Laman

Kamis, 30 September 2010

UNDER THE TREES

Bagian II
KILAS BALIK

Semburat warna merah menggores keindahan cakrawala di dalam senjakala. Bulan mulai menyembul, sementara matahari perlahan meluncur menuruni bukit.dari balkon kamarnya, Soli menikmati fenomena menawan itu. Beberapa saat kemudian, suara adzan berkumandang. Menyusul kemudian terdengar deru mesin mobil di halaman rumah. Soli melihat ayahnya turun dari mobil. Segera ia beranjak dari balkon, berlari kecil menghampiri ayahnya.
”Assalamu’alaikum.” salam Sang Ayah setelah memasuki ruang tamu.
”Wa’alaikum salam.” balas Soli seraya langsung mencium tangan ayahnya dan membawakan tas kerja sang ayah, kemudian menuntun ayahnya untuk duduk di sofa.
Lelaki yang sudah tampak semakin tua itu mengelus lembut rambut putri satu-satunya itu dengan mata penuh binar kebahagiaan. Soli tersenyum. Dengan cara yang manis, ia memberikan secangkir kopi susu hangat yang sebelumnya telah ia persiapkan untuk sang ayah tercinta. Sejak ibunya meninggal, ia yang menggantikan ibunya membuatkan minuman kesukaan ayahnya setiap kali ayahnya pulang dari kantor dengan wajah yang tampak kelelahan.
Terkadang Soli berpikir, betapa keras perjuangan ayah untuknya. Semenjak ibunya meninggal, ayah semakin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Sudah hampir delapan tahun ibu meninggal. Tapi ayah masih setia dalam kesendiriannya. Tak pernah sedikitpun ayah menceritakan niatan untuk menikah lagi kepadanya. ’Apakah kamu bahagia?’ itulah yang sering dibahas sang ayah ketika bertemu dengannya. Ia tak pernah menunjukkan betapa letihnya ia, atau betapa kesepiannya dia.
Sebenarnya Soli kurang tega meninggalkan rumah. Ingin ia tetap tinggal, menemani ayahnya, merawat ayahnya, dan menyiapkan makanan untuk ayahnya. Tapi ia sungguh sudah bosan berada di sana. Apalagi ayahnya sering pergi ke luar kota atau ke luar negeri untuk mengurusi bisnis perusahaannya hingga berhari-hari tak pulang. Setelah satu bulan pergi meninggalkan rumah, ini pertama kalinya ia kembali menyuguhkan secangkir minuman kesukaan sang ayah. Minuman yang ia buat dengan penuh rasa cinta.
Ayah mengelus rambut putri kesayangannya. Tangannya merasakan sesuatu yang berbeda. Rambut indah itu tak lagi sehalus dulu. Namun wajah dengan senyuman tulus itu tetap terlihat cantik meski rambutnya sedikit kusut.
”Ayo kita shalat maghrib berjamaah.” ajak sang ayah.
Soli mengangguk sambil menunjukkan senyuman yang sedikit melebar. Rasanya sudah lama sekali ayahnya mengatakan hal itu. Keduanya bergegas menuju mushala kecil di serambi rumah untuk mengambil wudhu. Dua orang satpam yang setia menjaga rumah mewah itu tampak sedang duduk khusyu di dalam mushala kecil itu. Seorang tukang kebun yang baru selesai berwudhu tersenyum kepada kedua ayah dan anak itu. Soli dan ayah menuju tempat wudhu yang berbeda.
Berselang beberapa menit kemudian, para penghuni rumah mewah itu melaksanakan shalat berjamaah. Tak ada lagi kedudukan atasan dan bawahan. Mereka sama. Shalat kali ini diimami oleh Pak Karta, sopir pribadi Pak Hasan Sanusi, ayah Soli. Sudah menjadi kebiasaan di rumah mewah itu untuk selalu melaksanakan shalat secara berjama’ah. Seluruh penghuni rumah diajak shalat bersama, terutama saat maghrib, ketika mereka ada di rumah semua.
Rumah besar itu dihuni oleh Soli dan ayahnya bersama lima orang pembantu, dua orang tukang kebun, dua orang satpam, dan dua orang sopir pribadi. ketika Nyonya Zalwi, ibu Soli masih ada, kegiatan shalat maghrib berjamaah itu sudah mulai rutin dilaksanakan. Setelah Nyonya Zalwi meninggal, kegiatan itu pun masih dilaksanakan, hanya saja Pak Hasan jarang ikut serta karena kesibukannya di luar rumah.
Shalat dilaksanakan dalam keadaan begitu tenang, hingga suara bair mancur di tengah kolam terdengar jelas. Selepas shalat, Bibi Suti mengajak mantan Nona kecilnya itu ke dalam kamar rias untuk menunjukkan sesuatu. Soli tentu saja senang mendengarnya. Apalagi setelah melihat sebuah gaun indah berwarna coklat muda yang telah dipersiapkan untuknya. Namun tiba-tiba rasa senangnya hilang ketika teringat anak-anak yang tinggal di kolong jembatan. Mereka yang setiap hari berpakaian seadanya, namun tetap menunjukkan keceriaan, ketika ia mengajak mereka belajar membaca dan menulis. Semangat mereka untuk menjadi pintar sangat besar, meski keadaan mereka sungguh tidak memungkinkan mereka mendapatkan pendidikan di sekolah yang sebenarnya. Mereka hanya belajar dari para relawan seperti dirinya.
Anak-anak itu mungkin malam ini tidur dalam kedinginan dengan perut masih kelaparan. Sementara ia malam ini akan berpesta di tempat yang hangat, indah, mewah, dengan banyak hidangan lezat yang pasti akan menggugah selera. Sungguh tidak adil seandainya ia merasakan suatu kenyamanan, sementara di luar sana, ia tahu ada orang-orang yang mengalami kesengsaraan.
”Nona, kenapa diam? Apa Anda tidak menyukai apa yang telah saya siapkan?” tegur bibi, setelah sekian waktu melihat Nonanya tertegun.
”Ah, tidak. Ini bagus.” balas Soli dengan senyuman manisnya.
Sang bibi tampak lega. “Semoga Nona menikmati pesta nanti malam.” katanya. ”Jangan membuat orang cemas dengan menghilang tiba-tiba dari pesta seperti yang biasa Nona lakukan.” lanjutnya.
Soli tersenyum. Bibi Suti dan seluruh penghuni rumah memang sudah terbiasa dibuat kerepotan ketika sang nona keluar dari rumah. Dia adalah jagonya bersembunyi. Setiap kali keluar diam-diam dari rumah, meskipun dikerahkan puluhan orang untuk mencarinya, tak ada yang bisa menemukannya. Setelah orang-orang yang mencarinya frustasi, nona itu akan pulang ke rumah dengan sendirinya, dan menjadi perhatian seisi rumah.
”Aku tidak janji.” balas Soli dengan seulas senyum.
Menjelang pukul delapan malam, Soli telah siap dengan dandanan sederhananya. Menurutnya, anggun tidak berarti harus tampil seksi dengan dandanan yang terlalu mencolok. Kali ini saja ia terpaksa berdandan hanya untuk memenuhi janjinya kepada sang ayah. Sejak dulu ia tak menyukai keramaian pesta. Tapi ayahnya selalu mengajaknya pergi ke acara itu. Setiap kali ada kesempatan, Soli pasti akan kabur. Kemudian pesta menjadi sedikit terganggu, karena banyak orang berjas hitam, pakaian hitam dan kacamata hitam menyebar ke seluruh penjuru tempat untuk mencari Soli. Mereka tidak akan menemukannya, kecuali telah melihatnya terbaring nyaman di tempat tidur menjelang tengah malam. Sejak kecil hingga sekarang ia selalu membuat orang cemas.
Hotel Samudera Mimpi. Itulah nama hotel yang malam ini tengah mengadakan pesta berkenaan dengan peresmian dan pembukaan hotel baru itu. Hotel mewah berlantai lima belas yang tampak indah dan elegan dengan cat warna biru yang secerah warna lautan. Mobil-mobil mewah berjajar rapi memenuhi tempat parkir. Setelah turun dari mobil, Soli melihat taman hotel yang cukup rindang. Ia tersenyum, memikirkan tempat yang telah ia temukan untuk persembunyian. Rasanya bukan Soli kalau tidak menghilang di tengah acara pesta.
”Putri Cantikku.” tegur sang ayah.
Soli sedikit salah tingkah. Namun ia segera menguasai dirinya. Langsung ia menggandeng tangan ayahnya, melangkah masuk menuju tempat pesta.
”Kamu tidak sedang berpikir untuk menghilang seperti biasanya, kan?” tanya sang ayah.
Soli tersenyum, ”Mungkin.” katanya. ”Seandainya aku menghilang, ayah tidak perlu cemas mencariku. Aku sudah tahu jalan pulang.” lanjutnya.
”Kita lihat saja, apakah kali ini kamu bisa menghilang dari samping ayah. Ayah tidak akan lengah lagi.”
Soli kembali tersenyum. Ia merasa kali ini sama saja dengan sebelum-sebelumnya. Ia pasti bisa keluar dari tempat ramai itu tanpa ayahnya menyadari. Selalu ada jalan.
Pesta diadakan di tepi kolam renang luas yang terletak di belakang hotel. Lilin-lilin bertebaran, melayang-layang di atas kolam renang. Lantunan musik jazz mengiringi jalannya pesta. Orang-orang yang datang pada malam itu sungguh tampil begitu menawan dan tetap berwibawa. Mereka saling bergerombol membicarakan masalah yang tidak dimengerti Soli. Gerombolan para direktur dan bisnisman sudah pasti membahasnya masalah bisnis. Gerombolan nyonya-nyonya kaya berbincang-bincang tentang salon dan shopping. Sementara anak-anak mereka saling bergosip tentang anak-anak pengusaha yang mereka kagumi atau yang mereka benci.
Tak ada satupun orang yang Soli kenal selain ayahnya. Tetapi ada beberapa rekan bisnis ayahnya yang mengenalinya, karena ia sering menghilang dan membuat panik banyak orang.
”Tuan Hasan.” sapa seseorang ketika Soli dan ayahnya sedang membicarakan tentang peristiwa-peristiwa masa lalu sambil menikmati kesegaran air kelapa muda.
Sang ayah terlihat sangat bahagia melihat orang yang menegurnya. Mereka lantas berpelukan. Soli tak mengenal orang itu.
”Apa ini putri cantikmu?” tanyanya.
”Oh, iya. Ini adalah satu-satunya permata berharga yang sangat aku sayangi.” jawab sang ayah dengan bangganya sambil merangkul putri kesayangannya itu.
”Soli, perkenalkan, Beliau adalah Tuan Kenedy, rekan bisnis ayah.”
Soli lantas menjabat tangan Tuan Kenedy dengan ulasan senyum. Rekan bisnis ayahnya itu berkulit putih, berpostur tinggi, dan berwajah khas orang-orang Eropa. Sudah dapat dipastikan kalau ia bukanlah pribumi meskipun bahasa Indonesianya sangat baik. Kata ayahnya, Tuan Kenedy berasal dari Inggris, tetapi telah menetap di Indonesia selama 20 tahun bersama istri dan kedua anaknya. Istrinya bernama Siti Sukesih, berasal dari kota Semarang. Beliau telah menjadi muslim dan berganti nama menjadi Abdullah Kenedy Sebastian.
”Putri Anda sangat cantik.” puji Tuan Kenedy.
”Kedua putra Anda juga sangat cerdas dan tampan. Saya sangat mengagumi cara presentasi mereka untuk meyakinkan para investor bahwa Hotel Samudera Mimpi ini akan menjadi sebuah hotel terbaik di Indonesia. Anda bahkan bisa dikalahkan oleh mereka.” kata Pak Hasan.
Kedua pengusaha itu saling memuji satu sama lain. Soli hanya bisa tersenyum sesekali.
”Dimana kedua Putra hebat Anda itu? Apa malam ini mereka tidak datang?”
”Mereka datang. Tapi mungkin sedang bersama teman-temannya yang lain sesama calon pengusaha muda. Nona Soli juga pasti ingin mengikuti jejak Pak Hasan menjadi seorang pengusaha sukses. Bukankah begitu?”
”Insya Allah.” balas Soli lirih.
Kini Soli tahu, ternyata pemilik hotel indah itu adalah Tuan Kenedy. Ayahnya diajak bekerjasama untuk mensuplai seluruh properti hotel. Tiba-tiba matanya menangkap keindahan di salah satu sudut hotel. Lukisan sebuah pohon besar yang sangat rindang pada dinding. Soli tersenyum. Pohon itu mengingatkannya pada pohon besar di taman yang sering ia panjat. Sudah lebih dari satu tahun ia tak pergi mengunjungi pohon itu, dan selama waktu yang sama ia tak bertemu dengan ’Pangeran’.
”Mm, Om, siapa yang melukis pohon besar itu?” tanya Soli sambil menunjuk arah yang dimaksud.
Tuan Kenedy dan Hasan malah seperti terkejut melihat lukisan itu. Mereka seperti tidak tahu sebelumnya. Padahal lukisan itu cukup besar, sesuai dengan ukuran pohon sebenarnya.
”Desain hotel ini aku serahkan sepenuhnya kepada kedua putraku. Aku sama sekali tidak tahu kalau ada lukisan pohon di dinding sebelah sana. Nanti ketika peresmian, akan aku tanyakan kepada kedua putraku. Mereka yang akan meresmikan hotel ini.”
Aneh. Hanya sebuah lukisan pohon bisa membuat Soli begitu penasaran. Ia merasa ’Pangeran’ ada di sana. Mungkin juga yang melukisnya adalah dia. Atau dia yang menyuruh orang untuk melukiskan sebuah pohon. Orang itu pastilah memiliki kenangan indah tentang pohon sehingga dengan bangga ia menggambarkan sebuah pohon di tempat indah ini.
Satu tahun yang lalu, beberapa kali ia bertemu dengan ’Pangeran’ di pesta. Meskipun tak bertemu secara langsung di tempat pesta, tapi mereka selalu bertemu di tempat tak jauh dari tempat pesta. Bertemu di balik semak-semak. Ketika tak ada satupun orang yang tahu tempat persembunyiannya, Pangeran itu selalu datang menghampiri tempat persembunyiannya dengan membawakan sekaleng minuman dan beberapa bungkus makanan. Hanya dia orang aneh yang tahu tempat favoritnya di pesta, yaitu di balik semak-semak atau di atas pohon.
”Kenapa kamu ke sini?”
”Untuk berpesta bersama seorang teman.” balasnya setiap kali muncul pertanyaan dari Soli.
Biasanya mereka hanya akan diam sambil memandangi langit. Tak banyak hal yang dibicarakan. Walaupun suasana akan ramai karena kesibukkan orang-orang mencari Soli, mereka akan tetap diam sekalipun sirine polisi yang berbunyi. Mereka akan seperti penjahat yang sedang bersembunyi karena menjadi buronan kelas kakap polisi. Meskipun hujan, mereka tidak akan bergeming, hingga muncul keinginan untuk pergi. Biasanya Pangeran yang terlebih dulu pergi, ketika ada yang memanggil namanya. Sementara Soli akan tetap di sana hingga merasa benar-benar bosan.
*****
Pesta peresmian Hotel Samudera Mimpi akan segera dimulai. Tiba-tiba seorang pemuda berpenampilan rapi menghampiri mereka.
”Paman, Si Anak Emas menghilang lagi.” adunya.
“Tidak apa-apa. Nanti juga kembali lagi. Mungkin dia sedang mencari udara segar sebentar di luar. Yang penting Candra ada, karena sebentar lagi acara peresmian akan dilaksanakan.”
“Apa paman belum tahu watak anak-anak paman yang aneh-aneh itu? Salah satu tidak ada, yang lain juga pasti ikut pergi. Kalau begitu aku saja yang meresmikannya.” usulnya.
”Ayahmu saja tidak mengijinkanmu berbisnis, kenapa Paman harus menyerahkan tanggung jawab ini padamu? Lebih baik aku serahkan kepada orang lain.”
”Paman tega sekali.”
”Hey, bergegaslah mencari mereka kalau kamu tidak ingin acara ini berantakan.” pinta Tuan Kenedy.
Pemuda itu langsung pergi dengan raut wajah kecewa. Soli tersenyum. Ternyata selain dirinya masih ada yang suka menghilang di tengah acara pesta. Apalagi di saat-saat penting. Tiba-tiba muncul keinginan dalam benaknya untuk melakukan kebiasaannya. Ia berharap akan kembali bertemu dengan Pangeran itu malam ini.
Ketika ayahnya semakin terhanyut dalam perbincangannya bersama Tuan Kenedy, Soli perlahan melangkah mundur, membaur dengan kerumunan orang-orang, dan akhirnya bisa keluar dari area pesta. Ia tersenyum lebar, karena ia kembali berhasil keluar dari pengawasan ayahnya. Beberapa kali ia menjumpai petugas keamanan mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. Mungkin sedang mencari tuan muda yang hilang. Kalau tuan muda itu tidak ditemukan, sudah dapat dipastikan acaranya akan berantakan.
Soli terus berjalan menelusuri hotel, mencari jalan menuju taman yang terletak di belakang hotel. Akhirnya ia menemukannya juga. Udara malam yang segar dan sedikit dingin menerpa wajah ketika ia membuka pintu belakang hotel. Taman indah tepat berada di hadapannya. Taman yang cukup rindang dan asri. Suasana sepi. Tak mungkin ada orang yang berinisiatif mencari orang hilang di balik semak. Begitu yang dipikirkan Soli. Dengan penuh semangat, ia berjalan menuju salah satu semak yang ia sukai, kemudian melompat ke dalam semak-semak itu dengan girangnya.
“Bruk!” Soli langsung terduduk manis di sekeliling semak-semak. Ia seperti merasakan kembali masa-masa indah dulu. Meskipun hanya bermain petak umpet sendiri, ia tetap merasa senang.
Tapi entah mengapa kali ini ia merasa ada yang aneh. Ia seperti merasakan kehadiran seseorang. Ia merasa seperti kaku karena ketakutan yang tiba-tiba saja datang. Dengan sisa keberanian yang ia miliki, dengan cepat ia menengok ke arah kanannya.
”Dug!” jantungnya serasa ingin lepas karena kekagetannya melihat sebuah sosok yang persis berada di sampingnya dalam jarak beberapa senti saja. Tubuhnya seakan kaku, beku, dan lemas. Bahkan untuk berkata-kata saja ia tak mampu. Apalagi sorot matanya menatap tajam ke arah Soli.
”Apa kamu tidak apa-apa?” tanyanya dengan nada keheranan.
”Ti...ti...dak.” jawab Soli dengan nada tergagap.
Orang itu memberikan sekaleng minuman yang langsung diminum oleh Soli. Napasnya masih tidak karuan saking kagetnya.
“Kau membuatku kaget setengah mati.” Ujar Soli.
“Seharusnya aku yang mengatakan hal itu.” kilahnya.
Soli terdiam sebentar, ”Lama tidak berjumpa.”
“Seharusnya ada banyak kesempatan berjumpa. Tapi karena kau tidak meluangkan sedikit waktu mengunjungi taman kota atau datang ke pesta, maka kesempatan itu terlewat begitu saja.” Katanya dengan nada tanpa ekspresi. Seperti biasa, ia hanya tertarik dengan minuman kaleng miliknya. Seperti itulah Pangeran.
”Tidak biasanya kau datang ke taman lebih dulu daripada aku.”
”Mungkin kamu yang terlalu lama di dalam pesta.”
Soli merenung. Memang rasanya ini adalah waktu terlama ia bisa bertahan dalam suatu pesta. Biasanya baru sebentar ia sudah mau keluar. Pangeran memang tahu apa yang ia pikirkan.
”Di hotel ini ada lukisan sebuah pohon yang menarik perhatianku.”
”Kau menyukai lukisan seperti itu?” katanya dengan nada mengejek.
”Tentu saja. Apa kau ingin merendahkan? Orang yang melukisnya pastilah memiliki kenangan berharga dengan pohon itu. Seandainya aku bisa melukis, pastilah sudah aku lukis pohon di taman kota yang sering aku panjat sejak kecil.”
”Kalau bisa di bawah pohon digambar seorang anak perempuan yang sedang menangis karena terjatuh dari atas pohon, kemudian ada Pangeran yang datang memberinya coklat untuk anak cengeng itu.”
”Kau mengejekku?” protes Soli dengan memandang sinis orang yang ada di sampingnya itu. Tapi Pangeran tetap asyik memandangi bintang di langit.
”Jangan marah. Meskipun cara pertemanan kita aneh, tapi rasanya aku tidak rela kehilangan teman menyepi sepertimu. Bersembunyi tanpa teman rasanya tidak menyenangkan.”
Kata-kata Pangeran seperti kata-kata yang keluar dari mulut orang yang polos. Begitu jujur dan tanpa ekspresi. Soli terdiam. Ia ikut memandang ke araha langit. Malam itu bulan bersinar sangat terang. Indah. Suasana juga tenang, walau sebenarnya di dalam sedang cukup dihebohkan dengan kesibukan orang mencari putra Tuan Kenedy yang pergi dari ruangan pesta.
”Hei, Pangeran, keluarlah! Aku menyerah. Aku kalah. Tidak ada pesulap yang lebih hebat dari dirimu.” Seru seseorang tak jauh dari tempat Soli dan Pangeran berada.
“Pangeran….”
“Kau tidak menjawab panggilan itu?”bisik Soli.
”Aku tidak merasa sedang bermain petak umpet sekarang. Tapi aku sedang bernostalgia bersama seorang teman yang cukup lama tak aku jumpai.” balas Pangeran dengan nada datar dan tenang. Sorot pandangannya terus terpaku ke arah langit.
“Pangeran, kumohon keluarlah. Aku benar-benar telah lelah mencarimu. Apa aku harus menangis terlebih dahulu agar kau mau keluar?”
Pageran tetap tak bergeming mendengar panggilan itu. Soli memandangi aneh orang di sampingnya yang terus terpagut dengan keindahan purnama. Padahal sebelumnya Pangeran selalu menghampiri orang yang memangginya tanpa harus mendengar orang-orang memohon padanya. Malam ini Pangeran berbeda.
“Pangeran, Tuan Muda, Yang Mulia, Raja, Guru, Bos, Orang tampan sedunia, Pria baik hati, ayolah keluar... apa kau ingin menyiksaku? Seisi hotel telah aku periksa. Aku harap kau ada di sini. Kalau tidak, aku benar-benar menjadi orang gila yang berteriak-teriak memannggil orang yang tidak ada.”
”Kau tidak kasihan dengan orang yang mencarimu?” gerutuku.
“Dia kakakku.”
“Kalau begitu, mana boleh mengabaikan panggilan kakak sendiri.”
”Kau bahkan mengabaikan panggilan puluhan orang yang mencarimu. Ini pertama kali bagiku.”
”Hey, Boy... aku rela bertukar posisi menjadi adikmu asalkan kau mau menjawab panggilanku.”
”Pangeran yang baik hati, apa kau tega kakakmu ini dicap sebagai kakak yang tidak becus menjaga adiknya sendiri?”
”Pangeran... aku lebih baik mati daripada menghadapi masalah ini tanpamu. Biarlah semuanya hancur dan membuat ibu kecewa.”
”Pangeran....”
Akhirnya Pangeran luluh dan mau keluar dari persembunyiannya. Soli tetap berada di tempatnya.
”Kakakku yang tampan sepertinya sudah terlalu banyak bicara hari ini.”
”Kalau tidak begitu, adik kesayanganku tak akan mau keluar. Kenapa hari ini kau bandel sekali? Aku benci petak umpet denganmu.”
”Bukankah hari ini tidak ada agenda memainkan permainan ini? Kenapa kau tetap mencariku?”
”Hey, kau ingin lari dari tanggung jawab seperti seorang pecundang? Acaranya akan segera dimulai. Ayo ikut aku.”
”Aku tidak mau.”
”Kenapa?”
”Kau pasti tahu alasanku. Pakaianku sudah kotor. Acara itu tak tepat untukku. Kau yang lebih pantas berada di sana.”
”Tanpamu aku tidak mau. Di sana ada ibu dan ayah yang sangat kita kasihi. Kalau kau ingin mengecewakan mereka, mari kita lakukan bersama.”
Mereka terdiam. Soli mendengarkan percakapan kakak beradik itu dengan sangat jelas meskipun tak mengerti apa inti dari pembicaraan mereka. Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki kakak beradik itu semakin menjauhi tempat Soli berada. Akhirnya suasana kembali sunyi. Soli sendiri. Menikmati ketenangan malam dengan purnama yang bersinar terang.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar