Laman

Kamis, 19 Mei 2011

Angin Persahabatan


ANGIN PERSAHABATAN

Daun terakhir telah jatuh. Pepohonan nampak ringkih menyambut datangnya musim kemarau kali ini. Angin-angin nakal mulai beraksi. Meniup genit rambut-rambut yang tergerai indah.
16 Agustus. Lapangan voli dan lapangan basket yang berdampingan ramai dipenuhi orang-orang. Bukan lantaran ada pertandingan atau untuk demonstrasi massal menolak SPP yang mahal. Tapi karena ada perlombaan. Ya, perlombaan rutin tahunan untuk merayakan Hari Kemerdekaan yang menjadi agenda rutin OSIS.
Sesekali terdengar suara sorak sorai dan tawa riang. Namun aku, Vivian, dan Biyan tak tertarik. Kami hanya termangu, menatap kosong pada langit yang cerah. Sesekali angin mengusik, menambah nyaman perasaan. Kita bertiga sudah terbiasa menikmati kesunyian di tengah keramaian sekalipun.
Jabatan sebagai anak kelas XII IPA terasa begitu berat. Rasanya aku dan teman-teman baru kemarin berdandan aneh dengan rumbai-rumbai dan dot bayi tergantung di leher untuk mengikuti MOS. Ketika aku tersadar, ternyata masaku di sini hampir usai. Delapan bulan lagi Ujian Nasional. Momok terbesar untuk anak kelas XII.
Entah karena belum siap menghadapi UN atau karena tidak mau kehilangan masa-masa indah SMA ini, tapi rasanya aku tidak lagi bersemangat seperti dulu. Bahkan hanya sekedar untuk ikut meramaikan perayaan hari kemerdekaanpun aku segan. Di masa-masa terakhir ini, aku ingin menghabiskan banyak waktu bersama kedua sahabatku dan teman-temanku. Sebelum perpisahan benar-benar terjadi, dan aku pasti akan sangat merindukan mereka.
”Hai, Angels....” sapa seseorang dengan nada suara yang tidak asing lagi bagiku. Puri, Love Blue.
Tentunya dia tidak sendiri. Sudah aku tebak. Gina Love Pink, Desi Love Violet, dan Jaya Love Red. Ah! Kurang satu. Geng Pelangi seharusnya ada lima orang. Dimana Santi Love White?
“Vi! Disuruh main malah kabur. Tadi kelas kita kekurangan pemain untuk ikut tarik tambang. Gara-gara kamu kelas kita kalah.” celetuk Gina, dengan nada marah dibuat-buat.
”Iya! Masa yang ikut main malah yang kecil-kecil dan kurus. Yang badannya agak berisi pada kekenyangan di kantin, jadi tidak mau ikut.” timpal Jaya dengan nada tak kalah semangat.
”Ih... memangnya seperti itu masih penting? Wahai kalian Geng Pelangi, sadarlah...! kita sudah kelas XII. Bukan jamannya lagi mengurusi hal-hal di luar pelajaran! Kita butuh ijasah kelulusan. Bukan piagam tarik tambang!” ujar Vivian dengan gaya cueknya yang khas.
”Huu.......” seru Gina dan Jaya bersamaan seraya menjitak kepala Vivian.
”Heh! Jangan dijitak-jitak, nanti botak!” sahut Biyan. Aku tersenyum setiap mendengar kata-katanya yang polos, namun menggelikan.
Aku beruntung memiliki teman-teman yang tak pernah henti menebarkan senyum dan tawa. Membuat hari-hariku selalu berwarna. Ya, setidaknya separuh hatiku dipenuhi keceriaan. Sementara separuh hatiku yang lain masih terasa hampa. Entah mengapa. Aku sendiri tidak tahu. Seseorang yang membuatnya seperti ini.
”Eh, apa kalian tahu, tadi Ali jatuh ke kolam waktu lomba mancing. Huh! Keluar dari kolam, bau amisnya... huek!!!” kata-kata Puri menyadarkan aku dari lamunan. Ternyata dia sudah mulai beraksi bercerita.
”Waktu tadi aku ikut lomba pukul air, aku salah sasaran. Bukannya air yang aku pukul, ternyata kepala Pak Ihsan, Guru Kimia yang botak itu, lho.” tutur Puri dengan semangatnya. Dia memang paling pandai membawakan cerita-cerita lucu. Kami semua tertawa dibuatnya.
”Huft! Aku sempat was-was juga, takut di vonis mati di pelajaran kimia. Untung aku cantik. Jadi dimaafkan.” lanjut Puri, sambil mengerling-ngerlingkan matanya.
”Huek!” seru kami semua.
”Itu kan karena ada anak cengeng yang hampir nangis. Jadi Pak Ihsan kasihan.” ujar Gina.
”Ih, sirik! Aku kan memang cantik. Eh, tadi giginya Gina nyangkut di tali waktu lomba makan kerupuk. Anak rakus sih!” ledek Puri sembari menjulurkan lidahnya.
”Asem.... ” gerutu Gina. Ia langsung mencubiti pipi Puri yang tembem seperti Bak Pao.
“Aduh… lepaskan! Makanya jangan serakah. Kerupuknya sudah habis, talinya masih mau di makan juga.” tambah Puri, seraya mencoba berontak. Karena Gina tidak mau berhenti, akhirnya ia menggigit tangan Gina.
”Au!” seru Gina. ”Jorok banget, sih! Gigit-gitit tangan orang kayak drakula. Awas kalau sampai aku kena rabies, ya!” protes Gina.
”Sorry! Soalnya aku takut, pipiku yang montok ini kamu makan juga karena dikira Bak Pao.” kilah Puri sambil cengengesan.
”Heh! Kalau ada kalian, tidak ada kedamaian, ya. Berisik terus! Tidak tahu ada orang sedang menenangkan diri, ya?” gerutu Vivian.
What!? Menenangkan diri di tengah keramaian? Kalian orang planet mana? Aneh!” komentar Puri.
”Woy... yang aneh itu kalian. Puri, Gina, cerewet mirip nenek sihir! Tapi Jaya dan Desi no coment mirip patung! Hahaha.” timpal Biyan. Temanku ini memang bisa disebut gila. Tapi masih waras, kok.
”Iya, sedang meresapi kejadian tadi. Desi kan hampir menelan kelereng waktu lomba. Kalau Jaya, tadi terjatuh, mencium kotoran ayam gara-gara memakai sepatu hak tinggi waktu fashion show.” ujar Puri.
Aku hanya bisa menahan tawa yang hampir meledak. Puri langsung berlari terbirit-birit, karena Desi dan Jaya yang geram mengejarnya. Huh! Ada-ada saja.
”Yah, inilah Geng Pelangi yang tidak pernah henti menebar sensasi. Aku mau menyusul mereka dulu. Selamat bermeditasi!” kata Gina, sebelum akhirnya ia melejit pergi.
Kini, tinggal kami bertiga. Menyepi di tengah hiruk pikuk kegiatan perlombaan.

* * * * *
Aku duduk sendiri di tempat biasa. Duduk di bangku, di bawah pohon mangga yang rindang, di dekat lapangan basket. Tempat yang hampir dua tahun ini menjadi tempat ’mangkal’ aku dan teman-teman. Salah satu tempat istimewa, dimana banyak canda tawa yang tercipta, dan kegilaan-kegilaan lain yang membuat hidup lebih ceria.
Goresan pisau bertuliskan ’Saffi’ masih membekas jelas di pohon ini. Saffi yang menulisnya. Dia memang paling suka mengabadikan namanya di setiap sudut sekolah, termasuk di dapur sekolah. Dia juga paling suka bergelantungan di ranting pohon ini. Tubuhnya memang mungil. Tapi cubitannya sangat menyakitkan.
Lain Saffi, lain juga dengan Sukma. Dia temanku yang paling montok berisi. Hobinya makan. Di tempat ini dia selalu makan. Kalau ada teman yang membawa makanan, pasti langsung ia serobot. (padahal aku juga suka begitu. Hehehe). Tapi dia juga baik. Kalau membawa makanan, dia pasti bagikan kepada teman-teman. Saffi dan Sukma sebenarnya berteman baik. Hanya saja, hampir setiap hari selalu saling mengejek. Jadi tidak kelihatan sisi harmonisnya sebagai teman.
Matahari telah berada tepat di atas kepala. Panas! Kulihat pepohonan ringkih yang tetap tegak berdiri di bawah ganasnya sorot matahari. Sungguh tegar. Bisakah aku setegar mereka? Mengapa selalu saja ada yang kurasa kurang dalam hidup ini. Terutama kalau aku tengah sendiri seperti ini. Dia... dia selalu melintas di batas rindu hatiku.
Mengapa ia masih bersemayam di hatiku. Padahal sudah lebih dari dua tahun aku tak bertemu. Tapi rasa cinta ini masih tersimpan rapi untuknya. Tidak bisakah ia mengerti, kalau aku sangat mencintainya? Aku sangat merindukannya! Tidak masalah seandainya apa yang kurasa tak bisa ia rasakan. Tidak masalah seandainya ia tak menyukai aku. Aku hanya ingin kehadirannya... mengisi kehampaan yang sekian lama aku rasakan. Meski hanya memandangnya dari kejauhan, aku sudah cukup bahagia.
”Hai!” sapaan Vivian segera menyadarkan aku dari lamunan. Kupasang wajah penuh senyuman. Aku tak ingin suasana hatiku yang buruk menjalar lebih luas.
Vivian memberiku sepotong roti selai nanas kesukaanku dan segelas air putih. Seolah ia tahu kalau saat ini aku memang cukup lapar. Sejak pagi aku belum makan, karena sibuk mendapat tugas tambahan untuk ikut mengurus Koperasi Sekolah. Aku langsung menyantap roti itu dengan lahap.
”Dimana yang lain?” tanyaku, dengan mulut masih penuh dengan makanan.
”Masih asyik di kantin. Biasa, Puri dan Gina sedang ikut lomba mengupas bawang. Hadiahnya voucher makan gratis di kantin selama seminggu.”
Aku tersenyum. Lagi-lagi Geng Pelangi membuat sensasi.
”Kalau Biyan?”
”Di perpustakaan. Bersama Andi.” jawab Vivian dengan nada datar.
Aku mengerti apa yang ia rasakan. Biyan sekarang sudah jarang bisa berkumpul bersama kami. Biasanya, akhir pekan, kami bertiga selalu memiliki agenda kegiatan bersama. Tapi sejak ada Andi di hati Biyan, hanya aku dan Vivian yang bisa bersama. Tanpa Biyan, terasa ada yang kurang bagi 3-@ngel.
Aku dan Vivian sangat mencintai Biyan. Aku yakin, Biyan juga memiliki perasaan yang sama kepada kami. Dan rasa cintanya kepada kami tak pernah berkurang, meski telah hadir orang lain dalam dirinya. Wajarkah jika aku merasa cemburu padanya? Ah! Mungkin aku hanya belum siap menerima kehadiran ’orang asing’ itu.
Sebagai sahabat, aku akan mencoba memahaminya. Bahwa Biyan tak hanya memiliki satu cinta untuk kami. Ia memiliki banyak cinta untuk orang-orang yang ia sayangi, termasuk Andi.
”Dirla... Vivian.... guru Bahasa Inggris segera tiba di lokasi. Cepat masuk!” seru Rindang dari kejauhan.
Aku dan Vivian segera bangkit dan berlari menyusulnya. Jangan sampai telat di hari pertama les! Apalagi bermasalah dengan guru killer seperti Pak Toro.

* * * * *


Tidak ada komentar:

Posting Komentar