Laman

Minggu, 25 Oktober 2009

SATU WANITA TUJUH CINTA

Bagian III
Mayat Hidup Jatuh Cinta

Angkasa memasang muka masam. Sebentar lagi pertandingan dimulai. Baginya, hari ini sangat tidak menyenangkan. Ketika baru sampai di GOR Wasesa, ia langsung diceramahi dengan sederetan kata tak berarti oleh pelatihnya. Ia mangkir dari latihan. Itu yang membuat pelatihnya naik darah. Sejak awal ia sudah memprediksikan hal itu akan terjadi. Tapi ia yakin, pasti akan berakhir baik-baik saja, karena posisinya sebagai kapten klub yang berhak mengatur anggotanya.

Ia membiarkan ceramah pak pelatih keluar masuk telingannya. Sebenarnya dia sendiri yang salah. Pak pelatih sudah mengingatkannya untuk latihan sebelum bertanding. Tapi ia malah pergi menonton pertandingan basket Yogi dan Samson.
Sebenarnya yang membuat mukanya masam bukan hanya karena diceramahi pak pelatih, tetapi karena melihat Amanda dan Yogi yang terlalu akrab. Mereka duduk di bagian belakang bangku pemain cadangan, sehingga Angkasa sangat jelas melihat mereka sedang tertawa bersama sambil makan es krim. Ridwan dan samson yang ada di samping mereka bahkan tidak ikut bercanda.

Amanda juga sepertinya tidak peduli padanya sedikitpun. Padahal sebentar lagi pertandingan dimulai, tapi Amanda tidak juga memberi ucapan ’selamat bertanding’ atau ’semoga berhasil’, seperti yang ia katakan kepada Yogi tadi pagi. Padahal sengaja ia tak mengajak Afara agar bisa leluasa bercanda dengan gadis tomboy itu. Tapi sekarang, gadis tomboy itu bahkan tidak memperdulikannya sama sekali.

Dengan perasaan kesal, ia terpaksa tetap turun ke lapangan, setelah wasit memberi kode bahwa pertandingan akan segera dimulai. Matanya terus mengarah kepada Amanda dan Yogi. Mereka berdua tidak menengok ke arahnya sama sekali. Hanya Ridwan dan Samson yang mengeratkan kedua tangannya sebagai tanda memberi semangat. Angkasa membalas dengan senyuman getir. Ia mencoba mengabaikan pemandangan menyebalkan itu, dan berlari kencang ke tengah lapangan. Di sana teman-temannya sudah menunggu.

Sementara di tempat duduk penonton, Amanda dan Yogi masih bercanda ria, membahas jalannya pertandingan basket tadi pagi. Ada banyak hal-hal lucu yang Amanda Lihat di sana, kemudian ia ceritakan kepada Yogi. Seperti ketika bola basket melayang ke arah penonton dan mengenai seorang siswi yang sedang memakai lipstik, cerminnya pecah, lipstiknya melebar ke mata, kemudian menjadi tertawaan banyak orang. Kemudian ada pemain dari kubu lawan yang salah memberikan bola kepada lawannya, pemandu sorak yang jatuh terpeleset, dan pemain yang celananya melorot. Amanda tertawa girang mengingat semua kejadian lucu itu. Sementara Yogi hanya bisa sebatas tersenyum.

”Hey, dari tadi bercanda terus. Perandingannya sudah dimulai.” Tegur Samson.
Amanda dan Yogi langsung berhenti tertawa. Mereka langsung mengalihkan pandangan ke arah lapangan. Tampak Angkasa telah menempati posisinya sebagai striker. Beberapa saat kemudian, peluit ditiup, pertandingan dimulai. Kubu lawan lebih dulu menyerang. Angkasa segera berlari, berusaha merebut bola dari lawan.

“Angkasa larinya payah! Setiap lomba lari denganku saja dia selalu kalah, apalagi di lapangan. Aku ragu kalau dia bisa menang.” kata Amanda.

”Pertandingan baru dimulai. Apa saja bisa terjadi. Sabar saja, Angkasa pasti menang.” balas Samson dengan optimisnya.

”Teman sendiri harus didukung.” tambah Ridwan.

”Playboy menyebalkan seperti dia, untuk apa diperhatikan. Kalau bisa aku tendang!”

”Kenapa? Apa dia sungguh menyebalkan?” tanya Samson.

”Tentu saja begitu.” jawab Amanda dengan mantapnya. ”Ah! Kamu tidak pernah memihakku. Kamu sama menyebalkannya dengan Angkasa, suka berbuat jahat padaku. Mana bisa mengerti.” keluh Amanda.

”Kapan aku jahat padamu? Bukannya kamu yang jahat, sering memukuliku?” kilah Samson.

”Itu karena kamu yang lebih dulu mencari perkara denganku.” timpal Amanda.

”Nona, mau menemaniku makan kacang?” sahut Yogi.

Amanda langsung mengalihkan pandangannya kepada Yogi. Ketika ia hendak mengambil bungkusan kacang dari tangan Yogi, Samson lebih dulu merebutnya. Amanda bertambah geram. Hampir saja ia melayangkan sebuah tinju ke arah samson, seandainya Yogi tak memegangi tangannya.

”Ayo, temani aku ke belakang.” kata Yogi, sembari menggandeng tangan Amanda. Ia membawa Amanda pergi dari sisi Samson. Seandainya hal itu tidak dilakukan, pasti akan terjadi kekacauan.

Amanda duduk di depan halaman stadion dengan muka masam. Beberapa saat kemudian Yogi muncul dengan dua bungkus es krim di tangannya. Ia memberikan salah satunya kepada Amanda, kemudian mengambil duduk di samping gadis itu.

”Kenapa kamu mencegah aku menghabisi Samson yang keterlaluan itu! Selalu saja seperti ini. Aku harus mengalah.” keluh Amanda dengan nada kesal.

”Pukul aku.” kata Yogi.

”Hah... mulai membela Samson lagi. Daripada memukulmu, lebih baik aku memukul diriku sendiri.” guman Amanda sembari memakan es krim pemberian Yogi. Dinginnya es sedikit melunturkan rasa kesalnya.

*****

Babak pertama telah usai. Tim Angkasa ketinggalan satu gol dari lawannya, SMA Tunas Cendekia. Angkasa lesu. Semua teman satu timnya menuju ruang ganti pemain untuk mendengarkan pengarahan dari pelatih. Tetapi ia malah berjalan mendekati Samson dan Ridwan yang sedang duduk di bangku penonton. Ia sedikit kecewa menihat Yogi dan Amanda telah meninggalkan tempatnya. Tapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya.

Dengan seulas senyuman, ia menerima botol minuman yang disodorkan oleh Samson. Ia meneguknya perlahan.

”Hari ini permainanmu sungguh sangat payah.” ujar Samson.

”Iya. Ini bukan dirimu yang biasanya. Aku perhatikan pelatihmu marah-marah terus di tepi lapangan. Kalau kamu tetap seperti ini, bisa-bisa pelatih menyuruhmu duduk di bangku cadangan.” tambah Ridwan.

”Begitu lebih baik.” jawabnya enteng. Ia meneguk kembali air minumnya.

”Hah! Sepertinya teman kita yang satu ini sedang tolol. Pasti gara-gara Afara tidak datang. Maklumi saja, pacarmu itu covergirl yang super sibuk. Mana sempat datang untuk acara seperti ini.” Kata Samson.

“Tenang saja, teman-temanmu ini masih setia datang.”

”Dimana Yogi dan Amanda?”

Samson menunjukkan ekspresi kalau ia tidak menyukai pertanyaan itu.

”Mereka keluar. Tadi Amanda dan Samson hampir adu jotos di sini. Seperti biasa, Yogi membawa dia kabur.” JawabRidwan.

Angkasa terdiam. Lagi-lagi Yogi. Selalu nama itu yang terkait dengan Amanda. Sesaat kemudian Yogi dan Amanda muncul dengan muka berseri-seri berjalan menuju ke arahnya. Ia memandang ke arah mereka berdua dengan ekspresi biasa-biasa saja. Bahkan senyuman Yogi tak ia balas. Samson tersenyum kepada Amanda sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Amanda membuang muka, menandakan ia masih kesal.

”Kalian kemana saja? Babak pertama sudah berakhir. Kita ketinggalan satu angka.” kata Ridwan.

”Apa hubungannya dengan aku dan Yogi? Kalau kalah, pasti karena ada yang salah dengan pemainnya.” ketus Amanda sembari memandang sinis ke arah Angkas.

Angkasa sangat kesal mendengar perkataan seperti itu. Tapi ia berusaha untuk tetap diam daripada mencari perkara dengan gadis itu. Yogi langsung memegang lengan Amanda, sebagai tanda agar ia diam.

”Maaf, karena terlalu asyik makan es krim, aku jadi lupa waktu. Di babak berikutnya, kamu harus lebih semangat. Kapten tangguh sepertimu pasti akan terus berjuang sampai akhir kemenangan. Tak peduli hati dan perasaanmu sedang kacau, di lapangan kamulah kaptennya.” tutur Yogi.

Angkasa tersenyum getir, ”Hari ini kosa katamu bertambah banyak.”

”Angkasa!” tiba-tiba pelatih datang dengan muka merah padam, membuat mereka terkejut.

Pelatih memandangi Angkasa dengan sorot mata tajam. Angkasa membuang pandangannya dan tetap bersikap santai. Samson dan Ridwan yang sedari tadi duduk akhirnya bangkit.

”Sebenarnya apa maumu? Seperti inikah tingkah seorang kapten? Datang seenaknya dan mangkir dari latihan. Bahkan sekarang tidak mau berkumpul di ruangan untuk mengevaluasi dan memperbaiki permainan. Kamu sudah merasa hebat?” maki sang pelatih.
Angkasa menghela napas, ”Ini hanya pertandingan persahabatan. Aku rasa tidak perlu terlalu ambisius.”

”Sebagai kapten, kamu menginginkan timmu kalah, agar saat keluar kita semua menundukkan kepala karena malu? Kamu ingin membuat citra SMA kita buruk?” timpal pak pelatih dengan nada yang semakin meninggi. Samson, Ridwan, Yogi dan Amanda hanya bisa sebatas menjadi penonton.

”Pelatih....”

”Ikut aku jika kamu masih mau bertahan dalam tim.” tegas pak pelatih seraya berjalan pergi. Padahal Angkasa belum menyelesaikan kata-katanya.

Samson menepuk pundak sahabatnya itu. ”Tetap semangat!”

”Kenapa selalu membuat masalah? Apa hidupmu tidak akan bahagia sebelum melihat orang lain kesal karenamu?” ujar Amanda dengan nada sinis.

Angkasa menegakkan kepalanya, beradu pandangan mata dengan Amanda. ”Iya, aku memang orang seperti itu. mau protes?”

Amanda ingin membalas kata-kata Angkasa, tapi Yogi kembali memegangi lengannya. Akhirnya ia kembali diam.

”Angkasa, cepat susul pak pelatih. Seorang kapten harus bisa mengabaikan perasaannya ketika telah berada di lapangan.” pinta Yogi.

Ada rasa senang dan kesal di hati Angkasa ketika mendengar ucapan Yogi yang selalu terdengar halus itu. Senang karena merasa diperhatikan dan kesal karena dia terlalu dekat dengan teman yang lebih dulu ia jumpai. Ia melihat Yogi tersreyum tulus kepadanya. Sementara Amanda membuang muka.

”Hey, cepat pergi. Jangan kamu biarkan Jaka sendirian. Pasti dia yang akan menjadi sasaran kemarahan pelatih.” kata Samson.

Akhirnya Angkasa beranjak pergi menuju ruang ganti pemain, dimana pelatih dan teman-temannya sedang menunggunya di sana.

”Hey, playboy bermasalah! Kalau kita kalah, kamu yang harus bertanggung jawab. Selamanya kamu adalah orang yang paling menyebalkan.”

Seruan Amanda terdengar sampai ke telingannya. Kata-kata iru sangat tajam hingga menghujam tepat di hatinya. Ia merasa telah kalah sebelum babak kedua dimulai. Ia merasa kebencian Amanda kepadanya sudah sebanyak tumpukan sampah di TPA Lebak Bulus.
Sementara itu, Samson dan Amanda kembali bertengkar karena Samson berusa membungkam mulut Amanda ketika mengeluarkan kata-kata tidak enak kepada Angkasa. Yogi harus kembali menjauhkan Amanda dari Samson. Ridwan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya karena bosan, hampir setiap hari melihat sahabatnya rusuh sendiri.

Amanda cemberut, ”Pasti aku lagi yang salah.”

”Apa suatu saat kamu akan memberiku dukungan dengan cara seperti itu?”

Amanda memandangi Yogi, ”Kenapa selalu seperti itu yang kamu tanyakan? Kamu adalah kamu dan Angkasa adalah Angkasa. Kalian dua orang yang berbeda. Kenapa harus disamakan?” protesnya.

”Bukankah kita sama-sama bersahabat?”

Amanda terdiam.

”Kamu adalah orang yang lebih lama mengenal Angkasa di antara kita berdelapan. Tapi
sepertinya kamu belum juga bisa memahaminya.”

”Itu karena dia selalu membuatku kesal. Dia yang selalu memulainya.”

”Apa kali ini juga?” tanyanya. Amanda terdiam. ”Hari ini dia menjadi lebih pendiam.”

“Iya, iya. Aku mengaku salah walaupun sebenarnya saat di SMA Bhakti Pertiwi dia sudah benar-benar membuatku kesal. Ya, aku mengaku salah.” Kata Amanda dengan ekspresi cemberut.

“Mau memperbaiki kesalahan?”

Amanda langsung mengalihkan pandangan kepada Yogi. Dilihatnya laki-laki manis itu tersenyum. ”Caranya?”

Yogi langsung memberikan sebotol minuman kepada Amanda. Amanda memandanginya dengan heran.

”Temui Angkasa dan berikan minuman itu padanya. Jangan lupa tersenyum dan minta maaf padanya.”

”Apa harus seperti itu? Dia pasti akan menertawakan aku seumur hidup. Huh! Mau ditaruh dimana mukaku nanti. Bisakah dilakukan dengan cara yang lain? Kesannya seperti aku yang menyebabkan dia terpuruk.”

”Dia membutuhkan dukunganmu. Kamu masih menganggapnya sebagai sahabat?”
Amanda cemberut, seakan tak mau melakukan apa yang disarankan Yogi. ”Ah... sahabat ya sahabat. Tapi jangan seperti itu.”

”Cepat pergilah sebelum pertandingan kembali dimulai. Hari ini aku sudah terlalu banyak bicara. Aku lelah.” kata Yogi sembari memegangi kepalanya dan berjalan menghampiri Samson dan Ridwan.

Amanda tersenyum. Memang hari ini Yogi cukup banyak bersuara. Padahal biasanya laki-laki manis itu hanya bisa tersenyum.

Amanda mengendap-endap masuk ruangan khusus pemain. Ia merasa belum siap melakukan apa yang diajarkan Yogi. Ia bersikap waspada seperti seorang pencuri yang takut ketahuan.

”Bruuk!” ia menabrak seseorang.

”Amanda!?”

Amanda tersenyum, ternyata orang yang ia tabrak adalah Jaka.

”Kamu sedang apa di sini?” tanya Jaka.

Amanda kembali tersenyum, ”Aku ingin bertemu dengan Angkasa.”

“Wah, kalau ingin mengajaknya bertengkar, sebaiknya jangan sekarang. Kelihatannya hari ini perasaannya sedang buruk. Bahkan sepertinya di dalam pelatih masih memarahinya. Ini gara-gara dia memaksakan diri menonton pertandingan klub basket dan mengabaikan latihan. Kamu keluar saja.”

”Heh! Jangan berpikiran buruk padaku, ya. Aku kemari untuk mendukung kalian.”

”Hah! Apa tidak salah? Kucing dan anjing bisa akur?”

Amanda melotot kepada Jaka.

”Iya, iya. Ampun! Angkasa ada di dalam. Mungkin sebentar lagi dia juga keluar.”

Tanpa basa-basi, Amanda langsung menyerobot masuk ruangan. Ia bertemu dengan beberapa pemain yang sudah siap keluar ke lapangan. Mereka memandang aneh ke arahnya. Amanda hanya cuek.

Sesampainya di dekat ruang ganti, ia mendengar suara keras pelatih yang sepertinya sedang memarahi Angkasa. Beberapa saat kemudian, pak pelatih keluar dengan perasaan kesal. Angkasa sendirian di dalam. Diam-diam Amanda masuk. Angkasa menoleh setelah merasakan ada orang yang datang. Sebenarnya ia ingin menunjukkan ekspresi senang melihat kedatangan Amanda. Tapi yang muncul adalah ekspresi biasa-biasa saja.

”Hey, playboy bermasalah! Tidak bisa sedikit saja mengalah, ya? Mau sampai kapan bertahan menjadi orang yang menyebalkan?” Amanda kelepasan bicara. Sebenarnya ia ingin mengatakan apa yang diajarkan Yogi. Tapi entah kenapa ketika melihat Angkasa, emosi dan egonya muncul lagi. Angkasa menunduk. Amanda menjadi merasa tidak enak hati.

”Mm....”

”Kalau ingin memarahiku, tolong jangan sekarang.” tukas Angkasa memotong kata-kata Amanda. Ia bangkit, mengambil handuk, dan mulai berjalan meninggalkan ruangan.

”Hey, tunggu! Urusan kita belum selesai.” sergah Amanda. Angkasa menghentikan langkahnya.
Cepat-cepat Amanda menghampiri Angkasa. Ia memandangi lelaki yang biasanya selalu tampak ceria namun kini kelihatan muram. Angkasa tetap menunduk. Amanda menyodorkan botol air minumnya, barulah Angkasa mau mengangkat wajahnya.

”Ini minuman isotonik agar kamu menjadi lebih segar. Aku tidak mau kamu terlihat bodoh saat di lapangan. Minumlah!” pinta Amanda.

Angkasa hanya memandanginya saja.

”Iya, iya... maafkan aku. Sebenarnya aku tidak ada maksud untuk bersikap ketus padamu. Tapi setiap kali melihatmu, rasa kesalku muncul begitu saja.” terang Amanda. Ia tersenyum tulus, ”Walau kita sering berdebat, tapi kita tetap sahabat yang harus saling mendukung. Apapun masalah yang sedang mengganggumu, tak usah dipedulikan. Meski hari ini aku terkesan membenci dan menyalahkanmu, tapi aku tetap ingin melihatmu menang dan membawa kebanggaan.” ia kembali tersenyum, ”Minumlah.”


*****

Pertandingan telah usai. Angkasa dan teman-temannya duduk di restoran untuk merayakan kemenangan mereka. Pak pelatih yang mentraktir. Angkasa, Amanda, Yogi, Jaka, Samson, dan Ridwan duduk mengelilingi meja yang sama. Angkasa duduk tepat di hadapan Amanda. Sementara Yogi dan Ridwan duduk di samping Amanda. Beberapa kali Angkasa mencuri pandang ke arah Amanda yang terus tertunduk. Gadis itu tidak memiliki keberanian untuk menatap Angkasa.

”Aku kira kita akan kalah dan kamu akan menjadi pecundang sejati seumur hidupmu.” tutur Samson.

”Ya. Aku juga sempat mencemaskan mood permainanmu. Di babak pertama permainanmu sungguh sangat jelek, lebih jelek dari permainan Tofan yang pernah kita keluarkan dari tim. Tapi ternyata di babak kedua kekuatan serigalamu muncul juga.” timpal Jaka.

”Bukan kekuatan serigala. Lebih tepatnya kekuatan buaya darat.” tukas Ridwan. Samson langsung memukul kepalanya. Sementara Angkasa tidak terlalu memperdulikan komentar teman-temannya. Ia terus memandangi Amanda yang sedari tadi diam.

”Ini pertandingan tergila yang pernah aku saksikan. Sang kapten bisa menciptakan 11 gol tanpa ampun ke gawang lawan. Saat ini klub bola SMA Nusantara pasti pulang dengan perasaan sangat malu.” lanjut Samson.

”Oh, iya. Sebelum pertandingan, Amanda menemuimu. Untuk apa? Jangan-jangan kalian bertengkar lagi di dalam. Makanya Angkasa menjadi semangat. Apa seperti itu?” selidik Jaka seraya menyikut Angkasa.

“Hah!?” sentak Angkasa yang terkejut. Ia tersenyum sambil memandangi Amanda, ”Mm... tanyakan saja kepada Amanda.” lanjutnya.

Semua mata tertuju pada Amanda. Amanda menjadi merasa dipojokkan.

”Kenapa? Mau tahu saja. Apa anehnya kalau seorang sahabat memberi semangat untuk sahabatnya?” kilah Amanda.

”Oh, iya?” guman Jaka, Samson, dan Ridwan bersamaan.

Angkasa hanya tersenyum. Yogi diam saja. Amanda semakin kesal.

”Huh! Kalian bertiga tidak asyik.” tukas Amanda seraya melanjutkan makannya.

”Aku mau pulang duluan.” kata Yogi. Semua mengarahkan pandangan kepadanya. ”Amanda, nanti kamu pulang dengan Angkasa saja.”

”Kenapa? Tunggu sebentar lagi, ya. Atau aku ikut pulang saja bersamamu?”

”Jangan!” sergah Angkasa. Amanda menoleh ke arahnya. ”Acara ini tidak asyik kalau semua pulang. Nanti pulang bersamaku saja. Jangan merepotkan Yogi untuk berputar-putar hanya untuk mengantarmu pulang.”

”Baiklah, aku pulang dulu.” ujar Yogi seraya menjabat satu persatu temannya.
Amanda tersenyum getir. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nanti saat harus pulang bersama Angkasa. Hari ini ia merasakan ada yang lain dengan Angkasa. Ia merasa tak nyaman, tidak seperti biasanya. Sekilas ia melihat Angkasa tersenyum padanya.

*****

Selepas berpamitan dengan teman-temannya, Yogi tak langsung pulang. Ia berhenti sejenak di taman kota untuk menikmati sedikit kesejukan. Ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan saat ini. Entah mengapa ia tak begitu suka dengan hari ini. Hatinya terasa sakit seakan ditusuk oleh ratusan sembilu. Semua karena Angkasa. Ia tak suka melihat keakraban Angkasa dan Amanda.

Sedikit rasa penyesalan mengganjal di hatinya. Ia menyesal telah menjadi orang yang sok bijaksana. Ia menyesal karena telah menyuruh Amanda untuk mengikuti nasihatnya. Kali ini rasanya sakit sekali. Amanda seakan bukan lagi orang yang memperhatikannya. Ketika ia pergi, ia sangat berharap Amanda bisa ikut bersamanya. Tapi Angkasa lebih dulu bersuara. Sedangkan dia... selamanya tak akan ada keberanian untuk bicara.

Ia berpikir, mungkin tak akan ada lagi sosok Amanda yang manis makan es krim bersamanya. Mungkin ia tak bisa lagi membawa Amanda pergi ketika gadis itu mulai menunjukkan gelagat ingin berkelahi. Mungkin ia bukan lagi penyejuk bagi Amanda. Penyejuk yang mampu meredakan emosi gadis tomboy itu.

Amanda adalah satu-satunya orang yang selalu bisa banyak bicara dengannya meskipun ia sangat sedikit bicara. Sahabat-sahabatnya yang lain seringkali protes ketika ia hanya mengangguk dan tersenyum untuk menjawab pertanyaan mereka. Padalah Amanda tidak pernah mempermasalahkannya.

Ia merasa dirinya aneh. Tak mau ia akui perasaannya kepada Angkasa adalah cemburu dan perasaannya kepada Amanda adalah cinta. Satu hal yang pasti, ia ingin Amanda selalu berada di dekatnya. Maka ketika hari ini Angkasa begitu berbunga-bunga karena Amanda, ia tak begitu suka. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi antara mereka berdua selain acara pemberian minuman isotonik.

Angin semilir tiba-tiba berhembus lembut. Selembar kertas melayang dan jatuh tepat di bawah kaki Yogi. Yogi memperhatikannya, kemudian memungutnya. Selembar kertas bergambar sketsa pohon kaktus di dalam pot.

“Maaf….” Sebuah suara lembut tiba-tiba hadir. Yogi langsung mengalihkan pandangannya kepada orang yang ada di depannya. Ia terkesima. Seorang gadis manis yang tadi pagi ia temui di SMA Bhakti Pertiwi kembali hadir di hadapannya. Gadis itupun tersenyum padanya.

“Mm… bukankah kamu… maaf, handukmu baru saja aku bawa ke laundry. Mungkin baru besok aku bisa mengembalikannya padamu.” Kata gadis itu yang masih ingat dengan orang yang handuknya telah ia buat kotor.

“Kamu anggota klub basket SMA Garuda Satria, kan?” tanyanya. Yogi hanya mengangguk.

”Boleh aku duduk di sebelahmu?” pinta gadis itu. Kembali Yogi hanya menjawab dengan anggukan.

”Pelatih basket di sekolahmu adalah pamanku. Kebetulan mulai senin besok aku akan pindah ke sekolahmu. Nanti kalau aku bertemu denganmu, akan kukembalikan handukmu.” terangnya. Ia memperhatikan lelaki di sampingnya yang ia anggap aneh. Sejak tadi ia tidak bicara. Tiba-tiba Yogi balik memperhatikannya, sehingga ia berpura-pura mengalihkan pandangan.

”Eh, kita belum berkenalan. Namaku Zahra.” katanya sembari mengulurkan tangannya.

”Yogi.” balas Yogi seraya membalas jabat tangan itu.

Semilir angin berhembus seakan tak mau kalah ingin berkenalan juga dengan si manis Zahra. Bunga-bunga kebahagiaan bermekaran di hati Yogi. Meskipun ia terkesan biasa-biasa saja, tetapi hatinya sungguh merasa sangat senang. Ia kira gadis itu hanya akan menjadi angin lalu baginya. Tapi mulai besok, gadis itu bahkan akan satu sekolah dengannya.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar