Malam ini bulan bersinar tampak begitu terang. Sebuah bintang yang paling berkilau bertengger gagah di dekat sang dewi malam. Aku sedikit ragu menarikan pena, merangkai kata-kata indah pengungkap curahan hati terdalam untukmu, wahai koki jelita… Mba Uli.
Mba Uli….
Masih ingatkah Engkau akan bintang dan bulan ini? Hampir setiap malam aku, Mba Uli, Mba Wahyu, Puji, dan Izzah memandangi kedua perhiasan langit malam itu sembari memperbincangkan tentang masa depan, di balkon rumah kost yang sudah kita anggap sebagai rumah sendiri.
”Aku ingin sekali menikah muda. Tanggal 12 Desember 2012, tepat di usia 22 tahun. Keren!” celotehku suatu malam sembari menyeruput secangkir teh hangat yang sedari tadi aku pegang.
”Wah... mau menikah saat kiamat, ya? Di internet sudah banyak dibahas kalau pada tahun 2012 akan kiamat. Pasti akan menjadi pesta yang paling seru, ya.” tukas Puji. Semuanya tertawa mendengar kicauan Si Ratu Chatting, kecuali aku.
”Hey, dasar otak dukun!” seruku seraya menjitak kepalanya. ”Itu namanya syirik.” lanjutku.
”Kalau aku sih target menikah 27 tahun. Pernikahan itu masalah gampang. Yang penting... mapan!” ujar Izzah dengan mantapnya.
”Setuju!” seru Mba Uli yang sedari tadi diam. Kami langsung mengalihkan pandangan kepada Mba Uli. Jarang-jarang Mba Uli mau berkomentar.
”Menikah itu kan tidak cukup hanya makan cinta. Materi juga perlu untuk modal.” sahut Mba Wahyu.
”Hmm... pernikahan itu kan juga bisa membukakan pintu rizki Tuhan. Sudah dijanjikan, Tuhan yang akan mencukupkan kebutuhan kita. Lagipula... lebih asyik menikah muda, bisa merasakan pacaran setelah pernikahan lebih lama. He he he.”
Akhirnya perbincangan malam itu malah menjadi keributan. Kita saling melempar kata-kata dan ejekan. Tapi perdebatan itu segera berhenti, setelah terdengar suara kentut....
”Mba Uli...!” teriak kami, seolah sudah dapat memastikan kalau Mba Uli yang kentut.
Dengan senyum terkembang Mba Uli langsung lari ke kamar sebelum kami sempat mengejar. Mba Uli selalu saja seperti ini. Mba... lain kali jangan suka makan ubi terlalu banyak.
Mba Uli....
Bulan masih setia bersinar dan bintang pun tetap bertahan mendampingi. Meski hanya beberapa bulan saja kebersamaan kita, tapi aku telah menganggap Mba Uli sebagai kakak, teman, bahkan ibu yang sangat pandai memasak di rumah kedua ini. Andai saja Mba Uli tidak pergi. Andai Mba uli bisa tetap bersama kami di sini....
Mba Uli....
Tempat ini masih sulit air seperti ketika dulu Mba Uli masih di sini. Kami juga masih jarang mandi. (He he he... tapi kita tetap wangi... kan mandinya pakai minyak wangi)
Ingat tentang kekeringan, tidak ada air di bak mandi... aku jadi teringat kejadian-kejadian berkesan di sini.
Yaitu saat Izzah terperosok ke dalam tandon penampungan air ketika kami ingin mengeceknya, apakah ada airnya atau tidak. Aku sangat panik saat itu. dengan sekuat tenaga aku berusaha mengangkatnya sebelum jatuh ke bawah. Tapi dia malah menyuruhku untuk melepaskannya saja. Ternyata tandonnya dangkal. Aku kira sangat dalam. Huh! Membuat spot jantung saja!
Kemudian ketika musim angin tiba. Pakaian yang kita jemur di balkon atas selalu ada yang terbang ke genteng rumah tetangga. Kalau para nelayan memancing ikan di laut dan sungai, kita justru selalu memancing pakaian di atap rumah tetangga. Empat pasang kaos kaki milikku tak terselamatkan, dan aku harus mengikhlaskannya.
Tak bisa aku lupa juga, keisengan kita di balkon atas. Setiap kali musim rambutan tiba, kita selalu bisa memanen rambutan meski tidak memiliki pohonnya. Dengan asyiknya kita memakan buah rambutan tetangga yang pohonnya miring ke arah balkon kita.
Mba Uli....
Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, karakter dan hobi juga sangat jauh berbeda, tapi dengan cepat kita dapat saling mengakrabkan diri selayaknya sebuah keluarga. Ibu kost yang tidak pernah peduli dan air yang sangat sulit mengalir setiap hari tak pernah melunturkan senyuman dan tawa riang di rumah ini. Susah senang kita jalani bersama di sini.
Oh, iya. Aku masih ingat julukkan yang Mba Uli berikan kepada kami. Puji Si Ratu Chatting, karena hampir setiap saat asyik di kamar sendiri, tertawa-tawa sambil menekan-nekan tombol ponselnya. Mba Wahyu Si Ratu Make-up dan Shopping. Izzah Si Putri Tidur, dan aku... Si Kutu Komputer. Sementara kami juga menjuluki Mba Uli sebagai “Juru Masak”. Setiap hari Mba Uli selalu menyajikan masakan-masakan yang TOP BANGET! Kalau Mba Uli buka warung... pasti laris.
Sempat juga terpikir oleh kita untuk membuat warung nasi goreng dan gado-gado. Mba Uli yang masak, Mba Wahyu bagian potong-memotong bahan, aku tukang cuci piringnya, Izzah yang membungkus dan mengantarkan pesanan, dan Puji yang paling enak... jadi kasir. Tapi angan-angan itu sepertinya tak mungkin menjadi nyata. Mba Uli sudah pindah jauh.
Mba Uli....
Aku sangat mengagumimu. Engkaulah salah satu sosok Kartini masa kini. Engkau tak pernah terlihat lelah meskipun setumpuk pekerjaan senantiasa membebanimu. Sejak pagi hingga senja menjelang, kau habiskan waktumu di balik perusahaan tekstil itu. tak pernah ada keluh kesal, hanya ada senyuman penuh ketulusan yang mengembang di sudut bibirmu. Semuda ini, Engkau telah bisa menopang perekonomian keluargamu. Sementara aku, aku terkadang masih mengabaikan amanah orang tua untuk serius menuntut ilmu di sini. Aku belum juga mau memahami, betapa sulitnya mencari uang.
Mba Uli...
Seandainya boleh aku berkata jujur, aku tidak ingin Mba Uli pergi. Rumah ini terasa ada yang kurang. Hampa. Tidak ada lagi deretan masakan lezat di meja makan. Tidak ada lagi sosok kakak yang selalu memberi nasihat-nasihat bijak dan menyejukkan hati. Tidak ada lagi yang suka kentut sembarangan.
Seandainya boleh, aku ingin menitihkan buliran air mata ketika mendengar bahwa Mba Uli akan dipindahkan ke cabang perusahaan yang lain. Aku ingin menahan ketika Mba Uli mulai beranjak pergi. Ingin aku katakan, ”Jangan pergi, kakakku.”
SEANDAINYA AKU ADA DI HATIMU....
ITULAH SEBAB BAHAGIA DAN KECERIAANKU
RUANG DI HATIMU BEGITU BANYAK:
RUANG TERMULIA UNTUK TUHAN YANG TAK TERGANTIKAN
RUANG TERHORMAT UNTUK AYAH DAN IBU
RUANG TERHANGAT UNTUK SAUDARA DAN KELUARGAMU...
DAN
RUANG TERINDAH UNTUK KEKASIHMU
MAKA LETAKKANLAH AKU
DI RUANG YANG PALING SEDERHANA
AGAR JARANG DIINGAT
TAPI TAK AKAN PERNAH KAU LUPAKAN
AKU....
SI KUTU KOMPUTER
Tapi aku tidak melakukan apa yang ingin aku lakukan. Dengan lapang hati aku mengikhlaskan Mba Uli untuk pergi. Aku tahu, ini semua demi yang terbaik, demi masa depan Mba Uli sendiri. Sebagai sebuah keluarga, sudah seharusnya saling mendukung anggota keluarga yang lain untuk meju dan berprestasi.
Surat ini... aku tulis di bawah terang rembulan, ungkapan kerinduan terdalam kepadamu, Mba Uli. Meski surat ini tak tak bisa terbaca olehmu, meski surat ini tak akan pernah tersampaikan kepada alamat yang aku inginkan, biarlah hanya aku dan Tuhan Penguasa malam yang tahu.
Surat yang aku tulis pada lembaran malam dengan tinta cahaya rembulan ini mengandung segenggam doa yang aku panjatkan kepada Sang Maha Kuasa, semoga Mba Uli mendapatkan kebahagiaan di tempat yang baru. Semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi. Dengan dua titik air mata, aku ucapkan, ”terima kasih untuk segalanya”.
____SELESAI___
10 September 2009,
Di bawah terang bulan di langit bertabur bintang kota Semarang
(momoy_dandelion)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar