Bagian III
PANGERAN
DI TENGAH GUYURAN HUJAN
Pagi menjelang. Inilah hari baru yang ditunggu-tunggu Soli. Hari pertama masuk kampus baru. Kampus yang menurut Yorin menyeramkan dengan keberadaan DKK. Ia tidak sabar melihat, sebenarnya seperti apa DKK, hingga semua orang takut kepada mereka. Universitas Tunas Bangsa. Sebenarnya bukan universitas elit itu yang diinginkan Soli. Bahkan dia sudah merencanakan kepindahannya ke kampus biasa. Tapi ayahnya memberi pilihan yang sulit, boleh pindah asalkan di kampus yang cukup terkenal atau tidak pindah sama sekali. Akhirnya dia menurut dan memilih Universitas Tunas Bangsa sebagai jalan terakhir.
Yorin juga turut andil dalam keputusan Soli. Dia mendesaknya untuk pindah ke sana karena menurutnya masih banyak orang biasa yang kulian di sana, meskipun tetap saja mayoritas adalah anak-anak pengusaha. Selain itu, rasa penasarannya terhadap DKK yang sangat kuat. Berkuliah di tempat yang dikuasai sekelompok orang mungkin akan melahirkan cerita tersendiri. Selama ini ia sudah merasakan rasanya sebagai orang yang dianggap penting di sekolah. Kini gilirannya menjadi bukan siapa-siapa.
Soli menarik napas panjang. Ia mengembangkan senyuman. Di hadapannya kampus megah berdiri kokoh menunjukkan kekuasaannya. Dalam hati ia bertekad untuk meruntuhkan keangkuhan gedung itu.
”Selamat pagi.” sapa Yorin yang tiba-tiba datang dari arah belakang.
”Selamat pagi.” balas Soli.
”Sudah siap?” tanya Yorin seraya merangkul teman kerjanya itu. Soli hanya mengangguk dengan senyuman. Kemudian mereka berjalan beriringan dengan langkah riang.
”Hari pertama kuliah harus diawali dengan kegembiraan.” kata Yorin menyemangati. Soli hanya bisa membalas kata-kata temannya dengan terus tersenyum. Tiba-tiba Yorin berhenti.
”Kenapa?” tanya Soli penasaran.
”Aku melupakan sesuatu.” jawabnya. ”Tunggu sebentar, aku ada urusan!” serunya sambil berlari cepat dengan spontan. Soli sampai tak berkedip melihat tingkah temannya itu. Dia memang selalu ceroboh.
Akhirnya Soli hanya bisa menunggu, karena tak tahu dimana tempat ia akan belajar. Yorin yang tahu. Beberapa mahasiswa terlihat hilir mudik di depannya, saling merasa asyik dengan urusan masing-masing. Dandanan mahasiswinya sangat modis dan cantik ala anak-anak kaum elit. Soli melihat dirinya sendiri dan membandingkan dengan gadis-gadis itu. Sangat jauh. Tapi dia hanya tersenyum. Ia lebih senang dengan penampilannya sekarang. Penampilan sederhana ala kadarnya seperti rakyat jelata.
Beberapa menit tak kunjung melihat kedatangan Yorin, ia mulai bosan. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan sendiri di kampus yang belum ia kenali. Tempat yang ia tuju adalah taman. Tamannya cukup rindang dengan cukup banyak pepohonan. Pohon-pohonnya lumayan bagus untuk dipanjat. Ada pikiran iseng yang menyusup dalam benak untuk Soli untuk menjadikan taman itu sebagai basecamp-nya.
Ketika sedang duduk di bangku taman sambil menikmati kesejukan udara pagi, pada jarak sepuluh meter di depannya ada lima orang tampan yang sedang tertawa riang sambil bercanda. Terus terang dalam hati Soli mengakui mereka semua mempesona. Ada salah satu yang paling membuatnya terpesona, seseorang yang sepertinya telah ia kenal.
”Dug!!!” jantung Soli seakan tersentak. Salah satu dari mereka adalah Pangeran, orang yang terakhir kali ia temui di pesta satu minggu yang lalu.
Ia mencubit pipinya, takut apa yang ia lihat salah. Tapi tetap saja orang itu seperti Pangeran. Ia tersenyum.
”Benarkah aku satu kampus dengan Pangeran itu? Seandainya benar, aku akan mengajaknya memanjat pohon setiap hari.” guman Soli sambil tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberikan tatapan tajam ke arahnya. Tatapan yang dipenuhi kebencian, kemarahan, dan dendam yang menyala-nyala. Senyum Soli berubah getir. Tatapan itu menakutkannya. Kemudian disusul tatapan-tatapan aneh dari yang lain. Sekilas ia lihat Pangeran melihatnya dengan ekspresi heran.
Orang-orang itu berjalan mendekati Soli sambil melemparkan tatapan aneh. Pangeran tetap mematung di tempatnya. Suasana menjadi tegang. Langit di hati Soli berubah muram, seram, dengan petir menyambar-nyambar. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan tak tahu mengapa ia menjadi diperhatikan.
Mereka semakin mendekat, ”Dug!” jantung Soli kembali tersentak. Dengan jelas ia bisa melihat salah satu dari mereka memiliki kucir panjang berwarna biru.
”DKK!” serunya dalam hati. Seluruh pikirannya kacau. Rasanya hari ini akan menjadi hari terburuk baginya. Ia tetap mencoba bersikap tenang meskipun sebenarnya ia sangat gugup dan khawatir. Ia merasa ceroboh karena tidak mengingat-ingat perkataan Yorin tentang DKK kemarin. Walaupun salah paham, DKK tidak mungkin akan melepaskan orang yang dianggap menghina martabat mereka.
”Kenapa kau menertawakan kami?” tanya anak berkucir yang ia tahu bernama Candra itu. Meskipun tampan, tapi tetap saja terlihat menakutkan.
Soli menunduk, ”Seram sekali. Pasti dia sangat marah. Kulit wajahnya yang putih sampai berubah menjadi merah. Seperti kepiting rebus. Ah, tidak. Seperti ikan pari panggang.” Lirihnya.
Candra mendongakkan kepala Soli, seperti mau mencekik leher gadis itu. Soli terperanjat.
”Kau tidak mau menghargai orang lain bicara?” katanya dengan tatapan yang semakin tajam.
”Tolong lepaskan.” pinta Soli. Namun Candra tak mau mendengarkan permintaannya.
”Kenapa kau menertawakan kami? Kenapa kau memandangi kami? Apa menurutmu kami seperti badut?” katanya lagi.
”Aku tidak menertawakan kalian.” kilah Soli. Candra melepaskan tangannya dari leher Soli.
”Apa kau anak baru? Sepertinya aku belum pernah melihatmu di sini?” tanya salah seorang yang memakai syal di leherrnya. Soli menebak dia adalah Restu, orang yang sangat suka menjahili anak baru.
”Oh, anak baru. Sepertinya perlu diberi pelajaran pertama agar dapat beradaptasi dengan kampus kita tercinta.” sahut pria berkacamata yang bernama Sambu.
Mereka semua tersenyum seperti orang yang telah mempecundangi lawan.
“Ikut kami!” pinta Oris seraya menarik tangan Soli dengan kasarnya.
Soli begitu terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Ia berusaha keras untuk melepaskan cengkeraman Oris, namun tak bisa. Oris terlalu kuat dan tampak seperti algojo. Ia melirik ke arah Pangeran, berharap ia mau menolongnya. Tapi Pangeran itu hanya tertunduk, bahkan tak mau melihat perlakuan aneh DKK di hari pertama ia kuliah.
”Dia bukan Pangeran. Seandainya ia pengeran, ia pasti sudah akan menolongku. Pangeran tidak akan membiarkanku menangis.” katanya dalam hati sambil melihat sosok yang mirip Pangeran itu dengan penuh kekecewaan.
Ia tidak bisa melawan. Oris terus menariknya, hingga ia terpaksa harus sedikit berlari untuk mengimbangi langkahnya yang cepat. Ia merasa seperti tersangka yang telah divonis bersalah dan akan segera dibawa untuk di eksekusi. Beberapa orang yang melihat memandanginya sambil berbisik-bisik. Ia tak tahu apa yang dipikirkan mereka semua. Tak ada satupun yang mau menolong atau melakukan sesuatu.
”Soli!” teriak Yorin yang sedang berdiri di tempat terakhir mereka bertemu.
”Yorin, mereka memperlakukanku dengan kasar.” adu Soli.
Mereka terus menyeret Soli ke tempat eksekusi. Berkali-kali Soli meminta agar Oris melepaskan tangannya. Tapi dengan angkuh dan dingin, ia diam, tak merespon permintaan itu. Candra menunjukkan muka bengisnya dalam diam. Sementara Restu dan Sambu tertawa kecil setiap kali memandanginya.
Sesampainya di halaman kampus, tepat di bawah tiang bendera, mereka berhenti. Empat orang itu berlagak seperti orang yang akan mengintrogasinya. Banya orang yang memperhatikan mereka, namun tak ada yang berani mendekat. Pangeran belum juga tampak. Padahal Soli masih berharap dia akan membelanya.
”Kau tahu siapa kami?” tanya Candra.
”Apa kalian Dewan Keamanan Kampus di sini?” Soli balik bertanya. Mereka tersenyum.
”Benar.” Balas Candra. “Kau tahu, apa peraturan-peraturan DKK di kampus ini? Apa kau tahu, kau telah melanggar salah satu aturan itu?” lanjutnya.
”Aku memang sempat mendengar ada larangan untuk memandangi kalian. Tapi aku tidak tahu kalau kalian adalah DKK. Aku minta maaf seandainya aku membuat kalian salah paham.”
”Berani sekali membuat kami salah paham. Kau ingin mempermainkan kami!?” gertak Oris dengan muka masamnya. ”Ambilkan tali!” pintanya.
Restu langsung mengeluarkan gulungan tali dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Oris. Soli berfirasat buruk. Hari ini mungkin akan benar-benar menjadi hari terburuknya.
”Ikat dia di tiang.” pinta Candra.
Soli tersentak. Restu dan Sambu memegangi tangannya, sementara Oris mengikatkan talinya di badan Soli.
”Apa yang kalian lakukan? Apa ini cara kalian menyambut orang baru?” protes Soli sembari menggeliat-geliatkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Tapi Oris mengikatnya dengan kencang.
”Benar sekali. Aku sangat suka memberikan penyambutan spesial kepada setiap orang baru.” balas Restu dengan senyuman yang membuat Soli merasa kesal.
Keempat orang itu memandangi tahanan mereka terikat di tiang bendera dengan senyuman penuh kepuasan. Soli hanya pasrah. Ia bukan super woman yang sering muncul di TV. Meskipun lihai memanjat pohon, ia sama sekali tak bisa bela diri untuk menghajar orang-orang itu. Jangankan untuk menghajar mereka, bicara keras dengan kata-kata kasar saja dia tak bisa.
”Apa hanya karena aku memandangi kalian, sehingga kalian mengikatku di sini? Apa tidak boleh sekedar memperhatikan kalian?”
”Tidak boleh!” tegas Oris.
”Pandangan dan senyumanmu membuat aku merasa terhina.” terang Candra dengan muka masih masam. ”Apa kau menganggap kami badut yang layak untuk dilihat dan ditertawakan? Kau tidak pernah berpikir, kalau tindakanmu bisa menyinggung perasaan orang? Adikku bahkan tak mau melihatmu karena sangat tersinggung oleh tingkah lakumu.”
Soli terperanjat mendenggar kata-kata Candra. Mungkin benar, orang itu adalah Pandu, adik Candra. Kulit tubuhnya sawo matang khas orang Indonesia. Berbeda dengan Candra yang berkulit putih. Soli kini menyadari kalau kakak beradik itu memang sangat berbeda, tapi sama-sama aneh. Anak-anak DKK menang aneh, karena tidak suka dipandangi orang. Apalagi Pandu yang begitu mudah tersinggunya ketika menyadari ada orang yang memperhatikannya.
”Mungkin dia memang Pandu, bukan Pangeran.” bisiknya dalam hati. “Kalau begitu sampaikan maafku padanya. Maaf, kalau aku telah membuatnya tersinggung.” kata Soli.
”Anggap saja keberadaanmu di sini sebagai tanda permintaan maafmu sekaligus introspeksi diri. Kau harus terus di sini sampai tengah hari nanti. Jangan mengharap pertolongan, karena tak ada yang akan menolongmu.” tegas Candra.
”Bersyukurlah, rambut panjangmu yang kusut itu tidak kami pangkas habis. Anggap saja sebagai dispensasi perkenalan dari DKK terhadap anak baru.” ujar Restu.
”Sekali lagi membuat kesalahan yang sama, aku tak bisa menjamin rambutmu akan selamat.” tambah Sambu.
”Belajarlah lebih banyak tentang peraturan kampus. Jangan pernah melanggarnya jika tidak mau berurusan dengan kami.” timpal Oris. “Selamat berintrospeksi.” Tambahnya.
Keempat orang itu pergi dengan senangnya. Sementara Soli hanya bisa menerima nasibnya. Ia tahu, tidak akan ada orang yang akan berani menolongnya. Di bawah kakinya ada tulisan ”DILARANG MELEPASKAN TAHANAN DKK”. Baru kali ini ia menemui kampus yang aneh dengan peraturan yang aneh dan orang-orang yang aneh pula. Ia tersenyum walau getir. Ia marah, tapi tak tahu cara melampiaskan kemarahannya. Meskipun sedikit bandel, tapi ia tak pernah bersikap atau berkata-kata kasar. Ibunya selalu mengajari untuk bersikap lembut dan bertutur kata yang santun. Semarah apapun, ia tetap mencoba untuk berkata yang sopan. Padahal segala caci maki sudah membuncah di dadanya.
*****
DKK tertawa riang setelah menyelesaikan satu pekerjaan yang menyenangkan. Candra menepuk pundak Pandu yang masih terdiam di taman. Ia merangkul adik kesayangannya itu.
”Boy, seharusnya kau melihat ekspresi gadis itu sekarang. Pasti kau akan tertawa seperti kami.” selorohnya. Namun Pandu tetap diam.
”Gadis itu menitipkan maaf untukmu.” kata Sambu.
”Kenapa diam? Apa aku harus memberikan pelajaran tambahan untuk anak itu agar dapat membuatmu kembali bersemangat? Hey, hargailah sedikit usaha kakakmu ini untuk membuatmu tersenyum.” respon Candra. Tapi Pandu justru melepaskan tangan kakaknya dari pundaknya, kemudian pergi begitu saja.
”Hey, Boy, mau kemana?” tanya Candra.
“Masuk kelas. Sebentar lagi ada kuliah. Bukankah kalian juga ada kuliah?” balas Pandu sembari terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
”Huh! Adik kesayanganmu itu memang selalu aneh. Apa tidak ada hal yang bisa membuatnya tertawa?” ujar Restu.
”Jangankan tertawa, tersenyum saja jarang.” kilah Sambu.
”Hey, aku tidak suka kalian mengkritik adikku.” tegas Candra dengan nada serius. Sambu dan Restu terdiam.
”Sudahlah, Pandu itu tidak aneh. Mungkin kita saja yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan dia. Meskipun kita dan Pandu berada di tingkat yang sama, tapi kita harus tetap ingat, usianya terpaut dua tahun lebih muda dari kita karena dia mengikuti kelas akselerasi. Jadi pemikirannya masih seperti anak kecil walaupun pengetahuannya setingkat dengan kita. Ibaratnya dewasa sebelum waktunya. Karena takut dikatakan sebagai anak kecil, makanya dia lebih banyak diam.” terang Oris.
Teman-temannya melongo mendengarkan penjelasannya yang agak panjang dan melebar itu.
”Bukankah kau mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Dari mana mendapatkan ilmu psikologi?” selidik Sambu.
”Oh, dulu kekasihku anak psikologi. Untuk mengakrabkan diri, aku sempatkan membaca buku psikologi.” jawabnya.
Ketiga temannya hanya bisa saling pandang. Entah mengapa Oris selalu mengunggul-unggulkan mantan kekasihnya. Padahal dia telah dikhianati, hingga sampai saat ini belum bisa menyukai orang lain lagi. Meka, cinta pertama dan kekasih pertamanya itu mencampakannya demi orang yang pernah menghina Oris.
*****
Langit tiba-tiba menjadi sangat mendung. Soli masih terikat di tiang bendera. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu waktu hukumannya habis. Hari ini sudah dapat dipastikan ia tidak bisa mengikuti kuliah perdananya. Dari arah depan, terlihat Yorin berlari terburu-buru ke arahnya.
”Bagaimana mereka bisa melakukan hal ini kepadamu?” tanyanya dengan ekspresi kecemasan di wajahnya.
Soli tersenyum, ”Seperti yang pernah kau katakan, hanya dengan memandangi mereka, aku bisa terikat di sini.”
”Hey, bukannya kesal dan sedih malah tersenyum. Seharusnya kau tetap menungguku di sana. Aku sudah memperingatkanmu, jangan bertindak di tempat yang masih asing. Memangnya tadi kau kemana?” lanjut Yorin yang kini berubah marah padanya.
”Maaf, aku tidak bisa menahan diri untuk melihat taman di kampus ini.”
”Terus bagaimana? Aku tidak bisa menolongmu.” ekspresi Yorin berubah gundah.
”Masuklah ke kelas, aku tidak apa-apa di sini. Bukankah sebentar lagi kuliah dimulai?”
Yorin memandangi wajah temannya dengan seksama, ada rasa iba melihat teman baiknya terikat seperti saat ini.
”Langit mendung, bagaimana kalau nanti turun hujan? Bagaimana kalau kau sakit?”
”Aku akan baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas.”
”Teman seperti apa aku ini kalau tidak mencemaskan temannya yang sekarang sedang diikat seperti tahanan yang akan dieksekusi!” ujar Yorin dengan kesal karena tak dapat berbuat apa-apa untuk temannya.
”Pergilah sebelum DKK datang. Aku tidak ingin bertambah satu korban lagi. Pergilah.” Pinta Soli dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
Bel tanda perkuliahan berbunyi. Bergegas Yorin langsung berlari pergi dengan membawa kekecewaan terhadap dirinya sendiri karena tak bisa membela temannya. Soli tetap berusaha tersenyum, meskipun sebenarnya ia sangat malu menjadi tontonan hingga rasanya ingin menangis. Betapa aneh keadaannya sekarang. Seperti binatang yang dicancang pada sebuah tiang. Langit yang mendung seperti keadaan hatinya sekarang. Sedih, malu, kesal, dan marah bercampur menjadi satu.
Sementara itu, dari balik kaca jendela ruang perkuliahan di lantai lima, Pandu terus memandangi gadis yang sedang terikat di tiang bendera halaman kampus. Dosen yang sedang menerangkan di depan kelas sama sekali tak ia dengarkan. Pandangannya terus tertuju pada gadis itu. Hasil perbuatan kakak dan teman-temannya itu bukannya membuat ia senang, tapi justru membuatnya iba. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Bukan tanpa alasan ia tak mau menolong gadis itu. Tapi ia sungguh terkejut hingga hampir tak bisa bernapas ketika melihat gadis itu ada di kampusnya. Gadis yang sangat ia kenal. Gadis yang selalu ia temui dengan cara yang unik. Gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya meskipun sudah sekitar delapan tahun saling mengenal.
Ia begitu kaget hingga seluruh tubuhnya seakan kaku tak berdaya. Ia hanya bisa mematung melihat kakak dan teman-temannya memperlakukan sahabat rahasianya dengan kasar. Tak mungkin ia terang-terangan membela gadis itu di depan anak-anak DKK yang selalu melindunginya. Mereka bersikap seperti itu kepada gadis itu juga untuk membelannya, seperti yang sering terjadi. Meskipun sebenarnya cara mereka tak membuatnya merasa lebih baik.
Pandu terus melihat ke luar jendela. Gadis itu tampak kecil di matanya. Gadis yang dulu sangat suka menangis karena jatuh dari pohon dan selalu ia beri coklat setiap kali ia menangis itu kini sedang tersiksa di bawah sana. Ingin ia mendekati gadis itu, tapi tak mungkin. Ia masih belum siap mendengarkan apa yang nanti akan dikatakan DKK jika ia menolong gadis itu.
Langit semakin kelam diselimuti awan hitam. Titik-titik hujan mulai turun, lama kelamaan semakin deras. Perasaan Pandu terhenyak melihat hujan mengguyur tubuh gadis yang terikat di tiang bendera. Pikirannya kacau oleh suara-suara yang berasal dari hati dan egonya. Di satu sisi tentu saja ia ingin menolong gadis yang pastinya kini sedang merasa kedinginan itu. Di sisi lain, ia masih belum siap melihat ekspresi wajah teman-temannya jika menfgetahui apa yang dilakukannya.
Guyuran hujan semakin deras. Suara sang dosen juga semakin terdengar keras. Otaknya serasa ingin meledak.
”Brak!” Pandu memaksa dirinya berdiri. Semua orang memandang ke arahnya, termasuk sang dosen.
”Pandu, ada apa?” tanya sang dosen.
Pandu terdiam membisu seperti patung. Ia tak memikirkan kalau ia sedang menjadi pusat perhatian. Dilema dalam pikirannya semakin membuncah. Tanpa berkata apapun, akhirnya ia keluar dari ruang perkuliahan. Semua orang yang berada di sana memandang penuh keheranan dengan seribu tanya di benak mereka. Pandu memang terkenal pendiam. Namun belum pernah dia berlaku kurang sopan dengan keluar kelas tanpa ijin seperi sekarang.
Hujan mengguyur tubuh Soli yang semakin melemah. Rasanya ia sudah tidak tahan dan lebih baik pingsan. Ia merasa pusing. Pandangannya kurang jelas karena hujan begitu deras. Dicobanya menggeliat-geliatkan tubuh, berusaha melepaskan tali yang mengekangnya.
”U huk...huk...!” Soli terbatuk karena ada air hujan yang masuk ke mulutnya. Ia merasa kedinginan. Sudah sekitar sepuluh menit hujan membasahinya, tapi belum ada tanda-tanda akan reda, bahkan semakin deras hujannya.
Soli semakin merasa tak berdaya. Ia prediksikan sebentar lagi ia akan terkapar di tempat eksekusi. Tak ada yang akan datang menolongnya. Semua orang sedang menikmati kehangatan di ruang perkuliahan. Hanya ia, orang aneh yang mau berdiri di bawah guyuran hujan deras. Rasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Kepalanya mulai pening.
Ketika keadaan badannya semakin tak menentu, samar-samar ia melihat bayangan seseorang mendekat ke arahnya. Hujan yang deras membuat sosok orang itu tak jelas. Lambat laun sosok orang itu semakin jelas. Dalam keadaan pusing, ia masih bisa mengenali kalau orang itu seperti Pangeran. Seperti ada energi tambahan yang menyusup ke dadanya ketika melihat Pangeran.
Di bawah guyuran hujan, Pangeran menatapnya dengan tatapan iba. Karena terlalu bahagia melihat kedatagan pengeran, Soli tak bisa menahan tangisannya. Ia terisak-isak sama seperti ketika pertama kali bertemu Pangeran ketika ia terjatuh dari atas pohon.
”Kenapa menangis? Bukankah aku sudah ada di sini.” katanya.
Pangeran melepaskan tali yang melilit di tubuh gadis yang masih terisak-isak itu. Ketika tali telah terlepas, tubuh Soli hampir jatuh seandainya tak disanggah Pangeran. Kakinya sangat lemas karena dingin. Kepalanya pusing tapi hatinya merasa sangat gembira meskipun diekspresikan dengan air mata. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Pangeran langsung menggendongnya, membawanya pergi meninggalkan tempat eksekusi. Isak tangis Soli belum mereda seperti hujan yang mengguyur.
”Kali ini aku tak membawa coklat. Berhentilah menangis. Anggap aku berhutang sebatang coklat padamu.” tutur Pangeran.
Soli tersenyum. Ia mengingat kembali masa lalu. Setiap ia menangis, Pangeran selalu memberinya coklat. Tapi setelah dewasa dan ia tak menangis, ia tak pernah mendapat coklat lagi dari Pangeran. Ini adalah kali pertama setelah sekian lama Pangeran tak memberinya coklat.
”Pangeran....” desahnya lirih sebelum akhirnya ia pingsan dalam gendongan Pangeran. Hujan terus mengguyur mengiringi Pangeran dan Soli.
*****
Hujan telah reda ketika Soli tersadar dari pingsannya. Ia kebingungan, mendapati dirinya telah ada di sebuah ruangan bercat putih dengan selang infus di tangannya. Dipandanginya setiap sudut kamar tempatnya dirawat. Tak ada Pangeran. Padahal ia sangat yakin kalau Pangeran yang telah membawanya ke tempat itu.
Pandangannya beralih ke jendela.masih tampak sisa-sisa embun yang membasahi kaca jendela. Pepohonan di luar sana juga terlihat basah. Langit masih tampak mendung. Soli tersenyum. Betapa bahagia perasaannya saat ini. Pangeran telah menolongnya. Pangeran yang selalu datang di saat ia membutuhkan seorang teman.
”Krek!” terdengar suara pintu dibuka. Soli menoleh ke arah pintu. Ia tersenyum, seakan tahu kalau orang yang datang pasti Pangeran.
Wajahnya berubah cemberut ketika melihat yang datang ternyata anak-anak DKK. Spontan ia langsung memalingkan pandangannya. Suara-suara sepatu mereka terdengar semakin jelas, semakin mendekat ke arahnya. Soli tetap dalam posisi membelakangi mereka. Perasaan kesal, marah, takut, dan cemas kembali berkecambuk di hatinya.
”Kenapa memalingkan muka? Tidak mau menghormati orang lain?” suara itu telah Soli kenal. Suara Candra Si Ikan Pari.
”Aku tidak mau rambutku dipotong hanya karena aku memandangi kalian. Apa aku salah? Bukankah itu peraturan yang berlaku di kampus kalian?” kilah Soli yang tetap kukuh tak mau menoleh ke arah mereka.
Oris tiba-tiba menduduki kursi di depan Soli. Dia memandangi gadis itu sambil tersenyum-senyum. Tangannya dilipat di dada, membuat Soli semakin kesal.
“Untuk apa kalian datang kemari? Apa ingin kembali mengikat gadis lemah ini di tiang bendera?” keluh Soli sembari terus menatap Oris yang senyumannya tampak sedang mengejeknya.
”Siapa yang menolongmu?” celetuk Candra.
Soli terperanjat. Ia diam.
”Hey, ketua DKK sedang bertanya padamu.” Sergah Oris.
“Kenapa kalian harus tahu? Kenapa aku harus memberitahukan kepada kalian?”
”Karena kami memiliki tanggung jawab terhadapmu. Bukankah sudah jelas, tak ada yang boleh melepaskan tahanan DKK. Katakan, siapa orang itu?” kata Candra.
”Tentunya kau tak ingin terus berurusan dengan kami selama kuliah di kampus kita tercinta. Apalagi kau seorang mahasiswa baru. Kami bisa membuatmu tidak pernah tenang hingga kau mau mengalah. Bekerjasamalah dengan kami.” bujuk Sambu.
Nyali Soli menciut, tapi bukan karena takut. Ia merasa berat mengambil sikapnya. Di satu sisi ia tak mungkin mengatakan kalau orang yang telah menolongnya adalah pangeran. Ia paham, orang-orang DKK pasti akan melakukan sesuatu terhadap orang yang berani melepaskan tahanan mereka. Di sisi lain, jika ia Drop Out dari Universitas itu, maka ayahnya akan mengajaknya kembali ke rumah. DKK pasti akan melakukan segala cara untuk membuatnya merasa tidak betah dan akhirnya keluar.
”Kau tak mau mengatakannya?” tanya Oris. ”Kau ingin dikeluarkan dari kampus dengan cara tidak terhormat bahkan sebelum kau sempat duduk di ruang perkuliahan?” ancam Oris dengan tatapan matanya yang tajam.
”Pangeran!” celetuk Soli. Ia tak tahan menerima tekanan dari orang-orang tidak beres itu. Sementara anak-anak DKK saling berpandangan, seakan tak percaya dengan apa yang telah mereka dengar.
”Apa yang kau katakan?” tanya Candra menegaskan.
Soli membalikkan tubuhnya ke arah Candra yang membuatnya kesal karena terlalu banyak bertanya. Ia memandangi lelaki berkulit putih itu.
”Pa...” belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba seseorang masuk. Mata Soli terbelalak. Pangeran datang. Pangeran langsung menundukkan kepalanya ketika melihat Soli sedang memperhatikannya.
”Kenapa datang terlambat?” sambut Restu sembari menjabat tangan Pandu. Perhatian kini tertuju kepada satu lagi anggota DKK.
Soli terus memperhatikan lelaki yang baru datang itu. Dengan akrabnya Candra merangkul Pangeran di mata Soli. Pangeran sempat memperhatikannya, tapi kembali menunduk ketika kedua mata mereka bertemu.
”Kau bilang siapa yang menolongmu?” tanya Candra lagi.
Padahal Soli berharap Si Ikan Pari itu telah melupakan pertanyaannya. Sekilas Soli melihat Pangeran menunjukkan ekspresi aneh. Tapi anak itu tetap menunduk. Soli kembali ragu, orang itu tidak seperti pangeran, meskipun wajahnya sangat mirip. Pangeran lebih murah senyum dan baik hati daripada orang itu. Seandainya dia pangeran, sudah pasti langsung membelanya, tidak akan membiarkannya kebingungan.
“Orang yang menolongku adalah Pangeran.” Tegas Soli. Anak-anak DKK saling berpandangan, kecuali Pandu yang masih betah menundukkan kepalanya.
“Apa kau sedang tidak mengigau?” selidik Oris dengan mendekatkan wajahnya ke wajah Soli. Soli langsung mendorong Oris. Ia duduk.
“Ibuku tak pernah mengajariku berbohong.”
“Di kampus kita tak ada mahasiswa yang bernama Pangeran. Berani sekali dia menyebut dirinya pangeran. Sebenarnya siapa dia? Kau pasti tahu banyak tentang dia.” selidik Candra.
”Seharusnya kalian yang lebih tahu. Aku ini hanya mahasiswa baru yang bahkan belum sempat mengikuti perkuliahan gara-gara melakukan kesalahan dan harus menjalani hukuman diikat di tiang bendera di bawah guyuran hujan deras tanpa ada kepedulian DKK untuk menolong orang yang hampir sekarat ini.”
Soli melirik ke arah Pandu yang masih menunduk. Ia berharap lelaki itu mau mengangkat mukanya dan mengakui bahwa dialah Pangeran yang telah menolong Soli. Agar Soli yakin bahwa lelaki yang ada di hadapannya itu benar-benar pangeran. Tapi sepertinya harapan itu tak akan terjadi. Lelaki itu terus menunduk.
”Kita pergi saja. Sebentar lagi latihan basket dimulai.” ujar Oris seraya bangkit dari duduknya.
”Benar, lain waktu saja kita mencari orang yang mengaku sebagai pangeran itu. Lagipula, saksi mata pasti banyak.” bujuk Restu.
Candra tampak berpikir sejenak. ”Bagaimana meurutmu?” tanyanya pada Pandu.
”Untuk apa diperpanjang. Bukankah lebih baik hidup damai? Lupakan masalah ini.” jawabnya dengan tetap menundukkan kepala.
”Mana bisa seperti itu?” Oris berjalan mendekati Pandu. ”Orang salah tetap pantas mendapatkan hukuman. Tentunya kau belum lupa, bagaimana orang-orang memperlakukan kita sebelum ada DKK. Apa kau sudah lupa, bagaimana sorot mata mereka memandangi kita, dan apa yang mereka bicarakan di depan dan di belakang dengan kata-kata yang sungguh menyakitkan hati, seperti ingin membunuh kita secara perlahan-lahan. Apa kau sudah melupakannya?” katanya dengan nada menggebu-gebu seperti orang kesal.
Tampak Pandu mengepalkan tangannya. Meskipun tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, Soli merasa kata-kata Oris telah merasuk ke dalam hati Pandu. Orang itu tetap diam, meskipun tubuhnya mengisyaratkan adanya gejolak dalam dirinya.
”Apa kau sudah lupa, bagaimana cara mereka memandangi kita? Kau lupa, apa makna di balik tatapan mereka? Mengapa begitu mudah kau mengatakan masalah ini selasai? Gadis ini bahkan telah menertawakan kita seperti badut! Apa pikiranmu masih selevel anak kecil yang mudah dibohongi orang?” tambah Oris.
”Hentikan!” pinta Candra seraya menjauhkan Oris dari adiknya. ”Oris, ucapanmu sama saja dengan orang-orang yang menghina DKK. Kau bisa menyakiti adikku, dan juga menyakiti aku.”
Oris menunduk. ”Maaf, aku sedikit emosi.”
”Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan di depan orang sakit ini?” sahut Soli yang dari tadi kebingungan menjadi pendengar pembicaraan mereka.
Semua orang menatapnya. ”Need not to know.” Ucap Candra seraya membawa adiknya keluar, diikuti yang lain.
Kini tinggal Soli sendiri dengan sejuta tanya di hatinya yang belum menemukan jawabannya. DKK sekarang telah menjadi tantangan baginya untuk ia tahu. Dari apa yang ia dengar, ada perbedaan persepsi antara apa yang selama ini ia dengar dari Yorin dengan apa yang mereka katakan. Oris yang bersikap agak emosi menunjukkan bahwa ada sesuatu yang melatarbelakangi sikap keras DKK. Itulah misteri yang ingin diketahui Soli.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar