Laman

Kamis, 19 Mei 2011

Duri-Duri Kaktus


BAGIAN I
EMOSI TAK TERKENDALI

Kemarau masih menyelimuti bulan April. Sinar matahari panas menyengat di kala siang. Daun-daun berguguran, menari-nari mengikuti alunan sang angin. Kicau burung terus mengalun menyemangati pepohonan ringkih yang masih berdiri tegar di bawah sengatan matahari.
”Baiklah! Waktu mengerjakan sudah selesai. Silakan kumpulkan lembar jawaban kalian dan keluarlah dengan tertib.” suara pengawas ujian bagaikan ledakkan di siang bolong yang menambah panas perasaan.
Terdengar banyak keluhan. Belum selesai! Waktu terasa begitu cepat bergulir pada hari terakhir ujian akhir semester ini. Tak ada senyuman ramah pengawas sejak awal hingga akhir ujian. Muka masam menghiasi kebanyakan mereka yang baru keluar ruang ujian.
”Sial!” begitu ungkapan pertama yang meluncur dari bibir Nazril ketika keluar ruangan.
Dari sekian banyak peserta ujian, ada satu wajah yang bersinar dan berhaiskan senyuman. Entah apa makna yang tersirat dari senyumannya itu. mungkin karena kali ini ia merasa bisa mengerjakan semua soal dengan baik.
Ya, mungkin!
Sejak dulu dia tak pernah menjadi juara kelas. Nilai rapornya cukup banyak berhiaskan angka merah. Beberapa ulangan dan ujian juga sering tak bisa ia selesaikan dengan baik, hingga terpaksa arus mengikuti program remidial. Saat kelas dua SMP, dia pernah tidak naik kelas. Buku catatan hitam di sekolah-sekolah yang pernah ia singgahi tak pernah ada yang kosong.
Tapi... mungkinkah arti di balik senyumannya menyiratkan bahwa kali ini ia bisa menakhlukkan soal-soal ujian? Jawabannya, menunggu hasil pengumuman ujian.
Bukan sekali ini saja dia tersenyum ceria. Di sepanjang musim kemarau, gadis dengan rambut panjangnya yang selalu dikucir ini memang selalu tampak ceria dan bersemangat. Ada apa dengan musim kemarau?
Titan. Begitulah gadis itu biasa disapa. Dengan langkah semangat dan senyuman yang melekat di bibirnya, ia berlari menuju atap gedung sekolah. Satu demi satu anak tangga ia tapaki tanpa rasa lelah.
Wush!
Angin segera menyambar ketika Titan menginjakkan kaki di atap gedung berlantai tiga. Matahari tepat berada di atas kepalanya. Panas!
Ia merentangkan tangan seolah memberi salam kepada panas terik matahari, pada langit biru, pada kicauan burung, dan pada deru angin yang meniup dedaunan di musim kemarau. Hampir di sepanjang musim kemarau ia melakukan hal ini.
Aneh!
Begitulah kesan orang-orang terhadapnya. Dia sangat menyukai musim kemarau. Dia sangat suka berjemur di bawah terik matahari siang yang menyengat.
”Titan... turun!” sayup-sayup terdengar suara seseorang dari arah bawah.
Titan melongok ke arah bawah. Tampak Ardi sedang melambaikan tangan ke arahnya.
”Ayahmu sudah datang!” serunya lagi.
Ekspresi Titan langsung berubah total. Ia tak suka mendengarnya. Namun ia tetap mau melangkah turun dan menjumpai Ardi di halaman gedung.
”Dimana?”
”Di tempat parkir, seperti biasa.” jawab Ardi seraya memberikan tas Titan yang tertinggal di ruang ujian.
”Terima kasih.” ujarnya, seraya berlari pergi menuju tempat parkir.
Titan tidak suka momen-momen seperti ini. Momen saat sang ayah mengantar dan menjemputnya di sekolah. Seumur hidup, tak pernah sekalipun ayahnya melewatkan waktu untuk mengantar dan menjemputnya di sekolah, meski sesibuk apapun pekerjaannya.
Ya! Orang bilang itu perhatian. Bentuk kasih sayang seorang ayah kepada putri kesayangannya. Ya, mungkin saja. Tapi tetap menyebalkan untuk Titan. Ia muak dan sangat ingin mengelak. Tapi tak pernah bisa.
Sekali ia pernah mencoba pulang sendiri melalui pintu belakang saat kelas I SMA semester dua. Tapi apa yang terjadi? Saat ia sampai di depan rumah, sudah ada banyak polisi di sana. Ia diintrogasi oleh banyak polisi, dan itu membuatnya takut. Ia ditanya, apakah ada orang yang menculiknya, mengajaknya kabur dari sekolah, atau ada masalah. Ia hanya bisa menjawab tidak.
Padahal baru tiga jam ia menghilang, sudah sampai sejauh itu langkah yang dilakukan ayahnya. Apalagi jika sehari ia tak pulang, pasti ia sudah masuk menjadi anggota DPO dan foto-fotonya terpampang di tempat umum dan media massa.
Segera ia menghilangkan kenangan tak mengenakkan itu.
”Titan.... ”
Ada suara sapaan halus dari arah depan. Naya, gadis cantik—Queen di SMA ini—bersama keempat orang teman setiannya, berdiri anggun menghalangi jalannya.
Titan terpaksa menghentikan langkahnya. Ia tak menyukai mereka. Selama satu semester di SMA ini, mereka berlima sudah cukup sering mengganggu dan mempermainkannya.
Naya maju mendekati Titan yang sengah berdiri dalam diam. Ia menampakkan senyuman yang menyiratkan niat jahat. Keempat temannya langsung bergerak mengelilingi Titan, hingga Titan tak memiliki celah untuk melarikan diri.
”Hai... gadis primitif... bayi besar yang selalu diantar jemput ayahnya.”
Naya mendongakkan wajah Titan sambil tersenyum seram. Namun Titan tetap diam tak melawan.
“Sejak pertama kali melihatmu sampai saat ini, tak ada yang berubah. Penampilannmu sungguh sangat kuno dan menjijikan.”
”Rambutmu... model kuciran itu sudah kuno!”
”Au!” jerit Titan ketika Naya menarik ikat rambutnya dengan paksa.
Rambut panjangnya nan hitam tergerai. Naya membuang ikat rambut itu dan menginjaknya.
”Aku yakin... rambut jelekmu ini pasti tidak pernah masuk salon.”
”Au! Lepaskan!” sekali lagi Titan menjerit, karena Naya menjambak rambutnya.
”Kau adalah orang paling menjijikan yang pernah aku temui. Primitif... sering remidi pula. Bodohnya.... ”
”Lepaskan!” seru Titan. Namun Naya tak menghiraukannya.
”Aku yakin... seumur hidup kau akan menjadi orang yang sangat menyedihkan. Sedewasa ini masih diantar jemput ayah? Apa orang tuamu tak mampu membelikanmu mobil? Kau tak pantas bersekolah di tempat elit ini. Kau hanya menjadi sampah yang membuat aku kesal! Hahaha.... ”
”Kau membuat kesabaranku hilang. Jangan salahkan jika aku bertindak kasar!” hardik Titan.
”Memangnya apa yang bisa kau lakukan!” balas Naya dengan nada tak kalah tinggi.
”Bug!” Titan melayangkan tinjunya tepat ke hidung Naya.
Hanya dengan sekali pukulan, Naya sudah jatuh terkapar dengan hidung yang berdarah. Keempat dayang setianya langsung berhambur menolong sang putri.
”Beruntung aku tidak mematahkan kakimu. Nasib anak malang sepertimu memang menyedihkan. Pantas saja pekerjaanmu suka mengganggu dan menghina orang. Anak orang kaya yang tidak disayang orang tua. Sungguh kasihan. Memiliki orang tua yang lengkap, tapi diasuh oleh pembantu. Jangankan untuk mengantar dan menjemputmu. Bicara denganmu saja ayahmu pasti tak sudi. Tragis!”
Titan langsung berpaling meninggalkan seulas senyuman terindah untuk Naya. Andai saja sang ayah tak ada di sekolah, ia benar-benar bisa bertindak lebih jauh dari sekedar meninju orang yang mengganggunya. Kalau ia kesal, tak segan ia bertindak kasar. Ia kurang bisa mengendalikan emosinya. Sudah banyak orang yang ia buat babak belur dan patah tulang karena mamancing emosinya.
Titan mempercepat langkahnya menuju mobil sang ayah yang terparkir di bawah pohon mangga. Ia membuka pintu dan langsung masuk. Sang ayah telah berada dalam mobil sejak tadi. Sekilas ia memandang ke arah putrinya. Namun tak ada sesuatupun yang ia tanyakan, melihat putri cantiknya tampak murung dengan rambut yang tergerai acak-acakan. Mobil langsung ia jalankan.
Sepanjang perjalanan Titan sengaja terus diam sebagai ungkapan protes kepada ayahnya mengenai sesuatu hal. Namun semakin ia diam, tak ada respon apapun dari laki-laki itu.
Suherman. Itulah nama laki-laki yang selama 17 tahun ini menjadi ayah Titan. Usianya baru menginjak 42 tahun. Perawakannya tinggi, tegap, bugar, dan cukup atletis. Perutnya tidak buncit seperti kebanyakan laki-laki dewasa yang telah hidup mapan. Seandainya ia masih muda, mungkin ia tidak jauh menawan dari Nicolas Saputra. Sayangnya dia telah sedikit tua. Sehingga guratan keriput mulai terlihat di wajahnya.
Sewaktu muda, Suherman pernah masuk akademi militer. Namun entah karena alasan apa, ia keluar dari akademi militer setelah tiga semester ia bertahan. Kemudian ia melanjutkan kuliah di UI mengambil jurusan Psikologi. Di kampus UI itulah Suherman bertemu dengan Ana Marina—ibu Titan—yang saat itu menjadi mahasiswi jurusan kedokteran. Setidaknya seperti itulah yang pernah Titan dengar dari ibunya.
Ibu... ya! Ibu. Sebuah panggilan yang Titan rindukan selama 6 tahun ini. Ya! Ibunya meninggal ketika ia kelas 5 SD. Ayahnya bilang karena kanker. Kanker... penyakit yang dulu sangat menyeramkan dalam bayangan Titan. Monster jahat yang tega mengambil ibu yang sangat ia sayangi. Tapi sekarang ia telah jauh mengerti. Bahwa nantinya semua orang pasti akan mengalami mati. Hanya waktunya saja yang berbeda. Ia telah belajar untuk mengikhlaskan kepergian ibunya. Meski sesekali kerinduan kepada sosok seorang ibu menggelayut dalam hatinya.
Keadaan masih hening. Titan mulai tak nyaman.
”Bisakah Ayah berhenti mengantar dan menjemputku di sekolah.” kesal karena tidak ada respon, akhirnya Titan bersuara juga.
”Ya. Ini terakhir kalinya.” ujar sang ayah singkat.
Titan terbelalak mendengar ucapan ayahnya. Ia memandang lekat wajah seorang ayah yang selama ini selalu siap siaga menemani dan menjaganya. Tidak biasanya sang ayah merespon baik permintaanya. Bahkan sekalipun tidak pernah. Ia adalah ayah yang otoriter, tak pernah mau mendengarkannya. Hanya larangan, larangan, dan larangan yang selalu Titan dengar. Ada apa kali ini?
* * * * *

”Apa!? Pindah... ?”
Titan membelalakkan matanya. Kata-kata sang ayah memberikan semacam cambukan di hatinya. Ia gamang dan masih belum percaya.
Herman tak bersuara. Ia tetap sibuk mengaduk kopi pahit kesukaannya. Sedikitpun tak ia sempatkan untuk melirik putrinya yang sudah tidak berselera makan karena pernyataannya yang begitu mendadak.
Titan masih lelah. Baru beberapa menit ia sampai di rumah setelah ujian akhir semester yang mendebarkan. Saat ia menikmati makan siang, tiba-tiba sang ayah melontarkan kata-kata yang membuatkan semakin kesal. Ia membiarkan makanan yang masih tersisa di piringnya. Matanya mulai memerah.
”Kali ini kemana?”
”Habiskan makan siangmu dan segeralah berkemas. Nanti malam kita akan berangkat.” ujar Herman.
Mata Titan semakin merah membara. Sendok yang ada di tangannya ia genggam erat hingga bengkok. Ia kesal dengan ayahnya. Pasti selalu seperti ini jadinya. Ayahnya selalu mengambil keputusan sendiri tanpa diskusi. Tak pernah menanyakan apakah ia setuju atau tidak, apakah ia suka atau tidak. Keputusannya adalah mutlak.
”Aku ingin tetap di sini!” kata Titan dengan nada yang sedikit meninggi.
Herman membalikkan tubuhnya, memandangi Titan yang masih duduk menahan amarah. ”Kau ingin mendurhakai wasiat ibumu?” katanya kemudian.
Ucapan sang ayah membuatnya tak berdaya. Tiba-tiba terlintas saat-saat terakhir sebelum ibunya meninggal.
“Apapun yang terjadi, patuhilah ayahmu.”
Itulah kata-kata terakhir yang terucap dari sosok manusia lembut, ibunya. Kata-kata itu selalu terngiang dan tak pernah ia lupakan sejak lima tahun yang lalu. Tak pernah sekalipun ia membantah ayahnya meskipun banyak hal yang tak sesuai keinginannya. Ia selalu mencoba mengabaikan perkataan negatif teman-temannya, mengabaikan rasa malunya, dan mengabaikan perasaannya demi melaksanakan wasiat ibunya.
Titan menarik napas panjang, ia berdiri menghampiri sang ayah.
”Aku tidak akan pernah mengabaikan pesan ibuku. Tapi... Setidaknya sekali ini... ijinkan aku melihat indahnya Pensi malam ini. Sebentar saja... sebelum aku aku benar-benar pergi meninggalkan kota ini.” bujuk Titan sembari menunjukkan ekspresi wajah penuh harap pada seorang ayah yang tepat berada di depannya.
”Rapikan meja makan kalau kau sudah selesai.” kata Herman seraya menyeruput kopi pahitnya dan berjalan pergi.
Titan langsung menghalangi langkah sang ayah, ”Apakah aku tidak boleh menjadi remaja yang normal? Aku butuh bergaul... aku butuh teman.... tidakkah ayah mengerti?”
”Kau tidak membutuhkan semua itu.” ujar sang ayah enteng.
”Aku butuh! Sampai kapan aku harus terus hidup kesepian dalam kesendirian, tak ada seorangpun teman!?” seru Titan. Matanya kembali memerah. Napasnya tersengal-sengal karena kelelahan.
”Sendiri... itu yang terbaik.”
”Aku... adalah hal termalang yang pernah ada!”
“Aah….”
Titan menjadi tak terkendali. Kemarahannya memuncak. Ia menendang meja makan hingga seluruh benda yang ada di atasnya berhamburan dan jatuh berkeping-keping. Matanya yang merah membara penuh amarah menatap tajam ke arah sang ayah, seakan ia ingin memangsanya.
”Kendalikan dirimu.” ujar sang ayah sembari tetap tenang.
”Ini bukan mauku!”
Secepat kilat Titan meloncat menerobos jendela kaca dan terjun ke bawah. Kaca jendela pecah berkeping-keping. Herman langsung melongok ke luar jendela. Titan sudah tak terlihat. Di dinding terdapat bekas seperti cakaran yang cukup dalam. Bekas cakaran kuku Titan.
Meskipun hal ini bukan pertama kali terjadi, namun Titan selalu membuat Herman spot jantung. Ini kesepuluh kalinya terjadi hal yang sama. Semenjak Titan mendapatkan menstruasinya yang pertama di usia 13 tahun, emosinya semakin tak terkendali. Semakin dewasa, ia kian menjadi-jadi. Seperti kali ini. Tak ada yang bisa Herman perbuat ketika gadis kecilnya sudah memakai kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya.
Sepenuhnya ia menyadari, putrinya berbeda dengan gadis remaja lainnya. Putrinya istimewa, ia memiliki kekuatan yang tak dimiliki orang lain. Kekuatan besar yang bersemayam di dalam tubuh Titan, yang mengalir dalam darahnya. Kekuatan besar yang akan membahayakan jika tidak bisa dikendalikan. Kekuatan yang tak dapat diusir maupun dimusnahkan, kecuali pemilik kekuatan itu musnah. Kekuatan itu telah bersatu dengan DNA Titan.
by: momoy dandelion

Tidak ada komentar:

Posting Komentar