SENI KARAWITAN
SEBAGAI MATERI MUATAN LOKAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll) merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, keanekaragaman tersebut harus selalu dilestarikan dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui upaya pendidikan.
Pengenalan keadaan lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih mengakrabkan dengan lingkungannya. Pengenalan dan pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik.
Muatan Lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi mata pelajaran muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan.
Muatan lokal merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan. Keberadaan mata pelajaran muatan lokal merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan yang tidak terpusat, sebagai upaya agar penyelenggaraan pendidikan di masing-masing daerah lebih meningkat relevansinya terhadap keadaan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan kurikulum muatan lokal mendukung dan melengkapi kurikulum nasional.
Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahawa dalam satu tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal.
Salah satu muatan lokal yang dapat diajarkan di Sekolah Dasar di daerah Jawa Tengah adalah Seni Karawitan. Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai "karawitan" berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa seni karawitan perlu menjadi pertimbangan untuk dijadikan sebagai salah satu materi pelajaran Muatan Lokal?
2. Apa yang disebut karawitan itu?
3. Bagaimanakah sejarah gamelan yang termasuk dalam seni karawitan?
4. Apa saja jenis-jenis gendhing Jawa dan bagaimana cara memainkannya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. ALASAN KARAWITAN SEBAGAI MATERI MULOK
Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrument sebagai pernyataan musical yang sering disebut dengan istilah karawitan. Kata jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalis, vokalis dan campuran yang indah didengar.
Seni gamelan jawa mengandung nilai-nilai histories dan filsofis bagi bangsa Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan jawa merupakan salah satu seni budaya yang siwariskan oleh para pendahulu dan sampai sekarang masih banyak digemari serta ditekuni. Secara Hipotesis, masyarakat Jawa sebelum adanya pengaruh Hindu telah mengenal sepuluh keahlian, diantaranya adalah wayang dan gamelan.
Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001). Secara filosofis gamelan jawa merupakan satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikaian disebabkan filsafat hidup masyarakt Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang berupa gamelan Jawa serta berhubungan dekat dengan perkembangan religi yang dianutnya.
Istilah gamelan telah lama dikenal di Indonesia, sudah disebut pada beberapa kakawin Jawa Kuno. Arti kata gamelan, sampai sekarang masih dalam dugaan-dugaan. Mungkin juga kata gamelan terjadi dari pergeseran atau perkembangan dari kata gembel. Gembel adalah alat untauk memukul. Karena cara membunyikan instrumen itu dengan dipukul-pukul. Barang yang sering dipukul namanya pukulan, barang yang sering diketok namanya ketokan atau kentongan, barang yang sering digembal namanya gembelan.
Kata gembelan ini bergeser atau berkembang menjadi gamelan. Mungkin juga karena cara membuat gamelan itu adalah perunggu yang dipukul-pukul atau dipalu atau digembel, maka benda yang sering dibuat dengan cara digembel namanya gembelan, benda yang sering dikumpul-kumpulkan namanya kempelan dan seterusnya gembelan berkembang menjadi gamelan. Dengan kata lain gamelan adalah suatu benda hasil dari benda itu digembel-gembel atau dipukul-pukul (Trimanto,1984).
Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Kita harus bangga memiliki alat kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada. Dunia pun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat mengimbangi alat musik barat yang serba besar.
Di dalam suasana bagaimanapun suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat. Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).
Oleh karena itu, sudah sepantasnya sekolah dasar-sekolah dasar di daerah Jawa Tengah menerapkan seni karawitan sebagai materi pelajaran muatan lokal. Karena sekolah merupakan tempat yang paling strategis untuk memperkenalkan seni budaya daerah kepada siswa, agar warisan yang sangat berarti itu tetap ada hingga generasi berikutnya. Agar kita memiliki kebanggaan terhadap budaya sendiri.
B. PENGERTIAN KARAWITAN
Karawitan berasal dari bahasa Jawa, ‘rawit’ yang berarti rumit, berbelit-belit, tetapi rawit juga berarti halus, cantik, berliku-liku dan enak. Kata Jawa ‘karawitan’ khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia yang bersistem nada non diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar.
Karawitan adalah seni suara daerah baik vokal maupun instrumental yang mempunyai klarifikasi dan perkembangan dari daerahnya itu sendiri. Karawitan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Karawitan Sekar
Karawitan sekar merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan unsur vokal atau suara manusia.
2. Karawitan Gendhing
Karawitan gendhing merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih mengutamakan unsur instrumental atau alat musik.
3. Karawitan Sekar Gendhing
Karawitan sekar gendhing yaitu salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya terdapat unsur gabungan antara karawitan sekar and karawitan gendhing.
Seni karawitan yang umumnya diajarkan di sekolah dasar di daerah Jawa Tengah sebagai pelajaran muatan lokal adalah karawitan sekar gendhing. Selain memperhatikan kelincahan memainkan alat musik gamelan, juga disertai dengan kemahiran menyanyikan lagu-lagu Jawa untuk menciptakan suatu pertunjukkan karawitan.
C. SEJARAH GAMELAN
Kebudayaan Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika kebudayaan dari luar -dalam hal ini kebudayaan India- mulai berpengaruh. Kebudayaan Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem tulisan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya musik ke Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha.
Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni sumber - sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke¬15) (Haryono, 1985).
Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh - tabehan” (bahasa Jawa baru 'tabuh-tabuhan' atau 'tetabuhan' yang berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul).
Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusi yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa ada kata “gèmbèl” yang berarti 'alat pemukul'. Dalam bahasa Bali ada istilah 'gambèlan' yang kemudian mungkin menjadi istilah 'gamelan'. Istilah 'gamelan' telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Namur dalam masa Kadiri (sekitar abad ke-13 Masehi), seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata 'gamelan' berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao.
Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah 'gamelan' dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata tidak.
Pada beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.
Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal. Relief bendhe dan terompet ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M).
Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985:42-45).
Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya Sastra seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut 'vaditra' yang dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni: tata (instrumen musik gesek), begat (instrumen musik petik), sushira (instrumen musik tiup), dhola (kendang), ghana (instrumen musik pukul). Pengelompokan yang lain adalah:
1. Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul.
2. Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
3. Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
4. Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola 'tala' yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).
D. JENIS GENDHING DALAM GAMELAN JAWA
Seperti halnya kesenian atau kebudayaan yang lain, gamelan Jawa dalam perkembangannya juga mengalami perubahan-perubahan. Perubahan terjadi pada cara pembuatanya, sedangkan perkembangannya menyangkut kualitasnya. Dahulu pemilikan gamelan ageng Jawa hanya terbatas untuk kalangan istana. Kini, siapapun yang berminat dapat memilikinya sepanjang bukan gamelan-gamelan Jawa yang termasuk dalam kategori pusaka (Timbul Haryono, 2001).
Gamelan yang lengkap mempunyai kira-kira 72 alat dan dapat dimainkan oleh niyaga (penabuh) dengan disertai 10 – 15 pesinden dan atau gerong. Susunannya terutama terdiri dari alat-alat pukul atau tetabuhan yang terbuat dari logam. Alat-alat lainnya berupa kendang, rebab (alat gesek), gambang yaitu sejenis xylophon dengan bilah-bilahnya dari kayu, dan alat berdawai kawat yang dipetik bernama siter atau celepung.
Jenis gendhing dalam gamelan Jawa dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu:
1. GENDHING UMUM
(a) Gangsaran
Terdapat 8 thutukan balungan, 3 kempulan, 4 kenongan, dan tabuhan gong selalu dibarengi dengan kenong.
(b) Sampak
Satu gongan terdapat 8, 12, 16 thuthukan balungan, tiap empat thuthukan balungan disebut 1 gatra. Kethuk ditabuh di sela-sela nada, kenong ditabuh bersama dengan kethuk dan pada nada-nadanya dan mengambil nada terakhir dari setiap gatra. Kempul ditabuh tepat pada nada-nadanya, pada tabuhan iringan tari/wayang, gong jatuh pada setiap ada salahan kendhang.
(c) Srepeg
Kethuk menabuh nada hitungan ganjil atau nada ding, kenong menabuh pada setiap hitungan genap dan selalu mengambil nada terakhir pada setiap gatra, kempul menabuh nada terakhir pada setiap gatra, jumlah thuthukan balungan pada setiap gong tida tertentu, kecuali menurut kalimat lagu juga menurut pathet dan juga menurut salahan kendhang.
(d) Ayak-ayakan
Kethuk ditabuh di antara tabuhan kenong dan kempul, kenong ditabuh pada nada dhong kecil dan pada dhong besar yang nadanya mengambil nada terakhir pada setiap gatra, kempul ditabuh pada setiap dhong besar atau pada akhir gatra, gong ditabuh pada setiap akhir kalimat lagu, untuk ayak-ayakn pathet manyura, tabuhan kempul dianti dengan tabuhan gong suwukan. Hanya pada akhirnya menggunakan tabuhan gong gede.
(e) Kumuda
Kethuk ditabuh pada setiap nada dhing, kenong ditabuh pada setiap dhong gatra, kempul ditabuh pada setiap 2 gatra, gong dtabuh pada setiap akhir lagu, pada kumuda 1 tabuhan kenong terdapat 2 tabuhan kethuk.
(f) Lancaran
Satu gong terdapat 4 gatra, kthuk bertempat pada nada dhing atau pada setiap hitungan ganjil, kenong bertempat pada setiap dhong gatra, nadanya selalu megambil nada dhong gatra, kempul bertempat pada nada dhong kecil dan satu gongan hanya ada 3 tabuhan kempul. Kempulan pertama dikosongkan.
(g) Ketawang
Satu gongan terdiri dari 16 thuthukan balungan atau 4 gatra, kempyang bertempat pada hitunga ganjil atau dhingnya, kethuk bertempat pada dhog kecil atau di sela-sla kempyang, kenong bertempat padanada akhir gatra ke-2 dan ke-4, kempul bertempat pada nada akhir gatra ke-3.
(h) Ladrang
Satu gongan terdiri dari 32 thuthukan balungan aau terdiri dari 8 gatra, kempyang bertempat pada nada dhing, kethuk bertempat pada dhong kecil atau diapit oleh kempyang kenong bertempat pada akhir gatra yang genap, kempul bertempat pada akhir gatra ke-3, ke-5, dan ke-7.
2. GENDHING KHUSUS
(a) Merong
o Merong kethuk 2 kerep
Satu kenongan berisi 4 gatra, satu gongan berisi 4 kenongan, satu kenongan berisi 2 tabuhan kethuk dan bertempat pada nada akhir gatra pertama dan ketiga, tanpa menggunakan tabuhan kempul, dan juga kempyang.
o Merong kethuk 2 arang
Satu kenongan berisi 8 gatra, saru gongan berisi 4 kenongan, satu kenongan berisi 2 tabuhan kethuk dan bertempat pada nada akhir gatra kdua dan kee?am, tanpa menggunakan tabuhan kempul dan juga kempyang.
o Merong kethuk 4 kerep
Satu enongan berisi 8 gatra, satu gongan berisi 4 kenongan, satu kenongan berisi 4 kethukan dan tempatnya pada nada akhir gatra pertama, ketiga, kelima, dan ketujuh, tanpa mengguakan tabuhan kempul dan juga kempyang.
o Merong kethuk 4 arang
Satu kenongan berisi 16 gatra, satu gongan berisi 4 kenongan, satu kenongan berisi 4 kethukan dan tempatnya pada nada akhir gatra keda, keenam, kesepuluh dan keempat belas, tanpa menggunakan tabuhan kempul dan juga kempyang.
o Merong kethuk 8 kerep
Satu kenongan berisi 32 gatra, satu gongan berisi 4 kenongan, satu kenongan berisi 8 kethukan dan bertempat pada nada akhir gatra pertama, ketiga, kelima, ketujuh, kesembilan, kesebelas, ketiga belas, dan kelima belas.
(b) Ingah
o Inggih kethuk 4
Satu gongan terdiri dari 4 kenongan, satu kenongan terdiridari 4 gatra, kempyang betempat pada nada dhing atau hitungan ganjil, satu kenongan terdapat 4 tabuhan kethuk, dan kethuk ini bertempat pada nada dhong kecil pada setiap gatra, tanpa tabuhan kempul.
o Inggih kethuk 8
Satu kenongan berisi 8 gatra, satu gongan berisi 4 kenongan.
o Inggih kethuk 16
Satu kenongan terdiri dari 16 gatra, satu gongan berisi 4 kenongan.
E. TEKNIK MEMAINKAN GENDHING JAWA
Setiap jenis gendhing jawa dalam kesenian gamelan (karawitan) memiliki teknik dan cara tertentu dalam memainkannya. Salah satunya adalah teknik dan cara memukul gamelan dalam gendhing yang berjenis lancaran, yaitu sebagai berikut.
1. Bonang barung
Teknik permainan bonang barung adalah Gembyang (memainkan dua nada yang sama secara bersama-sama). Penempatan nada permainan yaitu tepat di anara nada balungan. Acuan permainan adalah nada ke-2, ke-4, ke-6 dan ke-8.
2. Bonang penerus
Teknik permainan bonang penerus adalah Gembyang dengan kecepatan dua kali lipat dari pada bonang barung. Penempatan nada permainan yaitu tepat di anara nada balungan dan permainan bonang barung. Satu nada balungan terdapat dua nada bonang penerus.
3. Kempul
Tempat jatuhnya nada kempul adalah nada ke-3, ke-5 dan ke-7. Acuan nada adalah nad ke-4 dan ke-8.
4. Kenong
Tempat jatuhnya nada kenong adalah nada ke-2, ke-4, ke-6, dan ke-8. Acuan permainan adalah nada ke-4 dan ke-8.
F. MEMBUAT SILABUS MULOK KARAWITAN
Sebelum menentukan materi yang akan diterapkan di Sekolah Dasar, ada ketentuan yang harus diperhatikan. Berikut ini rambu-rambu untuk diperhatikan dalam pelaksanaan muatan lokal.
1. Sekolah yang mampu mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata pelajaran muatan lokal. Apabila sekolah belum mampu mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar beserta silabusnya sekolah dapat melaksanakan muatan lokal berdasarkan kegiatan-kegiatan yang direncanakan oleh sekolah, atau dapat meminta bantuan kepada sekolah yang terdekat yang masih dalam satu daerahnya. Bila beberapa sekolah dalam satu daerah belum mampu mengembangkan dapat meminta bantuan TPK daerah, atau meminta bantuan dari LPMP di propinsinya.
2. Bahan kajian hendaknya sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang mencakup perkembangan pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan sosial peserta didik. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar diatur sedemikian rupa agar tidak memberatkan peserta didik dan tidak mengganggu penguasaan pada kurikulum nasional. Oleh karena itu dalam pelaksanaan muatan lokal dihindarkan adanya pekerjaan rumah (PR).
3. Program pengajaran hendaknya dikembangkan dengan melihat kedekatan dengan peserta didik yang meliputi dekat secara fisik dan secara psikis. Dekat secara fisik maksudnya terdapat dalam lingkungan tempat tinggal dan sekolah peserta didik, sedangkan dekat secara psikis maksudnya bahwa bahan kajian tersebut mudah dipahami oleh kemampuan berpikir dan mencernakan informasi sesuai dengan usianya. Untuk itu, bahan pengajaran hendaknya disusun berdasarkan prinsip belajar yaitu: (1) bertitik tolak dari hal-hal konkret ke abstrak; (2) dikembangkan dari yang diketahui ke yang belum diketahui; (3) dari pengalaman lama ke pengalaman baru; (4) dari yang mudah/sederhana ke yang lebih sukar/rumit. Selain itu bahan kajian/pelajaran hendaknya bermakna bagi peserta didik yaitu bermanfaat karena dapat membantu peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
4. Bahan kajian/pelajaran hendaknya memberikan keluwesan bagi guru dalam memilih metode mengajar dan sumber belajar seperti buku dan nara sumber. Dalam kaitan dengan sumber belajar, guru diharapkan dapat mengembangkan sumber belajar yang sesuai dengan memanfaatkan potensi di lingkungan sekolah, misalnya dengan memanfaatkan tanah/kebun sekolah, meminta bantuan dari instansi terkait atau dunia usaha/industri (lapangan kerja) atau tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu guru hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan peserta didik aktif dalam proses belajar mengajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial.
5. Bahan kajian muatan lokal yang diajarkan harus bersifat utuh dalam arti mengacu kepada suatu tujuan pengajaran yang jelas dan memberi makna kepada peserta didik. Namun demikian bahan kajian muatan lokal tertentu tidak harus secara terus-menerus diajarkan mulai dari kelas I s.d VI atau dari kelas VII s.d IX, dan X s.d XII. Bahan kajian muatan lokal juga dapat disusun dan diajarkan hanya dalam jangka waktu satu semester, dua semester atau satu tahun ajaran.
6. Alokasi waktu untuk bahan kajian/pelajaran muatan lokal perlu memperhatikan jumlah minggu efektif untuk mata pelajaran muatan lokal pada setiap semester.
Kaitannya dengan pembuatan silabus, komponen silabus minimal memuat: a). identitas sekolah, b). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, c). Materi Pembelajaran, d). Indikator, e). Kegiatan Pembelajaran, f). Alokasi waktu, g). Penilaian, dan h). Sumber Belajar.
Dalam implementasinya, silabus dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindaklanjuti oleh masing-masing guru. Silabus harus dikaji dan dikembangkan secara berkelanjutan dengan memperhatikan masukan hasil evaluasi hasil belajar, evaluasi proses (pelaksanaan pembelajaran), dan evaluasi rencana pembelajaran.
Setelah silabus selesai dibuat, maka guru perlu merencanakan pelaksanaan pembelajaran untuk satu kali tatap muka. Adapun komponen dari RPP minimal memuat: a). Tujuan pembelajaran, b). Indikator, c). Materi Ajar/Pembelajaran, d). Kegiatan Pembelajaran, e) Metode Pengajaran, dan f). Sumber Belajar.
Berikut merupakan contoh standar kompetensi dan kompetensi dasar yang mengambil seni karawitan sebagai materi atau bahan ajar dalam pembelajaran muatan lokal.
BAB III
PENUTUP
Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang memiliki keanekaragaman multikultur (adat istiadat, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah, dll) merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu keanekaragaman tersebut harus selalu dilestarikan dan dikembangkan dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia melalui upaya pendidikan.
Salah satu warisan budaya yang patut diperhatikan dan dilestarikan adalah seni karawitan. Seni karawitan memiliki nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Selain itu, seni karawitan memiliki nilai keindahan yang khas, berbeda dengan seni lainnya. Jangan sampai bangsa asing mengagumi budaya kita, sementara kita sendiri tidak merasa bangga dengan kebudayaan kita.
Pengenalan keadaan lingkungan, sosial, dan budaya kepada peserta didik memungkinkan mereka untuk lebih mengakrabkan dengan lingkungannya. Pengenalan dan pengembangan lingkungan melalui pendidikan diarahkan untuk menunjang peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pada akhirnya diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik.
Kebijakan yang berkaitan dengan dimasukkannya program muatan lokal dalam Standar Isi dilandasi kenyataan bahwa di Indonesia terdapat beranekaragam kebudayaan. Sekolah tempat program pendidikan dilaksanakan merupakan bagian dari masyarakat.
Oleh karena itu, program pendidikan di sekolah perlu memberikan wawasan yang luas pada peserta didik tentang kekhususan yang ada di lingkungannya. Standar Isi yang seluruhnya disusun secara terpusat tidak mungkin dapat mencakup muatan lokal tersebut. Sehingga perlulah disusun mata pelajaran yang berbasis pada muatan lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar