Aku pernah berangan-angan. Membayangkan bagaimana diriku ke depan. Terkadang timbul rasa takut ketika sedang membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidup ini selanjutnya. Khawatir nantinya akan terjadi hal buruk. Padahal belum pasti apa yang akan terjadi satu menit kemudian, apakah aku masih hidup atau mati. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Aku hanya tahu, sesuatu yang telah terjadi. Jadi, kenapa aku harus cemas? Kenapa kita harus cemas memikirkan sesuatu yang belum terjadi? Mengapa orang-orang begitu mengkhawatirkan. Padahal belum ada ketuk palu takdir yang divoniskan. Kenapa harus takut, sementara ada yang senantiasa menjaga diri kita? Kenapa harus dipikirkan? Bukankah yang penting adalah berusaha dan menjalaninya? Tak perlu memikirkan hasil akhir yang belum pasti. Asalkan yakin dan berusaha keras, pasti apa yang kita impikan akan tercapai.
Selama ini, apa yang dipikirkan buruk seringkali tidak terjadi. Tapi tetap hati-hati, prasangka sangat berpengaruh terhadap tindakan. Akan lebih baik untuk selalu berprasangka baik kepada Allah. Seperti ketika kita makan, bukankah kita tidak pernah memikirkan akan jadi apa makanan yang kita makan nantinya? Seperti itulah menjalani kehidupan. TAk perlu dicemaskan, tetapi tetap dipersiapkan.
Dalam syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka-buka alam gaib, dan kemudian terhanyut dalam kecemasan-kecemasan yang baru di duga darinya, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Pasalnya, hal itu termasuk thulul amal (angan-angan yang terlalu jauh). Secara nalar, tindakan itu pun tak masuk akal, karena sama halnya dengan berusaha perang melawan bayang-bayang. Namun ironis, kebanyakan manusia di dunia ini justru banyak yang termakan oleh ramalan-ramalan tentang kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan krmjekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka. Padahal, semua itu hanyalah bagian dari kurikulum yang diajarkan di "sekolah-sekolah setan".
Mereka yang menangis sedih menatap masa depan adalah yang menyangka diri mereka akan hidup kelaparan, menderita sakit selama setahun, dan memperkirakan umur dunia ini tinggal seratus tahun lagi. Padahal, orang yang sadar bahwa usia hidupnya berada di 'genggaman yang lain' tentu tidak akan menggadaikannya untuk sesuatu yang tidak ada. Dan orang yang tidak tahu kapan akan mati, tentu salah besar bila justru menyibukkan diri dengan sesuatu yang belum ada dan tak berwujud. Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya. Jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula pernah menanti serangan petakanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar