Laman

Kamis, 30 September 2010

UNDER THE TREES

Bagian I
CERITA DARI RESTORAN

Sebuah restoran cepat saji di tengah kawasan perkantoran siang itu terlihat ramai. Para pelayannya dibuat sibuk dengan pesanan yang silih berganti datang. Sudah menjadi pemandangan biasa setiap jam istirahat kantor tiba, restoran yang memiliki menu andalan nasi goreng ayam itu pasti menjadi sasaran utama para pegawai kantoran untuk menikmati waktu istirahatnya. Di sela-sela kesibukan kerja, dua orang pekerja yang bertugas mencuci peralatan dapur menyempatkan diri berbincang-bincang.
“Li, aku kesal dengan tempat kuliahku sekarang. Seharusnya aku tetap satu kampus denganmu saja.” keluh Yorin sambil terus mencuci tumpukan piring di depannya.
”Kamu kan sekarang sudah menjadi orang kaya. Sudah sepantasnya kamu bergaul dengan orang-orang kaya dan bersekolah di tempat yang mahal dan bergengsi. Kamu juga sudah waktunya meninggalkan pekerjaan rendahan seperti ini..” balas Soli enteng.
”Gaya bicaramu seperti ibuku saja!” ketus Yorin. ”Aku sampai bosan mendengar kata-kata seperti itu setiap hari dari ibu. Padahal baru kaya sedikit gara-gara ayah mendapat warisan dari kakek. Kalau tidak berhemat, bisa jatuh miskin lagi nanti.” lanjut Yorin dengan raut masam.
Soli tersenyum, ”Apa karena itu, kamu kesal dengan tempat kuliahmu yang sekarang?”
”Tidak juga.”
“Terus kenapa?”
“Gara-gara ada DKK, Dewan Keamanan Kampus yang menyebalkan! Andai saja bisa, aku ingin memukul kepala mereka satu persatu!” Yorin bicara sambil menggosok piring dengan keras. Soli tersenyum geli melihat ekspresi temannya yang sedang kesal.
”Jangan terlalu keras menggosoknya, nanti piringnya jadi tipis.”
”Biarkan! Aku anggap saja piring ini muka anak-anak DKK yang menyebalkan itu!” gerutu Yorin.
”Wah... waktunya kerja malah bercanda. Pantas kerja kalian menjadi lambat.” suara Ibu Mara, pemilik restoran itu, membuat keduannya terdiam dan pura-pura kembali bekerja dengan tenang. ”Tidak perlu berpura-pura! Saya sering melihat kalian bercanda saat jam kerja.”
Soli membalikkan tubuhnya menghadap Ibu Mara, diikuti Yorin.
”Maafkan kami, lain kali ibu tidak akan melihat kami bercanda saat bekerja.” kata Soli merendah.
”Iya, kami janji.” tambah Yorin.
Ibu Mara memandang kedua pegawainya itu, ”Baik, saya pegang kata-kata kalian. Yorin, kembali bekerja!” pinta Ibu Mara. Yorin langsung melanjutkan pekerjaaannya. Ia takut dipecat.
”Soli, tolong kamu antarkan pesanan untuk meja nomor sepuluh. Hari ini ada pengunjung aneh yang hanya ingin kamu yang melayaninya dan menemani dia makan. Dia berani membayar lima kali lipat untuk pesanannya. Dan kamu tidak boleh menolak.” tegas Ibu Mara.
Soli memandang ke arah Yorin. Ia melihat temannya menganggukkan kepala, tanda bahwa ia harus melakukannya.
”Cepat!” pinta Ibu Mara.
”I...Iya.” jawab Soli. Sebelum pergi, ia sempat membisikkan sesuatu ke telinga Yorin. ”Ceritanya nanti saja setelah pulang.”
Soli segera mengantarkan pesanan untuk meja nomor sepuluh. Terbersit rasa penasaran yang besar tentang orang yang telah berani membayar mahal hanya untuk ia temani makan. Baru kali ini ia mendapati pengunjung yang aneh. Biasanya hanya ada pengunjung yang minta berkenalan, menanyakan alamat rumah, atau nomor teleponnya. Hal seperti itu masih ia anggap biasa dan masih bisa ia hadapi dengan senyuman atau canda. Tapi kali ini, ia anggap sebagai hal di luar kewajaran.
Ia terus berjalan melewati bangku-bangku menuju meja nomor sepuluh. Ia melihat punggung orang yang duduk di meja nomor sepuluh. Dari penmapilannya, ia dapat menebak kalau orang itu adalah pegawai kantoran atau pengusaha. Dan dari warna rambutnya yang mulai memutih, ia tebak usia orang itu sekitar empat puluh tahunan. Soli menjadi agak ragu. Cepat-cepat ia menepis perasaan itu. Ia kembali melangkah.
”Ini pesanannya, Tu... Ayah!” seru Soli. Jantungnya seakan mau pecah karena terkejut. Ternyata pengunjung aneh itu adalah ayahnya sendiri. Soli berusaha menguasai diri. Ia mengingatkan pada dirinya bahwa saat ini dia hanyalah seorang pelayan restoran. Ia kemudian meletakkan makanan di nampan yang ia bawa di depan ayahnya. Ia kemudian duduk tepat di depan ayahnya. Ia melihat ayahnya tersenyum padanya.
”Putri kesayanganku yang sering bermanja-manja padaku, sekarang sedang menjadi seorang pelayan restoran. Padahal di rumah ada puluhan pelayan yang siap melayaninya.” guman sang ayah, seraya memulai menyantap pesanannya.
”Dari mana ayah tahu aku di sini?’ tanya Soli dengan perasaan bersalah.
”Kamu sudah tahu, tidak sulit bagi ayah untuk dapat menemukanmu.”
Soli langsung paham. Ayahnya pasti akan mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencarinya. Padahal baru satu bulan ia bisa pergi dari rumah bertepatan dengan kepergian ayahnya ke Jepang untuk urusan bisnis.
”Kapan ayah pulang?”
”Tadi pagi.”
”Ayah... kenapa ayah kemari? Seharusnya ayah istirahat saja di rumah. Ayah pasti masih lelah. Ayah memang selalu begitu.” kata Soli dengan nada sedikit manja.
”Apa tidak boleh, jika seorang ayah ingin bertemu dengan putri kesayangannya? Apa salah, jika seorang ayah khawatir, karena ketika pulang putri kesayangannya tidak ia jumpai di kamarnya?” kata-kata ayah semakin membuat Soli merasa bersalah.
”Maafkan aku.”
”Pulanglah bersama ayah. Jadilah seorang putri yang manis di duniamu yang seharusnya. Hanya kamu yang ayah miliki setelah ibumu meninggal. Kamu tidak mau ayah merasa kesepian di rumah, kan?” bujuk ayah.
”Ayah, aku bahagia hidup seperti ini. Aku sayang ayah, tapi aku tidak bisa tinggal di rumah. Ayah sering pergi jauh dalam waktu lama. Aku juga kesepian, ayah.”
”Kamu kan punya banyak teman. Ajaklah teman-temanmu ke rumah agar kamu tidak kesepian.”
”Aku tidak suka. Mereka semua bukan teman yang tulus. Mereka mau berteman denganku karena aku anak orang kaya. Kalau suatu ketika ayah bangkrut, aku tidak akan punya teman lagi. Aku lebih suka berteman dengan orang-orang biasa, yang mau tulus berteman denganku.”
“Bagaimana dengan ayah? Apa putri kesayanganku ini juga tidak mau bersamaku?”
”Ayah... ayah boleh memintaku menemani ayah kapan saja ayah mau. Tapi jangan paksa Soli untuk pulang. Aku suka seperti ini. Aku tidak ingin menjadi anak manja lagi. Aku ingin makan dengan kedua tanganku, dan hidup dengan kerja kerasku sendiri, ayah.” rajuk Soli. Sang ayah seperti memahami keinginan putri satu-satunya itu.
”Ayah bahkan tidak bisa mengusap rambutmu sekarang. Kamu sedang menjadi orang lain yang tidak ayah kenal. Rasanya ayah tidak rela melepaskanmu hidup sendiri. Bagaimana kalau kamu kelelahan dan kedinginan di luar rumah?” ayah berkata dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak sendiri, ayah. Sekarang aku tinggal dengan mantan pengasuhku, Bibi Maryam, orang kepercayaan Ayah.” Kata Soli meyakinkan ayahnya.
“Kalau begitu ayah tidak perlu terlalu khawatir.”
“Tapi ayah tidak boleh memberikan fasilitas atau apapun kepada bibi karena keberadaanku. Karena aku akan marah kalau ayah melakukannya. Aku ingin ayah berpura-pura tidak tahu. Karena sekarang aku mengaku sebagai anak mereka.”
”Kau sudah bosan menjadi anak ayah?”
”Bukan begitu. Ini hanya sementara, sampai aku menemukan teman-teman sejati dan aku telah siap kembali ke rumah.”
”Sepertinya ayah harus banyak mengalah padamu. Bagaimana seandainya suatu saat ayah ingin menjumpaimu? Apa ayah harus mengerahkan anak buah ayah untuk mencari keberadaanmu?”
”Tidak perlu, ayah cukup meneleponku saja. Aku pasti akan langsung datang.”
”Ayah dengar kamu pindah ke kampus biasa.” Soli terperanjat, ternyata ayahnya juga sudah tahu kalau ia pindah tempat kuliah.
”Justru di tempat yang biasa, biasanya terdapat banyak ketulusan. Ayah, makanlah.” Soli mengingatkan karena sedari tadi ayahnya hanya asyik bicara dengannya, sementara makanan di depannya diabaikan.
”Nanti malam pulanglah ke rumah. Temani ayah menghadiri acara peresmian hotel rekan bisnis ayah.”
Soli langsung cemberut mendengar permintaan ayahnya. Sebenarnya dunia seperti itu yang kini ingin mulai ia jauhi.
”Anggaplah ayah memohon. Seandainya ibumu masih ada, ayah tidak akan memberatkanmu.”
”Baiklah, ayah.” setiap kali ayah berbicara dengan membawa nama ibunya, ia menjadi tidak berdaya. Ia tahu kalau ayahnya sangat kesepian setelah ibunya meninggal. Karena itu ayah lebih memilih menyibukkan diri dengan bekerja, hingga terkadang ia merasa terabaikan. Soli mencoba memahami, bahwa semua kerja keras ayahnya hanya untuk kebahagiaanya. Meskipun ia tetap ingin ayahnya mengerti kalau kebahagiaan terbesarnya adalah tetap bersama ayahnya.
Sesuai janjinya pada Yorin, selepas kerja mereka mampir sebentar di taman. Mungkin Yorin memang sedang butuh teman bicara. Sejak menjadi orang kaya mendadak, ibunya menjadi kurang peduli padanya. Ibunya memiliki hobi baru, berbelanja dan berkumpul dengan istri-istri orang kaya. Tidak seperti ibu yang dulu, ibu yang selalu memasak untuknya dan ibu yang selalu mendengar keluh kesahnya.
”Ayo, Yorin. Kamu bilang ingin melanjutkan ceritamu tentang DKK.” kata-kata Soli membuyarkan lamunannya tentang keadaan keluarganya.
”Eh, iya. Anggota DKK itu ada lima orang yang semuanya menyebalkan. Yang pertama Candra. Dia ketuanya. Orangnya putih, turunan ayahnya yang asal Inggris. Mukanya selalu jutek, tidak pernah tersenyum. Menyapa orang saja tidak pernah. Dunia seperti hanya miliknya sendiri. Rambutnya pendek, tapi ada kucir panjang di belakang yang dicat biru. Mmm… kalau aku lihat seperti ekor ikan pari.” Soli tertawa geli membayangkan seperti apa orang yang diceritakan Yorin.
”Yang kedua Pandu. Adik Candra. Tapi perbedaanya jauh, bagai langit dan bumi. Kalau mereka berdua disejajarkan, pasti terlihat seperti black and white. Putihnya Candra seperti bule, sedangkan Pandu seperti pribumi, kulitnya sawo matang. Banyak yang tidak percaya kalau mereka bersaudara. Padahal mungkin saja Pandu mengikuti ibunya yang asli orang Indonesia. Kalau kamu melihat mereka bersama, meskipun sangat kontras, tapi jangan pernah berpendapat atau memandang dengan pandangan aneh kepada mereka.”
”Kenapa?” tanya Soli penasaran.
”Menurut cerita teman-temanku, sudah banyak yang dipukul habis-habisan oleh Candra hanya karena memandangi mereka ketika lewat. Aku juga melihat sendiri, ada anak perempuan berambut panjang yang dipotong rambutnya menjadi sangat pendek, karena memberikan tatapan aneh kepada mereka.”
”Sampai seperti itu?” guman Soli sambil memegangi rambut panjangnya.
”Memang seperti itu. DDK yang seharusnya menciptakan suasana kampus yang tenang, malah membuat onar. Apalagi Oris. Meskipun tampan, tapi suka menyuruh orang seenaknya. Kemudian Sambu dan Restu. Mereka juga tak kalah menjengkelkan. Mereka sangat suka berbuat usil kepada anak baru. Aku saja pernah diberi hadiah tikus saat ulang tahun. Makanya nanti kamu juga harus hati-hati. Bersikap wajar saja.”
”Apa pihak universitas tidak ada yang mengatasinya?”
”Mana ada yang berani menasihati mereka. Anggota DKK semuanya adalah anak orang kaya yang mempunyai saham di universitas itu.”
Soli bisa mengerti. Saat dulu ia bersekolah di SMP swasta yang dibangun ayahnya, ia juga merasa sangat diistimewakan oleh kepala sekolah, guru, dan teman-temannya. Ia bahkan pernah menjadi ketua OSIS tanpa pemilihan, karena semua saingannya mengundurkan diri. Tapi ia tidak menyukainya, sehingga saat kelas dua semester dua SMP, ia minta pindah sekolah, dengan alasan bosan. Alasan utamanya karena ia tak pernah mendapatkan teman yang benar-benar mau menerimanya apa adanya. Mereka mau berteman hanya karena ia anak pemilik sekolah. Saat ia kelas lima SD, ibunya meninggal. Sejak saat itu ia merasa kesepian. Ibu tidak ada, ayah juga sibuk bekerja. Ia lebih suka menyendiri di atas pohon yang ada di taman kota.
Meskipun suasana jalan raya tetap terdengar bising, namun di atas pohon ia menemukan ketenangan dan kedamaian. Ia tak perlu memikirkan segala kesedihannya. Ia hanya perlu menikmati kesendirian. Walau sendiri, sepi, masih ada pohon yang mau mendengarkan keluh kesahnya. Masih ada burung yang menghiburnya lewat suaranya yang merdu. Masih ada angin semilir yang selalu membelainya lembut, selembut belaian ibunya.
Tempat kecil di tengah kota yang ramai itu telah menjadi rumah kedua bagi Soli. Sebanyak apapun anak buah yang diperintah ayahnya untuk mencarinya setiap kali ia pergi diam-diam dari rumah, tak ada yang pernah menemukannya. Tak ada yang tahu kalau ia bersembunyi di tempat yang sebenarnya sangat sering dikunjungi orang. Ketika orang-orang suruhan ayahnya sedang kebingungan mencarinya, Soli hanya memandangi mereka dari atas pohon dengan senyuman kecil. Setelah puas menikmati kesendirian, biasanya ia akan pulang dengan sendirinya ke rumah. Dan orang rumah pasti akan heboh menyambut kedatangannya dengan tubuh kotor.
Di antara teman-temannya, dialah yang paling jago bersembunyi. Tidak pernah ada yang bisa menemukannya ketika bersembunyi. Sampai sekarang dia masih sama, masih suka bersembunyi dari ayahnya. Tapi ada satu teman yang tahu tempat persembunyian rahasianya. Seorang teman yang sering ia jumpai di taman kota, namun tak pernah ia tahu namanya. Perjumpaan Soli dengan temannya itu selalu dalam suatu situasi yang sama. Setiap kali orang itu datang, pasti bertepatan dengan Soli jatuh dari atas pohon.
Soli memang sangat lincah memanjat pohon. Namun ia kurang menguasai cara turun dari pohon. Oleh karena itu, ia sering jatuh karena terpeleset atau pegangannya yang kurang kuat. Pertemuan pertama dengan teman yang tak ia tahu namanya itu masih ia ingat dengan jelas. Saat itu, setelah semua anak buah ayahnya pergi dari taman kota, ia ingin segera turun. Ketika akan turun, dahan yang ia gunakan sebagai pijakkan tiba-tiba patah , akhirnya ia terjatuh. Ia jatuh tepat di depan seorang anak laki-laki yang sedang duduk di bawah pohon. Anak itu melihat Soli dengan ekspresi terkejut, melihat kemunculan Soli yang sangat tiba-tiba. Soli menangis. Bukan lantaran sakit di lengannya, tetapi karena malu, jatuh di depan orang, apalagi anak laki-laki yang mungkin seumuran dengannya.
”Kamu tidak apa-apa?” tanya anak itu sembari membantu Soli duduk.
Saat itu Soli terus saja menangis, karena malunya. Anak itu mengeluarkan dua batang coklat dari dalam tasnya, kemudian memberikannya kepada Soli.
”Kata ibuku, coklat bisa menghapuskan kesedihan dan rasa sakit. Makanlah.” katanya.
Soli langsung menghentikan akting menangisnya. Sedikit demi sedikit ia menggigit coklat itu. Rasanya enak. Soli memperhatikan anak baik yang menolongnya itu. Meskipun kelihatan baik, tapi tak ada senyuman di wajahnya. Anak itu lebih pantas disebut sebagai orang yang tidak bahagia. Mereka tak saling bicara, seperti layaknya orang yang baru saling mengenal.
”Pangeran....” terdengar suara seseorang memanggil. Anak itu menoleh ke arah datangnya suara.
”Teman-temanku sedang mencariku. Maaf, aku harus pergi. Lain kali berhati-hatilah, jangan sampai jatuh lagi.” kata anak itu seraya langsung berlari pergi.
Soli bangkit. Dilihatnya anak laki-laki--yang mungkin namanya ’Pangeran’—itu berlari menghampiri kedua temannya. Ia tersenyum. Meskipun belum tentu anak itu adalah benar-benar Pangeran, tapi ia tetap bahagia karena telah ditolong Pangeran.
Sejak pertemuan itu, entah kenapa Soli menjadi sering bertemu dengan ’Pangeran’. Cerita pertemuan itu masih sama, Soli jatuh, menangis, dan Pangeran memberinya coklat. Lambat laun mereka semakin akrab. Mereka sering menghabiskan waktu sore untuk menikmati semilir angin di atas pohon, bercerita tentang kisah-kisah lucu yang terjadi di sekolah mereka. Tapi mereka tak pernah memiliki kesempatan untuk berkenalan. Mereka hanya saling menyapa dengan sebutan ’Hey’. Ketika ada teman-teman yang mencarinya, Pangeran itu akan pergi meninggalkan Soli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar