Laman

Kamis, 09 Desember 2010

GHULUW

GHULUW

1. Pengertian Ghuluw
Secara bahasa, ghuluw berarti melampaui batas. Harga yang melampaui batas, dikatakan Ghala'. Martabat ataupun kedudukan yang melampaui hak disebut, Ghalw. Seluruhnya diambil dari kata Ghala - yaghluw.
Sedangkan Ghuluw dalam beragama berarti: melampaui apa yang dikehendaki syari'at, baik dalam keyakinan, maupun amalan. Ada juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."
2. Hukum Ghuluw
Allah berfirman,
Katakanlah: "Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara ygn tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu memperturutkan hawa nafsi orang-orang yang telah sesar dan (karena) mereka telah menyesatkan banyak orang, dan merekapun tersesat dari jalan yang lurus." (Al Maidah: 99)
Ayat serupa ada dalam surat An Nisa: 171. Imam Al Qurthubi menegaskan Dengan ayat di atas, Allah mengharamkan sikap ghuluw di atas. Sedangkan ghuluw itu sendiri adalah melampaui batas. Dia mencontohkan, bahwa di antara bentuk ghuluw seperti sikap ghuluwnya orang-orang Yahudi terhadap Maryam binti Imran yang sampai - sampai menuduhnya berzinah. Sebaliknya juga sikap ghuluw-nya orang-orang Nashrani terhadap dia (Maryam) sehingga menganggapnya sebagai Tuhan.
Ibnu Katsir menambahkan Banyak golongan lain yang menuruti jejak orang-orang Nashrani tersebut. Di mana mereka bersikap ghuluw terhadap pemimpin-pemimpin yang dianggap berkompeten dalam urusan agamanya, yang kemudian mereka yakini sebagai yang ma'shum.
Omongan merekapun diikuti, baik itu benar maupun salah, baik berpedoman (pada yang haq) maupun yang sesat, baik jujur maupun dusta!
Sementara dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, Wahai manusia, waspadalah kamu sekalian terhadap ghuluw di dalam Islam. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu hanyalah sikap ghuluw dalam agama mereka.
3. Beberapa Nama Lain Ghuluw
Dalam hadits-hadits juga banyak diriwayatkan peringatan serupa, dengan lafadz yang memiliki pengertian serupa dengan ghuluw. Diantaranya :
a. At Tanatthu' (keras tidak karu-karuan)
Rasulullah pernah bersabda :
“Binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu'.”
Imam Nawawi menyatakan, "Tanatthu' berarti melampaui batas." Dalam pernyataan beliau lainnya, "Tanatthu' berarti sikap keras tidak karu-karuan yang tidak pada tempatnya."
b. Tasyaddud (Menyusah-nyusahkan Urusan)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,
”Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidak ada orang yang membuatnya susah, melainkan dirinya pasti kalah (tidak mampu melakukannya). Maka berjalanlah lurus, dekatkan diri kepada Alah, dan terimalah kabar gembira. Mintalah pertolongan pada waktu pagi dan petang serta sedikit waktu malam (untuk beribadah).”
Dan sabda Nabi: ”Agama yang paling disukai Allah adalah yang lurus dan ringan.”
Syaikh Nashiruddin Ahmad bin Muhammad al Iskandari berkata, Disebutkan disitu "sedikit waktu malam", karena beribadah dimalam hari itu berat. Maka disunnahkan mempergunakan sedikit waktunya.
Lalu Syaikh Shalahuddien Maqbul Ahmad dalam komentarnya terhadap kitab tersebut menyatakan,
"Beliau (Imam Bukhari) hendak menyatakan bahwa yang utama bagi orang yang beramal itu untuk tidak usah memaksa diri, sehingga malah letih dan berhenti beramal. Namun hendaknya ia beramal perlahan - lahan secara bertahap agar amalannya berlangsung terus dan tidak terputus."
c. Al 'Itida' (Melangkahi Ketentuan Syari'at)
Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban, janganlah kalian melalaikannya, menetapkan hal-hal yang haram, janganlah kalian melakukannya. Allahpun telah menetapkan batasan, maka janganlah kalian melangkahinya ..."
Allah berfirman,
”Itulah batasan-batasan hukum Allah (larangan), maka janganlah kalian mendekatinya.” (Al Baqarah: 187)
Ibnu Taimiyah berkomentar, "Ini adalah awal perbuatan haram." Artinya, kita harus memelihara diri agar tidak mendekati yang haram, dan mencukupkan diri dengan yang halal.
Allah berfirman,
Itulah hukum-hukum Allah, janganlah kalian melanggarnya. (Al Baqarah : 229)
Ibnu Taimiyah berkata, "Inilah akhir perbuatan halal." Artinya, kita harus memelihara diri dalam melakukan tindakan yang asalnya adalah halal. Karena apabila kita melampaui batas, ia menjadi haram, atau menjerumuskan kita kepada yang haram, dan inilah perbuatan I'tida'. Wal 'iyadzu billah.
d. At Takalluf (Memaksakan Diri)
Dari Umar ia berkata, "Kami dilarang untuk bersikap Takalluf (memaksa / membebani diri)."
Hadits ini berderajat marfu' (disamakan dengan ucapan Nabi), karena ucapan Umar, "Kami dilarang..." Sedangkan yang melarang para sahabat di sini sudah tentu Rasulullah, sebagaimana disebut dalam kitab-kitab Musthalah Syaikh Salim al Hilali berkomentar, (Hadits ini menunjukkan) dilarangnya banyak bertanya, bersikap keras dan memaksa diri untuk hal yang tidak perlu.
4. Penyebab Ghuluw
a. Kebodohan dalam masalah dien yang meliputi :
o Kebodohan akan tujuan-tujuan syari'at, diantaranya membeli jalan kemudahan bagi pemeluknya dan lain-lain.
o Kebodohan akan batasan syari'at, mana yang halal, mana yang haram, mana yang wajib, mana yang mubah dan lain sebagainya.
o Kebodohan dalam memahami nash-nash Kitab dan Sunnah.
b. Memperturutkan hawa nafsu
Allah berfirrman,
”Tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” (ar- Rum: 29)
”Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui orang - orang yang melampaui batas.” (al An'am: 119)
Ini (hawa nafsu) termasuk penyebab terbesar munculnya sikap ghuluw, karena akibat hawa nafsulah banyak di antara manusia yang akhirnya menakar kebenaran itu dengan timbangan akal dan perasaan.
c. Bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu
Hadits-hadits palsu, umumnya dibuat oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, demi memperturutkan ambisi dirinya membela golongan yang sesat. Atau untuk tujuan duniawi, atau untuk menggaet orang agar gandrung ibadah, atau memang sengaja membuat sensasi. Kesemuanya itu adalah sikap ghuluw alias melampaui batas.
Ibnu Abi al Hadid, seorang yang berpemahaman Mu'tazilah yang juga mantan penganut Syi'ah pernah menyatakan, Ketahuilah, bahwa asal segala kebohongan dalam wujud hadits-hadits (palsu) dalam bab keutamaan adalah propaganda Syi'ah. Pada mulanya, mereka sengaja membuat hadits-hadits palsu berkenaan dengan keutamaan sahabat mereka (Ali), yang didorong oleh rasa permusuhan mereka terhadap seteru beliau (Mu'awiyah dan lain-lain -red.)
d. Mengikuti sisa-sisa ajaran agama sebelum Islam
Sikap ghuluw kadang juga lahir akibat interaksi pemeluk Islam dengan sisa-sisa pemahaman animisme, dinamisme, paganisme, dan sejenisnya. Seperti yang banyak dalam kebudayaan suku-suku di Indonesia. Herannya, masih ada juga yang tega melabelkan Islam pada adat budaya yang jelas berbeda dengan sendi syari'at yang paling dasar sekalipun.
Adakalanya juga, sikap ghuluw itu muncul akibat pengaruh tidak langsung dari agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nashrani yang -tentunya- sebelumnya sudah terbaluri dengan pemahaman syirik yang menjadi tradisi dan sulit berubah. Semacam trinitas dan yang lainnya.
Namun adakalanya juga sikap ghuluw itu memang sengaja disusupi oleh oknum diluar Islam yang berkedok sebagai Muslim -seperti Abdullah bin Saba'- untuk merombak keutuhan ajaran Islam dari dalam. Seperti halnya yang dilakukan oleh Souqhougronye penjajah Belanda di Aceh tempo dulu.
Dan ada juga sikap ghuluw itu datang dari sikap membabi buta yang muncul dari orang-orang yang memiliki ambisai pribadi di kalangan umat Islam antara lain ambisi duniawi; memaksakan pemahaman sesat yang dimilikinya; atau mungkin juga untuk meraih prestise melalui sensasi.
Sebagai penutup, marilah kita menyadarkan diri, bahwa perjalanan dakwah kerap kali diusik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mengeruhkan kemurnian ajaran Islam segala model kerancuan.
5. Macam - Macam Ghuluw
a. Ghuluw dalam Aqidah
Ghuluw dalam aqidah adalah seperti ghuluw-nya orang-orang Nashrani dengan keyakinan trinitasnya. Seperti juga ghuluw-nya orang-orang syi'ah / Rafidhah yang meninggikan derajat Ali sampai sebagian di antaranya menganggapnya lebih baik dari Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sebagian lagi bahkan menganggapnya lebih baik dari Rasulullah, wal 'iyadzu billah. Lebih dari itu, sebagian orang syi'ah bahkan menganggap Ali sebagai titisan Allah.
Contoh lainnya adalah ghuluw-nya orang-orang sufi yang menganggap suci para pemimpinnya yang dianggap tak mungkin keliru. Tak jarang, pelanggaran syari'at yang dilakukan para pemimpin itu, sampai pada batas dosa-dosa besar, yang kemudian justru dianggap sebagai tanda-tanda ke-keramatan-nya.
Ghuluw yang meliputi kultus individu seperti di atas, juga banyak merambati golongan non tasawuf. Dalam hal ini,
Syaikh Bakar Abu Zaid mengingatkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menegaskan bahwa barangsiapa yang menetapkan seseorang -siapapun orangnya- untuk ditaati, sehingga ia berwala (loyal) atau bermusuhan dengan seseorang untuk menyetujui pendapat orang itu, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, maka ia termasuk kelompok orang-orang yang memecah belah dien mereka.
Sedangkan mereka (dengan perbuatan itu) menjadi bergolong-golongan.
Lalu Syaikh Bakar Abu Zaid berkomentar, Manhaj dakwah semacam ini (yang akhirnya bergolong-golongan) tak pantas dijadikan asas perubahan bagi ummat dan menyatukan barisan mereka.
Syaikh Ali Hasan (murid syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani) juga pernah menyatakan,
Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya orang yang dinamakan "orang agama", yaitu istilah buat orang alim yang suka mengibuli massa dengan ilmunya, suka membagi-bagikan surat pengampunan dosa, serta (merasa) memiliki hak untuk menghalalkan dan mengharamkan.
Namun yang dikenal Islam adalah "orang alim dalam agama", yang bertugas mengajarkan hukum-hukum Allah kepada orang awam yang masih belum mengerti. Dengan hujjah yang jelas, tanpa memaksa mereka mengikuti pendapatnya, kecuali dengan dalil yang terang dari Kitab, Sunnah, ataupun Ijma' / konsensus yang disepakati para ulama'"
b. Ghuluw Dalam Amalan
Ibnu Taimiyah pernah menyatakan, at Tasydid (bersikap melampaui batas), terkadang berwujud menjadikan perkara yang tidak wajib atau pun sunnah, menjadi wajib atau disunnahkan. Terkadang juga dalam bentuk menjadikan perkara yang mubah menjadi makruh ataupun haram.
Ibnul Qayyim berkata, Ghuluw (dalam amalan) memiliki dua bentuk:
o Yang dapat mengeluarkan seseorang dari ketaatan. Seperti menambah - nambah rakaat dalam shalat, atau puasa setiap hari termasuk di hari yang diharamkan, puasa tanpa henti, ataupun melempar jumrah dengan batu-batu besar, dan lain-lain.
o Yang dikahawatirkan dapat menyebabkan kebosanan. Saperti puasa setiap hari -tapi tidak termasuk hari-hari yang diharamkan puasa, shalat sepanjang malam dan lain sebagainya. Nabi telah banyak memperingatkan sahabatnya terhadap perbuatan-perbuatan semacam itu. Seperti Abdullah bin Amr bin'Ash, Abu Darda dan lain-lain.
c. Ghuluw dalam Bentuk-bentuk Lain
Sikap ghuluw, juga kerap menghinggapi seorang Musilm dalam menggunakan akal, sehingga menjadikan akal tersebut sebagai barometer kebenaran. Seperti halnya kalangan rasionalis.
Adakalanya sikap ghuluw juga membaluti antipati seorang Muslim terhadap orang - orang kafir. Sehingga tidak jarang menyikapi mereka dengan kasar dan tidak pada tempatnya, atau menyerobot apa yang menjadi hak mereka sebagai manusia.
Sikap ghuluw juga kerap hadir dalam pentas dakwah, pentas amar ma'ruf nahi mungkar, sehingga seringkali tanpa batasan syari'at, atau menabrak etika dan adab yang menjadi roh dakwah dan metodologi samawi (dari Allah) yang dipraktekkan Nabi.
Padahal, ungkapan keras, meski sudah pada tempatnya sekalipun, tetap harus dipilih mana yang paling beradab, apalagi bila ditujukan kepada kaum Muslimin.
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah bersabda, Janganlah seorang di antara kamu mengatakan kepada dirinya sendiri "khobutsat nafsi" (sungguh jahat diriku). Namun hendaknya dia mengatakan "laqisat nafsi" (artinya kira-kira: "buruk sekali diriku ini")"
Imam An Nawawi berkata, Para ulama menyatakan bahwa arti "khobutsat" dan "laqitsat" sebenarnya sama. Akan tetapi Nabi tidak menyukai lafadz "khobutsat" (karena kasar).
Sementara Syaikh Salim Al Hilali sendiri berkomentar, Dilarang mempergunakan lafadz-lafadz kotor dalam menyifati kondisi kaum Muslimin. Dianjurkan juga memelihara adab dalam ucapan terhadap segala sesuatu (juga semua orang), termasuk terhadap diri sendiri. Selain itu dianjurkan menghindari ungkapan yang jelek dan lafadz yang buruk dalam segala kondisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar