“Selamat pagi.” Itulah kata-kata yang pertama kali aku dengar hari ini di depan gerbang sekolah. Seorang gadis manis berdiri tepat di hadapanku sembari mengembangkan senyuman terindah yang pernah aku lihat. Aku hampir tidak percaya dibuatnya.
Namanya Frigga. Dia adalah gadis yang dulu sering menghabiskan waktunya untuk menyepi di tepi pantai.
”Aku tidak suka berbicara dengan orang asing dan aku tidak mau ada orang asing yang menggangguku menunggu kematian. Pergi!” begitu yang ia katakan suatu saat ketika aku ingin berkenalan dengannya.
Ada apa dengan Frigga? Gadis yang selalu tampak murung, sinis, dan pendiam itu tiba-tiba hari ini tersenyum begitu manis. Dulu, jangankan mau berbicara dengan orang lain. Kalau ada orang saja dia memilih pergi dan mengasingkan diri. Dia selalu mengatakan kalau dia tidak ingin berurusan dengan banyak orang menjelang kematiannya.
Mati!
Ya, mati. Satu kata itu yang sering terucap singkat dari bibir mungilnya. Penyakit lemah jantung yang dideritanya membuat ia selalu merasa dibayangi oleh kematian. Rentetan kematian yang pernah terjadi di depan matanya, membuat gadis itu semakin kaku. Ayah, Ibu, kakak, dan adiknya meninggal dalam sebuah kecelakaan maut. Hanya dia yang selamat.
”Mengapa aku tidak ikut mati saja saat itu.”
Segalanya membuat Frigga pesimis. Tak ada alasan yang mampu menguatkannya untuk tetap bertahan hidup. Setelah kecelakaan maut itu, dia tinggal bersama kakek kesayangannya, yang mampu menghapuskan kedukaannya yang mendalam. Namun kebersamaan itupun tak berlangsung lama. Kenyataan pahit harus kembali ia terima. Setahun kemudian, kakeknya meninggal karena tenggelam di laut ketika mereka sedang memancing. Lagi-lagi Tuhan menyelamatkan nyawanya dari maut.
”Aku adalah orang yang beruntung. Beberapa kali maut tak mampu menyentuhku. Tapi apalah artinya keberuntungan ini jika menyebabkan malapetaka bagi orang lain. Apakah aku pembawa sial?”
Cahaya kehidupan begitu redup dalam pancaran aura yang menaungi raganya. Seakan selama ini ia menjalani hidup sebagai mayat hidup. Padahal masih banyak orang yang menyayanginya. Masih banyak yang ia miliki. Seperti keluarga bibinya dan... aku! Hahaha.
Susah payah aku membujuknya untuk kembali ke sekolah. Tak hentinya aku meluruskan jalan pikirannya yang melenceng tentang makna kehidupan ini.
”Siapa kamu? Mengapa kamu begitu peduli. Aku hanya manusia yang akan segera mati. Tidak ada gunanya sekolah.” begitu jawabannya, ketika kubujuk ia untuk kembali ke sekolah.
Senja kala itu begitu syahdu, namun kami terlibat dalam perbincangan yang kaku. Kami berdua duduk berdampingan di bawah mercusuar yang menjulang. Ombak masih bergulung-gulung seakan ingin meraih kaki-kaki nakal kami.
”Adakah manusia yang dapat menentukan kematiannya sendiri? Apa kamu bisa? Tanyaku.
Frigga terdiam.
”Bahkan kematian yang selama ini kamu nantikan tak kunjung datang menghampirimu. Hanya Tuhan yang kuasa mengambil hamba-Nya. Bisa jadi aku yang lebih dulu mati.”
”Terserah apa katamu. Biarkan aku seperti ini.” ujarnya sembari menghela nafas. ”Kamu tidak pernah merasakan, betapa sakitnya ketika harus kehilangan orang-orang yang kita sayang satu persatu. Jadi, biarkan aku sendiri. Biarkan aku mati dalam kesepian agar tidak ada yang menangis dan merasa kehilangan.”
”Rasa kehilangan itu pasti akan ada. Tapi momen-momen spesial yang pernah dilalui hingga hembusan nafas terakhir, adalah kenangan terindah yang tak akan lekang oleh waktu. Tidakmaukah kamu meninggalkan sedikit kebahagiaan sebelum kamu pergi?”
Setelah kukatakan hal itu, ia justru beranjak pergi meninggalkanku. Kukira aku sudah tak dapat membuatnya kembali ke sekolah. Kukira ia akan sangat membenciku dan tak mau lagi berbicara denganku. Tapi ternyata, keesokkan harinya, aku melihatnya masuk kelas, memperkenalkan dirinya di depan kelas sebagai murid baru. Hari itu adalah surprise terdasyat bagiku. Dia tetap terlihat cantik dengan seragam sekolahnya meskipun raut murung masih tetap ia pertahankan.
”Hey! Kenapa diam saja. Ayo, ikut aku!” serunya.
Frigga menarik tangannku. Seketika aku tersadar olehnya. Huft! Ternyata sejak tadi aku sedang melamun. Aku masih bingung. Ada apa dengannya hari ini? Ia tampak begitu ceria. Tak seperti biasanya.
Di depan mading ia menghentikan langkah. Ia kembali tersenyum padaku. Aku senang melihat senyumnya meskipun ada firasat buruk yang aku rasakan. Aku perhatikan, cukup banyak orang yang berkerumun di depan mading seperti ada sesuatu yang enak seperti sate di sana. Aku makin penasaran.
”Ada apa?” tanyaku.
Ia hanya membalas dengan senyuman yang semakin membuat perasaanku tidak nyaman.
Tiba-tiba ia kembali menarik tanganku, membawa aku menerjang kerumunan orang-orang, hingga mendapat tempat terdepan. Selembar poster besar yang menjadi sumber kehebohan itu kini terpampang jelas di depanku. Ternyata pengumuman seleksi pemeran utama untuk drama akhir semester yang diadakan anak-anak klub teater. CINDERELLA DAN BUNGA MAWAR HITAM. Itu judul drama kali ini. Membosankan! Selalu saja eksploitasi cerita tentang cinta.
”Kamu mau ikut?” tanyaku ragu.
Ia tersenyum sembari mengangguk. ”Inilah yang selama ini aku impikan. Kamu tidak tertarik?”
”Bukan duniaku.”
Apa yang dipikirkan anak itu? Mana mungkin aku tertarik dengan acara yang dibuat oleh perkumpulan orang-orang gila.
”Kalau begitu, masuklah ke dalam duniaku. Kita berdua akan mengikuti seleksi bersama!” jawabnya dengan penuh semangat.
Frigga kembali menarik tanganku, mengajakku mengimbangi gerak langkahnya yang semakin dipercepat. Entah ada angin apa yang membuat gadis ini begitu aneh hari ini. Dia membawaku masuk ke markas anak-anak teater untuk mengisi formulir pendaftaran.
“Waow, Arya! Kamu mau ikut seleksi juga?” seru Jerry, si gila dari klub teater yang tiba-tiba telah ada di belakangku.
Duh, malunya....
”Ayo, silakan diisi. Aku merasa tersanjung sekali ada anak keren dari klub basket yang mau bergabung dengan orang-orang gila seperti kami.”
Kalau bukan karena Frigga, haram hukumnya aku menginjakkan kaki di markas orang-orang gila seperti dia. Aku rasa dalam hatinya dia menertawakanku habis-habisan.
”Frigga, untuk apa kamu ikut seleksi? Aktingmu bagus. Tidak perlu ikut seleksi juga pasti bisa terpilih.”
Orang gila bisa juga mengatakan hal-hal yang ingin membuatku muntah. Ingin rasanya aku lemparkan bola basket hingga membentur kepalanya agar dia kembali waras.
”Aku ingin mendapatkan peran utama. Kalau tidak ikut seleksi, paling hanya menjadi pemeran pendukung. Menjadi pohon.”
”Iya, aku juga ingin menjadi pangeran. Supaya bisa berpasangan dengan gadis manis sepertimu.”
Huek! Perutku jadi mual. Sepertinya Frigga sudah ketularan gila.
“Kalau Arya ingin dapat peran apa?”
”Hah!? Aku justru ingin jadi pohon.” celetukku sekenanya. ”Peran paling sentral tuh. Butuh penghayatan tingkat tinggi. Orang teater seperti kalian seharusnya tahu.” kataku ketus.
”Ayo, Frigga. Kita sudah telat lima menit!” seruku.
Kini giliranku yang menarik tangan Frigga. Andai lebih lama lagi di sana, mungkin aku juga bisa gila.
***
Siang ini begitu terasa panas. Suasana juga semakin menambah panas, mendidihkan amarahku. Aku benar-benar mendapat peran sebagai pohon. Sementara Frigga mendapatkan peran yang diinginkannya sebagai Cinderella berpasangan dengan pangeran gila bernama Jerry. Semua pasti sudah diskenario. Jadi, sebenarnya tidak ada gunanya ada audisi kalau akhirnya sudah bisa ditebak akan begini jadinya.
Frigga tertawa-tawa kecil kegirangan. Bahkan ia meminta traktiran padaku. Apa yang perlu dirayakan? Apa menurutnya aku girang karena benar-benar mendapatkan peran yang asal aku ucapkan itu? Gila!
“Hey, ayo ke kantin.” Ucapnya.
“Untuk apa?”
“Menurutmu!?” tanyanya, sambil mengarahkan lirikan tajam yang membuatku segan.
Aku langsung mengiyakan. Daripada dia marah dan sakitnya kumat… lebih merepotkan!
”Pulang sekolah nanti kita latihan drama bersama, ya.” pintanya sembari menikmati semangkok soto ayam kesukaannya.
”Semangat sekali. Mau latihan adegan ciuman apa?” kataku ketus.
Gadis ini apa memang benar-benar lugu? Apa dia tidak tahu kalau aku sedang kesal? Siapa yang benar-benar mengharapkan peran sebagai seonggok pohon bodoh.
”Memangnya ada adegan seperti itu? belum membaca naskahnya, ya?
”Memangnya ada dialog untuk pohon?” tanyaku sinis.
Dia malah tersenyum-senyum. Sindiran yang cukup dalam. Walau membuatku sangat kesal, tapi aku menyukai dia yang sekarang. Aura kehidupannya kembali memancar.
Ketika bel pulang berbunyi, Frigga langsung menyeretku ke ruang kesenian. Dia tampak semangat mengikuti latihan perdananya. Satu hal yang aku khawatirkan adalah kondisi kesehatannya jika ia terlalu kelelahan. Tapi sepertinya akhir-akhir ini kondisinya semakin fit. Dia tak tampak seperti orang sakit. Meskipun beberapa kali dia pernah mengeluh pusing dan pandangannya samar hingga mau pingsan.
Aku menahan diriku untuk bersabar di tengah aktivitas orang-orang gila. Sindiran dari teman-teman klub basket kuanggap sekedar angin lalu saja. Biarlah aku bengong seperti orang tolol di pojokan panggung. Asalkan Cinderella bisa tersenyum, kali ini akan kuabaikan semua yang tak kusuka. Termasuk meninggalkan hobi memancing di akhir pekan demi menemaninya latihan.
”Jangan lupa makan yang banyak, istirahat yang cukup, dan minum obat yang rajin. Kalau merasa lelah, jangan dipaksakan. Awas kalau sampai jatuh sakit. Aku mau mundur dari drama.” kataku, usai menemaninya latihan di pinggir pantai dekat mercusuar.
”Kamu mengkhawatirkanku, ya.” ucapnya lembut dengan seulas senyuman. Membuatku serasa meleleh.
”Mmm... masalahnya, kamu tokoh pemeran utama. Satu minggu lagi kita pentas. Kalau kamu sakit, semua akan repot.”
Ia kembali tersenyum. Entah mengapa perasaanku menjadi tidak karuan. Jantungku berdebar-debar tak seperti biasanya.
”Sebenarnya aku lebih suka kamu yang menjadi pangerannya. Bukan Jerry.”
Kata-kata Frigga membuatku semakin tak berdaya. Apa aku suka padanya, ya? Segalanya tak menjadi beban ketika aku harus melakukan sesuatu untuknya.
Hari demi hari aku berada di samping Frigga, menemaninya latihan drama. Dia sangat menyukai perannya sebagai Cinderella. Aku juga akan belajar menyukai peranku sebagai pohon. Huft! Lumayan juga. Yang penting bisa naik panggung.
Hari ini akan diadakan gladi bersih. Anak-anak teater yang mengurusi dekorasi panggung sibuk mondar-mandir menata tempat pentas. Frigga tampak cantik mengenakan kostum Cinderella dengan perpaduan warna ungu dan pink. Dia seperti putri sungguhan.
Huft! Sementara aku harus memakai kostum pohon. Seperti badut. Bahkan Frigga tak henti-hentinya menahan tawa. Anak-anak teater yang lain juga turut menertawakanku.
”Kalau tidak bisa diam, aku mau mengundurkan diri.” ancamku.
”Iya, iya.”
”Guys!” seru seseorang.
Semua pandangan mata tertuju pada asal suara itu. Tampak Jerry berdiri di ambang pintu. Hah! Entah akting apalagi yang akan dia lakukan kali ini. Dia berjalan ke arah kami dengan langkah pincang. Kaki kanannya dibalut perban seperti mummi. Ketiak kanannya mengapit kuat sebuah tongkat besi.
”Kamu kenapa, Jer?” tanya Didit, sutradara pementasan drama kali ini.
”Kemarin aku kecelakaan motor, Dit. Ini, aku baru pulang dari rumah sakit sengaja menyempatkan diri datang untuk meminta maaf kepadamu dan kepada teman-teman semua, karena dengan kondisiku seperti ini, aku tidak bisa ikut pementasan besok.”
Oh, ternyata anak gila itu kali ini tidak sedang akting. Tapi tetap saja penampilannya mampu membuat semua orang terperangah olehnya.
”Aduh, Jer. Kenapa sih, kamu main debus dengan motor? Seharusnya kan kamu bisa menundanya minggu depan. Kalau kecelakaan seperti ini kita bisa jenguk kamu di rumah sakit.” celetuk Didit yang tak kalah gilanya dengan Jerry. Pada dasarnya semua anak teater memang gila.
”Terima kasih atas sarannya, Dit. Lain kali aku pertimbangkan.” jawab Jerry enteng.
”Kalau yang sakit yang jadi pohon sih tidak apa-apa. Masalahnya kamu tokoh utamanya. Tidak ada kamu sama saja drama ini gagal.”
”Wah, Dit! Mau ribut denganku?”
Frigga menahan tanganku yang ingin sekali mencengkeram leher Didit sampai batuk-batuk seperti kakek-kakek juga tak akan aku ampuni.
”Maafkan aku, semuanya.” ujar Jerry.
”Sudahlah, datangnya musibah tidak pernah bisa diprediksi. Jangan menyalahkan Jerry seperti itu.” sahut Kikayo, pemimpin bagian tata rias dan busana.
”Bagaimana kalau Arya saja yang jadi pangerannya?” tutur Frigga.
Semua orang dibuat menganga dengan usulnya. Termasuk aku. Apa benar, dia memang sudah gila? Aku benar-benar tidak ada kompeten dalam hal gila ini.
“Hampir setiap hari Arya menemaniku latihan. Dia juga selalu hadir setiap kali jadwal latihan. Arya hafal dialog Jerry.”
“Ya sudah. Frigga lebih berhak menentukan lawan mainnya. Tapi apa Arya mau, melepaskan peran pohonnya?”
Sebelum aku berkata-kata, Frigga membekap mulutku.
”Arya mau, Dit.”
”Baiklah, ayo kita mulai gladi bersih hari ini. Arya tolong ganti kostumnya. Dikira badut kalau pangeran pakai kostum seperti itu.” kata Didit.
”Aku mau pulang ah. Tidak tega rasanya melihat Cinderellaku berdampingan dengan pohon. Goodbye semua.”
Hah! Ini semua gara-gara Frigga. Meskipun aku hafal dialognya, tapi peran sebagai pangeran dan pohon bagaikan air dengan minyak. Sangat berbeda.
***
Hari pementasan tiba. Mamaku duduk di deretan bangku paling depan. Dia sangat senang ketika Frigga mengatakan kalau aku akan berperan sebagai pangeran. Semakin lama semakin banyak penonton yang berdatangan. Semakin membuatku gugup. Frigga tiba-tiba datang langsung menggenggam erat tanganku. Ada perasaan nyaman yang tiba-tiba menjalar.
”Terima kasih atas segala hal terindah setiap hari. Kali ini, mari kita lakukan ini secara bersama dengan baik.”
Kata-katanya membuatku termotivasi sekaligus membuat perasaanku tidak enak. Dan ternyata firasatku benar-benar terjadi. Dalam adegan terakhir, ketika mawar merah berubah menjadi mawar hitam... Cinderella tertidur untuk selamanya. Bersama dengan riuhnya tepuk tangan di akhir cerita, kupandangi sosok Cinderellaku yang begitu cantik dalam peti kematiannya. Tubuhnya dingin. Jemarinya tak lagi bisa membalas genggaman tanganku.
Air mataku menetes. Frigga telah pergi. Drama kematian ini menjadi akhir hidupnya. Dia yang kusayang, pergi meninggalkan sisa-sisa senyuman. Cinderellaku tertidur dalam peti kematiannya. Dalam drama yang nyata, inilah tinggalannya. Aku menyayangimu... Cinderellaku.
by: momoy dandelion
Tidak ada komentar:
Posting Komentar