Laman

Senin, 06 Desember 2010

KONSEP PERNIKAHAN DALAM PANDANGAN ISLAM

KONSEP PERNIKAHAN
DALAM PANDANGAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Islam adalah agama yang syumul (universal). Agama yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak ada suatu masalahpun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satupun masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan sepele (ringan). Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam.
Dalam masalah pernikahan, Islam telah berbicara banyak. Mulai dari bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Islam menuntunnya. Begitupula Islam mengajarkan bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah.
Menikah merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan. Dengan menikah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah SWT. Oleh sebab itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong untuk mempercepat nikah, mempermudah jalan untuknya dan memberantas kendala-kendalanya. Nikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia. Nikah mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan. Melalui perannya bumi ini menjadi semakin semarak.
Oleh karena itu, makalah ini akan mempelajari dan menyelami tata cara pernikahan Islam yang begitu agung nan penuh nuansa keindahan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk-bentuk pernikahan yang tidak sesuai dengan ajaran islam?
2. Bagaimana konsep pernikahan yang sesuai dengan ajaran agama islam?


BAB II
PEMBAHASAN

A. PERNIKAHAN PADA MASA JAHILIYAH
Imam Ad-Daruquthuni neriwayatkan hadits dari Abi Hurairah r.a., bahwa Aisyah r.a. menyebutkan empat macam perkawinan pada masa jahiliyah, yaitu:
1. Perkawinan Pinang
Seorang laki-laki meminang melalui seorang laki-laki yang menjadi walinya atau langsung kepada perempuan yang akan dinikahi, lalu ia menyerahkan maharnya, kemudian menikahinya.
2. Perkawinan Pinjam (Gadai)
Seorang suami berkata kepada istrinya sesudah bersih dari haidhnya, “Pergilah kepada dulan untuk berkumpul dengannya.” Sedang suaminya sendiri berpisah daripadanya sampai ternyata istrinya hamil. Sesudah terbukti hamil, suaminya dapat pula menggaulinya, kalau dia suka.Perkawinan seperti ini dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang pandai. Oleh karena itu, perkawinan demikian disebut dengan ‘perkawinan mencari keturunan yang baik’ (bibit unggul).
3. Sejumlah laki-laki (di bawah 10 orang) secara Bersama-sama Menggauli Seorang Perempuan
Manakala perempuan itu nantinya hamil dan melahirkan, setelah berlalu beberapa malam, ia kirimkan anak itu kepada salah seorang di antara mereka, dan ia tidak dapat menolaknya, sampai nanti mereka berkumpul di rumah wanita tersebut, dan wanita itu lalu berkata kepada mereka. “ Kalian telah tahu masalahnya, saya telah melahirkan anak ini, dan hai fulan, anak ini adalah anakmu,” dan si fulan tidak dapat menolak.
4. Perempuan perempuan yang Tidak Menolak untuk Digauli oleh Banyak Lelaki
Mereka ini adalah para pelacur. Di depan rumah mereka dipasang tanda agar mudah diketahui, dan siapa yang mau, boleh masuk. Bila di antara mereka ada yang hamil, semua laki-laki yang pernah datang kepadamya berkumpul dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti bayi yang dilahirkan, anak siapakah dia. Lalu diberikanlah kepada laki-laki yang serupa dengannya , dan tidak boleh di tolak.
Ketika Rasulullah saw, di angkat menjadi rasul, seluruh jenis perkawinan itu dihapus kecuali kawin pinang saja. Namun, perkawinan pinang ini akan sah dalam pandangan Islam ketika rukun – rukun nikah dan syarat –syaratnya dipenuhi.

Ada jenis-jenis pernikahan yang perlu kita ketahui dengan baik, seiring dengan derasnya upaya-upaya musuh Islam untuk melegalkan jenis-jenis pernikahan yang jelas haram. Jenis-jenis nikah yang perlu diketahui adalah:
1. Nikah Syighar
Nikah syighar adalah, seorang wali mengawinkan putrinya dengan seorang laki – laki dengan syarat laki-laki tadi mengwinkan putrinya kepada dirinya tanpa mahar. Raulullah saw. melarang nikah semacam ini, sebagaimana sabda beliau,
“Tidak ada syighar dalam islam.” (H.R.Muslim dari Ibnu Umar dan Ibnu Majah dari Anas)
Ibnu Umar r.a. meriwayatkan,
“Rasulullah saw.melarang kawin syighar. Kawin syighar adalah seorang laki-laki berkata kepada temannya, ‘ Kawinkanlah putrimu atau saudara perempuan denganku, nanti aku kawinkan kamu dengan putriku atau saudara perempuanku dengan syarat kedua-duanya tanpa mahar.’”(H.R.Ibnu Majah)
Mayoritas ulama berpendapat, pada prinsipnya nikah syighar tidak diakui. Oleh karena itu hukumnya batal. Hal ini mengacu pada dua hadits Raulullah saw di atas. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat, “Nikah syighar itu sah, dengan syarat tiap-tiap anak perempuan yang bersangkutan wajib mendapat mahar yang sepadan dari masing-masing suaminya, Karena dua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak perempuannya sebagai mahar sangat tidak tepat, sehingga dalam perkawinan ini yang batal adalah segi maharnya, bukab akad nikahnya.”
2. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah ketika seorang laki-laki berkata kepada seorang perempuan, ”Saya bersenang-senang denganmu selama sekian waktu.” Mirip perempuan sewaan. Nikah ini disebut juga kawin sementara atau kawin kontrak. Hal ini dikarenakan, laki-laki yang mengawini si perempuan hanya untuk jangka waktu tertentu, seperti sehari, seminggu, atau sebulan. Jenis nikah demikian, di hukumi haram oleh seluruh imam madzhab, kecuali Syi’ah. Ketika nikah mut’ah terjadi, hukumnya batal. Adapun alasan-alasan diharamkannya nikah mut’ah sebagai berikut;
 Nikah seperti ini tidak sesuai dengan perkawinan yang dimaksud Al-Quran.
 Hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah, di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah, dimana Rasulullah telah mengharamkan nikah mut’ah dalam sabda beliau,
“Wahai manusia, saya telah pernah mengizinkan kamu nikah mut’ah. Tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah Swt, telah mengharamkannya sampai hari Kiamat.”
Sedangkan dalam riwayat Ali bin Abi Thalib r.a., dikatakan bahwa,
“Rasulullah saw telah melarang nikah mut’ah pada perang Khaibar dan melarang penduduknya makan daging keledai.”
Kemudian, saat Umar bin Khatthab.r.a. menjadi khalifah dan menyampaikan pidato di atas mimbar, ia juga mengharamkan nikah mut’ah yang disetujui para sahabat. Sedangkan para sahabat, tidak akan pernah menyetujui sesuatu yang salah, andaikata nikah mut’ah itu salah. Kawin mut’ah sekedar melampiaskan nafsu syahwat, bukan untuk mendapatkan anak dan memeliharanya. Padahal aspek kedua inilah maksud pokok dari sebuah ikatan perkawinan.
3. Nikah Muhallil
Nikah Muhallil adalah nikah seorang lelaki dengan perempuan yang telah ditalak tiga, setelah masa iddahnya habis. Kemudian si suami tersebut menjatuhkan talak dengan tujuan agar bekas suami pertama dapat menikah dengan dia lagi.
Nikah semacam ini hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Pelakunya dilaknat Allah Swt. Adapun dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
 Hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw, bersabda,
“Allah melaknat muhallil dan muhallalil lahu (bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil.”(H.R.Ahmad)
 Dalam riwayat Ibnu Abbas dikisahkan, bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang muhallil. Beliau menjawab,”Tidak boleh.Kawin itu harus sungguh, tidak boleh ada tipuan dan tidak boleh mempermainkan hukum Allah. Jadi harus benar-benar merasakan madu kecilnya (bersenggama).” (H.R.Abu Ishaq Al-Jurjani)
B. DALIL TENTANG PERINTAH MENIKAH
Islam memberikan perhatian yang sangat besar dalam pembentukan sebuah keluarga, karena keluarga merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah masyarakat yang lebih luas. Mendirikan dan membentuk sebuah keluarga yang islami, sakinah, mawaddah wa rahmah harus dimulai dengan meletakkan fondasi keislaman yang kokoh, yang dimulai dengan memilih jodoh yang islami, proses walimatul ‘ursy, membangun keluarga dari tahap awal, dan mendidik anggota keluarga sedari dini.
Allah SWT berfirman,






Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q. S. An Nuur:32)




Artinya:
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Q. S. Ar ruum: 21)


Artinya:
”Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Adz Zariyyat: 49)

C. KONSEP PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain.Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”
2. Shalat Istikharah
Apabila seorang laki-laki telah nazhar (melihat) wanita yang dipinang serta wanita pun sudah melihat laki-laki yang meminangnya dan tekad telah bulat untuk menikah, maka hendaklah masing-masing dari keduanya untuk melakukan shalat istikharah dan berdo’a seusai shalat. Yaitu memohon kepada Allah agar memberi taufiq dan kecocokan, serta memohon kepada-Nya agar diberikan pilihan yang baik baginya.
Shalat Istikharah dilakukan untuk meminta ditetapkannya pilihan kepada calon yang baik, bukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya menikah. Karena, asal dari pernikahan adalah dianjurkan. Hendaknya ikhlas dan ittiba’ dalam berdo’a Istikharah. Tidak ada hadits yang shahih jika sudah shalat Istikharah akan ada mimpi, dan lainnya.
3. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
a) Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b) Adanya Ijab Qabul.
c) Adanya Mahar.
d) Adanya Wali.
e) Adanya Saksi-saksi.

4. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya:
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (HR: [shahih] Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (HR: [shahih] Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).

D. HUKUM PERNIKAHAN
Hukum dasar atau asal hukum nikah adalah mubah atau boleh. Hukum dasar ini sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan keadaan dan situasi orang yang melaksanakannya. Oleh karena itu, hukum dasar dapat berubah menjadi wajib, sunnah, makruh, bahkan haram.
1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-Qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
”Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.” (QS.An-Nur : 33)
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam. Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani.” (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular yang bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.

E. TUJUAN PERNIKAHAN
Beberapa tujuan dari pernikahan menurut pandangan islam adalah sebagai berikut ini.
1. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang seperti: berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang jauh dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk membentengi ahlak yang luhur.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang telah menurunkan martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih Menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).
3. Untuk menegakkan rumah tangga yang islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian). Jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim”. (Al-Baqarah : 229).Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat di atas: “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dinikahkan dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk nikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Al-Baqarah: 230). Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB.
4. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Sampai-sampai bersetubuh (berhubungan suami-istri) pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!.” Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa?“ Jawab para shahabat : “Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).
5. Untuk mencari keturunan.
Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Allah berfirman:
“Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).
Yang tak kalah pentingnya, dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas yaitu mencetak anak yang shalih dan Shalihah serta bertaqwa kepada Allah SWT. Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan tarbiyah Islam (pendidikan Islam) yang benar.

BAB III
ANALISIS


Akhir-akhir berita mengenai kawin kontrak (nikah mut’ah) dan kasus menikahi gadis di bawah umur (seperti kasus Syekh Puji) menjadi topik perbincangan yang hangat. Bentuk pernikahan-pernikahan tersebut hingga saat ini masih diperdebatkan mengenai hukum pelaksanaannya.
Pada awal tegaknya agama Islam, nikah mut’ah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nikah mut’ah dilakukan pada saat:
1. Mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)
Namun ketika perang Khaibar, Rasulullah mengharamkan nikah mut’ah. Menurut kami, pengharaman hukum nikah mut’ah didasarkan pada alasan bahwa nikah mut’ah tidak sesuai dengan konsep pernikahan yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an. Baik syarat maupun tujuan nikah mut’ah sangat bertolak belakang dengan apa yang diajarkan Al-Qur’an. Nikah mut’ah atau kawin kontrak hanya untuk tujuan memuaskan nafsu syahwat saja, bukan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah dan mendapatkan keturunan. Syarat nikah mut’ah:
1. Perkawinan ini cukup dengan akad (teransaksi) antara dua orang yang ingin bersenang-senang (mut’ah) tanpa ada para saksi.
2. Laki-laki terbebas dari beban nafkah.
3. Boleh bersenang-senang (tamattu’) dengan para wanita tanpa bilangan tertentu, sekalipun dengan seribu wanita.
4. Istri atau pasangan wanita tidak memiliki hak waris.
5. Tidak disyaratkan adanya ijin bapak atau wali perempuan.
6. Lamanya kontrak kawin mut’ah bisa beberapa detik saja atau lebih dari itu.
7. Wanita yang dinikmati (dimut’ah) statusnya sama dengan wanita sewaan atau budak.
Menurut pandangan kami, nikah mut’ah sungguh merendahkan martabat wanita. Selain itu, pernikahan ini juga merugikan pihak wanita, karena posisi wanita hanya sebagai mainan yang ketika bosan, dapat dibuang dan dicampakan begitu saja. Status wanita tidak ada bedanya dengan pelacur. Pernikahan seperti ini pada akhirnya akan menyakiti salah satu pihak. Dan pernikahan yang menyakiti salah satu pihak, hukumnya adalah haram. Sebagai umat muslim, sudah seharusnya kita hanya berpegang pada Al-Qur’an dan Hadist. Karena kedua pedoman itu tidak akan menyesatkan dan menyengsarakan, tetapi akan melahirkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Mengenai kasus menikahi gadis di bawah umur (anak perempuan yang masih kecil atau yang belum haid), hukumnya adalah boleh (mubah) secara syar’i. Hal ii berdasarkan firman Allah SWT, yang artinya:
"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." (QS Ath-Thalaq [65] : 4).
Adapun dalil As-Sunnah yang membahas tentang hal ini adalah hadits dari 'Aisyah RA, dia berkata :
"Bahwa Nabi SAW telah menikahi 'A`isyah RA sedang 'A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat 'Aisyah berumur 9 tahun, dan 'Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun." (HR Bukhari, hadits no 4738, Maktabah Syamilah).
Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa mubah hukumnya seorang laki-laki menikah dengan anak perempuan kecil yang belum haid. Hukum nikahnya sah dan tidak haram. Namun syara' hanya menjadikan hukumnya sebatas mubah (boleh), tidak menjadikannya sebagai sesuatu anjuran atau keutamaan (sunnah/mandub), apalagi sesuatu keharusan (wajib).

BAB IV
PENUTUP


Persoalan pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan serta dibahas. Persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlaq. Lembaga ini merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di muka bumi ini.
Pernikahan merupakan persoalan penting dan besar. Aqad nikah (pernikahan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci. Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dengan penuh tanggung jawab.
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan pernikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), mendidik anak, memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah (memberikan nafkah) dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.Untuk memahami konsep Islam tentang pernikahan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar