ADAB MAKAN DALAM ISLAM
Manusia tidak mungkin hidup tanpa makan. Dengan makan manusia dapat menjaga kesinambungan hidupnya, memelihara kesehatan, dan menjaga kekuatannya. Baik manusia tersebut memiliki niat untuk makan dan menjaga adab-adab Islam ketika makan maupun sama sekali tidak menjaga adab dan tidak berniat untuk makan, maka tetap saja ia pasti akan makan. Hanya saja, selain tujuan makan yang kita sebutkan tadi. Apabila ia mengetahui bahwa makan itu ada etikanya dan melaksanakan etika tersebut, tentulah ia akan mendapat keuntungan berupa pahala akhirat. Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang Muslim memperhatikan adab ini dan melaksanakannya dalam kehidupan. Melaksanakan adab tersebut dapat menghasilkan keberkahan, membentuk watak, mengetahui bagaimana cara merendahkan diri, merealisasikan perasaan syukur kepada Allah Ta'ala, menjauhkan diri dari syaitan, serta dapat membangkitkan rasa kasih sayang di antara sesama manusia.
Adab makan berkaitan dengan apa yang dilakukan sebelum makan, sedang makan dan sesudah makan.
ADAB SEBELUM MAKAN
1. Niat yang Benar
Seharusnya seorang Muslim menghadirkan niat yang benar pada makanannya. Janganlah ia makan dengan niat hanya untuk melaksanakan kebiasaan sehari-hari yang berfungsi untuk menjaga kesinambungan hidup, atau hanya untuk merasakan kelezatan berbagai jenis makanan.
Akan tetapi, hendaklah ia menyantap makanan dengan niat untuk mendapatkan kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta'ala, menjaga kehidupan dan kesehatannya. Berkat adanya dua hal tersebut, maka amalan shalih dapat dilakukan dengan berkesinambungan. Dengan demikian, makan menjadi sebuah ibadah yang dapat menghasilkan pahala.
Sesungguhnya Rasulullah, pernah bersabda: "Sesungguhnya segala amalan tergantung pada niat ..."
2. Berusaha Mencari Makanan yang Halal
Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengharamkan dan melarang menyantap makanan yang haram. Allah telah menetapkan hal itu sebagai sebab masuknya seseorang ke dalam Neraka.
Allah telah memerintahkan kepada kita agar memakan makanan yang halal dan baik. Allah swt berfirman : "Hai, Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya A ku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mu'minuun: 51) Firman Allah swt : "Hai, orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah." (QS. Al-Baqarah: 172)
3. Tidak Makan ketika Perut masih Kenyang
Tidak sepantasnya seseorang makan sementara ia masih merasa kenyang. Sebab, hal ini termasuk perbuatan yang berlebihan dan dapat menggangu pencernaan serta dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, juga bertentangan dengan sunnah Nabi saw. Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan:
اُجْعَلْغِذَاءَكَ ُلْ يَوْمٍ مَرَّةً ـ وَاحْذَرْ طَعَامًا قَبْلَ هَضْمِ طَعَامِ
”jadikanlah kebiasaan makanmu satu kali dalam sehari dan jangan makan sebelum makanan di perutmu tercerna”
4. Memenuhi Undangan Makan
Jika saudaramu mengundangmu untuk menghadiri jamuan makan, maka penuhilah undangan tersebut. Sebab, Rasulullah saw telah memerintahkan agar memenuhi undangan makan dan menjadikan hal itu sebagai hak seorang Muslim atas Muslim lainnya. Beliau saw bersabda:
وَإُذَا دَعَاكَ قَأَجُبْهُ
"Dan jika kamu diundang maka penuhilah undangan tersebut."
Namun, semua itu dengan syarat tidak terdapat sesuatu yang diharamkan oleh syari'at pada undangan jamuan tersebut. Jika ada, maka tidak boleh menghadirinya karena di dalamnya terdapat kemunkaran, kecuali jika ia hadir untuk mengubah kemunkaran tersebut.
5. Tidak Makan dengan Menggunakan Bejana Emas dan Perak
Makan dengan menggunakan bejana emas dan perak ini merupakan perbuatan yang diharamkan Allah swt. Sebab, di dalamnya terkandung perbuatan yang berlebihan, pemborosan, serta sikap sombong atas nikmat yang ia dapatkan. Hal ini juga dapat membuat hati fakir miskin semakin menderita ketika melihat pemandangan tersebut. Rasulullah saw bersabda:
الّذِي يَشْرَبُ فِيْ انِِيَةِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ
"Orang yang minum dengan menggunakan bejana yang terbuat dari perak, berarti ia telah menuangkan api Neraka Jahannam ke dalam perutnya."
Beliau saw juga bersabda:
لاَتَشْرَبُوْا فِيْ انِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ , وَلاَ تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهَا , وَلاَ تَلْبَسُوْا الْحَرِيْرِ وَلاَ الِّيْبَجِ , فَإِنَّهُ لَهُمْ فِيْ الدّنْيَا , وَهُوَ لَكُمْ فِيْ الاخِرَةِ
"Janganlah kalian minum dengan bejana yang terbuat dari emas dan perak, jangan makan di piring dari emas dan perak, dan jangan memakai kain sutra tipis dan tebal! Sebab, benda tersebut untuk mereka (orang kafir) di dunia dan untuk kalian di akhirat nanti”
6. Mengajak Makan Orang yang Hadir
Di antara adab yang mulia ialah jika di sana ada orang lain yang hadir ketika makanan disuguhkan, maka wajib bagi orang-orang yang sedang makan untuk mengajaknya ikut serta makan bersama mereka. Sebab, kemungkinan orang itu juga ingin mencicipi hidangan tersebut atau mungkin ia sempat melihat ketika orang-orang sedang mengambil makanan. Jika tidak, berarti orang-orang yang sedang makan tersebut termasuk orang-orang yang pelit dan kikir.
7. Mengajak Pembantu untuk Ikut Makan atau Memberinya Makanan Tersebut
Mengajak dan memberi makan pembantu merupakan adab islami yang agung. Seorang pembantu yang menyiapkan dan menghidangkan makanan mungkin juga menginginkan makanan tersebut. Oleh karena itu, seharusnya ia juga diikutsertakan dalam menyantap hidangan tersebut, baik ikut duduk bersama para undangan atau disisihkan sebagian makanan itu untuknya.
Rasulullah saw bersabda:
إِذَا أَتَى أَحَدَكُمْ جَادِمُهُ بِطَعَامِهِ , قَدْ كَفَاهُ عِلاَجُهُ , وَدُخَانُهُ , فَلْيُجْلِسْهُ مَعَهُ , فَإِنْ لَمْ يُجْلِِسْهُ مَعَهُ فَلْيُنَاوِلْهُ أُكْلَةً أَوْ أُكْلَتَيْنِ
"Apabila pembantu salah seorang dari kalian datang menyuguhkan makanan hendaknya ia mengajaknya makan. Jika ia tidak mengajaknya makan bersamanya, maka berilah dia sesuap atau dua snap dari makanan tersebut karena dia telah memasaknya dan menghirup asapnya."
Sikap seperti ini akan membuat dirinya senang juga untuk menunjukkan kerendahan hati kepadanya.
8. Rendah Hati
Hendaknya seseorang bersikap rendah hati baik dari sikap duduk, dari jenis makanan, makan bersama fakir miskin, dan lain-lain.
Rasulullah saw , bersabda:
اَكُلُ كَمَا يَأْكُلُ العَبْدُ , وَأَجْلِسُ كَمَا يَحْلِسُ الْعَبْدُ
"Aku makan seperti seorang hamba makan dan duduk seperti seorang hamba duduk.”
Rendah hati merupakan sikap yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dalam setiap keadaan, maka jangan sampai meninggalkannya, sebagaimana yang tercantum dalam sabda Rasulullah saw :
إِنَّ اللّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفَْرَ أَحَدٌعَلَى أَحَدٍ , وَلاَ يَبْغِيَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian senantiasa bersikap rendah hati sehingga tidak ada seorang pun yang menyombongkan diri dan berbuat aniaya di hadapan orang lain."
Allah swt juga berfirman:
"... Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong." (QS. An-Nahl: 23)
9. Mengikutsertakan Tetangga untuk Mencicipi Makanan
Mengikutsertakan tetangga dilakukan dengan mengirim makanan kepadanya, terlebih lagi jika tetangganya tersebut orang miskin yang tidak pernah makan jenis makanan yang dikirimkan. Ini termasuk memenuhi hak dan menyenangkan hati tetangga serta menutup pintu masuk syaitan yang senantiasa berusaha menanamkan permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia.
Nabi saw bersabda:
إِذَا طَبَخَ أَحَدُكُمْ قِدْرًا فَلْيُكْثِرْ مَرَقَهَا , ثُمَّا لِيُنَاوِلَ جَارَهُ مِنْهَا
"Apabila salah seorang kamu memasak makanan, maka perbanyaklah kuahnya, kemudian berikanlah sebagian kepada tetangga.”
Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda:
يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ ! لاَتَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَشَاةٍ
"Wahai, wanita Muslimah! Janganlah kalian meremehkan pemberian tetangga meskipun hanya berupa tulang kaki kambing.”
Ibnul Atsir berkata dalam an-Nihaayah: "Firsin adalah tulang hewan yang sedikit dagingnya, yakni tulang tapal unta dan tapal hewan lainnya. Kemudian, kata ini digunakan untuk mengungkapkan tulang kaki kambing. Adapun untuk kambing memiliki sebutan sendiri, yaitu zhalf…”
Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama bahwa maksud dari larangan ini adalah untuk memberi dorongan kepada kaum wanita agar tetap bersikap dermawan walaupun dengan memberi sesuatu yang bernilai rendah. Sebab, sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Jangan sampai ia menganggap remeh tetangga sehingga ia enggan memberikan hadiah apa pun kepada tetangganya.
Rasulullah saw melarang perbuatan tidak mengikutkan tetangga untuk mendapatkan bagian makanan, jika tetangga tersebut orang fakir.
Rasulullah saw bersabda:
"Tidak disebut Mukmin orang yang kenyang perutnya sementara tetangga sebelah rumahnya kelaparan.”
10. Memasak Makanan untuk Teman-Teman dan Orang Banyak.
Ini termasuk adab yang dianjurkan dalam syari'at Islam. Di dalamnya terkandung realisasi rasa cinta dan kasih sayang di antara sesama.
Rasulullah saw bersabda:
أَفْشُوْا السَّلاَمَ , وَأَطْعِمُوْا الطَّعَامَ , وَكُوْنُوْا إْخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللّهُ َزَّ َجَلَّ
"Sebarkanlah salam, berilah makan, dan jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang diperintahkan Allah azza wa jalla “
Beliau juga pernah bersabda:
أَفْضَلُ الأَعْمَالِ أَنْ تُدْخِلَ عَلَى أَخِيْكَ المُؤْمِنِ سُرُوْرًا , أَوْ تَقْضِيَ عَنْهُ دَيْنَا , أَوْ تُطْعِمَهُ خُبْزًا
"Sebaik-baik amalan adalah kamu membuat seorang Mukmin gembira, membayarkan utangnya, atau memberinya sepotong roti."
11. Tidak Berlebih-lebihan
Janganlah seseorang berlebihan dalam menghidangkan berbagai jenis makanan. Seseorang boleh membuat lebih dari satu jenis makanan, hanya saja yang terbaik adalah tidak berlebihan dalam menyajikan berbagai jenis hidangan. Bahkan, terkadang ada yang menyajikan lebih dari sepuluh jenis makanan. Ini yang disebut israf (berlebih-lebihan).
Allah swt berfirman:
"... Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raaf: 31)
ADAB KETIKA MAKAN
1. Berkumpul dan Memperbanyak Orang Ketika Makan
Berkumpul dan memperbanyak orang ketika makan merupakan tindakan yang dapat mendatangkan berkah dan menanamkan cinta dan kasih sayang, serta dapat memperkuat persaudaraan di kalangan ummat Islam. Beberapa Sahabat pernah mengadu kepada Rasulullah, bahwa mereka makan, namun selalu tidak cukup. Maka beliau saw, menjawab:
"Berkumpullah ketika kalian menyantap makanan dan sebutlah nama Allah semoga kalian mendapat berkah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al Hakim dari Wahsyi bin Harb)
Makanan seperti ini akan mendapatkan berkah dari Allah dan makanan yang sedikit akan cukup untuk orang banyak sebagai mana sabda Rasulullah saw :
"Makanan satu orang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim dari Jabir)
2. Mencuci Tangan Sebelum Makan
Jika tangan seseorang terkena kotoran atau sejenisnya; hendaknya ia mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum makan. Para Salaf dahulu melakukan hal ini. Jika tangan tidak terkena kotoran, maka tidak wajib mencucinya namun sangat dianjurkan. Sebab, mencuci tangan berguna untuk menjaga kesehatan dan menjauhkan diri dari bahaya. Ini merupakan adab yang sesuai dengan semangat (ruh) dan dakwah Islam.
3. Menunggu Makanan yang Panas hingga Menjadi Dingin
Menunggu makanan yang panas hingga menjadi dingin merupakan berkah yang paling agung, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
"Sesungguhnya yang demikian itu dapat mendatangkan berkah yang lebih besar.” (HR Ahmad, ad Darimi, Ibnu Hibban, Abu Nua'aim dan Baihaqi dari Asma')
Yaitu, makanan yang masih mengepulkan asap dan makanan yang masih panas sangat berbahaya untuk kesehatan badan. Demikian juga halnya dengan makanan yang sangat dingin. Oleh karena itu, wajib mengikuti sunnah ini.
4. Tidak Meremehkan Makanan
Jangan meremehkan makanan, baik posisi orang tersebut sebagai tamu di rumah orang lain maupun berada di rumah sendiri. Sebab, meremehkan makanan berarti meremehkan nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Hendaklah seseorang senantiasa mengingat bahwa masih banyak orang-orang yang tidak memiliki makanan. Oleh karena itu, barang siapa yang meremehkan makanan, niscaya nikmat tersebut akan dicabut darinya.
5. Tidak Mencela Makanan
Mencela makanan bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw dan termasuk meremehkan nikmat yang telah dianugerahkan Allah. Tentunya juga dapat menyinggung perasan orang yang menyajikan makanan tersebut. Oleh karena itu Rasulullah saw tidak pernah sekali pun mencela makanan. Jika suka beliau makan dan jika tidak beliau tinggalkan.
6. Menyebut Nama Allah Ketika Makan
Menyebut nama Allah ketika makan merupakan pengakuan bahwa makanan tersebut milik Allah dan berasal dari Allah. Selain itu, untuk mengusir syaitan yang ingin ikut mencicipi makanan manusia. Demikian juga dalam masalah lainnya.
Di antara jenis dzikir yang disebutkan adalah sabda Rasulullah saw.
"Apabila salah seorang kalian makan, ucapkanlah: Allahumma baarik lana fihi wa abdilna khairan minhu (Ya, Allah, berkahilah makanan kami dan gantikanlah dengan makanan yang lebih baik).' Apabila ia minum susu, ucapkanlah: Allahumma barik lana fihi wa zidna minhu (Yang Allah berkahilah susu yang kami minum ini dan tambahkanlah untuk kami susu tersebut)' karena tidak ada sesuatu yang dapat menggantikan (fungsi) makanan dan minuman selain susu." (HR Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)
Apabila ia berpuasa, ucapkanlah ketika berbuka:
"Dahaga telah sirna, urat-urat telah basah, dan pahala pun telah ditetapkan, insya Allah."(HR Abu Dawud,Hakim dari Ibnu Umar)
7. Membaca Basmalah Ketika Hendak Makan
Hal ini termasuk adab teragung dan terpenting yang tertera di dalam beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah saw :
"Wahai, anak! Sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah makanan yang ada di dekatmu.” (HR Abu Dawud,Hakim dari Ibnu Umar)
Beliau, juga memberi nasihat kepada orang yang lupa mengucapkan basmalah ketika mulai makan:
"Jika salah seorang dari kalian makan, ucapkanlah : (Dalam riwayat lain: `Sebutlah nama Allah.') Apabila sebelum makan ia lupa mengatakannya, hendaklah ia mengucapkan: awwalahu wa aakhirahu (dengan nama Allah dari awal hingga akhir).'' (HR Abu Dawud,Tirmidzi, Hakim dari Aisyah)
Jika dihidangkan makanan, beliau mengucapkan : "Bismillah ..."
Rasulullah saw pernah mengingatkan akan bahayanya tidak membaca:"Bismillah," ketika makan atau hal lainnya. Sebab, hal itu membuka peluang untuk syaitan, sebagaimana sabda beliau saw :
"Apabila seseorang masuk ke rumahnya kemudian menyebut nama Allah ketika masuk dan ketika makan, maka syaitan berkata kepada teman-temannya: 'Kahan tidak punya tempat bermalam dan tidak punya santapan malam.' Apabila ia masuk tanpa menyebut nama Allah, maka syaitan berkata: 'Kalian telah mendapatkan tempat bermalam.' Apabila ia makan tanpa menyebut nama Allah, maka syaitan berkata: 'Kahan telah mendapatkan tempat bermalam dan santapan malam.”
Ucapan yang benar adalah "Bismillah", tidak boleh menambahnya dengan kalimat lain walaupun ia menganggap kalimat tambahan itu baik. Karena hal itu bertentangan dengan apa yang pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulullah saw. Jikalau ucapan "Bismillahirrahmaanirrahiiim" itu lebih baik, tentunya Rasulullah saw telah melakukannya dan kita diperintahkan untuk mengikuti dan mentauladani beliau.
Allah swt berfirman:
"...dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk."(QS.Al-A'raaf: 158)
Allah swt juga berfirman:
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu surf teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah ..." (QS. Al-Ahzaab: 21)
Lebih baik lagi jika ia membacanya agak keras untuk mengingatkan orang yang lupa membacanya. Barang siapa lupa membacanya sebelum makan dan teringat ketika sedang makan, hendaknya ia mengucapkan: "Bisrnillaahi awwalahu wa aakhirahu" sebagaimana yang telah disebutkan.
8. Jangan Terburu-buru Memulai Makan
Seseorang seharusnya tidak mendahului para hadirin dalam mengambil makanan sebab hal itu termasuk salah satu ciri orang yang rakus. Seorang penya'ir berkata:
”jika setiap tangan diulurkan (ke makanan), maka tanganku bukanlah yang terdahulu, sebab orang rakus adalah orang yang paling cepat mengulurkan tangannya (ke makanan).”
Orang-orang menjuluki pelakunya dengan sebutan orang rakus dan tamak, kecuali apabila ia tahu bahwa orang-orang suka jika ia orang yang pertama mengambil makanan. Mungkin karena ia orang yang paling dalam ilmunya, karena ia orang yang paling tua umurnya, karena ia tuan rumah, atau karena ia pemilik suatu tempat. Apabila ia hadir, orang-orang akan enggan mendahuluinya mengambil makanan. Jika seperti ini kondisinya, maka ia boleh mendahului orang-orang mengambil makanan.
9. Terlebih Dahulu Mencicipi Buah-Buahan
Sebagian ulama menyebutkan hal ini dan berdalil dengan firman Allah swt
"Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan." (QS. Al-Waaqi'ah: 20-21)
Sebagian ahli medis menyebutkan bahwa hal itu lebih bermanfaat untuk kesehatan badan dan lebih memudahkan proses pencernaan.
10. Makan dengan Tangan Kanan
Makan dengan tangan kanan hukumnya wajib dan makan dengan tangan kiri hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
"Apabila salah seorang dari kalian makan, hendaknya ia makan dengan tangan kanannya dan bila ia minum, hendaknya minum dengan tangan kanannya sebab syaitan makan dan minum dengan tangan kiri.”
Demikian pula sabda beliau saw :
“... dan makanlah dengan tangan kananmu …”
Rasulullah saw pernah memerintahkan seorang laki-laki agar makan dengan tangan kanan, tetapi ia menjawab: "Saya tidak bisa." Nabi, berseru: "Semoga kamu tidak akan bisa selamanya!" Laki-laki itu enggan melaksanakan perintah beliau karena kesombongannya. Maka ketika itu juga, laki-laki itu kemudian tidak mampu mengangkat tangan ke mulutnya."
Demikianlah hukuman bagi orang yang menentang perintah beliau Bahkan, orang yang kidal sekalipun tetap diwajibkan untuk makan dengan tangan kanan.
11. Makan dengan Tiga Jari
Makanlah dengan tiga jari, yakni menggunakan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Sebab, Nabi saw makan dengan tiga jari dan menjilat tangan sebelum beliau membersihkannya.” Makan dengan tiga jari adalah sikap tengah antara makan dengan satu jari yang merupakan cara makannya orang-orang sombong dan makan dengan lima jari yang merupakan sikap makannya orang yang rakus.
12. Makanlah Makanan yang Terdekat
Memakan makanan yang terdekat merupakan salah satu adab yang mulia ketika makan. Janganlah ia meraih makanan yang ada di dekat orang lain sehingga mengganggu mereka dan dapat menyebabkan mereka menilainya sebagai orang yang rakus. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda:
"Makanlah makanan yang ada di dekatmu."
Terkecuali apabila makanan yang ia inginkan tidak berada di depannya, seperti jika piring yang berisi salah satu jenis makanan berada di depan orang lain. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh mengambilnya.
13. Makan dari Bagian Pinggir Makanan dan Tidak Memulainya dari Bagian Tengah
Adab ini berkaitan dengan adab sebelumnya. Rasulullah saw pernah memerintahkan hal ini dan bersabda:
"Makanlah dari bagian pinggir nampan dan jangan makan dari bagian tengahnya karena keberkahan itu turun di bagian tengah."
Apabila masing-masing orang menyantap makanan yang ada di dekatnya, berarti ia harus mulai dari bagian pinggir nampan.
14. Mengunyah Makanan dengan Baik
Ini merupakan adab yang harus tetap dipelihara. Sebab, menelan makanan yang tidak dikunyah dengan baik dapat menimbulkan efek negatif dan dapat mengganggu kesehatan. Demikian juga halnya jika makanan tidak dikunyah dengan baik, maka makanan tidak akan tercerna dengan baik dan dapat menyebabkannya berlebihan dalam makan.
15. Memperkecil Suapan
Hal ini dilakukan agar tidak mengganggu orang-orang yang makan bersamanya, disebabkan ia telah menyantap bagian orang lain sehingga membuat mereka jengkel serta menuduhnya sebagai orang yang rakus.
16. Tidak Tergesa-gesa Ketika Makan
Terkadang ada orang yang sedang mengunyah makanan sementara di tangannya sudah ada makanan lain yang siap ia suapkan ke mulutnya, sebelum ia mengunyah dan menelan makanan di mulutnya. Ini adalah ciri-ciri orang yang rakus, serta hal ini mengganggu orang-orang yang makan bersamanya. Oleh karena itu, seorang Muslim seharusnya makan dengan santai dan mengunyah makanannya dengan baik. Janganlah ia mengambil makanan lain hingga selesai mengunyah dan menelan makanan tersebut.
17. Berhati-hati Terhadap Sesuatu yang Berbahaya yang Terdapat dalam Makanan
Contohnya, duri ikan atau pecahan tulang yang terdapat dalam daging dan lain-lain. Sebab, jika benda-benda ini masuk ke dalam perut seseorang, maka dapat mengganggunya. Jadi, jangan sampai seseorang melakukan sesuatu yang dapat membahayakan dirinya sendiri. Aku mengenal seorang laki-laki yang meninggal akibat tertelan olehnya tulang ayam ketika makan, yang mengakibatkan pendarahan bagian dalam.
18. Tidak Duduk Bertelekan
Tidak boleh makan dengan posisi duduk miring yang bertumpu pada satu tangan, bahkan sebagian ulama memasukkan duduk bersila dalam duduk bertelekan. Sebab, bersila adalah salah satu jenis duduk bertelekan. Posisi seperti ini tidak dibolehkan ketika menyantap makanan, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
"Sesungguhnya aku tidak makan sambil bersandar. “
Duduk bertelekan seperti ini adalah duduknya orang yang sombong.
19. Tidak Makan dalam Posisi Telungkup
Makan dengan posisi telungkup bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw. Hal ini juga berarti melakukan sesuatu yang dilarang beliau, selain dapat membahayakan kesehatan badan. Nabi saw melarang duduk di hidangan yang disuguhkan khamr di dalamnya dan melarang seseorang makan dengan posisi telungkup.
20. Menjauhkan Hal-Hal yang Dapat Mengganggu Orang-Orang yang Sedang Makan
Hal-hal yang dapat mengganggu orang-orang yang sedang makan di antaranya membuang ingus atau meludah, batuk ke arah makanan, dan bersin ke piring. Perbuatan tersebut dapat mengganggu orang yang sedang makan dan dapat membuat selera mereka hilang.
21. Tidak Memperhatikan Orang-Orang yang Sedang Makan
Tidak memperhatikan orang-orang yang sedang makan merupakan adab yang harus tetap dijaga. Tidak pantas seseorang memperhatikan orang yang sedang makan karena akan membuat mereka gelisah dan tidak dapat menikmati makanan sebagaimana yang mereka kehendaki. Apabila yang melakukan hal ini adalah si pemilik makanan, maka orang-orang yang sedang makan akan mengira bahwa ia adalah orang kikir.
22. Tidak Membuka Bibir Ketika Makan
Adab ini pernah disinggung oleh Ibnu `Ammad al-Aqfahasi dan yang lainnya. Sebab, membuka bibir ketika makan akan memuncratkan sebagian air liur atau akan mengakibatkan air liur berjatuhan ke dalam makanan. Tentunya hal ini akan mengganggu orang lain yang sedang makan. Membuka bibir ketika makan juga akan mengeluarkan suara-suara yang dapat mengganggu teman makan. Oleh karena itu, sebaiknya kedua bibir dirapatkan agar tidak terjadi dua perkara yang tidak diinginkan tersebut ketika makan.
23. Tidak Mengambil Dua Kurma Sekaligus
Termasuk adab yang mulia ialah tidak mengambil melebihi jatah yang disediakan untuk seseorang sehingga tidak membuat orang lain resah. Rasulullah saw melarang perbuatan tersebut dan bersabda:
"Barang siapa makan kurma bersama orang lain, janganlah ia mengambil dua sekaligus, kecuali jika mereka mengizinkannya. "
Ada yang berpendapat bahwa ini khusus untuk kurma. Ada juga yang berpendapat bahwa ini untuk semua jenis buah-buahan, dan inilah pendapat yang benar. Wallaahu a'lam.
24. Memungut Makanan yang Terjatuh di Lantai
Jika makanan yang akan atau yang sedang dimakan seseorang terjatuh di lantai, hendaklah ia membersihkan kotorannya kemudian ia makan, jangan membiarkannya dimakan syaitan.
Rasulullah saw bersabda:
"Jika makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka pungut dan bersihkanlah kotoran yang melekat lalu makanlah, jangan biarkan ia dimakan syaitan. Hendaklah pula ia membersihkan makanan yang tertinggal di talam karena ia tidak tahu makanan mana yang ada berkahnya."
Beliau saw juga bersabda:
"Jika salah seorang dari kalian makan lalu makanan tersebut terjatuh, hendaklah ia memungut dan membuang kotorannya kemudian memakannya, jangan sampai ia membiarkannya untuk syaitan."
25. Tidak Mencampur Antara Kulit, Biji, dan Isi (atau makanan dan sisanya) pada Satu Tempat
Seharusnya tidak meletakkan kurma dan bijinya (atau makanan lainnya dan sisa atau sampahnya) pada satu piring, atau meletakkan kulit semangka dan kulit telur di dalam satu piring, juga sisa tulang dengan dagingnya. Sebab, hal itu tidak pantas dan dapat membuat selera orang lain hilang, bahkan terkadang kulit yang tersisa sudah terkena air liur orang yang memakannya. Oleh karena itu, kulit tersebut tidak pantas diletakkan kembali ke piringnya karena akan mempengaruhi makanan, atau bercampur dengan makanan yang lain.
26. Apabila Lalat Terjatuh di dalam Gelas
Apabila ada lalat yang terjatuh dalam gelas maka lalat tersebut harus dicelupkan kembali, diangkat, lalu dibuang. Kemudian, silakan menyantap makanan tersebut. Janganlah merasa jijik dan merasa malu untuk memakannya karena Nabi saw bersabda:
"Apabila lalat jatuh pada minuman salah seorang dari kalian, hendaklah ia mencelupkan lalat tersebut kemudian barulah ia buang. Sebab, di salah satu sayapnya ada penyakit dan disayap yang lain terdapat penawarnya.”
Hal ini telah terbukti kebenarannya dan telah disaksikan langsung oleh para ahli medis. Anda dapat menemukan rinciannya pada pembahasan adab minum insya Allah.
27. Menyuapi Isteri dengan Tangannya
Apabila seorang isteri makan bersama suaminya dan suami menyuapi makanan tersebut ke mulut isterinya, niscaya ia akan mendapatkan pahala dan hal itu akan memperkokoh kecintaan isterinya.
Rasulullah saw pernah berpesan kepada Sa'ad bin Abi Waqqash:
"... Sesungguhnya tidaklah engkau memberikan infaq yang hanya mengharapkan ganjaran dari Allah kecuali engkau akan diberi pahala atas perbuatan tersebut, hingga sesuap makanan yang engkau suapkan ke mulut isterimu…”
Suatu yang tidak dapat dipungkiri bahwa suapan ini dapat menguatkan jalinan kasih sayang antara suami dan isteri.
28. Menyuguhkan Makanan di Hadapan para Hadirin
Sikap ini diutamakan untuk orang yang memiliki makanan. Hal ini dilakukan jika ia melihat sebagian orang yang hadir malu untuk menjangkau makanan tersebut padahal ia ingin mencicipinya, atau orang yang hadir adalah seorang ulama, atau orang terhormat, atau orang yang sudah tua, atau orang tua (bapak dan ibu), dan lain-lain. Maka dari itu hendaknya pemilik hidangan meletakkan makanan tersebut di dekatkan atau di hadapan mereka.
29. Mempersilakan Para Hadirin untuk Mencicipi Hidangan
Jika pemilik makanan melihat sebagian orang yang hadir ada yang belum mencicipi hidangan, maka sebaiknya ia mempersilakan mereka untuk mencicipinya. Sikap ini diutamakan kepada si pemilik hidangan. Nabi Ibrahim as pernah berkata kepada para tamunya ketika ia melihat bahwa tamunya tidak ingin mengambil hidangan yang ia suguhkan.
"... Silahkan kamu makan." (QS. Adz-Dzaariyaat: 27)
Kalimat: "Tidakkah Anda ingin mencicipi hidangan?" atau "Mengapa Anda tidak makan?" adalah kalimat yang lebih lembut dan lebih baik daripada kalimat: "Makanlah!"
Kalimat ini adalah kalimat yang tercantum dalam al-Qur-an yang terasa lebih sopan digunakan dalam mempersilakan seseorang untuk mencicipi hidangan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim dalam at-Taabukiyyah. Oleh karena itu, sudah sepantasnya adab yang mulia seperti ini tidak diabaikan.
30. Mendahulukan Orang Lain daripada Diri Sendiri
Seseorang dianjurkan untuk mengutamakan orang lain daripada diri sendiri, khususnya jika orang tersebut adalah orang berilmu dan terpandang, atau ia mengetahui bahwa orang tersebut menginginkan suatu makanan, atau makanan yang terhidang sedikit sehingga tidak cukup untuk orang yang hadir.
Allah SWT berfirman:
"... Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu) ..." (QS. Al-Hasyr: 9)
31. Tidak Berlebihan Ketika Makan
Hendaknya seseorang makan hanya untuk melepaskan rasa lapar. Oleh sebab itu, jangan sampai tidak mencernanya dengan baik karena dapat membahayakan kesehatan. Hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Yakni, dapat menghilangkan kecerdasan serta menimbulkan sifat malas dan lesu.
Rasulullah SAW bersabda:
"Seorang Mukmin makan dengan satu lambung, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh lambung.
Beliau SAW juga bersabda:
"Tidak ada kantung yang lebih buruk diisi oleh Bani Adam selain perutnya sendiri. Cukuplah baginya beberapa suapan untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika terpaksa, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk nafas (udara)."
"Makanlah, minumlah, bersedekahlah, dan berpakaianlah dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak makhilah (sombong).”
Maksud dari berlebihan adalah melebihi batas sedang dan pertengahan. Makhilah adalah sombong. Ini adalah perkara yang sebaiknya dijauhi oleh seorang Muslim.
32. Menjilati Piring
Hendaknya seseorang membersihkan makanan yang masih tersisa di dalam piring dengan cara menjilatnya atau mengusapnya dengan jari. Sebab, jika sisa makanan tersebut dibiarkan, berarti ia menyediakan makanan untuk syaitan dan kemungkinan juga berkah makanan ada pada sisa makanan tersebut. Dengan membuang sisa makanan berarti ia terhalang mendapat berkah makanan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang jangan malu untuk mempraktikkan sunnah ini, bahkan ia harus menghidupkannya kembali agar masyarakat mengetahuinya.
Rasulullah SAW bersabda:
"Jika makanan salah seorang kamu jatuh …,hendaklah ia membersihkan makanan yang tertinggal di talam karena ia tidak tahu makanan mana yang ada berkahnya."
33. Menjilati Jari
Dianjurkan menjilati jari sebelum membersihkan atau mencuci tangan. Fungsinya untuk mencari keberkahan makanan dan menghidupkan sunnah Nabi SAW. Sebab, apabila Nabi SAW selesai makan, beliau menjilat tiga buah jarinya. Beliau juga makan dengan menggunakan tiga jari dan menjilati jarinya sebelum mencuci tangannya.
Beliau SAW juga bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka janganlah ia membersihkan tangannyha dengan serbet sebelum ia menjilatnya atau dijilati orang lain.”
Dalam riwayat lain, terdapat tambahan :
“… karena ia tidak tahu mkanan mana yang ada berkahnya.”
Oleh karena itu, seorang Muslim seharusnya menjilati jemarinya atau dijilati oleh salah seorang anaknya. Sebagian orang merasa jijik jika menjilat jemarinya, sementara ia tidak pernah merasa malu ketika menjilati sendok atau tulang. Padahal, itu semua ia lakukan dengan menggunakan tangannya yang sudah di cuci sebelum makan dan tidak terlepas dari dirinya. Tentunya benda-benda lebih pantas untuk dianggap jijik daripada tangan.
34. Tidak Membersihkan Tangan dengan Roti
Membersihkan tangan dengan roti berarti menghinakan dan menyia-nyiakan nikmat yang telah dianugerahkan Allah SWT. Maka dari itu tidak pantas mengelap tangan dengan roti atau dengan jenis makanan lainnya setelah makan. Demikian juga ia tidak boleh mengelap tangannya dengan taplak meja karena hal itu termasuk perbuatan yang tidak beradab.
Ref : Mausuu'atul Aadaab al Islamiyyah (Ensiklopedia Adab Islam), Abdul Aziz bin Fathi as Sayyid Nada
http://rumahislam.com/ibadah/sholat.html
Seandainya aku punya mimpi, maka itulah alasan mengapa aku masih mau bertahan hidup. Aku akan mati ketika aku tak lagi punya mimpi. Di sinilah... di Lembah Mandalawangi, aku menaburkan mimpi-mimpi.
Kamis, 09 Desember 2010
AQIDAH
AQIDAH ISLAM
AQIDAH YANG HARUS DIIKUTI
Firman Allah swt :
و ان هذا صراطي مستقسما فاتبعوا السبل قتقرق بكم عن سبيله
"Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, oleh karena itu ikutilah! Janganlah kamu mengikuti jalan - jalan lain, karena hanya akan menceraikan-beraikan kamu dari jalan-Nya." (QS al An'am : 253). Juga ayat - ayat serupa di Al Qur'an.
Kemudian, jalan yang lurus itu ialah :
صرط الذين انعمت عليهم غير المغضو ب عليهم و لا الضا لين
”(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS 1- Al Fatihah : 7)
Jalan ini pula yang dite,puh oleh Ibrahim as , seperti dalam firman Allah swt: ”Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS 3 - Ali 'Imran : 67)
Ath Thabari dalam Jami' al Bayan an Ta'wil ayi Al Qur'an (Tafsir Ath Thabari) mengatakan bahwa jalan yang lurus ialah jalan lurus yang tidak berliku dan beliau menukil ucapan Jarir bin Athiyah al Khathfi :
امير المؤمنين على صراط # اذا اعوج الموارد مستقيم
”Amirul Mukminin berada pada jalan yang benar, meskipun jalan - jalan lain berliku"
Lalu jalan manakah itu, meningat dewasa ini sungguh begitu banyak jalan (manhaj) dalam dunia Islam, hal ini dapat dipelajari dari perkataan Rasulullah saw yang sudah terkenal, yaitu Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, maka hanya satu golongan yang masuk syurga dan 70 golongan masuk neraka. Umat Nasrani berpecah belah menjadi 72 golongan dan 71 golongan masuk neraka dan hanya satu golongan saja yang masuk Syurga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tanganNya, sungguh akan berpecah -belah ummatku menjadi 73 golongan, hanya satu yang masuk Syurga dan 72 golongan masuk Neraka. Rasullah saw ditanya, Wahai Rasulullah, siapakah mereka (maksudnya golongan yang selamat)? Rasuluah saw menjawa : Al Jama'ah" (HR HR Ibnu Majah)
Jadi, aqidah / jalan yang harus kita ikuti adalah aqidah a Jama'ah atau lebih dikenal dengan Ahlus sunnah wal jama'ah. Namun, saat ini hampir semua golongan menamakan dirinya adalah ahlus sunnah wal jama'ah, karena itu perlu bagi kita mengenal siapakah ahlus sunnah wal jama'ah itu, untuk hal demikian insya Allah akan dibahas pada tulisan selanjutnya.
Referensi: :
1. Syarah Aqidah ahlus sunnah wal jama'ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
2. Ringkasan al I'tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqaaf (terjemahan dari Media Hidayah)
3. Jami' al Bayan an Ta'wil ayi Al Qur'an (Tafsir Ath Thabari), Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (terjemahan Pustaka Azzam)
Nama lain 'Aqidah Yang Terlarang dan Alasannya :
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dari prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan, sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) 'aqli maupun naqli. Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) sebagai nama dari ilmu 'aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah :
1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallinin (pengagung ilmu kalam).
Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu serta bertentangan dengan metodologi ularna dalarn menetapkan masalah-masalah 'aqidah sehingga dapat menciptakan persepsi Aqidah yang tidak sesuai dengan Islam dan menyesatkan.
2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka.
Nama yang tidak boleh dipakai karena terkandung igauan kaum Shufl, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam 'aqidah dan ada perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran AlQur-an dan As-Sunnah (1) serta mengandung berbagai ajaran diluar Islam.
Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam dan terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam
Tashawwuf sendiri dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani (2), yang diantara kebiasaannya ialah mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika la membebaskan setiap negeri derigan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara lbadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.
Sumber Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke zuhudan Budha, konsep asy-Syu'ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunanl, dan pemikiran Neo-Platoisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan. (3)
4. Ilaahiyyat (Teologi)
Ilahiyyat adalah kajian 'Aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, Para filosof, para orientalis dan Para pengikutnya.
Nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan - penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh Para filosof dan Para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka.
Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Ref : Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
NAMA - NAMA 'AQIDAH :
1. Al - Iman
'Aqidah disebut juga dengan al Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an dan hadits - hadits Nabi saw, karena 'aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal - hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al?Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits jibril as. Dan para ularna sering menyebut istilah 'Aqidah dengan al Iman dalarn kitab - kitab mereka.
2. 'Aqidah (Itiqaad dan 'Aqaa'id)
Para ularna juga sering menyebut ilmu 'Aqaa'id dan al'I'tiqaad.
3. Tauhid
'Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma' wa Shifat. jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu 'Aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid.
4. As Sunnah
Disebut As Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang diternpuh oleh Rasulullah dan para Sahabat ra, di dalam masalah 'aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.
5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun - rukun Iman, rukun - rukun Islam dan masalah - masalah yang qath'i serta hal - hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
6. Al Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al Fiqhul Ashghar, yaltu kumpulan hukum -hukum ijtihadi.
7. Asy Syari'ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah saw, dan RasulNya berupa jalan - jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (dasar - dasar agama).
Definisi 'Aqidah (ّلعّقِيدة)
1. Menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata - kata :
a. al 'aqdu ( العقد ) : berarti ikatan
b. at tautsliqu ( التوثيق ) : kepercayaan atau keyakinan yang kuat
c. al ihkaamu ( الاحكام ) : mengokohkan (menetapkan)
d. ar rabthu biquw¬ wah ( الربط بقوة ) : mengikat dengan kuat.
2. Menurut istilah (terrminologi) yang umum,
Aqidah adalah iman yang teguh clan pasti, yang tidak ada keraguan seclikit pun bagi orang yang meyakininya. Aqidah Islamiyyah adalah Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah swt dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid (Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan TAuhid Asma' wa Shifatullah) dan taat kepada Nya, beriman kepada Malaikat malaikat Nya, Rasul rasul Nya, Kitab kitab Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa apa yang telah shahih tentang Prinsip prinsip Agama (Ushuluddin), perkara perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi lima' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita berita qath't (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al Qur an dan As Sunnah yang shahih serta lima' Salafush Shalih.
AQIDAH YANG HARUS DIIKUTI
Firman Allah swt :
و ان هذا صراطي مستقسما فاتبعوا السبل قتقرق بكم عن سبيله
"Sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, oleh karena itu ikutilah! Janganlah kamu mengikuti jalan - jalan lain, karena hanya akan menceraikan-beraikan kamu dari jalan-Nya." (QS al An'am : 253). Juga ayat - ayat serupa di Al Qur'an.
Kemudian, jalan yang lurus itu ialah :
صرط الذين انعمت عليهم غير المغضو ب عليهم و لا الضا لين
”(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (QS 1- Al Fatihah : 7)
Jalan ini pula yang dite,puh oleh Ibrahim as , seperti dalam firman Allah swt: ”Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS 3 - Ali 'Imran : 67)
Ath Thabari dalam Jami' al Bayan an Ta'wil ayi Al Qur'an (Tafsir Ath Thabari) mengatakan bahwa jalan yang lurus ialah jalan lurus yang tidak berliku dan beliau menukil ucapan Jarir bin Athiyah al Khathfi :
امير المؤمنين على صراط # اذا اعوج الموارد مستقيم
”Amirul Mukminin berada pada jalan yang benar, meskipun jalan - jalan lain berliku"
Lalu jalan manakah itu, meningat dewasa ini sungguh begitu banyak jalan (manhaj) dalam dunia Islam, hal ini dapat dipelajari dari perkataan Rasulullah saw yang sudah terkenal, yaitu Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, maka hanya satu golongan yang masuk syurga dan 70 golongan masuk neraka. Umat Nasrani berpecah belah menjadi 72 golongan dan 71 golongan masuk neraka dan hanya satu golongan saja yang masuk Syurga. Dan demi jiwa Muhammad yang berada di tanganNya, sungguh akan berpecah -belah ummatku menjadi 73 golongan, hanya satu yang masuk Syurga dan 72 golongan masuk Neraka. Rasullah saw ditanya, Wahai Rasulullah, siapakah mereka (maksudnya golongan yang selamat)? Rasuluah saw menjawa : Al Jama'ah" (HR HR Ibnu Majah)
Jadi, aqidah / jalan yang harus kita ikuti adalah aqidah a Jama'ah atau lebih dikenal dengan Ahlus sunnah wal jama'ah. Namun, saat ini hampir semua golongan menamakan dirinya adalah ahlus sunnah wal jama'ah, karena itu perlu bagi kita mengenal siapakah ahlus sunnah wal jama'ah itu, untuk hal demikian insya Allah akan dibahas pada tulisan selanjutnya.
Referensi: :
1. Syarah Aqidah ahlus sunnah wal jama'ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
2. Ringkasan al I'tisham Imam Asy Syathibi, Syaikh Abdul Qadir As Saqaaf (terjemahan dari Media Hidayah)
3. Jami' al Bayan an Ta'wil ayi Al Qur'an (Tafsir Ath Thabari), Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari (terjemahan Pustaka Azzam)
Nama lain 'Aqidah Yang Terlarang dan Alasannya :
Banyak orang yang menamakan apa yang mereka yakini dari prinsip-prinsip atau pemikiran yang mereka anut sebagai keyakinan, sekalipun hal itu palsu (bathil) atau tidak mempunyai dasar (dalil) 'aqli maupun naqli. Ada beberapa istilah lain yang dipakai oleh firqah (sekte) sebagai nama dari ilmu 'aqidah, dan yang paling terkenal di antaranya adalah :
1. Ilmu Kalam
Penamaan ini dikenal di seluruh kalangan aliran teologis mutakallinin (pengagung ilmu kalam).
Nama ini tidak boleh dipakai, karena ilmu Kalam mempunyai prinsip taqawwul (mengatakan sesuatu) atas Nama Allah dengan tidak dilandasi ilmu serta bertentangan dengan metodologi ularna dalarn menetapkan masalah-masalah 'aqidah sehingga dapat menciptakan persepsi Aqidah yang tidak sesuai dengan Islam dan menyesatkan.
2. Filsafat
Istilah ini dipakai oleh para filosof dan orang yang sejalan dengan mereka. Ini adalah nama yang tidak boleh dipakai dalam aqidah, karena dasar filsafat itu adalah khayalan, rasionalitas, fiktif dan pandangan-pandangan khurafat tentang hal-hal yang ghaib.
3. Tashawwuf
Istilah ini dipakai oleh sebagian kaum Shufi, filosof, orientalis serta orang-orang yang sejalan dengan mereka.
Nama yang tidak boleh dipakai karena terkandung igauan kaum Shufl, klaim-klaim dan pengakuan-pengakuan khurafat mereka yang dijadikan sebagai rujukan dalam 'aqidah dan ada perbedaan yang jauh antara Shufi dengan ajaran AlQur-an dan As-Sunnah (1) serta mengandung berbagai ajaran diluar Islam.
Tashawwuf dan Shufi tidak dikenal pada awal Islam dan terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke dalam Islam dari ajaran agama dan keyakinan selain Islam
Tashawwuf sendiri dipengaruhi oleh kehidupan para pendeta Nasrani (2), yang diantara kebiasaannya ialah mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara, dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika la membebaskan setiap negeri derigan tauhid. Islam memberikan pengaruh yang baik terhadap kehidupan dan memperbaiki tata cara lbadah yang salah dari orang-orang sebelum Islam.
Sumber Tashawwuf diambil dari para pendeta Kristen, Brahmana, Hindu, Yahudi, serta ke zuhudan Budha, konsep asy-Syu'ubi di Iran yang merupakan Majusi di periode awal kaum Shufi, Ghanusiyah, Yunanl, dan pemikiran Neo-Platoisme, yang dilakukan oleh orang-orang Shufi belakangan. (3)
4. Ilaahiyyat (Teologi)
Ilahiyyat adalah kajian 'Aqidah dengan metodologi filsafat. Ini adalah nama yang dipakai oleh mutakallimin, Para filosof, para orientalis dan Para pengikutnya.
Nama ini tidak boleh dipakai, karena yang mereka maksud adalah filsafatnya kaum filosof dan penjelasan - penjelasan kaum mutakallimin tentang Allah menurut persepsi mereka.
5. Kekuatan di Balik Alam Metafisik
Sebutan ini dipakai oleh Para filosof dan Para penulis Barat serta orang-orang yang sejalan dengan mereka.
Nama ini tidak boleh dipakai, karena hanya berdasar pada pemikiran manusia semata dan bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Ref : Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas
NAMA - NAMA 'AQIDAH :
1. Al - Iman
'Aqidah disebut juga dengan al Iman sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur'an dan hadits - hadits Nabi saw, karena 'aqidah membahas rukun iman yang enam dan hal - hal yang berkaitan dengannya. Sebagaimana penyebutan al?Iman dalam sebuah hadits yang masyhur disebut dengan hadits jibril as. Dan para ularna sering menyebut istilah 'Aqidah dengan al Iman dalarn kitab - kitab mereka.
2. 'Aqidah (Itiqaad dan 'Aqaa'id)
Para ularna juga sering menyebut ilmu 'Aqaa'id dan al'I'tiqaad.
3. Tauhid
'Aqidah dinamakan dengan Tauhid karena pembahasannya berkisar seputar Tauhid atau pengesaan kepada Allah di dalam Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma' wa Shifat. jadi, Tauhid merupakan kajian ilmu 'Aqidah yang paling mulia dan merupakan tujuan utamanya. Oleh karena itulah ilmu ini disebut dengan ilmu Tauhid.
4. As Sunnah
Disebut As Sunnah karena para penganutnya mengikuti jalan yang diternpuh oleh Rasulullah dan para Sahabat ra, di dalam masalah 'aqidah. Dan istilah ini merupakan istilah masyhur (populer) pada tiga generasi pertama.
5. Ushuluddin dan Ushuluddiyanah
Ushul artinya rukun - rukun Iman, rukun - rukun Islam dan masalah - masalah yang qath'i serta hal - hal yang telah menjadi kesepakatan para ulama.
6. Al Fiqhul Akbar
Ini adalah nama lain Ushuluddin dan kebalikan dari al Fiqhul Ashghar, yaltu kumpulan hukum -hukum ijtihadi.
7. Asy Syari'ah
Maksudnya adalah segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah saw, dan RasulNya berupa jalan - jalan petunjuk, terutama dan yang paling pokok adalah Ushuluddin (dasar - dasar agama).
Definisi 'Aqidah (ّلعّقِيدة)
1. Menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata - kata :
a. al 'aqdu ( العقد ) : berarti ikatan
b. at tautsliqu ( التوثيق ) : kepercayaan atau keyakinan yang kuat
c. al ihkaamu ( الاحكام ) : mengokohkan (menetapkan)
d. ar rabthu biquw¬ wah ( الربط بقوة ) : mengikat dengan kuat.
2. Menurut istilah (terrminologi) yang umum,
Aqidah adalah iman yang teguh clan pasti, yang tidak ada keraguan seclikit pun bagi orang yang meyakininya. Aqidah Islamiyyah adalah Keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah swt dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid (Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan TAuhid Asma' wa Shifatullah) dan taat kepada Nya, beriman kepada Malaikat malaikat Nya, Rasul rasul Nya, Kitab kitab Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa apa yang telah shahih tentang Prinsip prinsip Agama (Ushuluddin), perkara perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi lima' (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita berita qath't (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al Qur an dan As Sunnah yang shahih serta lima' Salafush Shalih.
GHULUW
GHULUW
1. Pengertian Ghuluw
Secara bahasa, ghuluw berarti melampaui batas. Harga yang melampaui batas, dikatakan Ghala'. Martabat ataupun kedudukan yang melampaui hak disebut, Ghalw. Seluruhnya diambil dari kata Ghala - yaghluw.
Sedangkan Ghuluw dalam beragama berarti: melampaui apa yang dikehendaki syari'at, baik dalam keyakinan, maupun amalan. Ada juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."
2. Hukum Ghuluw
Allah berfirman,
Katakanlah: "Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara ygn tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu memperturutkan hawa nafsi orang-orang yang telah sesar dan (karena) mereka telah menyesatkan banyak orang, dan merekapun tersesat dari jalan yang lurus." (Al Maidah: 99)
Ayat serupa ada dalam surat An Nisa: 171. Imam Al Qurthubi menegaskan Dengan ayat di atas, Allah mengharamkan sikap ghuluw di atas. Sedangkan ghuluw itu sendiri adalah melampaui batas. Dia mencontohkan, bahwa di antara bentuk ghuluw seperti sikap ghuluwnya orang-orang Yahudi terhadap Maryam binti Imran yang sampai - sampai menuduhnya berzinah. Sebaliknya juga sikap ghuluw-nya orang-orang Nashrani terhadap dia (Maryam) sehingga menganggapnya sebagai Tuhan.
Ibnu Katsir menambahkan Banyak golongan lain yang menuruti jejak orang-orang Nashrani tersebut. Di mana mereka bersikap ghuluw terhadap pemimpin-pemimpin yang dianggap berkompeten dalam urusan agamanya, yang kemudian mereka yakini sebagai yang ma'shum.
Omongan merekapun diikuti, baik itu benar maupun salah, baik berpedoman (pada yang haq) maupun yang sesat, baik jujur maupun dusta!
Sementara dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, Wahai manusia, waspadalah kamu sekalian terhadap ghuluw di dalam Islam. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu hanyalah sikap ghuluw dalam agama mereka.
3. Beberapa Nama Lain Ghuluw
Dalam hadits-hadits juga banyak diriwayatkan peringatan serupa, dengan lafadz yang memiliki pengertian serupa dengan ghuluw. Diantaranya :
a. At Tanatthu' (keras tidak karu-karuan)
Rasulullah pernah bersabda :
“Binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu'.”
Imam Nawawi menyatakan, "Tanatthu' berarti melampaui batas." Dalam pernyataan beliau lainnya, "Tanatthu' berarti sikap keras tidak karu-karuan yang tidak pada tempatnya."
b. Tasyaddud (Menyusah-nyusahkan Urusan)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,
”Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidak ada orang yang membuatnya susah, melainkan dirinya pasti kalah (tidak mampu melakukannya). Maka berjalanlah lurus, dekatkan diri kepada Alah, dan terimalah kabar gembira. Mintalah pertolongan pada waktu pagi dan petang serta sedikit waktu malam (untuk beribadah).”
Dan sabda Nabi: ”Agama yang paling disukai Allah adalah yang lurus dan ringan.”
Syaikh Nashiruddin Ahmad bin Muhammad al Iskandari berkata, Disebutkan disitu "sedikit waktu malam", karena beribadah dimalam hari itu berat. Maka disunnahkan mempergunakan sedikit waktunya.
Lalu Syaikh Shalahuddien Maqbul Ahmad dalam komentarnya terhadap kitab tersebut menyatakan,
"Beliau (Imam Bukhari) hendak menyatakan bahwa yang utama bagi orang yang beramal itu untuk tidak usah memaksa diri, sehingga malah letih dan berhenti beramal. Namun hendaknya ia beramal perlahan - lahan secara bertahap agar amalannya berlangsung terus dan tidak terputus."
c. Al 'Itida' (Melangkahi Ketentuan Syari'at)
Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban, janganlah kalian melalaikannya, menetapkan hal-hal yang haram, janganlah kalian melakukannya. Allahpun telah menetapkan batasan, maka janganlah kalian melangkahinya ..."
Allah berfirman,
”Itulah batasan-batasan hukum Allah (larangan), maka janganlah kalian mendekatinya.” (Al Baqarah: 187)
Ibnu Taimiyah berkomentar, "Ini adalah awal perbuatan haram." Artinya, kita harus memelihara diri agar tidak mendekati yang haram, dan mencukupkan diri dengan yang halal.
Allah berfirman,
Itulah hukum-hukum Allah, janganlah kalian melanggarnya. (Al Baqarah : 229)
Ibnu Taimiyah berkata, "Inilah akhir perbuatan halal." Artinya, kita harus memelihara diri dalam melakukan tindakan yang asalnya adalah halal. Karena apabila kita melampaui batas, ia menjadi haram, atau menjerumuskan kita kepada yang haram, dan inilah perbuatan I'tida'. Wal 'iyadzu billah.
d. At Takalluf (Memaksakan Diri)
Dari Umar ia berkata, "Kami dilarang untuk bersikap Takalluf (memaksa / membebani diri)."
Hadits ini berderajat marfu' (disamakan dengan ucapan Nabi), karena ucapan Umar, "Kami dilarang..." Sedangkan yang melarang para sahabat di sini sudah tentu Rasulullah, sebagaimana disebut dalam kitab-kitab Musthalah Syaikh Salim al Hilali berkomentar, (Hadits ini menunjukkan) dilarangnya banyak bertanya, bersikap keras dan memaksa diri untuk hal yang tidak perlu.
4. Penyebab Ghuluw
a. Kebodohan dalam masalah dien yang meliputi :
o Kebodohan akan tujuan-tujuan syari'at, diantaranya membeli jalan kemudahan bagi pemeluknya dan lain-lain.
o Kebodohan akan batasan syari'at, mana yang halal, mana yang haram, mana yang wajib, mana yang mubah dan lain sebagainya.
o Kebodohan dalam memahami nash-nash Kitab dan Sunnah.
b. Memperturutkan hawa nafsu
Allah berfirrman,
”Tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” (ar- Rum: 29)
”Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui orang - orang yang melampaui batas.” (al An'am: 119)
Ini (hawa nafsu) termasuk penyebab terbesar munculnya sikap ghuluw, karena akibat hawa nafsulah banyak di antara manusia yang akhirnya menakar kebenaran itu dengan timbangan akal dan perasaan.
c. Bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu
Hadits-hadits palsu, umumnya dibuat oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, demi memperturutkan ambisi dirinya membela golongan yang sesat. Atau untuk tujuan duniawi, atau untuk menggaet orang agar gandrung ibadah, atau memang sengaja membuat sensasi. Kesemuanya itu adalah sikap ghuluw alias melampaui batas.
Ibnu Abi al Hadid, seorang yang berpemahaman Mu'tazilah yang juga mantan penganut Syi'ah pernah menyatakan, Ketahuilah, bahwa asal segala kebohongan dalam wujud hadits-hadits (palsu) dalam bab keutamaan adalah propaganda Syi'ah. Pada mulanya, mereka sengaja membuat hadits-hadits palsu berkenaan dengan keutamaan sahabat mereka (Ali), yang didorong oleh rasa permusuhan mereka terhadap seteru beliau (Mu'awiyah dan lain-lain -red.)
d. Mengikuti sisa-sisa ajaran agama sebelum Islam
Sikap ghuluw kadang juga lahir akibat interaksi pemeluk Islam dengan sisa-sisa pemahaman animisme, dinamisme, paganisme, dan sejenisnya. Seperti yang banyak dalam kebudayaan suku-suku di Indonesia. Herannya, masih ada juga yang tega melabelkan Islam pada adat budaya yang jelas berbeda dengan sendi syari'at yang paling dasar sekalipun.
Adakalanya juga, sikap ghuluw itu muncul akibat pengaruh tidak langsung dari agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nashrani yang -tentunya- sebelumnya sudah terbaluri dengan pemahaman syirik yang menjadi tradisi dan sulit berubah. Semacam trinitas dan yang lainnya.
Namun adakalanya juga sikap ghuluw itu memang sengaja disusupi oleh oknum diluar Islam yang berkedok sebagai Muslim -seperti Abdullah bin Saba'- untuk merombak keutuhan ajaran Islam dari dalam. Seperti halnya yang dilakukan oleh Souqhougronye penjajah Belanda di Aceh tempo dulu.
Dan ada juga sikap ghuluw itu datang dari sikap membabi buta yang muncul dari orang-orang yang memiliki ambisai pribadi di kalangan umat Islam antara lain ambisi duniawi; memaksakan pemahaman sesat yang dimilikinya; atau mungkin juga untuk meraih prestise melalui sensasi.
Sebagai penutup, marilah kita menyadarkan diri, bahwa perjalanan dakwah kerap kali diusik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mengeruhkan kemurnian ajaran Islam segala model kerancuan.
5. Macam - Macam Ghuluw
a. Ghuluw dalam Aqidah
Ghuluw dalam aqidah adalah seperti ghuluw-nya orang-orang Nashrani dengan keyakinan trinitasnya. Seperti juga ghuluw-nya orang-orang syi'ah / Rafidhah yang meninggikan derajat Ali sampai sebagian di antaranya menganggapnya lebih baik dari Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sebagian lagi bahkan menganggapnya lebih baik dari Rasulullah, wal 'iyadzu billah. Lebih dari itu, sebagian orang syi'ah bahkan menganggap Ali sebagai titisan Allah.
Contoh lainnya adalah ghuluw-nya orang-orang sufi yang menganggap suci para pemimpinnya yang dianggap tak mungkin keliru. Tak jarang, pelanggaran syari'at yang dilakukan para pemimpin itu, sampai pada batas dosa-dosa besar, yang kemudian justru dianggap sebagai tanda-tanda ke-keramatan-nya.
Ghuluw yang meliputi kultus individu seperti di atas, juga banyak merambati golongan non tasawuf. Dalam hal ini,
Syaikh Bakar Abu Zaid mengingatkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menegaskan bahwa barangsiapa yang menetapkan seseorang -siapapun orangnya- untuk ditaati, sehingga ia berwala (loyal) atau bermusuhan dengan seseorang untuk menyetujui pendapat orang itu, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, maka ia termasuk kelompok orang-orang yang memecah belah dien mereka.
Sedangkan mereka (dengan perbuatan itu) menjadi bergolong-golongan.
Lalu Syaikh Bakar Abu Zaid berkomentar, Manhaj dakwah semacam ini (yang akhirnya bergolong-golongan) tak pantas dijadikan asas perubahan bagi ummat dan menyatukan barisan mereka.
Syaikh Ali Hasan (murid syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani) juga pernah menyatakan,
Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya orang yang dinamakan "orang agama", yaitu istilah buat orang alim yang suka mengibuli massa dengan ilmunya, suka membagi-bagikan surat pengampunan dosa, serta (merasa) memiliki hak untuk menghalalkan dan mengharamkan.
Namun yang dikenal Islam adalah "orang alim dalam agama", yang bertugas mengajarkan hukum-hukum Allah kepada orang awam yang masih belum mengerti. Dengan hujjah yang jelas, tanpa memaksa mereka mengikuti pendapatnya, kecuali dengan dalil yang terang dari Kitab, Sunnah, ataupun Ijma' / konsensus yang disepakati para ulama'"
b. Ghuluw Dalam Amalan
Ibnu Taimiyah pernah menyatakan, at Tasydid (bersikap melampaui batas), terkadang berwujud menjadikan perkara yang tidak wajib atau pun sunnah, menjadi wajib atau disunnahkan. Terkadang juga dalam bentuk menjadikan perkara yang mubah menjadi makruh ataupun haram.
Ibnul Qayyim berkata, Ghuluw (dalam amalan) memiliki dua bentuk:
o Yang dapat mengeluarkan seseorang dari ketaatan. Seperti menambah - nambah rakaat dalam shalat, atau puasa setiap hari termasuk di hari yang diharamkan, puasa tanpa henti, ataupun melempar jumrah dengan batu-batu besar, dan lain-lain.
o Yang dikahawatirkan dapat menyebabkan kebosanan. Saperti puasa setiap hari -tapi tidak termasuk hari-hari yang diharamkan puasa, shalat sepanjang malam dan lain sebagainya. Nabi telah banyak memperingatkan sahabatnya terhadap perbuatan-perbuatan semacam itu. Seperti Abdullah bin Amr bin'Ash, Abu Darda dan lain-lain.
c. Ghuluw dalam Bentuk-bentuk Lain
Sikap ghuluw, juga kerap menghinggapi seorang Musilm dalam menggunakan akal, sehingga menjadikan akal tersebut sebagai barometer kebenaran. Seperti halnya kalangan rasionalis.
Adakalanya sikap ghuluw juga membaluti antipati seorang Muslim terhadap orang - orang kafir. Sehingga tidak jarang menyikapi mereka dengan kasar dan tidak pada tempatnya, atau menyerobot apa yang menjadi hak mereka sebagai manusia.
Sikap ghuluw juga kerap hadir dalam pentas dakwah, pentas amar ma'ruf nahi mungkar, sehingga seringkali tanpa batasan syari'at, atau menabrak etika dan adab yang menjadi roh dakwah dan metodologi samawi (dari Allah) yang dipraktekkan Nabi.
Padahal, ungkapan keras, meski sudah pada tempatnya sekalipun, tetap harus dipilih mana yang paling beradab, apalagi bila ditujukan kepada kaum Muslimin.
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah bersabda, Janganlah seorang di antara kamu mengatakan kepada dirinya sendiri "khobutsat nafsi" (sungguh jahat diriku). Namun hendaknya dia mengatakan "laqisat nafsi" (artinya kira-kira: "buruk sekali diriku ini")"
Imam An Nawawi berkata, Para ulama menyatakan bahwa arti "khobutsat" dan "laqitsat" sebenarnya sama. Akan tetapi Nabi tidak menyukai lafadz "khobutsat" (karena kasar).
Sementara Syaikh Salim Al Hilali sendiri berkomentar, Dilarang mempergunakan lafadz-lafadz kotor dalam menyifati kondisi kaum Muslimin. Dianjurkan juga memelihara adab dalam ucapan terhadap segala sesuatu (juga semua orang), termasuk terhadap diri sendiri. Selain itu dianjurkan menghindari ungkapan yang jelek dan lafadz yang buruk dalam segala kondisi.
1. Pengertian Ghuluw
Secara bahasa, ghuluw berarti melampaui batas. Harga yang melampaui batas, dikatakan Ghala'. Martabat ataupun kedudukan yang melampaui hak disebut, Ghalw. Seluruhnya diambil dari kata Ghala - yaghluw.
Sedangkan Ghuluw dalam beragama berarti: melampaui apa yang dikehendaki syari'at, baik dalam keyakinan, maupun amalan. Ada juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."
2. Hukum Ghuluw
Allah berfirman,
Katakanlah: "Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara ygn tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu memperturutkan hawa nafsi orang-orang yang telah sesar dan (karena) mereka telah menyesatkan banyak orang, dan merekapun tersesat dari jalan yang lurus." (Al Maidah: 99)
Ayat serupa ada dalam surat An Nisa: 171. Imam Al Qurthubi menegaskan Dengan ayat di atas, Allah mengharamkan sikap ghuluw di atas. Sedangkan ghuluw itu sendiri adalah melampaui batas. Dia mencontohkan, bahwa di antara bentuk ghuluw seperti sikap ghuluwnya orang-orang Yahudi terhadap Maryam binti Imran yang sampai - sampai menuduhnya berzinah. Sebaliknya juga sikap ghuluw-nya orang-orang Nashrani terhadap dia (Maryam) sehingga menganggapnya sebagai Tuhan.
Ibnu Katsir menambahkan Banyak golongan lain yang menuruti jejak orang-orang Nashrani tersebut. Di mana mereka bersikap ghuluw terhadap pemimpin-pemimpin yang dianggap berkompeten dalam urusan agamanya, yang kemudian mereka yakini sebagai yang ma'shum.
Omongan merekapun diikuti, baik itu benar maupun salah, baik berpedoman (pada yang haq) maupun yang sesat, baik jujur maupun dusta!
Sementara dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, Wahai manusia, waspadalah kamu sekalian terhadap ghuluw di dalam Islam. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu hanyalah sikap ghuluw dalam agama mereka.
3. Beberapa Nama Lain Ghuluw
Dalam hadits-hadits juga banyak diriwayatkan peringatan serupa, dengan lafadz yang memiliki pengertian serupa dengan ghuluw. Diantaranya :
a. At Tanatthu' (keras tidak karu-karuan)
Rasulullah pernah bersabda :
“Binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu'.”
Imam Nawawi menyatakan, "Tanatthu' berarti melampaui batas." Dalam pernyataan beliau lainnya, "Tanatthu' berarti sikap keras tidak karu-karuan yang tidak pada tempatnya."
b. Tasyaddud (Menyusah-nyusahkan Urusan)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,
”Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidak ada orang yang membuatnya susah, melainkan dirinya pasti kalah (tidak mampu melakukannya). Maka berjalanlah lurus, dekatkan diri kepada Alah, dan terimalah kabar gembira. Mintalah pertolongan pada waktu pagi dan petang serta sedikit waktu malam (untuk beribadah).”
Dan sabda Nabi: ”Agama yang paling disukai Allah adalah yang lurus dan ringan.”
Syaikh Nashiruddin Ahmad bin Muhammad al Iskandari berkata, Disebutkan disitu "sedikit waktu malam", karena beribadah dimalam hari itu berat. Maka disunnahkan mempergunakan sedikit waktunya.
Lalu Syaikh Shalahuddien Maqbul Ahmad dalam komentarnya terhadap kitab tersebut menyatakan,
"Beliau (Imam Bukhari) hendak menyatakan bahwa yang utama bagi orang yang beramal itu untuk tidak usah memaksa diri, sehingga malah letih dan berhenti beramal. Namun hendaknya ia beramal perlahan - lahan secara bertahap agar amalannya berlangsung terus dan tidak terputus."
c. Al 'Itida' (Melangkahi Ketentuan Syari'at)
Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban, janganlah kalian melalaikannya, menetapkan hal-hal yang haram, janganlah kalian melakukannya. Allahpun telah menetapkan batasan, maka janganlah kalian melangkahinya ..."
Allah berfirman,
”Itulah batasan-batasan hukum Allah (larangan), maka janganlah kalian mendekatinya.” (Al Baqarah: 187)
Ibnu Taimiyah berkomentar, "Ini adalah awal perbuatan haram." Artinya, kita harus memelihara diri agar tidak mendekati yang haram, dan mencukupkan diri dengan yang halal.
Allah berfirman,
Itulah hukum-hukum Allah, janganlah kalian melanggarnya. (Al Baqarah : 229)
Ibnu Taimiyah berkata, "Inilah akhir perbuatan halal." Artinya, kita harus memelihara diri dalam melakukan tindakan yang asalnya adalah halal. Karena apabila kita melampaui batas, ia menjadi haram, atau menjerumuskan kita kepada yang haram, dan inilah perbuatan I'tida'. Wal 'iyadzu billah.
d. At Takalluf (Memaksakan Diri)
Dari Umar ia berkata, "Kami dilarang untuk bersikap Takalluf (memaksa / membebani diri)."
Hadits ini berderajat marfu' (disamakan dengan ucapan Nabi), karena ucapan Umar, "Kami dilarang..." Sedangkan yang melarang para sahabat di sini sudah tentu Rasulullah, sebagaimana disebut dalam kitab-kitab Musthalah Syaikh Salim al Hilali berkomentar, (Hadits ini menunjukkan) dilarangnya banyak bertanya, bersikap keras dan memaksa diri untuk hal yang tidak perlu.
4. Penyebab Ghuluw
a. Kebodohan dalam masalah dien yang meliputi :
o Kebodohan akan tujuan-tujuan syari'at, diantaranya membeli jalan kemudahan bagi pemeluknya dan lain-lain.
o Kebodohan akan batasan syari'at, mana yang halal, mana yang haram, mana yang wajib, mana yang mubah dan lain sebagainya.
o Kebodohan dalam memahami nash-nash Kitab dan Sunnah.
b. Memperturutkan hawa nafsu
Allah berfirrman,
”Tetapi orang-orang yang zhalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” (ar- Rum: 29)
”Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah yang lebih mengetahui orang - orang yang melampaui batas.” (al An'am: 119)
Ini (hawa nafsu) termasuk penyebab terbesar munculnya sikap ghuluw, karena akibat hawa nafsulah banyak di antara manusia yang akhirnya menakar kebenaran itu dengan timbangan akal dan perasaan.
c. Bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu
Hadits-hadits palsu, umumnya dibuat oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab, demi memperturutkan ambisi dirinya membela golongan yang sesat. Atau untuk tujuan duniawi, atau untuk menggaet orang agar gandrung ibadah, atau memang sengaja membuat sensasi. Kesemuanya itu adalah sikap ghuluw alias melampaui batas.
Ibnu Abi al Hadid, seorang yang berpemahaman Mu'tazilah yang juga mantan penganut Syi'ah pernah menyatakan, Ketahuilah, bahwa asal segala kebohongan dalam wujud hadits-hadits (palsu) dalam bab keutamaan adalah propaganda Syi'ah. Pada mulanya, mereka sengaja membuat hadits-hadits palsu berkenaan dengan keutamaan sahabat mereka (Ali), yang didorong oleh rasa permusuhan mereka terhadap seteru beliau (Mu'awiyah dan lain-lain -red.)
d. Mengikuti sisa-sisa ajaran agama sebelum Islam
Sikap ghuluw kadang juga lahir akibat interaksi pemeluk Islam dengan sisa-sisa pemahaman animisme, dinamisme, paganisme, dan sejenisnya. Seperti yang banyak dalam kebudayaan suku-suku di Indonesia. Herannya, masih ada juga yang tega melabelkan Islam pada adat budaya yang jelas berbeda dengan sendi syari'at yang paling dasar sekalipun.
Adakalanya juga, sikap ghuluw itu muncul akibat pengaruh tidak langsung dari agama-agama samawi seperti Yahudi dan Nashrani yang -tentunya- sebelumnya sudah terbaluri dengan pemahaman syirik yang menjadi tradisi dan sulit berubah. Semacam trinitas dan yang lainnya.
Namun adakalanya juga sikap ghuluw itu memang sengaja disusupi oleh oknum diluar Islam yang berkedok sebagai Muslim -seperti Abdullah bin Saba'- untuk merombak keutuhan ajaran Islam dari dalam. Seperti halnya yang dilakukan oleh Souqhougronye penjajah Belanda di Aceh tempo dulu.
Dan ada juga sikap ghuluw itu datang dari sikap membabi buta yang muncul dari orang-orang yang memiliki ambisai pribadi di kalangan umat Islam antara lain ambisi duniawi; memaksakan pemahaman sesat yang dimilikinya; atau mungkin juga untuk meraih prestise melalui sensasi.
Sebagai penutup, marilah kita menyadarkan diri, bahwa perjalanan dakwah kerap kali diusik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang mencoba mengeruhkan kemurnian ajaran Islam segala model kerancuan.
5. Macam - Macam Ghuluw
a. Ghuluw dalam Aqidah
Ghuluw dalam aqidah adalah seperti ghuluw-nya orang-orang Nashrani dengan keyakinan trinitasnya. Seperti juga ghuluw-nya orang-orang syi'ah / Rafidhah yang meninggikan derajat Ali sampai sebagian di antaranya menganggapnya lebih baik dari Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sebagian lagi bahkan menganggapnya lebih baik dari Rasulullah, wal 'iyadzu billah. Lebih dari itu, sebagian orang syi'ah bahkan menganggap Ali sebagai titisan Allah.
Contoh lainnya adalah ghuluw-nya orang-orang sufi yang menganggap suci para pemimpinnya yang dianggap tak mungkin keliru. Tak jarang, pelanggaran syari'at yang dilakukan para pemimpin itu, sampai pada batas dosa-dosa besar, yang kemudian justru dianggap sebagai tanda-tanda ke-keramatan-nya.
Ghuluw yang meliputi kultus individu seperti di atas, juga banyak merambati golongan non tasawuf. Dalam hal ini,
Syaikh Bakar Abu Zaid mengingatkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menegaskan bahwa barangsiapa yang menetapkan seseorang -siapapun orangnya- untuk ditaati, sehingga ia berwala (loyal) atau bermusuhan dengan seseorang untuk menyetujui pendapat orang itu, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, maka ia termasuk kelompok orang-orang yang memecah belah dien mereka.
Sedangkan mereka (dengan perbuatan itu) menjadi bergolong-golongan.
Lalu Syaikh Bakar Abu Zaid berkomentar, Manhaj dakwah semacam ini (yang akhirnya bergolong-golongan) tak pantas dijadikan asas perubahan bagi ummat dan menyatukan barisan mereka.
Syaikh Ali Hasan (murid syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani) juga pernah menyatakan,
Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal adanya orang yang dinamakan "orang agama", yaitu istilah buat orang alim yang suka mengibuli massa dengan ilmunya, suka membagi-bagikan surat pengampunan dosa, serta (merasa) memiliki hak untuk menghalalkan dan mengharamkan.
Namun yang dikenal Islam adalah "orang alim dalam agama", yang bertugas mengajarkan hukum-hukum Allah kepada orang awam yang masih belum mengerti. Dengan hujjah yang jelas, tanpa memaksa mereka mengikuti pendapatnya, kecuali dengan dalil yang terang dari Kitab, Sunnah, ataupun Ijma' / konsensus yang disepakati para ulama'"
b. Ghuluw Dalam Amalan
Ibnu Taimiyah pernah menyatakan, at Tasydid (bersikap melampaui batas), terkadang berwujud menjadikan perkara yang tidak wajib atau pun sunnah, menjadi wajib atau disunnahkan. Terkadang juga dalam bentuk menjadikan perkara yang mubah menjadi makruh ataupun haram.
Ibnul Qayyim berkata, Ghuluw (dalam amalan) memiliki dua bentuk:
o Yang dapat mengeluarkan seseorang dari ketaatan. Seperti menambah - nambah rakaat dalam shalat, atau puasa setiap hari termasuk di hari yang diharamkan, puasa tanpa henti, ataupun melempar jumrah dengan batu-batu besar, dan lain-lain.
o Yang dikahawatirkan dapat menyebabkan kebosanan. Saperti puasa setiap hari -tapi tidak termasuk hari-hari yang diharamkan puasa, shalat sepanjang malam dan lain sebagainya. Nabi telah banyak memperingatkan sahabatnya terhadap perbuatan-perbuatan semacam itu. Seperti Abdullah bin Amr bin'Ash, Abu Darda dan lain-lain.
c. Ghuluw dalam Bentuk-bentuk Lain
Sikap ghuluw, juga kerap menghinggapi seorang Musilm dalam menggunakan akal, sehingga menjadikan akal tersebut sebagai barometer kebenaran. Seperti halnya kalangan rasionalis.
Adakalanya sikap ghuluw juga membaluti antipati seorang Muslim terhadap orang - orang kafir. Sehingga tidak jarang menyikapi mereka dengan kasar dan tidak pada tempatnya, atau menyerobot apa yang menjadi hak mereka sebagai manusia.
Sikap ghuluw juga kerap hadir dalam pentas dakwah, pentas amar ma'ruf nahi mungkar, sehingga seringkali tanpa batasan syari'at, atau menabrak etika dan adab yang menjadi roh dakwah dan metodologi samawi (dari Allah) yang dipraktekkan Nabi.
Padahal, ungkapan keras, meski sudah pada tempatnya sekalipun, tetap harus dipilih mana yang paling beradab, apalagi bila ditujukan kepada kaum Muslimin.
Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah bersabda, Janganlah seorang di antara kamu mengatakan kepada dirinya sendiri "khobutsat nafsi" (sungguh jahat diriku). Namun hendaknya dia mengatakan "laqisat nafsi" (artinya kira-kira: "buruk sekali diriku ini")"
Imam An Nawawi berkata, Para ulama menyatakan bahwa arti "khobutsat" dan "laqitsat" sebenarnya sama. Akan tetapi Nabi tidak menyukai lafadz "khobutsat" (karena kasar).
Sementara Syaikh Salim Al Hilali sendiri berkomentar, Dilarang mempergunakan lafadz-lafadz kotor dalam menyifati kondisi kaum Muslimin. Dianjurkan juga memelihara adab dalam ucapan terhadap segala sesuatu (juga semua orang), termasuk terhadap diri sendiri. Selain itu dianjurkan menghindari ungkapan yang jelek dan lafadz yang buruk dalam segala kondisi.
Senin, 06 Desember 2010
PERANG ARMAGEDDON
Peperangan Armageddon adalah peristiwa pertama sebagai permulaan dari serentetan huru-hara di akhir zaman, pertempuran ini adalah adalah perang penghancuran dan nuklir yang akan memusnahkan sebagian besar senjata-senjata strategi. Perang Armageddon adalah: Peristiwa besar dan perang kehancuran, Pertemuan strategi dari perang raksasa yang sudah dekat waktunya, Perang persekutuan internasional (Perang Dunia) yang akan segera datang, yaitu yang sedang ditunggu oleh seluruh penduduk bumi pada hari ini, Ia adalah perang politik dan agama, Ia adalah perang raksasa oleh banyak pihak, Ia adalah perang yang paling besar dan dahsyat dalam sejarah, Ia adalah awal dari kemusnahan, dan Ia adalah perang yang dimulai dengan menyeluruhnya ‘perdamaian palsu’, sehingga orang-orang berkata, ‘perdamaian sudah datang’, ‘keamanan sudah datang’, padahal kenyataannya adalah sebaliknya
Armageddon adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri dari dua kata yaitu: “Ar” yang berarti gunung atau bukit dan “Mageddo” adalah nama dari sebuah lembah di Palestina, yang mana lembah ini merupakan medan pertempuran yang akan datang tersebut, yang akan membentang dari “Mageddo” di utara sampai ke “Edom” di selatan yang berjarak sekitar dua ratus mil dan sampai ke laut putih di barat dan ke bukit Mohab di Timur yang berjarak 100 mil. Para ahli militer –khususnya ahli perang tempo dulu- memandang bahwa kawasan ini merupakan sebuah tempat yang strategis, dimana setiap panglima yang berhasil menguasai kawasan ini, maka ia akan dengan mudah mematahkan setiap perlawanan musuh.Kata ‘Armageddon’ adalah sebuah istilah yang sudah dikenal bagi para ahli kitab, yang dapat ditemui dalam kitab-kitab suci mereka. Yang dimaksud ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani saja. Bagaimanakah hukumnya menggunakan istilah atau keterangan-keterangan dari para ahli kitab? Rasulullah telah bersabda, “Sampaikanlah ajaran-ajaranku walaupun itu hanya satu ayat, dan berbicaralah dari ajaran Bani Israil (Yahudi) dimana tidak ada halangan bagi kalian…..” (HR. Bukhary). Dan di lain hadits Rasulullah bersabda, “Apabila ada ahli kitab yang berbicara (tentang agama), maka janganlah langsung kamu benarkan dan jangan pula langsung kamu dustakan.” (HR. Bukhary). Perkataan para ahli kitab tentang Perang Armageddon
Dalam kitab Wahyu (revealition) pasal 16 ayat 16 dikatakan, “Dan ruh-ruh setan mengumpulkan sekalian tentara dunia di sebuah tempat bernama Armageddon” (Injil, hal. 388, penerbit Daar Ats Tsaqafah, Mesir)
Ronald Reagen pernah berkata, “Sesungguhnya generasi ini tepatnya adalah generasi yang akan melihat Perang Armageddon.” (Kitab Ramalan dan Politik)
Segala sesuatu pasti akan berakhir dalam beberapa tahun, dimana akan terjadi Perang Dunia yang paling besar, yaitu Perang Armageddon atau perang di dataran Mageddo. (“Kitab Drama Berakhirnya Zaman” oleh Oral Robertus dan “Kitab Akhir Bola Dunia Yang Paling Besar” oleh Hall Lindus, mereka mempercayai tahun 2000 adalah berakhirnya bola dunia secara final)
Jimmy Sujjest berkata, “Aku berkeinginan agar aku dapat mengatakan bahwa kita akan mencapai perdamaian. Akan tetapi aku percaya bahwa perang Armageddon akan datang. Sesungguhnya Armageddon akan datang dan berkecamuk di lembah Mageddo. Ia akan datang. Mereka bisa saja menandatangani perjanjian-perjanjian perdamaian yang mereka inginkan. Namun, sesungguhnya hal itu tak akan merealisasikan apa pun. Sebab, bagaimana pun juga hari-hari hitam itu akan datang.” (Kitab Janji yang Benar dan Janji yang Dusta)
Gerry Folwel, seorang pemimpin fundamentalis Kristen berkata, “Sesungguhnya Armageddon adalah sebuah hakikat (realita) dan sangat nyata, akan tetapi kita bersyukur karena ia akan terjadi pada akhir hari sejagat.” (Kitab Ramalan dan Politik)
Shofeld berkata, “Sesungguhnya orang-orang Kristen yang ikhlas hendaknya bergembira dengan peristiwa ini. Karena begitu pertempuran yang terakhir ini (Armageddon) dimulai, maka Isa al-Masih akan segera mengangkat mereka ke awan, dan mereka akan diselamatkan oleh al-Masih serta tidak akan menghadapi kesusahan apa pun yang terjadi di bumi.” (Kitab Ramalan dan Politik). Perkataan-perkataan di atas merupakan suatu keanehan dari ahli kitab yang menunjukkan betapa besar kepercayaan mereka akan peperangan Armageddon dan dekatnya kedatangan perang tersebut.
Kaum Muslim dan Perang Armageddon. Memang aneh, pada saat kita mengetahui perkataan-perkataan ahli kitab, maka telah banyak dan datang secara bertubi-tubi peristiwa yang menguatkan perihal akan terjadinya perang Armageddon. Dan bahwa ia adalah realita yang tak dapat dipungkiri lagi. Sebab, kita menemukan banyak orang dari kaum Muslimin yang tidak mengerti apa itu Armageddon? Dan apa-apa yang dimaksud dengan kata yang berbahaya ini (dalam hal Armageddon sebagai istilah kamus ahli kitab)? Kita tidaklah memaksudkan kalimat Armageddon sebagai suatu kata atau istilah saja, akan tetapi sebagai suatu pengertian dan isyarat. Karena, ia adalah sebuah kata yang mempunyai arti cukup banyak. Sebagian pemikir-pemikir Islam telah mulai memperhatikan masalah pertempuran ini dan penekanannya bahwa: Pertempuran yang menentukan sudah dekat kedatangannya dan ia pada saat ini sedang dipersiapkan, Perang tersebut adalah perang strategis, nuklir, dan bersifat internasional., Orang Yahudi akan mengalami kekalahan dalam pertempuran tersebut. Bahwa perang Armageddon adalah perang persekutuan (internasional), dimana kaum Muslimin dan Kaum Rum (Eropa dan Amerika) tidak diragukan lagi akan menyatu menjadi satu blok. Kemudian mereka akan melawan suatu musuh yang berserikat, yang mana mereka itu belum kita ketahui. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Suatu musuh di belakang mereka….” Walaupun realita modern menunjukkan, bahwa blok musuh kita tersebut adalah blok Timur Komunis atau Syi’ah, dan kemenangan akan berada di tangan kita.
Adapun tentang orang-orang Yahudi, maka rujukan kita tidak ada hal-hal yang menunjukkan peranan mereka dalam perang dunia ini. Akan tetapi tidak diragukan lagi, bahwa mereka ikut terjun dalam pertempuran ini. Dan bahkan merekalah yang mengobarkan api peperangan ini. Hingga dua pertiga jumlah Yahudi akan musnah dalam pertempuran dimaksud. Adapun sepertiga jumlah mereka yang lain, maka mereka tersebut akan ditumpas oleh kaum Muslimin pada zaman Imam Mahdi, tepatnya setelah turunnya Isa al-Masih putra Maryam.(Melihat perkembangan terakhir ini, Juli 2004, bahwa resolusi PBB menganggap tembok pemisah yang dibangun Yahudi tidak sah dan harus dihancurkan. Resolusi yang diajukan Palestina ini didukung oleh Uni Eropa (Rum) dan juga oleh sekitar 140 negara lain, sementara resolusi ini ditentang oleh hanya lima negara termasuk Yahudi dan Amerika. Akankah perang Armageddon melibatkan dua kubu ini? Wallahualam, -peringkas-).
Rasulullah bersabda, “Kalian akan mengadakan perdamaian dengan bangsa Rum dalam keadaan aman. Lalu kalian akan berperang bersama mereka melawan suatu musuh dari belakang mereka. Maka kalian akan selamat dan mendapatkan harta rampasan perang. Kemudian kalian akan sampai ke sebuah padang rumput yang luas dan berbukit-bukit. Maka berdirilah seorang laki-laki dari kaum Rum lalu ia mengangkat tanda salib dan berkata, ‘Salib telah menang’. Maka datanglah kepadanya seorang lelaki dari kaum muslimin, lalu ia membunuh laki-laki Rum tersebut. Lalu kaum Rum berkhianat dan terjadilah peperangan, dimana mereka akan bersatu menghadapi kalian di bawah 80 bendera, dan di bawah tiap-tiap bendera terdapat dua belas ribu tentara.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Nash (teks) hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwa di sana ada dua peperangan yang akan terjadi, yaitu: (1)Perang Dunia Armageddon, dimana peperangan ini telah diketahui akan terjadi oleh semua pihak (2) Perang yang dalam hadits disebutkan sebagai Peperangan Terbesar (Al-Malhamah Al-Kubra). Perang ini tidak diketahui kecuali oleh sebagian orang. Sementara pihak-pihak yang berperang dalam pertempuran ini adalah pihak kaum Muslimin menghadapi pihak Rum, setelah terjadinya perang Armageddon, dimana pihak Rum telah berkhianat terhadap kita dalam perang tersebut. Peperangan Armageddon adalah peristiwa pertama sebagai permulaan dari serentetan huru-hara di akhir zaman, pertempuran ini adalah adalah perang penghancuran dan nuklir yang akan memusnahkan sebagian besar senjata-senjata strategis. Setelah itu, alat-alat dan senjata yang dipakai dalam peperangan selanjutnya adalah pedang, panah, dan kuda. Hal tersebut tidaklah aneh untuk terjadi, karena sudah menjadi Sunnatullah sejak dari kebudayaan-kebudayaan zaman dulu akan adanya kehancuran setelah kejayaan, dan kejatuhan setelah ketinggian. Sedangkan kebudayaan abad ke-20 telah mencapai puncak kreasi dan inovasi dunia, bahkan orang-orang mulai sibuk bicara tentang perang bintang. Maha Suci Allah, tiada yang akan terjadi setelah puncak ketinggian kecuali kejatuhan dan kehancuran. Armageddon akan berkecamuk di Bumi Palestina dimana di sana akan bertemu kumpulan-kumpulan pasukan raksasa.
Armageddon adalah kata-kata yang berasal dari bahasa Ibrani yang terdiri dari dua kata yaitu: “Ar” yang berarti gunung atau bukit dan “Mageddo” adalah nama dari sebuah lembah di Palestina, yang mana lembah ini merupakan medan pertempuran yang akan datang tersebut, yang akan membentang dari “Mageddo” di utara sampai ke “Edom” di selatan yang berjarak sekitar dua ratus mil dan sampai ke laut putih di barat dan ke bukit Mohab di Timur yang berjarak 100 mil. Para ahli militer –khususnya ahli perang tempo dulu- memandang bahwa kawasan ini merupakan sebuah tempat yang strategis, dimana setiap panglima yang berhasil menguasai kawasan ini, maka ia akan dengan mudah mematahkan setiap perlawanan musuh.Kata ‘Armageddon’ adalah sebuah istilah yang sudah dikenal bagi para ahli kitab, yang dapat ditemui dalam kitab-kitab suci mereka. Yang dimaksud ahli kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani saja. Bagaimanakah hukumnya menggunakan istilah atau keterangan-keterangan dari para ahli kitab? Rasulullah telah bersabda, “Sampaikanlah ajaran-ajaranku walaupun itu hanya satu ayat, dan berbicaralah dari ajaran Bani Israil (Yahudi) dimana tidak ada halangan bagi kalian…..” (HR. Bukhary). Dan di lain hadits Rasulullah bersabda, “Apabila ada ahli kitab yang berbicara (tentang agama), maka janganlah langsung kamu benarkan dan jangan pula langsung kamu dustakan.” (HR. Bukhary). Perkataan para ahli kitab tentang Perang Armageddon
Dalam kitab Wahyu (revealition) pasal 16 ayat 16 dikatakan, “Dan ruh-ruh setan mengumpulkan sekalian tentara dunia di sebuah tempat bernama Armageddon” (Injil, hal. 388, penerbit Daar Ats Tsaqafah, Mesir)
Ronald Reagen pernah berkata, “Sesungguhnya generasi ini tepatnya adalah generasi yang akan melihat Perang Armageddon.” (Kitab Ramalan dan Politik)
Segala sesuatu pasti akan berakhir dalam beberapa tahun, dimana akan terjadi Perang Dunia yang paling besar, yaitu Perang Armageddon atau perang di dataran Mageddo. (“Kitab Drama Berakhirnya Zaman” oleh Oral Robertus dan “Kitab Akhir Bola Dunia Yang Paling Besar” oleh Hall Lindus, mereka mempercayai tahun 2000 adalah berakhirnya bola dunia secara final)
Jimmy Sujjest berkata, “Aku berkeinginan agar aku dapat mengatakan bahwa kita akan mencapai perdamaian. Akan tetapi aku percaya bahwa perang Armageddon akan datang. Sesungguhnya Armageddon akan datang dan berkecamuk di lembah Mageddo. Ia akan datang. Mereka bisa saja menandatangani perjanjian-perjanjian perdamaian yang mereka inginkan. Namun, sesungguhnya hal itu tak akan merealisasikan apa pun. Sebab, bagaimana pun juga hari-hari hitam itu akan datang.” (Kitab Janji yang Benar dan Janji yang Dusta)
Gerry Folwel, seorang pemimpin fundamentalis Kristen berkata, “Sesungguhnya Armageddon adalah sebuah hakikat (realita) dan sangat nyata, akan tetapi kita bersyukur karena ia akan terjadi pada akhir hari sejagat.” (Kitab Ramalan dan Politik)
Shofeld berkata, “Sesungguhnya orang-orang Kristen yang ikhlas hendaknya bergembira dengan peristiwa ini. Karena begitu pertempuran yang terakhir ini (Armageddon) dimulai, maka Isa al-Masih akan segera mengangkat mereka ke awan, dan mereka akan diselamatkan oleh al-Masih serta tidak akan menghadapi kesusahan apa pun yang terjadi di bumi.” (Kitab Ramalan dan Politik). Perkataan-perkataan di atas merupakan suatu keanehan dari ahli kitab yang menunjukkan betapa besar kepercayaan mereka akan peperangan Armageddon dan dekatnya kedatangan perang tersebut.
Kaum Muslim dan Perang Armageddon. Memang aneh, pada saat kita mengetahui perkataan-perkataan ahli kitab, maka telah banyak dan datang secara bertubi-tubi peristiwa yang menguatkan perihal akan terjadinya perang Armageddon. Dan bahwa ia adalah realita yang tak dapat dipungkiri lagi. Sebab, kita menemukan banyak orang dari kaum Muslimin yang tidak mengerti apa itu Armageddon? Dan apa-apa yang dimaksud dengan kata yang berbahaya ini (dalam hal Armageddon sebagai istilah kamus ahli kitab)? Kita tidaklah memaksudkan kalimat Armageddon sebagai suatu kata atau istilah saja, akan tetapi sebagai suatu pengertian dan isyarat. Karena, ia adalah sebuah kata yang mempunyai arti cukup banyak. Sebagian pemikir-pemikir Islam telah mulai memperhatikan masalah pertempuran ini dan penekanannya bahwa: Pertempuran yang menentukan sudah dekat kedatangannya dan ia pada saat ini sedang dipersiapkan, Perang tersebut adalah perang strategis, nuklir, dan bersifat internasional., Orang Yahudi akan mengalami kekalahan dalam pertempuran tersebut. Bahwa perang Armageddon adalah perang persekutuan (internasional), dimana kaum Muslimin dan Kaum Rum (Eropa dan Amerika) tidak diragukan lagi akan menyatu menjadi satu blok. Kemudian mereka akan melawan suatu musuh yang berserikat, yang mana mereka itu belum kita ketahui. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Suatu musuh di belakang mereka….” Walaupun realita modern menunjukkan, bahwa blok musuh kita tersebut adalah blok Timur Komunis atau Syi’ah, dan kemenangan akan berada di tangan kita.
Adapun tentang orang-orang Yahudi, maka rujukan kita tidak ada hal-hal yang menunjukkan peranan mereka dalam perang dunia ini. Akan tetapi tidak diragukan lagi, bahwa mereka ikut terjun dalam pertempuran ini. Dan bahkan merekalah yang mengobarkan api peperangan ini. Hingga dua pertiga jumlah Yahudi akan musnah dalam pertempuran dimaksud. Adapun sepertiga jumlah mereka yang lain, maka mereka tersebut akan ditumpas oleh kaum Muslimin pada zaman Imam Mahdi, tepatnya setelah turunnya Isa al-Masih putra Maryam.(Melihat perkembangan terakhir ini, Juli 2004, bahwa resolusi PBB menganggap tembok pemisah yang dibangun Yahudi tidak sah dan harus dihancurkan. Resolusi yang diajukan Palestina ini didukung oleh Uni Eropa (Rum) dan juga oleh sekitar 140 negara lain, sementara resolusi ini ditentang oleh hanya lima negara termasuk Yahudi dan Amerika. Akankah perang Armageddon melibatkan dua kubu ini? Wallahualam, -peringkas-).
Rasulullah bersabda, “Kalian akan mengadakan perdamaian dengan bangsa Rum dalam keadaan aman. Lalu kalian akan berperang bersama mereka melawan suatu musuh dari belakang mereka. Maka kalian akan selamat dan mendapatkan harta rampasan perang. Kemudian kalian akan sampai ke sebuah padang rumput yang luas dan berbukit-bukit. Maka berdirilah seorang laki-laki dari kaum Rum lalu ia mengangkat tanda salib dan berkata, ‘Salib telah menang’. Maka datanglah kepadanya seorang lelaki dari kaum muslimin, lalu ia membunuh laki-laki Rum tersebut. Lalu kaum Rum berkhianat dan terjadilah peperangan, dimana mereka akan bersatu menghadapi kalian di bawah 80 bendera, dan di bawah tiap-tiap bendera terdapat dua belas ribu tentara.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Nash (teks) hadits di atas dengan jelas menerangkan bahwa di sana ada dua peperangan yang akan terjadi, yaitu: (1)Perang Dunia Armageddon, dimana peperangan ini telah diketahui akan terjadi oleh semua pihak (2) Perang yang dalam hadits disebutkan sebagai Peperangan Terbesar (Al-Malhamah Al-Kubra). Perang ini tidak diketahui kecuali oleh sebagian orang. Sementara pihak-pihak yang berperang dalam pertempuran ini adalah pihak kaum Muslimin menghadapi pihak Rum, setelah terjadinya perang Armageddon, dimana pihak Rum telah berkhianat terhadap kita dalam perang tersebut. Peperangan Armageddon adalah peristiwa pertama sebagai permulaan dari serentetan huru-hara di akhir zaman, pertempuran ini adalah adalah perang penghancuran dan nuklir yang akan memusnahkan sebagian besar senjata-senjata strategis. Setelah itu, alat-alat dan senjata yang dipakai dalam peperangan selanjutnya adalah pedang, panah, dan kuda. Hal tersebut tidaklah aneh untuk terjadi, karena sudah menjadi Sunnatullah sejak dari kebudayaan-kebudayaan zaman dulu akan adanya kehancuran setelah kejayaan, dan kejatuhan setelah ketinggian. Sedangkan kebudayaan abad ke-20 telah mencapai puncak kreasi dan inovasi dunia, bahkan orang-orang mulai sibuk bicara tentang perang bintang. Maha Suci Allah, tiada yang akan terjadi setelah puncak ketinggian kecuali kejatuhan dan kehancuran. Armageddon akan berkecamuk di Bumi Palestina dimana di sana akan bertemu kumpulan-kumpulan pasukan raksasa.
KEKASIH PILIHAN
KEKASIH PILIHAN
Siapakah yang tidak ingin
Memiliki kekasih berjiwa ksatria
Yang senantiasa menghibur di kala lara melanda
Siapakah yang tidak ingin
Memiliki kekasih berbudi luhur
Yang baik perangainya dan santun dalam bertutur
Siapakah yang tidak ingin
Memiliki kekasih berhati malaikat
Yang selalu baik dalam tabiat
Siapakah yang tidak ingin
Memiliki kekasih berwajah rupawan
Yang bila dipandang menyejukkan
Siapakah yang tidak ingin
Memiliki kekasih berakhlak mulia
Yang setia mengajak kita mematuhi Allah Ta’ala
(FOR: The Flash)
DOAKU SEPANJANG HIDUPMU
Doaku Sepanjang Hidupmu
Penulis: Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
.: :.
Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk atau mendoakan kejelekan bagi mereka.
Sesuatu yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.
Kadang kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya untuk mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan ‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan semua jalan telah buntu.
Memang, mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu menyenangkan hati bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan pendidik. Semua usaha yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak terbuka untuk menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan orang-orang yang mendidiknya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Dalam ayat-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau –lebih-lebih lagi selain beliau– tidak akan mampu memberikan hidayah kepada seseorang, walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak seorang pun mampu memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam hati seseorang. Ini semata-mata ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)
Cobalah renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam dalam mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak mereka –dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Namun anak beliau sendiri tidak mau menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat akhir kehidupan umat yang durhaka itu. Air bah yang meluap menenggelamkan semua yang ada. Nabi Nuh ‘alaihissalam memanggil anaknya yang enggan turut naik ke bahtera:
وَنَادَى نُوْحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’.” (Hud: 42)
Namun apalah daya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki, si anak ini tidak mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia menolak ajakan ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh gelombang air bah yang datang:
قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
“Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah, hingga Nabi Nuh ‘alaihissalam pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan menyatakan bahwa anaknya bukanlah orang yang beriman sehingga termasuk orang-orang yang ditenggelamkan:
وَنَادَى نُوْحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ
“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 45-46)
Demikianlah keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya dari kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk menerima keimanan.
Di sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan petunjuk pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu dikepung oleh kaum yang berbuat syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لاَ أُحِبُّ اْلآفِلِيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيْءٌ مِمَّا تُشْرِكُوْنَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (Al-An’am: 75-79)
Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberikan hidayah dan melindungi seorang anak dari kejelekan. Oleh karena itu, semestinya orangtua menyadari bahwa tak boleh semata bersandar pada hasil usaha mereka. Namun mereka harus menengadahkan tangan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan doa seorang yang telah mencapai umur 40 tahun:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
“Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepadaku dengan kebaikan anak keturunanku.” (Al-Ahqaf: 15)
Tatkala dia berdoa untuk kebaikan dirinya, dia mendoakan pula anak keturunannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan pada segala keadaan mereka. Disebutkan dalam ayat ini bahwa kebaikan anak cucu akan kembali manfaatnya bagi kedua orangtua mereka, berdasarkan firman-Nya وَأَصْلِحْ لِي. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 781)
Demikian yang dimohon oleh hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup dan keturunan sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Nabiyullah Zakariyya ‘alaihissalam ketika memohon keturunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pun meminta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anaknya nanti sebagai anak yang shalih, yang mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa:
فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا. يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Maka anugerahkanlah bagiku dari sisi-Mu seorang anak yang akan mewarisiku dan mewarisi keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permohonan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam dengan memberikan seorang anak yang shalih:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberimu kabar gembira dengan lahirnya seorang anak yang bernama Yahya, yang belum pernah Kami menciptakan seseorang yang serupa dengannya.” (Maryam: 7)
Begitu pula Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa untuk kebaikan dirinya dan putranya Isma’il ‘alaihissalam beserta keturunan mereka tatkala membangun fondasi Baitullah:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.” (Al-Baqarah: 128)
Beliau ‘alaihissalam juga berdoa:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga diri dan keturunan beliau dari kemaksiatan terbesar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kesyirikan. Beliau ‘alaihissalam memohon:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (Ibrahim: 35)
Demikianlah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka mendoakan anak cucu mereka agar meraih masa depan yang baik dan terhindar dari hal-hal yang membinasakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia, mencontohkan pula hal ini. ‘Umar bin Abi Salamah, putra Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan:
نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا} فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ وَعَلِيٌّ خَلْفَ ظَهْرِهِ فَجَلَّلَهُ بِكِسَاءٍ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي فَأَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا
“Turun ayat ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan dosa-dosa dari diri kalian wahai ahlul bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’ di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain lalu menyelubungi mereka dengan kain, dan ‘Ali di belakang beliau lalu beliau selubungi pula dengan kain. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah ahlu baitku, maka hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3787, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)
Beliau pernah pula mendoakan cucu beliau, Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu 'anhuma. Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيٍْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ
“Aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan menggendong Al-Hasan di atas pundak beliau. Beliau mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3849 dan Muslim no. 2422)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seringkali mendoakan anak-anak para shahabat radhiyallahu 'anhum. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:
أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُهُ وَالْحَسَنَ فَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memelukku bersama Al-Hasan lalu mendoakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, maka cintailah mereka’.” (HR. Al-Bukhari no. 3735)
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan pula saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya, setelah dia mengambilkan air wudhu untuk beliau. Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang luas kepadanya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْخَلاَءَ فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ: مَنْ وَضَعَ هَذَا؟ فَأُخْبِرَ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang air. Lalu kuletakkan air wudhu untuk beliau. (Ketika selesai) beliau pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Lalu beliau diberitahu (bahwa aku yang melakukannya). Kemudian beliau mendoakan, ‘Ya Allah, berikanlah dia pemahaman terhadap agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 143 dan Muslim no. 2477)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjadi salah seorang ulama di kalangan shahabat. Sampai-sampai ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menempatkannya bersama para tokoh shahabat ketika Ibnu ‘Abbas masih belia. (Fathul Bari, 7/127)
Dalam kehidupan shahabat, ada Ummu Sulaim bintu Milhan radhiyallahu 'anha, ibu Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, yang begitu besar keinginannya agar anaknya mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Dia serahkan sang anak untuk melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk anaknya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّي وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُوْلَ اللهِ، خُوَيْدِمُكَ، ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah kami dan di situ hanya ada aku, ibuku dan Ummu Haram bibiku. Ibuku mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ini pelayan kecilmu. Doakanlah dia’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan untukku segala kebaikan, dan di akhir doa beliau untukku, beliau berkata, ‘Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya, serta berikanlah barakah kepadanya’.” (HR. Muslim no. 2481)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa beliau, hingga Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang dirinya, “Hartaku sungguh banyak, sementara anak cucuku mencapai sekitar seratus orang sekarang.” (HR. Muslim no. 2481)
Apabila orangtua merasakan beban kesempitan dan kesusahan karena ulah anak-anak, hendaknya berlapang dada dan memaafkan, serta mendoakan agar si anak mendapatkan kebaikan. Sesungguhnya doa orangtua termasuk doa yang akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentang hal ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
“Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan)
Doa kebaikanlah yang semestinya dipanjatkan ketika itu, bukan cacian atau bahkan doa kejelekan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mendoakan kejelekan terhadap anak-anak. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبَ لَكُمْ
“Jangan mendoakan kejelekan bagi diri kalian, jangan berdoa kejelekan bagi anak-anak kalian, dan jangan pula berdoa kejelekan bagi harta kalian. Jangan sampai ia bertepatan dengan saat Allah yang jika diminta suatu permintaan saat itu pasti akan Dia kabulkan.” (HR. Muslim no. 3009)
Bisa jadi seseorang menepati saat dikabulkannya doa, hingga dikabulkan permohonannya. Ini banyak terjadi ketika marah. Saat marah, terkadang orang mendoakan kejelekan untuk dirinya, atau kadang pada anaknya. Dia katakan, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakanmu!’ atau ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang jelek kepadamu!’, ataupun yang semisal itu. Sampai-sampai ada yang mendoakan anaknya agar mendapat laknat! Nas`alullahal ‘afiyah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/33)
Akibatnya, bukan semakin baik si anak, namun semakin rusak. Semakin jauh dari kebenaran dan semakin suram pula masa depannya. Tak ada kebahagiaan hidupnya di dunia, terancam pula kehidupannya di akhirat kelak. Na’udzu billahi min dzalik!
Cukup sudah bagi kita, para orangtua, teladan yang termaktub dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Semestinya kita menyadari, segala kebaikan anak kita Allah Subhanahu wa Ta’ala-¬lah yang memberikannya. Hingga semestinya pula kita memulai untuk melazimi doa untuk kebaikan mereka.
Wallahu Ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber:
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=525
Penulis: Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
.: :.
Doa orangtua untuk anaknya adalah salah satu doa yang paling didengar Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka semestinya orangtua senantiasa mengalirkan doa kebaikan bagi anak-anaknya. Orangtua juga mesti meneguhkan kesabaran jika menjumpai penyimpangan pada anak-anaknya. Bukan malah mengutuk atau mendoakan kejelekan bagi mereka.
Sesuatu yang sudah lazim untuk diketahui, orangtua harus membimbing anak-anaknya. Mereka butuh diarahkan, diajari, ditegur dan diluruskan bila mereka salah atau lupa. Semua itu tak lain untuk kebaikan masa depan si anak; masa depan di dunia dan masa depan di akhirat.
Kadang kala yang terjadi, orangtua sudah mengerahkan segala upaya untuk mengajari dan membimbing, namun si anak tetap membandel dan ‘kepala batu’. Entah apa lagi cara yang harus ditempuh, seakan-akan semua jalan telah buntu.
Memang, mencetak seorang anak menjadi anak shalih yang selalu menyenangkan hati bukanlah semata hasil kerja keras orangtua dan pendidik. Semua usaha yang ditempuh hanyalah merupakan sebab-sebab yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Adapun yang membuat hati si anak terbuka untuk menerima pengarahan serta bimbingan orangtua dan orang-orang yang mendidiknya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّكَ لاَ تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya engkau takkan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)
Dalam ayat-Nya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau –lebih-lebih lagi selain beliau– tidak akan mampu memberikan hidayah kepada seseorang, walaupun dia orang yang paling dicintai. Tak seorang pun mampu memberikan hidayah taufik dan menancapkan iman dalam hati seseorang. Ini semata-mata ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang memberi hidayah pada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, siapa yang pantas mendapatkan hidayah dari-Nya hingga nanti Dia berikan hidayah, dan siapa yang tidak layak mendapatkannya hingga Dia biarkan orang itu dalam kesesatannya. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 620)
Cobalah renungkan, bagaimana upaya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam dalam mengembalikan umatnya pada tauhid. Selama 950 tahun beliau mengajak mereka –dengan berbagai cara– untuk meninggalkan penyembahan berhala dan hanya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Namun anak beliau sendiri tidak mau menyambut seruan mulia sang ayah, sampai saat-saat akhir kehidupan umat yang durhaka itu. Air bah yang meluap menenggelamkan semua yang ada. Nabi Nuh ‘alaihissalam memanggil anaknya yang enggan turut naik ke bahtera:
وَنَادَى نُوْحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَابُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلاَ تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’.” (Hud: 42)
Namun apalah daya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki, si anak ini tidak mendapatkan petunjuk. Tetap dengan kesombongannya dia menolak ajakan ayahnya, hingga berakhir dengan kebinasaan, ditelan oleh gelombang air bah yang datang:
قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ
“Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (Hud: 43)
Menyaksikan anaknya turut tenggelam, timbul rasa iba sang ayah, hingga Nabi Nuh ‘alaihissalam pun berdoa kepada Rabbnya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan Nabi Nuh ‘alaihissalam dan menyatakan bahwa anaknya bukanlah orang yang beriman sehingga termasuk orang-orang yang ditenggelamkan:
وَنَادَى نُوْحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ. قَالَ يَا نُوْحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلاَ تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ
“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (Hud: 45-46)
Demikianlah keadaannya. Seorang nabi pun tidak dapat menyelamatkan anaknya dari kekafiran bila si anak tidak dibukakan hatinya untuk menerima keimanan.
Di sisi lain, sangatlah mudah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan petunjuk pada hamba yang Dia kehendaki, walaupun hamba itu dikepung oleh kaum yang berbuat syirik. Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang kekasih-Nya, Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan taufik kepadanya untuk bertauhid:
وَكَذَلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ. فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لاَ أُحِبُّ اْلآفِلِيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّيْنَ. فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيْءٌ مِمَّا تُشْرِكُوْنَ إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (Al-An’am: 75-79)
Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dapat memberikan hidayah dan melindungi seorang anak dari kejelekan. Oleh karena itu, semestinya orangtua menyadari bahwa tak boleh semata bersandar pada hasil usaha mereka. Namun mereka harus menengadahkan tangan dan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan doa seorang yang telah mencapai umur 40 tahun:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
“Wahai Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau karuniakan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan untuk melakukan amal shalih yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepadaku dengan kebaikan anak keturunanku.” (Al-Ahqaf: 15)
Tatkala dia berdoa untuk kebaikan dirinya, dia mendoakan pula anak keturunannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kebaikan pada segala keadaan mereka. Disebutkan dalam ayat ini bahwa kebaikan anak cucu akan kembali manfaatnya bagi kedua orangtua mereka, berdasarkan firman-Nya وَأَصْلِحْ لِي. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 781)
Demikian yang dimohon oleh hamba-hamba Ar-Rahman dalam doa mereka:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah bagi kami pasangan-pasangan hidup dan keturunan sebagai penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan: 74)
Nabiyullah Zakariyya ‘alaihissalam ketika memohon keturunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pun meminta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anaknya nanti sebagai anak yang shalih, yang mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa:
فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا. يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
“Maka anugerahkanlah bagiku dari sisi-Mu seorang anak yang akan mewarisiku dan mewarisi keluarga Ya’qub, dan jadikanlah dia, wahai Rabbku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 5-6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkan permohonan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam dengan memberikan seorang anak yang shalih:
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
“Wahai Zakariyya, sesungguhnya Kami memberimu kabar gembira dengan lahirnya seorang anak yang bernama Yahya, yang belum pernah Kami menciptakan seseorang yang serupa dengannya.” (Maryam: 7)
Begitu pula Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau berdoa untuk kebaikan dirinya dan putranya Isma’il ‘alaihissalam beserta keturunan mereka tatkala membangun fondasi Baitullah:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ
“Wahai Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang-orang yang berserah diri kepada-Mu dan jadikanlah pula keturunan kami sebagai orang-orang yang berserah diri kepada-Mu.” (Al-Baqarah: 128)
Beliau ‘alaihissalam juga berdoa:
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيْمَ الصَّلاَةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat. Wahai Rabbku, kabulkanlah doaku.” (Ibrahim: 40)
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga diri dan keturunan beliau dari kemaksiatan terbesar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu kesyirikan. Beliau ‘alaihissalam memohon:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah diriku beserta anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (Ibrahim: 35)
Demikianlah yang dilakukan oleh para nabi. Mereka mendoakan anak cucu mereka agar meraih masa depan yang baik dan terhindar dari hal-hal yang membinasakan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi dan rasul Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia, mencontohkan pula hal ini. ‘Umar bin Abi Salamah, putra Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma menuturkan:
نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآيَةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا} فِي بَيْتِ أُمِّ سَلَمَةَ، فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ وَحَسَنًا وَحُسَيْنًا فَجَلَّلَهُمْ بِكِسَاءٍ وَعَلِيٌّ خَلْفَ ظَهْرِهِ فَجَلَّلَهُ بِكِسَاءٍ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِي فَأَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا
“Turun ayat ini kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan dosa-dosa dari diri kalian wahai ahlul bait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’ di rumah Ummu Salamah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Fathimah, Hasan dan Husain lalu menyelubungi mereka dengan kain, dan ‘Ali di belakang beliau lalu beliau selubungi pula dengan kain. Kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah ahlu baitku, maka hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.” (HR. At-Tirmidzi no. 3787, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)
Beliau pernah pula mendoakan cucu beliau, Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu 'anhuma. Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيٍْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ عَلَى عَاتِقِهِ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ
“Aku pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan menggendong Al-Hasan di atas pundak beliau. Beliau mengatakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah dia’.” (HR. Al-Bukhari no. 3849 dan Muslim no. 2422)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seringkali mendoakan anak-anak para shahabat radhiyallahu 'anhum. Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:
أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُهُ وَالْحَسَنَ فَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ أَحِبَّهُمَا فَإِنِّي أُحِبُّهُمَا
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memelukku bersama Al-Hasan lalu mendoakan, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai mereka berdua, maka cintailah mereka’.” (HR. Al-Bukhari no. 3735)
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan pula saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya, setelah dia mengambilkan air wudhu untuk beliau. Dengan doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ilmu yang luas kepadanya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْخَلاَءَ فَوَضَعْتُ لَهُ وَضُوْءًا قَالَ: مَنْ وَضَعَ هَذَا؟ فَأُخْبِرَ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Pernah suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempat buang air. Lalu kuletakkan air wudhu untuk beliau. (Ketika selesai) beliau pun bertanya, “Siapa yang meletakkan ini?” Lalu beliau diberitahu (bahwa aku yang melakukannya). Kemudian beliau mendoakan, ‘Ya Allah, berikanlah dia pemahaman terhadap agama’.” (HR. Al-Bukhari no. 143 dan Muslim no. 2477)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjadi salah seorang ulama di kalangan shahabat. Sampai-sampai ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu menempatkannya bersama para tokoh shahabat ketika Ibnu ‘Abbas masih belia. (Fathul Bari, 7/127)
Dalam kehidupan shahabat, ada Ummu Sulaim bintu Milhan radhiyallahu 'anha, ibu Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, yang begitu besar keinginannya agar anaknya mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Dia serahkan sang anak untuk melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk anaknya. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَمَا هُوَ إِلاَّ أَنَا وَأُمِّي وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِي، فَقَالَتْ أُمِّي: يَا رَسُوْلَ اللهِ، خُوَيْدِمُكَ، ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ: فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ، وَكَانَ فِي آخِرِ مَا دَعَا لِي بِهِ أَنْ قَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumah kami dan di situ hanya ada aku, ibuku dan Ummu Haram bibiku. Ibuku mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, ini pelayan kecilmu. Doakanlah dia’. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan untukku segala kebaikan, dan di akhir doa beliau untukku, beliau berkata, ‘Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya, serta berikanlah barakah kepadanya’.” (HR. Muslim no. 2481)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa beliau, hingga Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang dirinya, “Hartaku sungguh banyak, sementara anak cucuku mencapai sekitar seratus orang sekarang.” (HR. Muslim no. 2481)
Apabila orangtua merasakan beban kesempitan dan kesusahan karena ulah anak-anak, hendaknya berlapang dada dan memaafkan, serta mendoakan agar si anak mendapatkan kebaikan. Sesungguhnya doa orangtua termasuk doa yang akan dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentang hal ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ
“Ada tiga doa yang pasti akan terkabul, tidak diragukan lagi: doa orangtua, doa orang yang bepergian, dan doa orang yang dizhalimi.” (HR. Abu Dawud no. 1536, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan)
Doa kebaikanlah yang semestinya dipanjatkan ketika itu, bukan cacian atau bahkan doa kejelekan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita mendoakan kejelekan terhadap anak-anak. Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبَ لَكُمْ
“Jangan mendoakan kejelekan bagi diri kalian, jangan berdoa kejelekan bagi anak-anak kalian, dan jangan pula berdoa kejelekan bagi harta kalian. Jangan sampai ia bertepatan dengan saat Allah yang jika diminta suatu permintaan saat itu pasti akan Dia kabulkan.” (HR. Muslim no. 3009)
Bisa jadi seseorang menepati saat dikabulkannya doa, hingga dikabulkan permohonannya. Ini banyak terjadi ketika marah. Saat marah, terkadang orang mendoakan kejelekan untuk dirinya, atau kadang pada anaknya. Dia katakan, ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakanmu!’ atau ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan balasan yang jelek kepadamu!’, ataupun yang semisal itu. Sampai-sampai ada yang mendoakan anaknya agar mendapat laknat! Nas`alullahal ‘afiyah. (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/33)
Akibatnya, bukan semakin baik si anak, namun semakin rusak. Semakin jauh dari kebenaran dan semakin suram pula masa depannya. Tak ada kebahagiaan hidupnya di dunia, terancam pula kehidupannya di akhirat kelak. Na’udzu billahi min dzalik!
Cukup sudah bagi kita, para orangtua, teladan yang termaktub dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Semestinya kita menyadari, segala kebaikan anak kita Allah Subhanahu wa Ta’ala-¬lah yang memberikannya. Hingga semestinya pula kita memulai untuk melazimi doa untuk kebaikan mereka.
Wallahu Ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber:
http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=525
BOM BUNUH DIRI
BOM BUNUH DIRI DALAM TIMBANGAN SYARIAT
Jihad di dalam Islam merupakan salah satu amalan mulia, bahkan memiliki kedudukan paling tinggi. Sebab, dengan amalan ini seorang muslim harus rela mengorbankan segala yang dimiliki berupa harta, jiwa, tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Meraka berperang di jalan Allah. Lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:111)
Karena amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka di dalam mengamalkannya pun harus pula memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu ikhlas dalam beramal dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhyialllahu ‘anhu:
Ada seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: ”Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah (harta rampasan perang, red), ada seseorang yang berperang agar namanya disebut-sebut, dan ada seseorang yang berperang agar mendapatkan sanjungan, manakah yang disebut fisabilillah?” Maka jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fisabilillah.” (Muttafaqun alaihi)
Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Dzabyan, ia berkata: Aku telah mendengar Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bercerita:
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus kami (memerangi kaum musyrikin) ke daerah Huraqah. Lalu kami pun memerangi mereka di pagi hari secara tiba-tiba. Akhirnya, kami dapat mengalahkan mereka. Kemudian aku bersama seseorang dari kalangan Anshar mengejar salah seorang dari mereka. Ketika kami mendapatkan dan hendak membunuhnya, dia berkata: Laa ilaaha illallah. Maka Anshari tersebut menahan pedangnya, namun aku (tetap) membunuhnya dengan tombakku hingga mati. Maka ketika kami kembali, sampailah (berita ini) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berkata: “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallah?” Aku menjawab: “Dia hanya menjadikannya sebagai perlindungan (bukan dari hatinya).” Maka beliau terus menerus mengulangi ucapannya sehingga aku berkeinginan bahwa aku tidak masuk Islam kecuali hari itu (karena beliau merasa besar kesalahan yang dilakukannya sehingga dengan masuk Islam bisa menghapuskan kesalahan yang terdahulu).
Riwayat ini menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak cukup hanya dengan semangat belaka, namun juga harus dibarengi dengan ilmu agar di dalam mengamalkan suatu amalan dilakukan di atas bashirah (ilmu).
Bunuh Diri Adalah Haram Secara Mutlak
Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa membunuh diri sendiri dengaN menggunakan alat apapun merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:
- Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (5778) dan Muslim (158) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
(( من قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن شرب سما فقتل تفسه فهو يتحساه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ))
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal (nantinya), (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
- Diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhak radhyiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( ومن قتل نفسه بشيئ في الدنيا عذب به يوم القيامة ))
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.”
- Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Ketika terjadi pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya lalu terluka. Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Jawab Rasulullah shallallajhu ‘alaihi wasallam: “(Ia) masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia ragu (dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka yang sangat parah. Ketika malam hari dia tidak sabar lagi dan bunuh diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal tersebut, lalu beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
(( إنه لا يدخل الجنة إلا نفس مسلمة وإن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر ))
“Sesungguhnya tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir (berbuat dosa ).”
Dalil-dali di atas sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam jenisnya dan dengan cara apapun. Inilah yang difahami oleh para ulama rahimahullah. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu:
“Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun, dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah, 4/519).
Fatma Ulama Tentang Bom Bunuh Diri
Para aktivis pergerakan dari kalangan hizbiyyun yang melakukan amalan hanya bermodal semangat dan tidak berusaha memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta tidak menjadikan ulama rabbani sebagai rujukan, menyebabkan mereka melakukan pembelaan terhadap amalan yang batil ini.
Kalangan “ulama” mereka pun berusaha mendukung dengan cara menempatkan dalil namun tidak pada tempatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka merendahkan fatwa ulama yang melarang amalan ini dengan menyatakan: “Mereka adalah ulama yang tidak mengerti waqi’ (kondisi).” “Mereka hanya pantas mengurusi masalah haid dan nifas saja. Adapun masalah jihad, maka ada ulama tersendiri.” Masya Allah!
Ternyata yang mereka anggap sebagai ulama adalah para “ulama gadungan” yang memiliki pemikiran Khawarij, Quthbiyah, dan Ikhwani seperti Salman Al-Audah, Sulaiman Al-Ulwan, Ibrahim Ad-Duwaisy, Sa’id bin Musfir, Yusuf Al-Qardhawi, dan yang semisal mereka. Bahkan di antara mereka ada yang menukilkan ijma’ para ulama tentang bolehnya hal tersebut.
Bukankah ini penukilan yang aneh? Bagaimana mungkin terjadi ijma’ dalam keadaan para ulama besar mengingkari perbuatan ini, seperti Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Abdul Azis Alus Syaikh, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah ta’ala. (Lihat Tahrirul Maqaal Fi Annahu Intihar Wa Laisa Isytisyhaad, Abu Muhammad Nashir As-Salafi, 17)
Berikut ini adalah fatwa dari Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala:
“Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (melakukan bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal ‘iyadzu billah. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, bunuh diri tidak memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut (maksudnya adalah kisah Ashabul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya dalam Riyadhus Shalihin hadits no. 30 bab: Sabar, pen).
Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah kaum muslimin yang terbunuh sebagaimana yang ditemukan dari perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka dengan sebab peledakan ini dan terbunuh enam, tujuh, maka mereka mengambil dari kaum muslimin –dengan sebab itu- enam puluh orang atau lebih sehingga tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka.
Oleh karena itu, kami melihat, apa yang dilakukan oleh sebagian manusia berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal iyadzu billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang melakukan itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian. Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid.
Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/165. Lihat pula: Tahrir Al-Maqaal: 23-24).
Hukum Menerobos Sarang Musuh
Banyak terjadi kesalahpahaman tentang riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadits Nabi shallalahu ‘alaihsi wasallam dan para sahabatnya berkenaan tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan mereka dalam menempatkan nash-nash tersebut pada posisi yang semestinya yang menyebabkan mereka tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh diri dengan menyerang ke barisan musuh (sarang musuh) sampai mati. Dalam masalah ini telah terjadi tiga kubu:
- Pertama adalah kubu yang membawa nash-nash tentang menyerang ke barisan musuh kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang difahami oleh para hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan selainnya.
- Kedua adalah kubu yang menganggap seluruhnya adalah tindakan bunuh diri, termasuk menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini difahami oleh sebagian orang yang mengaku Ahlu Sunnah tapi jahil dan tidak mampu membedakan antara dua keadaan.
- Yang benar adalah kubu yang ketiga, yang membedakan antara kedua hukum disebabkan karena terjadinya perbedaan kondisi. Di mana keadaan kedua ini dengan cara sebagian masuk ke daerah musuh lalu melakukan pertempuran hingga terbunuh melalui tangan musuh, bukan meledakkan tubuh sendiri. Adapun keadan kedua ini adalah amalan yang disyari’atkan berdasarkan dalil-dalil yang akan kita sebutkan beserta perkataan para ulama.
Diantara dalil disyariatkannya amalan tersebut:
Tentang tafsir firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
Diriwayatkan oleh Tirmidzi (4/72) dari Aslam Abu Imran At-Tujibi, ia berkata: Ketika kami berada di daerah Romawi, mereka mengeluarkan barisan (tentara perang) yang besar. Maka keluarlah kaum muslimin semisal (jumlah mereka) atau lebih untuk menghadapi mereka. Yang memimpin tentara Mesir adalah Uqbah bin Amir dan jamaah yang lainnya dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Maka salah seorang dari kaum muslimin menerobos masuk ke barisan Romawi hingga masuk ke tengah-tengah mereka. Maka berteriaklah manusia dan berkata: Subhanallah, dia telah melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mentakwil ayat ini dengan menakwilan seperti ini. (Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum Anshar di saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin banyak para penolongnya, maka sebagian kami berbisik terhadap sebagian lainnya tanpa sepengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Sesungguhnya harta kita telah terlantar dan sesungguhnya Allah telah muliakan Islam dan semakin banyak penolongnya. Maka sekiranya kita memperbaiki perekonomian kita dan menata kembali apa yang telah terlantar.’ Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bantahan dari apa yang kami katakan. Maka kebinasaan (yang dimaksud) adalah memperbaiki perekonomian dan menatanya lalu meninggalkan peperangan.’ Maka Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah sampai beliau dikuburkan di Romawi.”
(Hadit ini dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad Fi Asbabin Nuzul: 34).
Lihat pula penafsiran para ulama dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 207, dimana Umar bin Khattab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma membantah komentar orang yang mengatakan tentang salah seorang yang menerobos masuk di antara dua barisan musuh dengan menyatakan: Dia telah melemparkan dirinya dalam kebinasaan. Maka mereka dibantah oleh Umar dan Abu Hurairah dengan firman Allah tersebut. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (5/303) dan Baihaqi dalam Al-kubra (9/46))
Telah diriwayatkan oleh Bukhari (2805) dan Muslim (3523) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pamanku Anas bin Nadhr tidak ikut serta dalam perang Badar, maka beliau berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak ikut perang pertama yang engkau memerangi musyrikin. Sekiranya Allah memberi kesempatan padaku hadir dalam memerangi musyrikin, maka Allah akan melihat apa yang akan aku perbuat!” Maka ketika pecah perang Uhud dan kaum muslimin kalah, beliau berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku berudzur padamu dari apa yang dilakukan mereka ini (yaitu larinya kaum muslimin dari medan pertempuran) dan aku berlepas diri kepadamu dari apa yang dilakukan mereka ini (kaum musyrikin).” Lalu beliau maju dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz lalu berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga, demi Rabb-nya Nadhr, sesungguhnya aku mencium baunya di bawah kaki Gunung Uhud.” Kata Sa’ad bin Muadz: “Aku tidak mampu berbuat sepertinya wahai Rasulullah.” Berkata Anas bin Malik: “Lalu kami menemukannya terdapat delapan puluh lebih luka berupa tebasan pedang, tombak, dan lemparan panah. Dan kami menemukannya telah dicincang oleh kaum musyrikin, maka tidak seorang pun mengenalnya kecuali saudara perempuannya yang mengenali jarinya.” Berkata Anas bin Malik: “Kami mengira bahwa ayat ini turun berkenaan tentangnya.” (Al-Ahzab: 23)
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (13/45-46) dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bangkitlah kalian menuju surga yang seluas langit dan bumi.” Berkata Umair bin Al-Humam Al-Anshari: “Wahai Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab: “Iya.” Diapun berkata: “Bakhin, bakhin (ucapan yang menunjukkan rasa takjub, pen).” Maka bertanya Rasulullah: “Apa yang membuatmu mengucapkan bakhin bakhin?” Dia menjawab: “Tidak wahai Rasulullah, melainkan aku berharap agar (aku) termasuk penduduknya.” Beliau berkata: “Engkau termasuk penduduknya.” Maka dia mengeluarkan beberapa buah korma dari tempatnya lalu memakannya, kemudian berkata: “Jika aku hidup sampai aku memakan buah kormaku ini, sesungguhnya ini adalah kehidupan yang panjang.” Diapun melempar korma yang ada di tangannya kemudian bertempur hingga terbunuh.
Berkata An-Nawawi: “(Hadits) ini menunjukkan bolehnya menerobos ke tengah orang-orang kafir dan menghadapi mati syahid. Dan ini boleh, tidaklah dibenci menurut mayoritas para ulama.” (Syarah An-Nawawi, 13:46)
Masih ada beberapa dalil lain yang menunjukkan bolehnya amalan ini. (Lihat Sunan Al-Kubra karangan Al-Baihaqi, bab: Man Tabarra’a Bitta’arrudh Bil Qatl, 9: 43-44).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ta’ala: “Oleh karena itu, para imam empat membolehkan seorang muslim menerobos ke dalam barisan orang-orang kafir, meskipun besar perkiraannya bahwa mereka akan membunuhnya jika yang demikian mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 28: 540).
Membantah Syubhat yang Membolehkan Bom Bunuh Diri
Mereka yang berpendapat bolehnya melakukan bom bunuh diri selalu menggunakan hujjah berupa dalil-dalil yang membolehkan menerobos masuk ke sarang musuh, dan telah jelas bagi para pembaca rahimakumullah perbedaan di antara keduanya. Namun ada satu dalil yang juga mereka jadikan sebagai alasan bolehnya amalan ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, di mana seorang pemuda yang bertauhid memberikan petunjuk kepada sang raja yang dzalim tentang cara membunuhnya, yang mendatangkan kemaslahatan yang luar biasa, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung dan meninggalkan agama nenek moyangnya. (Lihat kisahnya dalam kitab Riyadhus Shalihin bab “Sabar” hadits no. 30)
Bantahan terhadap pendalilan kisah ini dari beberapa sisi:
Pertama, hadits ini menggambarkan seorang pemuda yang terbunuh namun dia menjadi sebab datangnya kemaslahatan yang jelas, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung. Berbeda dengan bom bunuh diri yang sama sekali tidak mendatangkan kemaslahatan, bahkan kemudharatan yang semakin besar dengan terbunuhnya kaum muslimin dalam jumlah yang semakin hari kian bertambah.
Manakah kemaslahatan itu? Apakah orang Yahudi berbondong-bondong masuk Islam dengan sebab amalan tersebut? Berfikirlah wahai orang-orang yang berakal.
Kedua, pemuda tersebut tidak membunuh dirinya sendiri namun dia terbunuh melalui tangan sang raja disaat dia mengucapkan kalimat tauhid (yang menyebabkan) masuk Islam seluruh penduduknya. Berbeda dengan bom bunuh diri yang meledakkan diri sendiri bersama yang lainnya, (yakni) membunuh diri sendiri dengan sengaja, manakah persamaan itu?
Ketiga, terdapat perbedaan antara bunuh diri dengan memberikan petunjuk tentang cara membunuhnya disebabkan karena (ia) mendapatkan ilham akan adanya kemaslahatan yang lebih besar. Adapun yang mereka lakukan tidak lebih meninggalkan bekas yang lebih buruk yang menimpa kaum muslimin dengan sebab balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang kafir Yahudi terhadap kaum muslimin yang lemah. Ditambah lagi kurangnya ilmu yang mereka miliki serta tersebarnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan jauhnya mereka dari ilmu sunnah .Wallahul musta’an. (Lihat Arraddu ‘Alaa Mujizil Intihaar, Mahir bin Dzafir Al-Qahthani: 6-7)
Sumber Url: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=149
Jihad di dalam Islam merupakan salah satu amalan mulia, bahkan memiliki kedudukan paling tinggi. Sebab, dengan amalan ini seorang muslim harus rela mengorbankan segala yang dimiliki berupa harta, jiwa, tenaga, waktu, dan segala kesenangan dunia untuk menggapai keridhaan Allah Azza wa Jalla. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Meraka berperang di jalan Allah. Lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah:111)
Karena amalan jihad merupakan salah satu jenis ibadah yang disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla, maka di dalam mengamalkannya pun harus pula memenuhi kriteria diterimanya suatu amalan. Yaitu ikhlas dalam beramal dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tertolak. Hal ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhyialllahu ‘anhu:
Ada seorang Badui datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: ”Ada seseorang yang berperang karena mengharapkan ghanimah (harta rampasan perang, red), ada seseorang yang berperang agar namanya disebut-sebut, dan ada seseorang yang berperang agar mendapatkan sanjungan, manakah yang disebut fisabilillah?” Maka jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
من قاتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو في سبيل الله
“Barangsiapa yang berperang agar kalimat Allah itulah yang tinggi, maka itulah fisabilillah.” (Muttafaqun alaihi)
Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Dzabyan, ia berkata: Aku telah mendengar Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bercerita:
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutus kami (memerangi kaum musyrikin) ke daerah Huraqah. Lalu kami pun memerangi mereka di pagi hari secara tiba-tiba. Akhirnya, kami dapat mengalahkan mereka. Kemudian aku bersama seseorang dari kalangan Anshar mengejar salah seorang dari mereka. Ketika kami mendapatkan dan hendak membunuhnya, dia berkata: Laa ilaaha illallah. Maka Anshari tersebut menahan pedangnya, namun aku (tetap) membunuhnya dengan tombakku hingga mati. Maka ketika kami kembali, sampailah (berita ini) kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau berkata: “Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallah?” Aku menjawab: “Dia hanya menjadikannya sebagai perlindungan (bukan dari hatinya).” Maka beliau terus menerus mengulangi ucapannya sehingga aku berkeinginan bahwa aku tidak masuk Islam kecuali hari itu (karena beliau merasa besar kesalahan yang dilakukannya sehingga dengan masuk Islam bisa menghapuskan kesalahan yang terdahulu).
Riwayat ini menunjukkan bahwa di dalam mengamalkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak cukup hanya dengan semangat belaka, namun juga harus dibarengi dengan ilmu agar di dalam mengamalkan suatu amalan dilakukan di atas bashirah (ilmu).
Bunuh Diri Adalah Haram Secara Mutlak
Riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa membunuh diri sendiri dengaN menggunakan alat apapun merupakan salah satu dosa yang sangat besar di sisi Allah Azza wa Jalla. Berikut ini hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan tersebut:
- Diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (5778) dan Muslim (158) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
(( من قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يتوجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن شرب سما فقتل تفسه فهو يتحساه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ومن تردى من جبل فقتل نفسه فهو يتردى في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا ))
“Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi di tangannya, dia (akan) menikam perutnya di dalam neraka jahannam yang kekal (nantinya), (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang meminum racun lalu bunuh diri dengannya, maka dia (akan) meminumnya perlahan-lahan di dalam neraka jahannam yang kekal, (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya. Dan barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, dia akan jatuh ke dalam neraka jahannam yang kekal (dan) dikekalkan di dalamnya selama-lamanya.”
- Diriwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim dari Tsabit bin Dhahhak radhyiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
(( ومن قتل نفسه بشيئ في الدنيا عذب به يوم القيامة ))
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu di dunia, maka dia disiksa dengan (alat tersebut) pada hari kiamat.”
- Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Khaibar. Kemudian beliau berkata pada seseorang yang mengaku dirinya muslim: “Orang ini dari penduduk neraka.” Ketika terjadi pertempuran, orang tersebut bertempur dengan sengitnya lalu terluka. Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, yang engkau katakan bahwa dia dari penduduk neraka, sesungguhnya pada hari ini dia ikut bertempur dengan sengitnya, dan dia telah mati.” Jawab Rasulullah shallallajhu ‘alaihi wasallam: “(Ia) masuk neraka.” Hampir saja sebagian manusia ragu (dengan ucapan tersebut). Ketika mereka dalam keadaan demikian, lalu mereka dikabari bahwa dia belum mati akan tetapi terluka dengan luka yang sangat parah. Ketika malam hari dia tidak sabar lagi dan bunuh diri. Lalu dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal tersebut, lalu beliau berkata: “Allahu Akbar, aku bersaksi bahwa sesungguhnya aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau memerintahkan Bilal untuk berteriak di hadapan manusia:
(( إنه لا يدخل الجنة إلا نفس مسلمة وإن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر ))
“Sesungguhnya tidaklah ada yang masuk surga kecuali jiwa yang muslim, dan sesungguhnya Allah menguatkan agama ini dengan laki-laki yang fajir (berbuat dosa ).”
Dalil-dali di atas sangat jelas mengharamkan bunuh diri dengan segala macam jenisnya dan dengan cara apapun. Inilah yang difahami oleh para ulama rahimahullah. Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu:
“Intihar adalah bunuh diri secara sengaja dengan sebab apapun, dan ini diharamkan dan termasuk dosa yang paling besar.” (Fatawa Islamiyyah, 4/519).
Fatma Ulama Tentang Bom Bunuh Diri
Para aktivis pergerakan dari kalangan hizbiyyun yang melakukan amalan hanya bermodal semangat dan tidak berusaha memecahkan suatu permasalahan secara ilmiah berdasarkan pandangan yang shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta tidak menjadikan ulama rabbani sebagai rujukan, menyebabkan mereka melakukan pembelaan terhadap amalan yang batil ini.
Kalangan “ulama” mereka pun berusaha mendukung dengan cara menempatkan dalil namun tidak pada tempatnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka merendahkan fatwa ulama yang melarang amalan ini dengan menyatakan: “Mereka adalah ulama yang tidak mengerti waqi’ (kondisi).” “Mereka hanya pantas mengurusi masalah haid dan nifas saja. Adapun masalah jihad, maka ada ulama tersendiri.” Masya Allah!
Ternyata yang mereka anggap sebagai ulama adalah para “ulama gadungan” yang memiliki pemikiran Khawarij, Quthbiyah, dan Ikhwani seperti Salman Al-Audah, Sulaiman Al-Ulwan, Ibrahim Ad-Duwaisy, Sa’id bin Musfir, Yusuf Al-Qardhawi, dan yang semisal mereka. Bahkan di antara mereka ada yang menukilkan ijma’ para ulama tentang bolehnya hal tersebut.
Bukankah ini penukilan yang aneh? Bagaimana mungkin terjadi ijma’ dalam keadaan para ulama besar mengingkari perbuatan ini, seperti Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Abdul Azis Alus Syaikh, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan yang lainnya rahimahumullah ta’ala. (Lihat Tahrirul Maqaal Fi Annahu Intihar Wa Laisa Isytisyhaad, Abu Muhammad Nashir As-Salafi, 17)
Berikut ini adalah fatwa dari Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ta’ala:
“Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang berupa intihar (melakukan bom bunuh diri) dengan cara membawa peledak (bom) kepada sekumpulan orang-orang kafir, kemudian meledakkannya setelah berada di tengah-tengah mereka, sesungguhnya ini termasuk bunuh diri, wal ‘iyadzu billah. Barangsiapa yang membunuh dirinya, maka dia kekal dan dikekalkan dalam neraka Jahannam selamanya sebagaimana yang terdapat dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab, bunuh diri tidak memberi kemaslahatan bagi Islam karena ketika dia bunuh diri dan membunuh sepuluh atau seratus atau dua ratus (orang kafir), tidaklah memberi manfaat kepada Islam dengan perbuatan tersebut di mana manusia tidak masuk ke dalam Islam. Berbeda dengan kisah anak muda tersebut (maksudnya adalah kisah Ashabul Ukhdud yang panjang, lihat haditsnya dalam Riyadhus Shalihin hadits no. 30 bab: Sabar, pen).
Dan boleh jadi, yang terjadi musuh justru akan semakin keras perlawanannya dan menjadikan darah mereka mendidih. Sehingga semakin banyaklah kaum muslimin yang terbunuh sebagaimana yang ditemukan dari perlakuan Yahudi terhadap penduduk Palestina. Jika mati salah seorang dari mereka dengan sebab peledakan ini dan terbunuh enam, tujuh, maka mereka mengambil dari kaum muslimin –dengan sebab itu- enam puluh orang atau lebih sehingga tidak mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin dan tidak bermanfaat pula bagi yang diledakkan di barisan-barisan mereka.
Oleh karena itu, kami melihat, apa yang dilakukan oleh sebagian manusia berupa tindakan bunuh diri, kami anggap bahwa hal itu adalah membunuh jiwa tanpa hak dan menyebabkan masuknya ke dalam neraka, wal iyadzu billah. Dan pelakunya bukanlah syahid. Namun jika seseorang melakukan itu dengan anggapan bahwa hal tersebut boleh, maka kami berharap agar dia selamat dari dosa. Adapun bila dianggap syahid, maka tidak demikian. Sebab, dia tidak menempuh cara untuk mati syahid.
Dan barangsiapa yang berijtihad dan dia salah, maka baginya satu pahala.” (Syarah Riyadhus Shalihin 1/165. Lihat pula: Tahrir Al-Maqaal: 23-24).
Hukum Menerobos Sarang Musuh
Banyak terjadi kesalahpahaman tentang riwayat-riwayat yang terdapat dalam hadits Nabi shallalahu ‘alaihsi wasallam dan para sahabatnya berkenaan tentang masalah ini, disebabkan ketidaktepatan mereka dalam menempatkan nash-nash tersebut pada posisi yang semestinya yang menyebabkan mereka tidak bisa membedakan antara hukum bom bunuh diri dengan menyerang ke barisan musuh (sarang musuh) sampai mati. Dalam masalah ini telah terjadi tiga kubu:
- Pertama adalah kubu yang membawa nash-nash tentang menyerang ke barisan musuh kepada bolehnya melakukan bom bunuh diri, sebagaimana yang difahami oleh para hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin dan selainnya.
- Kedua adalah kubu yang menganggap seluruhnya adalah tindakan bunuh diri, termasuk menyerang ke sarang musuh hingga mati. Ini difahami oleh sebagian orang yang mengaku Ahlu Sunnah tapi jahil dan tidak mampu membedakan antara dua keadaan.
- Yang benar adalah kubu yang ketiga, yang membedakan antara kedua hukum disebabkan karena terjadinya perbedaan kondisi. Di mana keadaan kedua ini dengan cara sebagian masuk ke daerah musuh lalu melakukan pertempuran hingga terbunuh melalui tangan musuh, bukan meledakkan tubuh sendiri. Adapun keadan kedua ini adalah amalan yang disyari’atkan berdasarkan dalil-dalil yang akan kita sebutkan beserta perkataan para ulama.
Diantara dalil disyariatkannya amalan tersebut:
Tentang tafsir firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
Diriwayatkan oleh Tirmidzi (4/72) dari Aslam Abu Imran At-Tujibi, ia berkata: Ketika kami berada di daerah Romawi, mereka mengeluarkan barisan (tentara perang) yang besar. Maka keluarlah kaum muslimin semisal (jumlah mereka) atau lebih untuk menghadapi mereka. Yang memimpin tentara Mesir adalah Uqbah bin Amir dan jamaah yang lainnya dipimpin Fudhalah bin Ubaid. Maka salah seorang dari kaum muslimin menerobos masuk ke barisan Romawi hingga masuk ke tengah-tengah mereka. Maka berteriaklah manusia dan berkata: Subhanallah, dia telah melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan.” Maka berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mentakwil ayat ini dengan menakwilan seperti ini. (Padahal) sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan kami kaum Anshar di saat Allah telah memuliakan Islam dan semakin banyak para penolongnya, maka sebagian kami berbisik terhadap sebagian lainnya tanpa sepengetahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Sesungguhnya harta kita telah terlantar dan sesungguhnya Allah telah muliakan Islam dan semakin banyak penolongnya. Maka sekiranya kita memperbaiki perekonomian kita dan menata kembali apa yang telah terlantar.’ Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bantahan dari apa yang kami katakan. Maka kebinasaan (yang dimaksud) adalah memperbaiki perekonomian dan menatanya lalu meninggalkan peperangan.’ Maka Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah sampai beliau dikuburkan di Romawi.”
(Hadit ini dishahihkan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad Fi Asbabin Nuzul: 34).
Lihat pula penafsiran para ulama dalam menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 207, dimana Umar bin Khattab dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma membantah komentar orang yang mengatakan tentang salah seorang yang menerobos masuk di antara dua barisan musuh dengan menyatakan: Dia telah melemparkan dirinya dalam kebinasaan. Maka mereka dibantah oleh Umar dan Abu Hurairah dengan firman Allah tersebut. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf (5/303) dan Baihaqi dalam Al-kubra (9/46))
Telah diriwayatkan oleh Bukhari (2805) dan Muslim (3523) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pamanku Anas bin Nadhr tidak ikut serta dalam perang Badar, maka beliau berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak ikut perang pertama yang engkau memerangi musyrikin. Sekiranya Allah memberi kesempatan padaku hadir dalam memerangi musyrikin, maka Allah akan melihat apa yang akan aku perbuat!” Maka ketika pecah perang Uhud dan kaum muslimin kalah, beliau berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku berudzur padamu dari apa yang dilakukan mereka ini (yaitu larinya kaum muslimin dari medan pertempuran) dan aku berlepas diri kepadamu dari apa yang dilakukan mereka ini (kaum musyrikin).” Lalu beliau maju dan bertemu Sa’ad bin Mu’adz lalu berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga, demi Rabb-nya Nadhr, sesungguhnya aku mencium baunya di bawah kaki Gunung Uhud.” Kata Sa’ad bin Muadz: “Aku tidak mampu berbuat sepertinya wahai Rasulullah.” Berkata Anas bin Malik: “Lalu kami menemukannya terdapat delapan puluh lebih luka berupa tebasan pedang, tombak, dan lemparan panah. Dan kami menemukannya telah dicincang oleh kaum musyrikin, maka tidak seorang pun mengenalnya kecuali saudara perempuannya yang mengenali jarinya.” Berkata Anas bin Malik: “Kami mengira bahwa ayat ini turun berkenaan tentangnya.” (Al-Ahzab: 23)
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (13/45-46) dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bangkitlah kalian menuju surga yang seluas langit dan bumi.” Berkata Umair bin Al-Humam Al-Anshari: “Wahai Rasulullah, surga seluas langit dan bumi?” Beliau menjawab: “Iya.” Diapun berkata: “Bakhin, bakhin (ucapan yang menunjukkan rasa takjub, pen).” Maka bertanya Rasulullah: “Apa yang membuatmu mengucapkan bakhin bakhin?” Dia menjawab: “Tidak wahai Rasulullah, melainkan aku berharap agar (aku) termasuk penduduknya.” Beliau berkata: “Engkau termasuk penduduknya.” Maka dia mengeluarkan beberapa buah korma dari tempatnya lalu memakannya, kemudian berkata: “Jika aku hidup sampai aku memakan buah kormaku ini, sesungguhnya ini adalah kehidupan yang panjang.” Diapun melempar korma yang ada di tangannya kemudian bertempur hingga terbunuh.
Berkata An-Nawawi: “(Hadits) ini menunjukkan bolehnya menerobos ke tengah orang-orang kafir dan menghadapi mati syahid. Dan ini boleh, tidaklah dibenci menurut mayoritas para ulama.” (Syarah An-Nawawi, 13:46)
Masih ada beberapa dalil lain yang menunjukkan bolehnya amalan ini. (Lihat Sunan Al-Kubra karangan Al-Baihaqi, bab: Man Tabarra’a Bitta’arrudh Bil Qatl, 9: 43-44).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ta’ala: “Oleh karena itu, para imam empat membolehkan seorang muslim menerobos ke dalam barisan orang-orang kafir, meskipun besar perkiraannya bahwa mereka akan membunuhnya jika yang demikian mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin.” (Majmu’ Fatawa, 28: 540).
Membantah Syubhat yang Membolehkan Bom Bunuh Diri
Mereka yang berpendapat bolehnya melakukan bom bunuh diri selalu menggunakan hujjah berupa dalil-dalil yang membolehkan menerobos masuk ke sarang musuh, dan telah jelas bagi para pembaca rahimakumullah perbedaan di antara keduanya. Namun ada satu dalil yang juga mereka jadikan sebagai alasan bolehnya amalan ini, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menceritakan tentang Ashabul Ukhdud, di mana seorang pemuda yang bertauhid memberikan petunjuk kepada sang raja yang dzalim tentang cara membunuhnya, yang mendatangkan kemaslahatan yang luar biasa, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung dan meninggalkan agama nenek moyangnya. (Lihat kisahnya dalam kitab Riyadhus Shalihin bab “Sabar” hadits no. 30)
Bantahan terhadap pendalilan kisah ini dari beberapa sisi:
Pertama, hadits ini menggambarkan seorang pemuda yang terbunuh namun dia menjadi sebab datangnya kemaslahatan yang jelas, yaitu masuk Islamnya seluruh penduduk kampung. Berbeda dengan bom bunuh diri yang sama sekali tidak mendatangkan kemaslahatan, bahkan kemudharatan yang semakin besar dengan terbunuhnya kaum muslimin dalam jumlah yang semakin hari kian bertambah.
Manakah kemaslahatan itu? Apakah orang Yahudi berbondong-bondong masuk Islam dengan sebab amalan tersebut? Berfikirlah wahai orang-orang yang berakal.
Kedua, pemuda tersebut tidak membunuh dirinya sendiri namun dia terbunuh melalui tangan sang raja disaat dia mengucapkan kalimat tauhid (yang menyebabkan) masuk Islam seluruh penduduknya. Berbeda dengan bom bunuh diri yang meledakkan diri sendiri bersama yang lainnya, (yakni) membunuh diri sendiri dengan sengaja, manakah persamaan itu?
Ketiga, terdapat perbedaan antara bunuh diri dengan memberikan petunjuk tentang cara membunuhnya disebabkan karena (ia) mendapatkan ilham akan adanya kemaslahatan yang lebih besar. Adapun yang mereka lakukan tidak lebih meninggalkan bekas yang lebih buruk yang menimpa kaum muslimin dengan sebab balas dendam yang dilakukan oleh orang-orang kafir Yahudi terhadap kaum muslimin yang lemah. Ditambah lagi kurangnya ilmu yang mereka miliki serta tersebarnya kebid’ahan, kemaksiatan, dan jauhnya mereka dari ilmu sunnah .Wallahul musta’an. (Lihat Arraddu ‘Alaa Mujizil Intihaar, Mahir bin Dzafir Al-Qahthani: 6-7)
Sumber Url: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=149
Langganan:
Postingan (Atom)