SAHABAT BERCINTA SAMA
Bel pulang berbunyi di Sabtu yang terik. Cahaya bangkit dari tempat duduk, setelah guru Bahasa Jawa keluar. Sepanjang pelajaran matanya terasa berat. Pelajarannya selalu membuatnya mengantuk. Di luar kelas, Ranti dan Miory telah menantinya. Mereka juga merasakan hal yang sama: PELAJARAN YANG MEMBOSANKAN.
”Untung bel segera berbunyi. Kalau tidak, satu menit lagi aku bisa tertidur!” ujar Moiry.
”Benar! Sudah panas, diberi dongeng pula! Siapa yang tahan untuk tidak mengantuk? Ah, hari ini kita ke kafe, yuk!” pinta Ranti.
”Mm... hari ini aku tidak bisa ikut. Kalian berdua saja. Aku masih ada urusan di sekolah.” kilah Cahaya.
Kedua temannya heran. Teman mereka yang paling pemalas dan tidak pernah peduli kepada urusan selain bersenang-senang, tiba-tiba mengatakan punya urusan. Cahaya hanya nyengir kuda.
”Walaupun mengherankan, tapi syukurlah ada kegiatan. Ya sudah, kami pergi dulu.” ucap Ranti sembari menggandeng tangan Miory.
Setelah keduanya pergi, Cahaya berjalan menuju lapangan futsal yang biasa dipakai latihan klub futsal sekolahnya. Setiap Sabtu dia menyempatkan diri ke sana. Sebenarnya dia sama sekali tidak menyukai futsal atau olehraga apapun. Yang ia suka hanya kapten futsalnya saja, Ibrahim. Dia tetap menyukai Ibrahim, meskipun ia tahu, orang itu sudah mempunyai tiga pacar: Miory, Ranti, dan Tera. Ya, kedua sahabatnya adalah pacar Christian. Karena itulah dia selalu kucing-kucingan setiap ingin pergi ke lapangan futsal.
Hari ini ada yang berbeda. Suasana lapangan sepi. Ta ada siapapun. Rumputnya tampak begitu segar seakan mengungkapkan perasaan senang, karena hari ini tak ada yang menginjaknya. Ayu tertegun memandangi lapangan dari pagar kawat pembatas.
”Hari ini tidak ada latihan.” ujar seseorang.
Cahaya langsung membalikkan tubuhnya. Dug! Jantungnya seakan ingin berhenti berdenyut karena terlalu terkejut. Ibrahim kini tepat berada di hadapannya.
”Mm... kalau tidak salah, namamu Cahaya, kan?” tanyanya.
Cahaya membalas dengan anggukan. Dia begitu bangga ada orang yang mengenal namanya. Apalagi dia Ibrahim, pangeran cintanya.
“Maaf, waktu itu aku tidak sengaja menendang bola ke arahmu. Apa kepalamu baik-baik saja?”
”Iya, tidak apa-apa.” katanya, sambil tersenyum. Tapi memang benar. Karena kepalanya terbentur bola, dia jadi amnesia dan jatuh cinta kepada playboy yang dulu sangat ia benci.
”Mau pulang denganku?”
”Hah!” Cahaya tercengang. Seperti mimpi.
“Kenapa Hah? Untuk apa tetap di sini kalau tidak ada latihan. Ayo!” ajak Ibrahim.
Muka Cahaya berubah merah seperti udang rebus ketika Ibrahim menggandeng tangannya. Setibanya di tempat parkir, Ibrahim mempersilahkannya masuk ke dalam mobil mewahnya. Dia masih merasa semuanya seperti mimpi.
*****
Malam semakin kelam menelan cahaya sang surya. Langit begitu gelap tak berhiaskan bintang-bintang maupun senyuman indah sang rembulan. Cahaya tersenyum-senyum memandangi langit seakan melihat bayangan Ibrahim tersenyum padanya. Tak lama kemudian, byangan itu menghilang. Udara malam menyapanya. Dingin!
”Ah! Hnya bayangan.” gumannya. Segera ia menutup jendela dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang nyaman.
Pikirannya masih melayang kepada kejadian tadi siang. Terlalu manis untuk dilupakan. Tapi tiba-tiba ia teringat kedua sahabatnya. Dia merasa telah bersalah, karena menutupi perasaannya yang sebenarnya terhadap Ibrahim.
”Salahkah, jika aku juga menginginkan posisi yang sama dengan mereka? Salahkah, jika aku bahkan ingin memilikinya sendiri?”
Perlahan ia memejamkan matanya, mencoba memasuki dunia mimpi yang indah, membawa segudang tanya tentang Ibrahim yang begitu misterius baginya. Ia berharap suatu saat dapat lebih dekat dengannya.
*****
Sabtu berikutnya, Cahaya kembali mengunjungi lapangan futsal. Dilihatnya Ibrahim sedang asyik bermain dengan rekan-rekannya. Padahal matahari siang itu tak kalah asyik menyorotkan sinar panasnya. Beberapa saat kemudian, Ibrahim menyadari kehadirannya. Ia melambaikan tangan kepadanya. Segera ia berlari menghampiri Cahaya yang berada di balik pagar.
”Ayo, ikut aku!” katanya, seraya menarik tangan Cahaya dan mengajaknya masuk ke dalam. Baru pertama kali ini ia menginjakkan kaki di lapangan itu. Karena selain pemain dan orang-orang tertentu, tempat itu adalah terlarang. Sok esklusif!
”Dia yang terbaru, ya? Tiga edisi lama mau kamu apakan?” celetuk Iqbal.
”Heh, sialan! Jangan sembarangan bicara. Ini bendahara kita yang baru. Menggantikan Pipit.”
”Apa!?” seru mereka kompak. Cahaya juga ikut terkejut.
”Kamu jangan sembarangan membawa orang. Memasukkan Pipit ke dalam tim juga merupakan kesalahan terbesarmu, sehingga kita kehilangan cukup banyak dana.” kritik Leo.
”Tidak perlu khawatir. Dia teman Miory dan Ranti. Aku juga sudah mengenalnya.”
”Sebenarnya maksud kamu apa? Aku tidak tahu apa-apa di sini. Masa tiba-tiba harus menjadi bendahara.” protes Cahaya.
”Seharusnya kamu berterima kasih. Dengan begini, kamu tidak perlu lagi curi-curi pandang dari luar pagar. Kau menyukai aku,
“Kamu tidak perlu khawatir. Lama-lama juga akan terbiasa. Tugasmu hanya mengatur keuangan kami. Kalau kurang paham, bisa bertanya kepada Fanda, sekretaris kami. Eh, iya. Ayo, sekarang kamu temui Pak Hasan. Data keuangan sebelumnya ada pada orang itu.” pinta Ibrahim.
Dengan sedikit keraguan, Cahaya melanjutkan langkahnya menuju ruang guru, menjumpai Pak Hasan. Ia benar-benar masih bingung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar