cita-citaku sudah tercapai, kau boleh melihat semua gambarku.”
Kuangkat sketsa itu. Begitu indah. Melvi terus mencoba mengintip, tapi aku terus menghalang-halanginya.
”Dug!” tiba-tiba sebuah bole melayang tepat ke arah tanganku. Sketsanya ikut melayang bersama bola itu.
”Auw!” teriakku. Kukibas-kibaskan tanganku yang sakit.
”Mana yang sakit?” Melvi terlihat begitu khawatir. Ia memijat tanganku dengan lembut. Warna biru langsung muncul.
”Mm... apa ada bola yang melayang kemari?” tiba-tiba dia muncul. Oh... mengapa Dida muncul di saat seperti ini.
”Venus... kau kenapa?” tanyanya lagi. Aku hanya tersenyum kecil.
Sepertinya Melvi tak menyukai pertanyaan itu, ”Kalau tidak bisa bermain, untuk apa memegang bola? Jelas-jelas ada orang di sini, apa kau buta!”
Tiba-tiba Melvi langsung bangkit, mendorong Dida hingga jatuh, kemudian memukulinya di depan mataku. Sama seperti ketika aku melihatnya sedang memukuli Joe.
”Melvi, hentikan!” teriakku. Satu tonjokkan ia hentikan sebelum mendarat di pipi Dida. Melvi mendorong Dida dengan kasarnya. Amarah masih terpancar dari kedua mata melvi. Dida babak belur. Anak-anak yang sedari tadi juga bermain voli hanya berani memandangi dari kejauhan. Melvi menggandeng tanganku dan mengajak pergi. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Orang yang aku sukai sedang kesakitan tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Di ruang UKS, Melvi mengompres tanganku dengan air es. Ia memperlalukan lukaku seperti sebuah luka yang parah dan harus ditangani dengan baik. Padahal hanya memar saja. Ya... walaupun terasa cukup sakit. Aku heran sendiri. Mengapa kulitku sungguh sensitif. Hanya terkena pukulan bola saja bisa sampai bengkak.
Beberapa saat kemudian anak-anak klub basket datang dengan raut muka masam dan pandangan sinis. Aku tahu, mereka pasti kesal karena sejak awal Melvi terlalu memanjakan aku. Memang sejak awal seharusnya aku tak mengenal Melvi. Dia telah memiliki teman-teman yang begitu menyayanginya. Aku tak pantas bersama mereka. Kupandangi wajah Melvi yang bersih dengan senyuman manisnya. Tangannya yang lembut dengan hati-hati membalutkan perban di tanganku.
“Melvi… kita harus segera berangkat. Jangan sampai kita terkena diskualifikasi karena terlambat datang.” Arjuna akhirnya angkat bicara.
”Sebentar.” begitu jawaban Melvi. Ia tak sekalipun mengalihkan perhatiannya dariku.
”Itu kan hanya luka kecil. Petugas UKS juga bisa menangani. Pertandingan kita jauh lebih penting!” sahut Zilan.
Melvi menoleh, ”Aku bilang sebentar! Sekali lagi kalian berani bicara, aku hajar kalian satu per satu!”
Suasana kembali hening. Melvi kembali melanjutkan memasang perban di tanganku.
”Pergilah! Biarkan petugas UKS yang melanjutkan. Aku juga tak ingin melihatmu kalah.” kataku.
”Aku juga tak ingin menang tanpa kehadiranmu.”
Aku terdiam. Kubiarkan Melvi menyelesaikan membalut tanganku. Beberapa saat kemudian, mereka keluar meninggalkan UKS. Aku dan Melvi mengikuti di belakang mereka. Ketika akan menuju tempat parkir, sekilas aku berpapasan dengan Dida. Ia memandang ke arahku dan sempat melihat tanganku yang dibalut perban. Sudah terlanjur ia melihat. Meski aku mencoba untuk menyembunyikannya.
* * * * *
Aku... masih juga suka mengunjungi tempat indah di belakang sekolah. Meskipun kali ini aku tidak bisa menggambar, setidaknya hari ini aku akan bertemu dengannya. Tapi sepertinya hari ini ada yang berbeda di sana. Terdengar suara anak-anak dari klub voli sedang menggerutu, berbicara dengan nada kesal. Aku mendekat. Kulihat lapangan voli yang sangat mengenaskan, sangat berantakan seperti baru tersapu angin topan. Net yang robek, bola-bola yang kempes, dan bangku-bangku yang patah.
”Meskipun klub voli kurang berprestasi dan ingin dibubarkan, tidak seharusnya mereka memakai cara seperti ini.”
”Aku rasa pelakunya orang yang sangat kekanak-kanakkan dan masa kecilnya tidak bahagia. Sempat-sempatnya mereka mencangkuli lapangan kita dan menanam pohon di sini. Bangku-bangku dihancurkan. Seperti atraksi debus saja.”
”Net yang aku beli juga durusak. Padahal dua bulan aku harus menabung untuk mendapatkannya.”
”Sudahlah, kalau kita terus menggerutu, kapan tempat ini akan kembali seperti semula. Lagipula sejak dulu kejadian seperti ini sudah sering dialami oleh pendahulu kita. Kita harus menerima, karena klub kita belum mendapat pengakuan dari kepala sekolah. Untuk itu kita harus terus giat berlatih agar dapat mendapatkan banyak kemenangan, sehingga sekolahan ini bisa membanggakan kita.” ucap Dida sembari membereskan bangku-bangku yang rusak.
”Kamu terlalu santai menyikapi masalah. Bukankah kamu yang paling banyak bekerja keras untuk mengusahakan klub kita tetap ada? Apa tidak sayang dengan uang yang telah kamu keluarkan untuk membeli bola-bola yang sekarang sudah kempes ini?”
”Sebentar...” tiba-tiba Dida menoleh ke arahku, menyadari kehadiranku. Ia tersenyum, kemudian berjalan menghampiri aku. Sementara yang lain melanjutkan pekerjaan mereka.
”Hai...!” sapanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecil. Setelah sekian lama, baru kali ini aku sedekat ini dengannya. Ini pertama kalinya Dida menyapaku lagi.
”Mm... maaf, tidak ada tempat duduk lagi. Semuanya hancur.” katanya dengan senyuman miris. ”Eh, kita duduk di batu itu saja.” Dida menunjuk ke sebuah batu besar yang terletak di sudut dan kita akhirnya duduk di sana. Meskipun mukanya masih menampakkan bekas pukulan Melvi, tapi aku merasa kalau ia masih tetap manis.
”Apa yang terjadi?” tanyaku. Oh, aku senang sekali sampai ingin pingsan saja. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa berbicara dengan Dida. Dia pernah satu kelas denganku saat kelas sepuluh. Sekarang kita telah berbeda kelas meskipun sama-sama mengambil program IPA.
”Ya, persaingan antar klub. Tidak perlu dipikirkan. Hanya perlu dibereskan.” ia kembali menjawab pertanyaanku dengan senyuman. Sikapnya seolah-olah biasa saja. Tapi aku tahu, sebenarnya dia sangat kecewa.
”Eh, bagaimana dengan tanganmu, apa masih sakit?”
”Ah, tidak! Hanya luka kecil. Sebentar lagi juga sembuh.” Kataku sambil nyengir kuda. Sebenarnya aku juga heran sendiri. Sudah tiga hari, tapi bengkaknya belum sembuh juga.
“Maaf, gara-gara aku hari ini kau tidak bisa menggambar.”
”Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku tahu, itu tak sengaja. Seharusnya aku yang minta maaf, karena Melvi telah memukulmu.”
”Dia berhak memukul orang yang telah melukai gadis yang ia cintai. Eh, tunggu sebentar.” Dida bangkit dari duduknya, berjalan menuju sebuah lemari usang, mengambil selembar kertas dari dalamnya, kemudian memberikannya padaku. Betapa terkejutnya aku, ternyata kertas itu adalah sketsa wajah Dida yang waktu itu terbang bersama bola. Aku malu sekali! Akhirnya dia tahu kalau waktu itu aku sedang menggambar dirinya.
“Sketsamu bagus. Suatu saat, aku ingin kau melukisku. Tapi setelah luka-luka di wajahku sembuh. Karena aku tidak mau terlihat jelek nanti.” guraunya. Aku tersenyum. Dia masih bisa melucu, meskipun suasana kadang ia buat serius.
”Mm... Venus, aku senang dengan kehadiranmu di sini. Tapi sebaiknya kau lebih dulu kembali ke kelas sebelum bel berbunyi. Jangan sampai Melvi memiliki prasangka ketika melihatmu di sini.”
Meskipun aku masih ingin berlama-lama di sini, tapi aku bisa mengerti apa yang dikhawatirkan Dida. Dia hanya tidak ingin ada keributan, apalagi dalam suasana seperti ini. Aku mengangguk.
”Kau tidak kembali ke kelas?” tanyaku.
”Setelah bel berbunyi, aku dan teman-teman akan kembali ke kelas.”
Akhirnya aku berjalan meninggalkan Dida sembari membawa selembar sketsa. Hari yang menyenangkan, meski tak sepenuhnya menyenangkan. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk lebih mengakrabkan diri dengan Dida.
Jam pelajaran terakhir kosong. Teman-teman sudah banyak yang keluar kelas. Ada yang ingin ke kantin, mengunjungi perpustakaan, berjaga di UKS, bahkan aku sempat mendengar ada yang ingin kabur lewat pintu belakang. Karena meskipun tidak ada guru yang mengisi pelajaran, pintu gerbang utama belum terbuka sebelum pelajaran berakhir. Apalagi di depan ada empat orang satpam yang berjaga-jaga.
Aku sendiri memilih untuk tetap duduk di kelas sambil mengamati sketsa yang pernah aku buat. Sedikit lusuh dan kotor, tapi akan menjadi sketsa yang paling aku suka. Dida... dia pasti berbohong. Dia pasti tidak kembali ke kelas. Dia pasti tetap bertahan di sana sampai semuanya beres.
Ketika aku sedang terhanyut dalam lamunan, tiba-tiba Melvi sudah ada di hadapanku dengan menebarkan sebuah senyuman. Ah, kali ini aku sungguh tak ingin melihatnya. Dia membuat aku kesal. Aku membuang muka.
”Hey, putri yang cantik hari ini murung? Adakah yang bisa membuatnya ceria kembali?” tanyanya. Aku hanya menggeleng.
”Venus, kau kenapa?” tanyanya lagi.
Aku menoleh ke arahnya, menatap dengan tatapan tajam dan dalam, ”Hari ini dan seterusnya mungkin aku tidak bisa senang. Seseorang telah menghancurkan tempat terindahku. Aku tidak bisa lagi merasa nyaman di sana. Aku tak mungkin bisa tersenyum!” kataku dengan nada sedikit keras.
Melvi menunduk seakan ia tahu kalau aku sedang menuduhnya. Ya, memang aku menuduhnya. Aku kesal padanya. Dia telah membuat orang yang aku kagumu dalam-dalam merasa kecewa dan sedih. Kami terdiam.
”Venus.” sebuah sapaan membuyarkan suasana. Aku dan Melvi menoleh. Dida berdiri di depan pintu, melayangkan senyuman ke arahku, namun senyum itu kian pudar karena keberadaan Melvi.
Dida muncul di saat yang tidak tepat. Ia berjalan perlahan menghampiriku. Melvi masih tertunduk.
”Maaf, telah mengganggu. Aku hanya ingin mengembalikan peralatan menggambar milikmu. Tadi tertinggal di sana.” katanya sembari memberikan buku gambar dan kotak pensil.
Aku lupa. Meskipun tidak menggambar, aku selalu membawanya. Melvi akhirnya tahu kalau aku pergi ke tempat itu. Bodohnya aku, selalu membuat suasana semakin tidak nyaman.
”Semoga tanganmu lekas sembuh dan bisa menggambar lagi di sarang klub terasing. Tentunya kalau kau masih berkenan melihat tempat yang berantakan seperti tadi. Baiklah, aku harus kembali lagi. Maaf, telah mengganggu.” ucap Dida sebelum pergi.
Selepas Dida pergi, suasana kembali hening. Ketika bel pulang berbunyi, barulah Melvi mengajakku pulang.
* * * * *
Malam ini langit cerah bertaburan jutaan bintang. Bulan bersinar begitu terang. Seperti itulah gambaran langit yang tadi sempat aku lihat sebelum Ibu menyuruhku masuk kamar, minum obat, dan istirahat. Melvi juga sempat menelepon, memastikan aku sudah minum obat atau belum.
Aku hampir bosan dengan semua itu. Setiap hari aku harus minum obat. Hampir setiap minggu harus check-up ke dokter dan disuntik. Padahal aku merasa tidak sakit. Tapi kata ibu itu harus, untuk menjaga kesehatan karena aku anemia. Huh! Aku pikir anemia tak separah itu.
Kulayangkan pandangan ke dinding di sebelah tempat tidurku. Aku tersenyum, membalas Dida yang tersenyum dalam sketsa yang aku buat. Aku baru menyadari kalau aku telah banyak membuat sketsa Dida. Biarlah menjadi kenang-kenangan meskipun aku tak bisa bersamanya.
“Tok… tok… tok…. “ tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk jendela kamar.
Aku menjadi takut sendiri. Tapi suara ketukan itu terus berlanjut. Kuberanikan diri berjalan menuju ke arah jendela, membuka tirai, dan menyibakkan jendela kacanya. Udara dingin langsung menyeruak masuk.
”Srek!” seseorang berpakaian serba hitam dan bertopeng tiba-tiba muncul dan mengacungkan pisau ke arahku. Jantungku seakan berhenti seketika. Aku hampir mati berdiri.
”Kalau tidak ingin terluka, diam dan ikuti aku!” tegasnya.
Orang bertopeng itu menggandeng tanganku sambil terus mengacungkan pisaunya tepat di leherku. Aku tak berani berkata-kata. Dia terus menggajakku berjalan menuju pintu belakang. Sesampainya di jalan, sebuah mobil telah menunggu. Aku disuruh masuk ke dalam mobil ada empat orang di dalamnya. Dua orang diantaranya langsung menutup mataku. Ini seperti penculikan-penculikan sebelumnya. Saat masih kecil, lima kali aku hampir menjadi korban penculikan. Kali ini sepertinya mereka akan berhasil.
Aku tak berani bersuara selama perjalanan. Orang-orang yang menculikku ini juga hanya diam. Sesampainya di suatu tempat, aku diturunkan. Mereka memaksaku berjalan mengikuti arahan mereka. Cukup lama mereka mengajakku berputar-putar, hingga aku tak tahu kemana mereka membawaku.
Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai di tempat yang mereka maksud. Seseorang membuka ikatan mataku. Penglihatanku cukup samar, karena terlalu lama ditutup.
”Krek!” tiba-tiba beberapa lampu menyala bersamaan, menyilaukan mata. Aku melihat keadaan sekeliling yang kini terlihat jelas. Suatu tempat indah yang sepertinya aku kenal. Lapangan voli!
Sunggu sangat berbeda dengan apa yang aku lihat tadi siang. Sangat indah. Lapangan voli yang bentuknya lebih baik dari yang biasa aku lihat. Net telah terpasang rapi di tengahnya. Bangku-bangku kayu yang rusak telah tergantikan oleh bangku-bangku bercat kuning yang terbuat dari besi. Dinding yang semula terlihat kusam dengan lumut-lumut yang menempel, kini telah menjadi indah dengan cat warna biru. Rumput-rumput liar sudah habis dipangkas, tergantikan oleh tanaman hias yang indah. Bola-bola yang rusak sudah diganti dengan bola-bola baru yang banyak. Lemari tua yang biasa aku lihat telah berganti menjadi lemari kaca yang besar.
Aku sangat terkesima. Kubalikkan tubuh ke belakang. Melvi! Aku kembali dibuat terkejut. Senyum yang sedari tadi terpasang hilang begitu saja. Aku kira dia Dida.
”Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum karena melihat ekspresiku yang aneh.
”Ka...u yang membuat semua ini?”
Ia kembali tersenyum, “Iya.”
“Tentunya dengan bantuan kami.” Sahut Arjuna. Aku kembali terkejut setelah tahu kalau orang yang mengacungkan pisau ke arahku adalah Arjuna. Menyusul kemudian yang lain membuka topengnya. Zilan, Ray, Idrus, Sofan, semuanya tertawa kecil, menertawakan aku.
”Oh, ternyata kalian yang menculikku.” gumanku.
”Kami hanya orang suruhan. Otak dari semua ini adalah Melvi.” ujar ray.
Aku memandang kesal ke arah Melvi yang tepat berada di depanku sedang tersenyum. Tapi akhirnya aku luluh juga. Sekeras apapun sikapnya, dia tetap memiliki sisi baik. Tapi mengapa aku tak juga bisa menyukai lelaki bermata bening ini.
”Melvi seharian ini telah bekerja keras untuk mengecat seluruh dinding di sini dengan warna biru dan kuning.” ujar Zilan.
”Hey, sebaiknya kita tidak mengganggu mereka berdua. Melvi, sekarang dia tanggung jawabmu.” ucap Sofan seraya mengajak teman-temannya pergi.
Melvi kembali tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyuman pula. Mata beningnya memancarkan tatapan cinta. Ia menggandeng tangan kiriku dengan erat.
”Kau menyukai tempat ini?” tanyanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan.
”Apa yang kau suka, aku akan berusaha menyukainya. Maaf, jika selama ini aku kurang bisa memahamimu. Kau terlalu sedikit bicara, terkadang membuat aku sedikit bingung.”
Mataku berkaca-kaca. Entah mengapa aku tiba-tiba memeluknya, ”Terima kasih. Terima kasih akan banyak hal yang telah kau lakukan untukku. A... aishiteru!”
Aku terkejut dengan kata-kataku sendiri. Baru kali ini aku mengatakan kata itu padanya. Kata yang kujaga hanya untuk Dida. Apa aku mulai menyukai laki-laki ini?
”Hachi...!” tiba-tiba aku bersin.
”Kau kedinginan?” tanya Melvi seraya melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku.
”Malam ini memang sepertinya dingin sekali. Sebaiknya kita pulang, kau bisa kembali ke tempat ini kapan saja.” tuturnya seraya mengajakku pulang.
Melvi mengantarku sampai di depan jendela. Selarut ini ia masih bisa mengembangakan senyuman hangatnya. Kulepas jaket yang sedari tadi aku kenakan dan aku pakaikan ke tubuh Melvi.
”Masuklah, sebelum ibumu menyadari kau tak ada di tempat tidurmu.” pintanya lembut seraya memberikan sebuah kecupan di pipi kananku. Ia kembali tersenyum, ”Masuklah.” katanya lagi sembari hampir membukakan pintu jendela untukku. Aku segera mencegahnya.
”Tidak etis seorang laki-laki melihat tempat tidur perempuan.” kataku. Melvi tampaknya bisa menerima. Sebenarnya aku hanya tidak ingin Melvi melihat apa yang terpasang di dinding kamarku. Aku tidak ingin membuatnya kecewa.
”Boleh, aku meminta satu bantuan besar padamu?”
”Apa?” tanyanya dengan raut penuh tanya.
”Sekian lama aku menyukai suasana tenang di lapangan voli. Tapi mungkin ini saatnya aku ingin tempat itu menjadi sedikit ramai, menjadi salah satu tempat menyenangkan seperti lapangan basket, lapangan futsal, dan lab musik. Bisakah?” pintaku sembari menatap dalam-dalam kedua mata bening lelaki itu.
”Maksudmu... kau ingin voli menjadi salah satu ekskul andalan di sekolah?” tanyanya. Aku mengangguk.
”Mereka belum memenuhi kriteria. Sejak pertama kali di bentuk, tak pernah sekalipun ekskul voli memberikan kebanggaan. Justru sebaliknya, selalu tampil memalukan di setiap pertandingan. Peminatnya saja jarang, tak ada yang berbakat. Sebenarnya ekskul itu sudah dibekukan sejak lima tahun lalu. Tapi, orang-orang yang sering kau lihat di sana, entah mengapa menghidupkan tempat itu lagi.”
”Mungkin karena kurangnya fasilitas dan pelatih, ekskul voli tidak berkembang. Mereka membutuhkan dukungan. Setiap kali aku duduk di sana, aku selalu melihat semangat yang tinggi dan gigih untuk tetap berlatih. Walaupun tempat mereka sering diacak-acak, mereka tidak pernah putus asa. Bersama-sama mereka akan membereskannya sendiri. Tanpa sepengetahuan pihak sekolah, ternyata mereka sudah pernah memenangkan lima tropi kejuaraan tingkat daerah. Bahkan sekarang mereka sedang giat-giatnya berlatih untuk menghadapi pertandingan tingkat provinsi, bertepatan dengan hari pertandinganmu.”
”Kau peduli kepada mereka?” tanyanya penuh curiga, seakan menghakimi kalau ada sesuatu rasa yang lain.
”Aku cukup banyak mendengar keluh kesah mereka dari kejauhan. Mereka merasakan ketidakadilan, karena sama-sama membayar SPP yang mahal, tapi tidak bisa menikmati apa yang seharusnya mereka dapatkan.”
”Tapi ada banyak ekskul lain yang bisa mereka pilih.”
”Kau pastinya tahu, orang biasa tidak pernah memiliki pilihan. Adakah anggota di klub basket yang berasal dari keluarga seorang tukang kayu, kuli bangunan, atau sopir taksi?” Melvi terdiam mendengar pertanyaanku.
”Apakah dunia harus terus seperti ini? Seandainya aku berasal dari kalangan orang biasa, mungkin kau juga tak akan mencintaiku.” kataku dengan nada kesal. Melvi tak langsung merespon, membuatku kesal dan berniat langsung masuk kamar saja.
Melvi menahan tanganku, “Aku tak pernah melihatmu sebagai orang lain. Venus adalah Venus. Satu-satunya wanita yang begitu dalam mengisi hatiku.”
Kata-kata Melvi membuatku terharu. Seseorang yang tak pernah memperdulikan orang lain tiba-tiba saja bisa peduli kepadaku. Aku mulai terhanyut dengan perasaanku sendiri.
”Aku akan berusaha untuk sedikit mengubah dunia menjadi seperti yang kau inginkan.” katanya seraya mencium keningku dan beranjak pergi meninggalkan sebuah senyuman. Aku segera beranjak memasuki kamar. Selamat malam dunia.
Beberapa hari kemarin aku tidak bisa berangkat sekolah karena sakit. Siang ini aku sengaja datang untuk mengintip reaksi teman-teman klub voli melihat tempat latihan mereka yang baru. Ajakan Melvi untuk makan bersama di kantin aku tolak. Sesampainya di sana, kulihat mereka semua sedang bermain voli dengan keceriaan yang lebih dari biasanya..
Mereka membunyikan musik sambil sesekali menari-nari. Kulihat Dida ikut larut dalam kegembiraan itu. Seandainya Dida dan Melvi adalah satu orang yang sama, tentunya aku tidak akan bingung menentukan arah perasaanku. Hatiku telah lebih dulu terpaut untuk Dida. Tapi kini hatiku sedikit menyimpang dari semestinya, hatiku mulai terhanyut dalam ketulusan cinta seorang Melvi.
”Venus, kemari!” seru Dida. Aku sedikit terkejut, karena ternyata Dida menyadari kehadiranku. Semua mata tertuju padaku. Aku tak bergeming. Tapi Dida malah menghampiriku dan menarik aku untuk bergabung bersama mereka.
”Teman-teman, inilah peri cantik yang selalu setia menemani kita di sini.” seru Dida. Semua melemparkan senyuman padaku. Aku bingung dan hanya bisa membalas sambutan itu dengan senyuman pula.
Iman tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah mahkota yang terbuat dari akar pohon dengan hiasan dedaunan dan bunga kering. Ia memakaikannya di kepalaku.
”Peri cantik, selamat datang kembali di sarang kami.” katanya.
Baru kali ini aku sedekat ini dengan mereka semua. Biasanya aku hanya bisa melihat mereka dari kejauhan. Terkadang, meskipun mereka melihatku di sana, mereka hanya melemparkan senyuman. Sekalipun tak pernah saling bicara. Sekarang aku bisa berbicara bersama mereka.
”Aku mewakili teman-teman berterima kasih padamu.” kata Dida.
”Kenapa berterima kasih? Aku tidak pernah melakukan apapun untuk kalian. Kalian bahkan mungkin merasa terganggu dengan kehadiranku di tempat ini.”
”Kami justru senang, masih ada orang yang mau berkunjung ke tempat ini.” Sahut Iman.
“Berkat dirimu, tempat ini bisa berubah menjadi indah. Seandainya peri cantik seperti dirimu tidak pernah datang kemari, tempat ini pasti akan menjadi lebih buruk.” Tambah Soni.
“Benar. Kelembutan hatimu juga telah menyentuh perasaan kepala sekolah untuk meresmikan keberadaan klub ini. Sekarang dan seterusnya, aku yakin, tempat ini akan tetap ada.” ujar Ryan.
”Semua ini karena kerja keras dan semangat kalian. Siapapun yang melihat, pasti akan tersentuh dengan semangat kalian mempertahankan tempat ini.” balasku. Mereka semua tersenyum.
”Venus.” tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilku.
Melvi. Senyum-senyum yang tadi mengembang seketika hilang. Akupun tak berani tersenyum. Aku takut Melvi akan marah lagi melihatku bersama mereka. Ia berjalan mendekatiku, sorot matanya tajam mengarah kepada Dida dan teman-temannya.
”Siang ini kau belum minum obat. Kau harus makan siang, jangan sampai terlambat makan lagi. Ayo.” ajak Melvi seraya menggandeng tanganku.
Suasana hening. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Dida dan teman-temannya juga tak ada yang berani angkat bicara. Aku sempat menengok dan melemparkan senyuman. Tapi mereka hanya membalasnya dengan senyuman yang canggung.
Usai sekolah, Melvi mengajakku menonton balapan motor di Sirkuit Sentul. Aku kurang mengerti, apa yang menarik melihat kepulan asap dan suara bising di sana. Melvi mungkin salah mengajak orang. Aku sedikitpun tak menyukai tempat itu. Setelah balapan usai, Melvi mengajakku menghampiri orang yang baru saja berhasil finish pertama.
”Hey, Melvi. Terima kasih sudah menyempatkan datang.” kata orang itu seraya memeluk Melvi. Mereka tampak seperti dua orang yang sudah saling akrab.
”Aku salut padamu, Soji. Kau selalu menjadi yang terbaik. Em, iya. Kenalkan, ini Venus.” tutur Melvi.
”Oh, Nona manis ini pasti kekasihmu. Hati-hati, Melvi sangat pencemburu. Kau tahu, dia selalu marah setiap kali aku mengalahkannya dalam balapan. Kalau ada yang mendekatimu, pasti dia akan cemburu. Bukankah begitu?” Melvi cemberut. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata Soji. Tanpa ia mengatakan, aku sudah tahu.
”Kau tahu, tidak. Dulu aku, Melvi, dan Firman sering menghabiskan waktu bersama di jalan. Kami sering adu nyali dalam balapan liar. Tapi sekarang hanya Firman yang masih bertahan. Aku juga masih menyukai balapan, tapi sudah berada di tempat yang benar. Sedangkan orang ini, entah mengapa malah beralih ke dunia basket.”
”Hey, tidak perlu dibahas. Kau ingin lari dari janjimu untuk mentraktirku.” potong Melvi. Akhirnya pembicaraan terhenti dan Soji mengajak kami makan di restoran mewah.
* * * * *
Sore ini matahari masih bersinat terang. Sangat indah. Seindah sosok yang sekarang sedang aku lukis. Dia adalah model lukisanku yang pertama. Dida. Dia sangat menawan, hingga aku terus tersipu dibuatnya.
”Apakah masih lama? Aku sudah tidak kuat.” keluh Dida. Hampir satu jam ia terus berdiri dengan gaya yang sama.
“Ia. Kau boleh istirahat. Sebentar lagi lukisannya selesai.” kataku. Dida langsung menggerak-gerakkan tubuhnya.
Andai saja aku bisa lebih lama berdua dengannya. Ah! Itu lagi. Bukankah aku sedang mencoba untuk mencintai Melvi? Tapi mengapa Dida masih saja tak tergantikan.
”Wah... lukisan ini jauh lebih tampan dari yang dilukis.” guman Dida. Aku hanya tersenyum.
”Ah, suatu kebanggaan bisa dilukis oleh seorang peri cantik.” tambahnya.
”Sudah selesai. Kita tunggu sampai kering sebentar, baru kau bisa membawanya pulang.”
Aku meletakkan lukisan itu di tempat yang masih terkena sinar matahari. Sambil menunggunya kering, Dida mengajakku duduk bersama sambil menikmati jus mangga.
”Rasanya sudah lama sekali aku tak melihatmu tertawa lepas seperti yang biasa kita lakukan saat kelas sepuluh.” ujar Dida.
”Kau telah berubah. Aku hampir tak mengenalimu lagi.” lanjutnya lagi.
Aku termenung mendengar ucapan Dida, ”Setiap orang pasti berubah. Kaupun menjadi lebih pendiam dari sebelumnya.”
“Aku diam karena terlalu terkejut. Terkejut melihatmu bersama orang yang dulu sangat kau benci. Aku selalu bertanya-tanya... mengapa harus Melvi? Mengapa bukan aku?”
Dida membuatku menoleh ke arahnya. Mata kami saling beradu. Binar mata itu indah sekali.
”Seandainya waktu bisa diputar kembali, maukah kau menjadi kekasihku?”
Kata-katanya membuat aku terbelalak tak percaya. Apa yang barusan aku dengar? Benarkah?
Dida tersenyum, ”Aku hanya bercanda.”
Aku kecewa. Seandainya saja dia benar-benar menyukaiku, maka pertanyaanku selama ini bisa terjawab, bahwa cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dia telah meruntuhkan harapanku. Aku yang bodoh. Mana mungkin Dida menyukaiku. Dia pernah mengatakan, kalau dia menyukai gadis yang enerjik seperti anak-anak cheerleaders. Aku tak termasuk dalam kriterianya.
”Eh, sudah cukup sore. Ayo kita pulang.” Ajak Dida.
”Em, kau boleh pulang lebih dulu. Aku menunggu sopir menjemputku.” Kataku. Sebenarnya aku hanya mencari-cari alasan agar tidak pulang dengannya. Aku takut Melvi tahu dan sesuatu yang buruk kembali terjadi.
”Sopirmu masih satu jam lagi akan datang. Atau... kau malu, pulang jalan kaki bersamaku?”
”Bukan begitu.” pulang bersamanya, tentu saja itu yang aku inginkan.
”Ya, aku tahu, kau telah terbiasa menaiki mobil mewah. Sangat aneh jika tiba-tiba jalan kaki. Aku bisa mengerti.”
”Hey, jangan marah. Aku hanya bercanda. Baiklah, aku mau ikut bersamamu.”
Dida tersenyum mendengar jawabanku. Ia langsung menarikku dan menyambar lukisan yang baru kering.
Baru sekali ini aku pulang jalan kaki. Sedangkan Dida, hampir setiap hari melakukannya. Padahal dia adalah putra tunggal seorang pengacara terkenal di kota Bandung ini. Dia berbeda, tidak seperti kebanyakan orang yang suka membangga-banggakan kekayaan orangtuanya dengan membawa mobil mewah ke sekolah. Seandainya mau, dia bahkan bisa bergabung dengan klub basket atau futsal yang dikuasai anak-anak orang kaya. Entah mengapa dia memilih untuk menghidupkan kembali tim voli, ekskul yang diminati orang-orang biasa. Tapi justru itulah yang aku suka darinya.
Sepanjang perjalanan, Dida terus menceritakan hal-hal lucu yang pernah ia alami bersama tim volinya. Gaya bicaranya masih seperti yang dulu. Membuat aku tak bisa menahan tawa. Dia bukan anak yang konyol, tapi selalu bisa membawa suasana. Di lampu merah, dia membelikan aku es kolang-kaling. Rasanya aneh, tapi enak.
Semua berjalan baik-baik saja hingga Firman dan lima orang temannya tiba-tiba muncul di dekat jembatan.
”Kita bertemu lagi.” sapanya padaku. ”Sayang, Melvi tidak di sini. Seandainya dia tahu kekasihnya pulang bersama orang lain... pasti sangat menyenangkan.”
”Siapa kalian? Mengapa menghalangi jalan kami?” tanya Dida dengan tegas.
”Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur. Pergi dan biarkan nona ini menyelesaikan masalahnya denganku. Aku jamin, Melvi tidak akan tahu kau pulang bersamanya.” pinta Firman seraya mendekat. Dida menghalanginya mendekati aku.
”Dia pulang bersamaku. Aku memiliki tanggung jawab untuk mengantarnya pulang dalam keadaan baik.” tegas Dida. Aku salut padanya.
”Oh, baiklah. Ini berarti kau menantangku.”
Dida dan Firman saling melemparkan tatapan tajam. Dida menyuruhku untuk mundur. Perkelahian langsung terjadi. Dida tidak mungkin bisa menghadapi enam orang itu sendiri. Orang-orang yang melihat hanya berdiam diri, tak ada yang berusaha melerai. Aku hanya bisa melihat Dida dipukuli berkali-kali.lukisan yang baru selesai aku buat langsung rusak.
Ini semua salahku. Seandainya aku tak pulang bersamanya, semua ini tidak akan terjadi. Aku orang tidak berguna yang hanya bisa berdiri kaku melihat orang yang aku cintai dipukuli orang. Tak terasa air mata meleleh dipipiku.
”Venus.” sebuah sapaan lembut menghampiriku. Aku menoleh ke belakang.
”Melvi.” lirihku.
Tangisku langsung meledak dipelukannya. Aku sangat takut.
”Jangan takut. Aku sudah ada di sini.” kata Melvi menenangkanku. Ia mengusap air mataku dengan sapu tangannya. Kulihat binar matanya kali ini dingin.
”Akhirnya kau datang.” ucap Firman menyadari kehadiran Melvi. Aku melihat Dida terkapar tak berdaya. Wajahnya dipenuhi luka.
Melvi melepaskan genggaman tanganku. Dia melangkah maju menghampiri Firman. Dia langsung memukul Firman. Teman-teman Firman yang tidak terima, langsung berusaha mengeroyoknya. Tapi Melvi bisa mengimbangi mereka. Semangat membara dan menggebu-gebu itu kembali muncul. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, Dida kembali bangkit dan membantu Melvi menghadapi mereka.
”Kau masih mau membela gadis yang diam-diam pulang dengan teman laki-lakinya? Kau tahu, lukisan itu sepertinya dibuat dengan penuh rasa cinta. Apa mungkin gadis yang sangat kau cintai itu menyukai orang lain?” ujar Firman untuk memancing emosi Melvi.
”Bug!” Melvi justru membalas kata-kata itu dengan sebuah pukulan keras.
Tiba-tiba seseorang mendekatiku dengan membawa pisau di tangan dan menghujamkannya ke arahku. Sebelum sempat pisau itu menghujam ke tubuhku, Melvi memelukku. Lengan kananku hanya tergores sedikit. Sementara tangan Melvi terluka sedikit dalam. Tanpa memperdulikan lukannya, Melvi langsung menghajar orang itu habis-habisan. Merasa telah kalah, Firman dan teman-temannya langsung berlari pergi.
Melvi langsung menghampiriku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung melepas kaos yang ia kenakan, merobeknya, dan membalutkannya untuk menutupi lukaku. Kulihat lengannya terkoyak cukup dalam. Darah segar terus keluar. Tapi sepertinya ia tak merasakan sakit.
Dida mendekat, tubuhnya lebam-lebam dan wajahnya babak belur. Di sudut bibirnya terlihat noda darah.
“Terima kasih.” Ucapnya.
“Bug! Bug! Bug!” tiba-tiba Melvi melayangkan pukulan ke arah Dida hingga Dida jatuh tersungkur. “Sudah aku katakan padamu. Jangan pernah melakukan sesuatu yang tidak bisa kau pertanggungjawabkan! Hari ini kau telah membahayakan nyawa seseorang.”
”Bug!” Melvi sempat menendang tubuh Dida sebelum akhirnya ia membawaku pergi menaiki mobilnya.
”Tidak seharusnya kau memukulnya. Dia telah menolong.” protesku ketika mobil mulai berjalan.
”Dia telah membahayakan nyawamu.” balasnya dengan tetap serius mengendarai mobilnya.
“Ini hanya luka kecil. Tidak sebanding dengan luka-luka di tubuh Dida.” Aku melihat lenganku. Balutan baju Melvi yang berwarna putih telah berubah menjadi merah. Padahal aku pikir aku hanya tergores. Tapi darah yang keluar cukup banyak.
“Kau tidak boleh terluka sedikitpun.”
“Apa tidak peduli, orang lain terluka parah, asalkan aku baik-baik saja? Kau sudah tidak adil padanya!” bentakku.
”Sebelumnya kau tak pernah semarah ini padaku. Mengapa setiap kali ada hal yang menyangkut Dida, kau selalu bersemangat. Apa kau menyukainya?” akhirnya pertanyaan itu terlontar. Aku tak berani menjawabnya.
”Tanpa kau menjawabnya, aku sudah tahu jawabannya. Sejak dulu, memang hanya dia yang bisa membuatmu tersenyum senang. Sedangkan aku hanya bisa membawamu dalam bahaya.” Katanya, dengan nada bicara yang semakin meninggi. Aku semakin diam. Tak ada yang bisa aku katakan untuk membela diri.
“Aku sudah melihat gambar wajah yang terpasang di dinding kamarmu.”
Aku terperangah mendengar kata-kata yang kemudian terlontar dari Melvi. Dia sudah melihat semua sketsa Dida di dinding kamarku? Bodohnya aku... mengapa tak segera kusembunyikan saat itu. kapan ia melihatnya?
Mobil terus melaju mengiringi suasana hening. Aku tidak berani berkata-kata lagi. Tiba-tiba aku merasa pusing, pandanganku semakin samar, dan akhirnya gelap.
* * * * *
Aku membuka mata. Pemandangan yang biasa aku temui. Ruangan serba putih bersih. Infus terpasang di tangan kiriku. Rumah sakit. Aku kembali masuk tempat ini lagi. Sepi... tak ada orang. Aku hanya sendiri.
”Selamat pagi.” tiba-tiba seseorang masuk.
Seorang perawat laki-laki yang sudah cukup sering bertemu denganku di rumah sakit ini. Namanya Nandi. Kita sudah seperti teman. Kali ini dia lagi yang merawatku.
”Aku ganti dulu infusnya, ya.” katanya seraya mengambil infus baru.
“Berapa lama aku tidak sadarkan diri?”
”Hanya semalam.” jawabnya singkat sambil terus berkutat pada apa yang ia kerjakan.
”Kau tahu, siapa yang membawaku kemari?”
”Ya, kemarin sore. Laki-laki yang sering menemanimu saat kau dirawat di sini.”
Pasti melvi yang membawaku kemari.
”Apa dia masih di sini?”
”Setelah mengantarmu kemari dan dokter menjahit lukanya, kemudian ayah dan ibumu datang, dan dia pergi. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian? Dia datang tanpa mengenakan baju dengan luka sayatan cukup dalam di lengannya. Sementara kau pingsan dan ada luka goresan.”
”Ada sedikit perkelahian di jalan.”
”Untunglah dia segera membawamu kemari.”
Nandi memperlihatkan senyum ramahnya. Ia duduk di sampingku. Tapi aku masih tak mengerti kata-katanya. Memangnya kenapa kalau aku tidak segera dibawa kemari? Ini hanya luka kecil. Tapi kenapa begitu dikhawatirkan?
”Nan... bolehkah aku bertanya sesuatu?”
”Tentu saja.” balasnya ramah.
Aku yakin setiap pasien yang ia rawat pasti akan cepat sembuh hanya dengan melihat senyumnya yang ramah dan tutur katanya yang bersahabat. Ia tak pernah bosan mendengar keluh kesahku.
”Adakah obat yang rasanya manis?”
Nandi tersenyum mendengar pertanyaanku.
”Kau tahu, aku harus meminum obat setiap hari. Rasanya tidak enak. Pahit!”
”Senyuman. Itulah obat termanis untuk semua luka.”
Kata-kata Nandi memang selalu indah didengar. Seperti seorang pujangga. Keberadaannya membuat aku tak merasa kesepian.
*****
Kembali menapaki area sekolah setelah satu minggu terbaring di rumah sakit. Selama itu aku belum melihat Melvi. Dia tak sekalipun datang menjengukku. Justru teman-temannya di klub basket yang menjenguk. Tapi aku tak menanyakan keberadaannya kepada mereka. Ah! Kenapa aku terus memikirkannya? Ini baik untukku kalau ia benar-benar telah bisa melepasku. Ini yang aku inginkan.
Apa seperti ini akhir ceritanya? Dia kabur begitu saja tanpa memberi kejelasan. Tak menyambut kedatanganku hari ini. Aku merasakan ada yang aneh. Seperti ada yang hilang.
”Pagi, Venus.... ”
”Welcome back di kelas ini.”
Teman-teman menyambutku ketika aku melangkah memasukki kelas. Aku hanya bisa tersenyum. Rasanya hambar. Entah mengapa.
”Hai....” tiba-tiba Dida telah duduk di depanku.
Ia mengembangkan seulas senyuman indah yang selalu aku kagumi. Aku pun membalasnya dengan senyuman.
”Senang bisa melihatmu kembali sehat.”
Menyenangkan sekali bisa sedekat ini dengan Dida. Cinta pertamaku. Tapi entah mengapa aku ingin membandingkannya dengan Melvi. Dida baik, ramah, dan tutur katanya sangat lembut. Membuat siapa saja akan menyukainya. Sedangkan Melvi sangat kaku, kasar, dengan raut wajah yang selalu serius. Namun dia selalu berusaha membuatku senang. Meski apa yang ia lakukan tak benar-benar membuatku senang.
Setiap pagi biasanya ada sekuntum mawar merah dan sepotong kue untuk memastikan aku makan pagi. Setiap saat ada SMS dan telepon untuk memastikan aku sudah minum obat dan dalam keadaan baik. Ketika aku jatuh sakit, dia yang paling setia menemaniku dan menghiburku di rumah sakit. Melebihi orang tuaku sendiri. Setiap pekan ia mengajakku jalan-jalan. Dia benar-benar telah membuatku terbiasa dengan hal-hal itu. Hingga aku kini merasa merindukan semuanya.
“Kok bengong?”
Sapaan Dida membuat aku kaget. Sedari tadi ia bercerita, tapi tak aku dengarkan. Aku menjadi tak enak hati.
”Baiklah, bel sudah berbunyi. Istirahat pertama, aku akan mengajakmu ke kantin.” ucapkan seraya mengembangkan senyum dan melangkah keluar meninggalkan kelasku.
*****
Istirahat pertama, duduk di kantin bersama Dida. Ini yang pertama. Beberapa orang masuk kantin. Anak-anak klub basket. Melvi juga turut serta. Pandangan kami sekilas bertemu, namun ia segera mengalihkan pandangan. Ia duduk di bangku sebelah sana. Sama sekali tak menyapaku. Apa ia sama sekali tak merindukanku? Apa dia sudah tidak peduli lagi padaku? Ah! Untuk apa aku memikirkannya. Aku juga tak peduli padanya. Aku menyukai kebebasan ini.
Dida membawakan semangkok bakso dan segelas es jeruk segar. Inilah menu yang selama ini aku nanti-nantikan. Dida masih terlihat lembut, membuat aku kian terhanyut. Aku tak bisa untuk tidak menyukainya.
”Aku bantu tuangkan saus dan kecapnya, ya.”
Aku tersenyum melihat Dida menuangkan saus ke mangkok baksoku. Hal yang belum pernah Melvi lakukan. Rasanya sudah lama sekali aku tak merasakan makanan favoritku ini. Dulu, ketika aku dan Dida masih satu kelas, ia pernah berjanji untuk mentraktirku makan bakso kalau aku bisa memenangkan lomba menggambar poster yang diadakan oleh klub sastra. Tapi janji itu seakan terlupakan ketika kami naik kelas dan pisah kelas. Kami seperti orang asing.
”Ayo dimakan.” ucap Dida.
Aku tersenyum. Kuaduk saus, kecap, dan sambal agar tercampur rata dengan kuah. Semangkok bakso pertama setelah sekian lama.
”Jangan pernah memakai saus dan sambal kalau ingin makan bakso.”
Belum sempat aku menyuapkan sesendok kuah bakso, tiba-tiba saja Melvi menarik mangkok bakso di hadapanku. Aku terperanjat heran. Ia menyodorkan semangkok bakso hanya dengan kecap saja. Ia juga mengganti es jeruk segar itu dengan segelas air putih. Botol saus dan sambal turut diungsikan dari mejaku. Kemudian ia kembali bergabung dengan teman-temannya.
Aku masih terkejut. Dida passti juga merasakan hal yang sama. Melvi.
”Sudahlah, kita nikmati saja.” ajakku.
”Iya.” ucapnya, seraya menyupkan sesendok kuah bakso.
Aku turut menyantap bakso yang terhidang di depanku. Kuarahkan sedikit pandangan ke arah Melvi. Dia sama sekali tak menoleh ke arahku. Tapi dia masih sama. Dia masih memperhatikanku. Dia tidak pernah membiarkan aku memakan saus dan sambal. Juga tidak mengijinkan aku minum es.
Melvi membuatku bimbang. Sudah sangat jelas kalau aku hanya mencintai Dida. Aku sangat membencinya. Aku ingin terlepas darinya untuk selamanya. Tapi segala hal yang ia lakukan untukku, membuat aku tak bisa membendung rasa kalau aku merindukannya. Apa yang terjadi padaku?
Kakiku seperti melangkah sendiri menuju lapangan basket, tempat Melvi biasa latihan. Kulihat ia sedang duduk-duduk sambil memainkan bola basket yang dipegangnya. Ia tak ikut berlatih dengan teman-temannya yang lain. Ia mengangkat kepalanya dan mendapati kehadiranku. Hanya sekilas saja, sebelum ia kembali memainkan bola di tangannya. Sepertinya ia memang tak ingin menyambut kedatanganku. Aku pergi.
Segalanya terasa begitu asing. Aku tak biasa dengan keadaan seperti ini. Tapi, bukankah ini yang aku inginkan? Aku terbebas dari Melvi. Aku bisa dekat dengan Dida. Aku bisa melakukan apa yang aku suka. Tapi kenapa kini terasa hampa... aku seperti merasa kehilangan dirinya. Selalu kulihat ia di depan mataku, tapi tak bisa aku meraih tangannya.
Wajahnya tampak sendu melintas di depanku. Ia sama sekali tak menoleh ke arahku. Sejak tak bersamaku, ia memilih berangkat dan pulang sekolah jalan kaki. Di depan gerbang sekolah, aku pun sedang menunggu Dida untuk pulang bersamanya.
“Hai, Venus.”
Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti di depanku. Rena menyembulkan kepalanya keluar jendela mobilnya. Aku tersenyum padanya.
”Kalau mau menunggu Melvi di dalam saja. Di pinggir jalan polusi udara tidak baik untuk kesehatanmu. Bagaimana kalau nanti pingsan? Kau baru sembuh dari sakit. Melvi selalu mengkhawatirkan keadaanmu.”
”Iya.” jawabku singkat. Sepertinya Rena belum tahu tentang hubunganku dengan Melvi saat ini.
”Tetap semangat, ya! Ada Melvi yang sangat baik di sisimu, yang sangat mengerti tentangmu, dan akan selalu menjagamu. Aku yakin kau tak akan kalah menghadapi penyakit leukemiamu, asalkan rajin terapi dan minum obat.”
”Apa!? Leukemia?” tanyaku kaget. Aku tak paham dengan apa yang Rena katakan.
”Melvi teman baikku. Seringkali dia mengatakan padaku, kalau dia sangat menyayangimu. Dia tidak mau kehilangan dirimu sebagaimana dia kehilangan kakak perempuannya yang juga mengidap leukemia sepertimu. Setiap waktu dia mencemaskan keadaanmu. Jadi, tolong jaga kesehatanmu. Jangan sampai kau sakit ataupun terluka meskipun sedikit. Setidaknya itu bisa membuat Melvi tenang. Aku pulang dulu, ya. Bye.... ”
Perkataan Rena ibarat ranjau yang meledak karena tak sengaja aku injak. Aku tertegun. Air mataku meleleh. Betapa bodohnya aku. Dia bahkan lebih mengenal aku daripada diriku sendiri. Sikapnya yang selama ini terlalu berlebihan semata untuk melindungiku. Dia tahu aku mengidap leukemia yang bahkan aku sendiri tak tahu, selama ini aku sakit apa. Seperti ada kilas balik dalam pikiranku, yang menggambarkan setiap momen ketika dia begitu khawatir saat aku terluka kecil. Ketika memar-memar di tubuhku lama hilangnya, dia selalu mengatakan, aku tetap cantik. Mengapa aku tak pernah menyadari ketulusan harinya? Dia begitu tulus menyayangi aku. Sementara aku, selama ini hanya menyusahkannya.
”Ve, ayo kita pulang.” kata-kata Dida membuyarkan perasaanku. Aku langsung menghapus air mata di pipiku.
”Kau kenapa?” tanyanya sembari menatap mataku. Aku tak berani membalas tatapannya.
”Aku tidak apa-apa. Maaf, sepertinya aku tidak bisa pulang denganmu.”
Tanpa menjelaskan apapun, aku langsung berlari pergi. Aku ingin menggandeng tangan Melvi, untuk tidak akan melepaskannya selama-lamanya. Aku ingin menangis di hadapannya, menangisi kebodohanku sendiri yang tak pernah mau memahaminya. Lalu lalang kendaraan dan para pejalan kaki tak aku pedulikan. Di mataku saat ini hanya ada Melvi. Akhirnya kutangkap sosoknya mendekati kawasan pasar buah.
”Melvi...!” teriakku sekuat tenaga.
Rasanya seluruh tenagaku habis untuk berlari. Aku hampir tak pernah berlari seperti ini. Napasku tersengal-sengal. Aku berhenti sejenak. Kulihat Melvi menoleh ke arahku dalam jarak 10 meter. Kulangkahkan kaki perlahan menuju sosok yang tiba-tiba sangat aku rindukan. Dia tak asing lagi bagiku.
Dari arah sebuah gang, tiba-tiba Firman muncul. Aku merasakan gelagat tidak baik dari orang itu. Benar saja, dia mengeluarkan pisau lipat dari balik jaketnya.
“Awas!” seruku. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke arah Melvi dan memeluknya erat.
Aku jatuh tersungkur di atas tubuh Melvi. Pisau itu menghujam ke pinggang kananku. Melvi membangunkanku. Dia terlihat sangat panik. Air matanya mengalir sembari menyebut-nyebut namaku. Tanganku bersimbah darah.
”Jangan khawatir, kau akan baik-baik saja.” ucapnya sembari memapahku ke dalam mobil.
Wajah tampan itu dialiri air mata. Aku tak berdaya untuk mengusapnya. Bahkan untuk sekedar mengatakan aku menyayanginya, aku tak bisa. Air mataku meleleh. Dalam pandanganku yang semakin samar, kurasakan bahwa ternyata tempat terindah yang selama ini aku inginkan ada pada setiap momen ketika aku bersamanya. Aku mencintai lelaki ini. Dengan sisa tenaga yang masih ada, kulingkarkan kedua tanganku di pundaknya. Tiba-tiba aku merasa tak ingin melepaskannya. Biarlah begini aku mengekspresikan cinta meski tak sepatah kata bisa teruntai untuknya. Untuk malaikat penjaga yang selalu memberiku tempat terindah.
Segalanya semakin memudar. Pandanganku semakin samar... dan akhirnya tak ada lagi cahaya yang aku lihat. Mungkin inilah tempat terindah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar