Laman

Sabtu, 16 Juli 2011

KUGANTUNGKAN DIRIKU BERSAMA CITA-CITAKU



Aku... siapa aku? Aku tak tahu siapa sebenarnya aku. Sepertinya aku adalah mayat hidup yang selama ini berjalan di muka bumi tanpa arah, tanpa tujuan. Sungguh, aku tak bisa menentukan hidupku sendiri. Sejak SMP, aku mulai tertarik dengan dunia kepenulisan. Aku ingin menjadi seorang penulis. Aku sangat suka fiksi. Itulah pertama kalinya aku benar-benar yakin akan sebuah cita-cita yang aku inginkan.
Ketika SD, guruku selalu berkata, ‘Beranilah bermimpi dan gantungkan mimpi-mimpimu setinggi langit agar ketika dewasa kau bisa menggapainya.’ Kata-kata itu menjadi sebuah semangat yang selama ini kugenggam dalam jiwaku. Dengan mantap kugantungkan mimpiku sebagai seorang penulis. Aku yakin, ketika aku dewasa aku bisa menjadi seorang penulis terkenal.
Aku terus menulis, menulis dan menulis apa saja yang terlintas dalam pikiranku untuk aku ceritakan. Aku begitu menyukai setiap momen ketika kugoreskan pena untuk melukiskan rangkaian kata-kata indah.
Tapi, semakin aku beranjak dewasa, ketika tanganku bertambah panjang dan tubuhku bertambah tinggi, aku justru semakin tak bisa menjangkau mimpiku sebagai seorang penulis yang telah kugantungkan di langit sejak 6 tahun lalu. Puncaknya ketika lulus SMA.
“Menjadi penulis itu bukan sebuah cita-cita. Ambillah jurusan akuntansi dan bantu ayah mengurus perusahaan.”
Begitu kata-kata ayahku ketika aku mengutarakan keinginanku untuk masuk Fakultas Bahasa dan Sastra. Ibuku hanya tersenyum setiap kali ada perbincangan tentang masa depanku dengan ayah. Senyum yang selalu meneduhkan dan membuatku tak berani untuk membantah.
Setiap kali ingin marah, kuingat kembali kebaikan kedua orang tuaku yang telah merawatku dengan baik selama 18 tahun. Terlebih kepada ibuku, yang rela mempertaruhkan nyawanya demi melahirkanku sehingga aku bisa melihat indahnya dunia. Aku tak mau mengecewakan mereka.
Ah! Ini memang tentang masa depanku. Aku sendiri yang akan menjalani kerasnya kehidupan ini. Tapi kedua orang tuaku tak memberi kepercayaan bahwa aku bisa sukses dengan menjadi seorang penulis. Aku yakin aku bisa melakukannya.
Pada akhirnya aku mengikuti keinginan orang tuaku. Telah kukubur impianku di dasar hatiku. Semua demi menyenangkan ayah dan ibu. Di dunia ini, tak ada yang lebih aku sayangi selain keduanya. Sekarang aku mempunyai sebuah mimpi lain, yaitu menyenangkan kedua orang tua.
Mimpi baru itu tak lantas mengubur mimpiku yang lama. Aku tetap ingin menjadi seorang penulis. Jujur, aku lebih suka menulis cerpen daripada mengikuti perkuliahan. Otakkku selalu panas ketika harus membaca segudang literatur tentang akuntansi. Hanya sebuah mimpi yang membuatku tetap bertahan di kampus hingga saat ini, yaitu mimpi untuk membahagiakan kedua orang tuaku.
“Aku rasa kamu belajar terlalu keras, Ra. Rileks sedikit.... ” ujar Indah, teman sekamarku di rumah kos.
“Biaya yang setiap bulan dikirimkan oleh ayahku itu untuk biaya aku belajar. Tidak gratis.” Jawabku enteng.
“Kepalamu sudah mendidih sampai keluar asap dan tanduk, Ra.” Candanya.
Aku hanya tersenyum.
Dari delapan anak di kos ini, hanya aku yang paling jarang keluar. Aku tak tahu, mengapa aku seperti ini. Sudah aku katakan, aku hidup seperti mayat hidup yang tak punya arah dan tujuan. Aku hanya ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Selamanya aku tak akan mampu membalas jasa mereka. Setidaknya dengan tetap bertahan di kampus ini, mereka akan bahagia. Meskipun aku semakin merasa tak mampu mengikuti perkuliahan yang tak aku sukai, sekuat tenaga aku akan bertahan.
Semester pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya prestasiku selalu baik. IP di atas 3.50. Kedua orang tuaku selalu memberikan sanjungan. Teman-temanku juga selalu memujiku, katanya aku hebat. Hebat? Ah, aku rasa tidak. Sudah 6 semester aku lalui, sedikitpun aku tak paham apa itu akuntansi. Aku tak mengerti apa-apa. Setiap kali ujian tiba aku hanya menyalin apa yang pernah aku baca di buku. Tapi sama sekali aku tak paham.
“Jamu apa yang kamu minum, Ra. Biar aku mencicipi. Aku juga ingin pintar sepertimu.” Kata Indah.
Dia memang sangat suka menggodaku. Aku hanya tersenyum. Ya, aku paling malas bicara. Tapi Indah sangat baik. Setiap kali aku jatuh sakit, dia yang merawatku. Hampir setiap bulan aku pasti sakit. Demam, flu, dan pening. Itulah menu sakitku. Katanya, aku terlalu banyak belajar. Ah! Mana ada belajar membuat sakit. Belajar itu membuat nilai kita bagus. Dan aku akan terus melakukannya.
“Indah... ada tamu!” Seru Tyas dari arah ruang tengah.
Aku bergegas keluar kamar dan menemui tamu yang telah menungguku di halaman depan.
“Sandi?” gumanku kaget.
Seorang teman yang bahkan tak pernah dekat denganku di kampus maupun di mana saja, tiba-tiba datang bertamu. Aku duduk di sebelahnya dengan sejuta rasa heran di benakku. Baru sekali ini ada teman laki-laki yang bertamu ke kosku. Amazing!
“Mungkin kamu merasa aneh dengan kedatanganku.”
“Ya, cukup aneh juga.”
“Aku... ingin lebih mengenalmu.”
“Apa!?”
Sungguh aku tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ‘ingin lebih mengenal’. Bukankah mengenal tak perlu harus bertemu?
“Rara. Aku menyukaimu.”
Dug! Rasanya aneh ada yang bisa menyukaiku. Sepertinya aku tidak pernah dekat dengan lain jenis di kampus. Termasuk dia.
“Bagaimana bisa...” lirihku.
“Sejak awal perkuliahan aku mulai memperhatikanmu. Mungkin karena terlalu sering memperhatikanmu, aku mulai menyukaimu. Aku ingin lebih mengenalmu.”
“Sebatas perkenalan sebagai teman, tentu saja aku tidak menolak. Tapi untuk lebih dari itu, sepertinya tidak. Maaf.” Tegasku.
“Ya. Segalanya berawal dari pertemanan. Tidak masalah bagiku. Salam kenal.”
Oh... aku benar-benar tak tertarik dengan hubungan seperti itu. Tidak ada waktu untuk itu. Tanggung jawabku sebagai seorang anak kurasa sudah cukup berat. Aku hanya perlu fokus agar dapat lulus. Aku hanya perlu melakukan satu hal ini saja. Aku harus melakukannya, meskipun aku tak suka.
***
“Ra, proposalmu sudah selesai?” tanya Indah disela-sela kepusinganku mengerjakan proposal penelitian.
“Masih aku kerjakan.” Jawabku.
Ini adalah masa-masa paling memusingkan seumur hidup. Rasanya aku sudah tak tahan dengan semua ini. Kepalaku terasa sangat panas dan ingin meledak. Sahabat-sahabat tempatku mencurahkan perasaan selalu memberi solusi agar aku bertahan.
“Semangat, Ra. Tinggal sedikit lagi kau akan mencapai garis finish.”
Tidak adakah solusi lain? Ini bukan bidangku. Aku tak menyukainya. Aku hanya suka dunia sastra. Aku tak menginginkan semua ini. Bisakah aku melepaskan diri?
Aku lelah. Aku lelah mengikuti kemauan orang lain. Ayah... Ibu... mengertilah, bukan ini yang aku mau. Aku ingin menjadi apa yang aku inginkan. Menjadi penulis. Ahh... impian itu sudah lama terkubur. Aku tak lagi menulis selain tugas-tugas kuliah. Aku jenuh dan ingin semuanya segera berakhir.
“Kajian teorinya kurang relevan dengan judul yang Saudara angkat. Banyak sekali bahasa-bahasa tidak baku dan kalimat-kalimat yang tidak efisien. Silakan Saudara pelajari kembali pedoman penulisan proposal skripsi dan EYD. Nah, variabel penelitian dan indikator keberhasilan harus konsisten. Silakan revisi bagian-bagian yang saya tandai. Minggu depan kita diskusikan lagi.”
Huft! Satu lagi sumber sakit kepala. Aku bisa sakit bukan karena penyakit. Tapi karena stres. Sudah tiga kali aku revisi proposal ini, tapi tetap saja masih ada kesalahan. Aku butuh istirahat.
Aku... ingin istirahat panjang. Aku sangat lelah. Inilah saatnya aku menghentikan semua ini. Inilah saatnya aku mengikuti apa yang aku inginkan. Selama kaki masih menapak di bumi, selama itu pula penderitaan akan terus mengikuti. Ayah... Ibu... maafkan aku. Aku ingin mati bersama segelas madu bercampur racun ini. Aku ingin merasakan sedikit rasa manis menjelang kematianku yang haram ini. Tak ada kebanggaan yang bisa aku tinggalkan untuk kalian. Hanya sepucuk surat yang mampu kutuliskan dengan kucuran darahku.

Tidak ada yang lebih aku cintai di dunia ini melebihi cintaku pada kalian, ayah dan ibu. Aku ingin membanggakan kalian, selalu menjadi kebanggaan kalian.

2 komentar: