Bagian I
They are Little Shine
Pagi yang cerah di sebuah SMA ternama di Bandung. SMA Garuda Satria. Beberapa burung asyik berkicau di dahan-dahan pohon rimbun taman sekolah. Sudah banyak siswa yang datang ke tempat menimba ilmu itu. Beberapa guru juga mulai terlihat di ruangannya. Di setiap kelas terdengar lantunan musik yang saat ini sedang digemari kebanyakan anak muda. Musik itu berasal dari salah satu ruangan di ruang guru yang khusus digunakan untuk menyampaikan pengumuman atau memutar musik di luar jam pelajaran. Tak jarang juga digunakan untuk ajang kirim salam dan reques lagu kepada pengurus OSIS yang bertugas setiap jam istirahat tiba. Khusus hari jum’at diputar musik-musik islami.
Lantunan lagu “Semua Tentang Kita” milik band Peterpan terus mengalun, mengiringi langkah sekelompok siswa yang sangat terkenal di SMA itu. Mereka adalah Karang, Angkasa, Jaka, Ridwan, Ilyas, Samson, Yogi, dan Amanda. Mereka adalah delapan sahabat dengan karakter yang berbeda-beda yang menamakan diri ”LS”, alias ”Little Shine”, yang artinya ”Cahaya Kecil”. Masing-masing dari mereka selalu memakai dekker kecil di tangan kiri mereka yang berlogo kunang-kunang dengan tulisan ”Little Shine” yang mengelilinginya.
Dapat dikatakan kalau mereka adalah salah satu genk di sekolah itu. Tapi genk yang satu ini tidak menutup diri dari orang lain. Mereka masih tetap akrab dengan teman di luar LS. Bahkan seringkali mereka terlihat asyik dengan teman-teman mereka, karena hobi mereka berbeda-beda. Samson dan Yogi suka basket. Angkasa dan Jaka pecinta sepak bola sejati. Ridwan suka berdiskusi dengan kelompok ilmiahnya dan lebih sering berkunjung ke perpustakaan. Amanda senang dengan klub pencak silat dan karate. Ilyas sering sibuk bersama klub teaternya. Sedangkan Karang lebih suka menjadi aktivis di OSIS dan DPK (Dewan Perwakilan Kelas).
Meskipun mereka disibukkan oleh kegiatan mereka, namun kebersamaan mereka tetap terjaga. Hampir setiap minggu sore mereka berkumpul di sungai, tempat pertemuan tetap mereka. Atau terkadang saat istirahat tiba, mereka berkumpul di gudang sekolah yang merupakan tempat pertemuan rahasia di sekolah. Tak jarang mereka berkumpul dengan jumlah tak lengkap delapan orang. Setiap dari mereka sudah dapat memahami kesibukan mereka. Paling tidak setiap hari mereka dapat bertemu. Karena entah kebetulan atau bagaimana, mereka dapat menjadi satu kelas. Bahkan mereka menempati kelas yang dianggap unggulan di sekolah itu. Hanya siswa dengan prestasi baik yang dapat menempatinya.
Selain hobi, karakter mereka juga jauh berbeda. Amanda yang tomboy dan sangat suka berkelahi. Angkasa, anak orang kaya yang selalu tampil menarik dan suka ganti-ganti pacar. Jaka yang rendah diri, baik hati, dan suka melucu. Karang yang selalu optimis dan teguh pendirian. Ilyas yang lemah lembut, bijaksana, dan penyabar. Yogi yang sangat pendiam. Samson yang keras kepala, emosian, galak, dan egois. Serta Ridwan yang selalu berpenampilan sederhana (penampilan yang dianggap ketinggalan jaman) dengan kacamata tebalnya, seperti layaknya para ilmuwan.
*****
Pertemuan delapan sahabat itu bermula saat MOS (Masa Orientasi Siswa), yaitu semacam kegiatan pengenalan lingkungan sekolah yang dilaksanakan OSIS kepada semua siswa baru selama tiga hari, dari hari senin sampai rabu Tepat di hari terakhir kegiatan itu, ada permainan yang dirancang oleh panitia. Cara mainnya, semua peserta MOS diminta untuk memperebutkan kartu warna-warni yang diletakkan panitia di tengah lapangan. Kartu-kartu itu ada tujuh warna, yaitu: merah, putih, kuning, biru, hijau, ungu, dan hitam. Setiap anak harus mendapatkan salah satu. Jika tidak, ada sanksi yang akan diterima.
Permainan pun dimulai. Semuanya berebut untuk mendapatkan kartu-kartu itu. Setelah itu, seluruh peserta di suruh berbaris berdasarkan warna kartu yang mereka miliki. Fungsi kartu itu nanti sebagai tiket masuk permainan yang disesuaikan dengan warna kartu mereka. Kebanyakan dari mereka mendapatkan kartu putih. Dan hanya sedikit yang mendapatkan kartu hitam. Hanya delapan orang, yang tak lain adalah LS.
”Baiklah, kalian semua masing-masing sudah mendapatkan satu kartu. Jangan heran atau mempertanyakan, mengapa jumlah kartu yang berwarna sama berbeda. Mengapa kartu warna putih lebih banyak dan kartu warna hitam paling sedikit.” semua menjadi berisik mendengar kata-kata yang disampaikan oleh ketua panitia. Mereka bertanya-tanya mengapa demikian.
”Saya minta kalian tenang!” seru ketua panitia. Seketika suasana kembali hening. Ketua panitia melanjutkan kata-katanya,
”Bagi yang mendapat kartu warna merah, silakan mengikuti Kak Salsa disebelah sana. Kalian akan diajak makan bersama.” kata-kata ketua panitia bernama Johan itu disambut riuh sorak sorai gembira oleh kelompok yang mendapat kartu merah.
”Hey,diam dulu, saya belum selesai bicara.” Sergah Johan. Mereka kembali diam. ”Sebelum kalian ikut acara makan bersama, terlebih dahulu kalian harus melaksanakan tugas. Tugasnya membersihkan taman, selokan, dan halaman sekolah.”
”Huu....!” seloroh anak yang mendapat kartu merah. Mereka merasa sial. Sementara yang lain tertawa, mengejek mereka yang terlalu percaya diri akan mendapat tugas yang enak. Akhirnya mereka ribut dan saling mengejek.
”Sudah, sudah! Semuanya juga akan mendapatkan hal yang sama.” suasana kembali tenang. Johan melanjutkan bicaranya. ”Bagi yang mendapat kartu putih, nanti ikut Kak Toni. Tugas kalian membersihkan seluruh ruang kelas.”
”Kak, yang dapat kartu putih dapat makan juga?” tanya salah seorang peserta dari kelompok kartu putih yang bertubuh agak gemuk. Semua menyorakinya.
”Kalian semua nanti akan menikmati hidangan spesial, tenang saja.” ucap Johan. Anak yang bertanya tadi terlihat senang.
”Baiklah, yang mendapat kartu biru nanti mengikuti Kak Frans untuk membersihkan toilet.” kelompok kartu biru kecewa, karena tugasnya membersihkan toilet yang pasti kotor dan bau. Banyak terdengar suara keluhan dari mereka. Namun panitia seperti tidak peduli. ”Masa kalian tidak mau, sekolahan kita menjadi bersih. Ini kan kegiatan untuk kebaikan kita bersama.” tambah Johan.
”Okay, kelompok kartu hijau nanti bersama Kak Yahya untuk membersihkan lingkungan mushala dan kantin. Kelompok ungu bersama Kak Mutiara tugasnya membersihkan laboratorium, sedangkan kelompok Kuning bersama Kak Wahyu membersihkan lapangan bola, lapangan voli, lapangan basket, dan tempat parkir.”
Karang mengangkat tangannya, ”Kak, kelompok kartu hitam tugasnya apa?” tanyanya.
”Renang di kolam ikan!” ledek salah seorang peserta dari kelompok kartu putih. Semua menertawakan delapan anak yang memperoleh kartu hitam itu.
”Marlo, pulang nanti aku tunggu di depan pintu gerbang!” ancam Samson dengan raut muka penuh kemarahan. Marlo yang tadi meledek seketika terdiam.
”Menunggu untuk apa, Sam?” tanya Johan yang mengetahui amarah dalam dada Samson.
”Untuk pulang bersama, kak.” balas Samson dengan senyuman.
“Baiklah. Panitia sengaja membuat jumlah kartu hitam hanya sedikit, karena yang mendapat kartu hitam akan diberi kebijakan tidak perlu ikut bekerja bakti seperti yang lain.” Kata Johan menjelaskan. Kedelapan anak yang mendapat kartu hitam merasa beruntung. Mereka langsung berjabat tangan, sementara yang lain kecewa.
”Itu tidak adil,kak!” protes salah seorang peserta.
“Apa seandainya temanmu mendapat nilai baik, sedangkan nilaimu tidak baik, berarti gurumu atau Tuhanmu tidak adil padamu?” tanya Johan.
“Mungkin!”
“Setiap orang memiliki rejekinya masing-masing sesuai dengan jalan yang mereka pilih. Seandainya kamu ingin seperti mereka, kenapa tadi tidak memilih kartu hitam? Kenapa kamu justru memilih kartu hijau? Siapa yang salah? Padahal panitia membebaskan kalian untuk memilih kartu yang kalian suka.” semuanya terdiam, termasuk anak yang tadi protes.
”Ini adalah satu pelajaran bagi kalian agar mensyukuri dan ikhlas dengan apa yang kalian dapatkan. Di sekolah ini diberlakukan adanya kelas unggulan. Siapa saja yang ingin menghuni kelas itu, syaratnya hanya satu. Nilai kalian harus di atas rata-rata. Walaupun diantara kalian ada anak orang kaya, tidak akan pernah bisa masuk ke kelas unggulan jika nilainya tidak memenuhi syarat. Dalam kehidupan pasti ada seleksi alam. Hanya yang terbaik dan beruntung yang akan mendapatkan yang terbaik. Apa sekarang kalian mengerti?”
”Mengerti....” seru mereka.
”Sekarang kalian silakan mengikuti pembina masing-masing. Sementara untuk kelompok kartu hitam, silakan mengikuti panitia ke ruang OSIS.”
Semuanya langsung bubar mengikuti instruksi ketua panitia. Delapan orang yang mendapat kartu hitam mengikuti panitia yang lain menuju ruang OSIS. Baru pertama kali mereka melihat langsung ruangan yang dianggap paling penting bagi siswa di SMA itu. Suatu kebanggaan seandainya dapat menjadi seorang pengurus OSIS. Sementara yang lain sedang sibuk bekerja bakti, delapan anak itu malah diajak makan bersama oleh pengurus OSIS.
”Kak, apa tidak apa-apa seperti ini?” tanya Ridwan, cowok berkacamata tebal itu.
”Kamu mau ikut kerja bakti seperti yang lain?” tanya Ramdan, ketua OSIS periode itu.
”Tidak juga.”
”Sudah, nikmati saja apa yang kamu dapatkan. Seperti yang Johan katakan, setiap orang mendapatkan rejekinya masing-masing.” jawab Ramdan dengan nada bijaksana.
”Amanda, kamu jadi anak paling cantik di antara mereka.” sahut Johan. Amanda hanya biasa-biasa saja mendengarnya.
”Menurutku lebih cantik Ilyas.” ucap Karang.
”Ah, jangan terlalu memuji.” balas Ilyas santai. Dulunya Karang dan Ilyas memang satu SMP dan Karang pernah melihat Ilyas pementasan drama berperan sebagai perempuan. Memang cantik tampilannya. Lebih halus dari Amanda yang sudah kelihatan seperti anak tomboy. Mereka terus bercanda ria dengan para panitia. Di sela-sela canda ria, sesekali sang ketua OSIS menceritakan keadaan di sekolah itu. Dari organisasi OSIS itu sendiri, semua ekstrakurikuler yang ada, kegiatan-kegiatan rutin, sampai karakter para guru dan siswa yang ada. Mereka beruntung memperoleh pengetahuan yang lebih dari yang lain.
Sedang asyik-asyiknya sharing, tiba-tiba seorang perempuan cantik masuk. Namanya Niken.
”Oh, ini mereka,ya?” katanya.
”Iya.” jawab Ramdan.
”Iya bagaimana?” tanya Amanda penasaran.
”Begini, kalian kan dapat kartu hitam, jadi tugas kalian adalah membuat sebuah drama untuk pementasan di malam api unggun malam minggu besok.” sahut Johan menjelaskan.
”Apa tidak salah!? Aku mana bisa bermain drama.” kata Samson dengan nada protes.
”Kalau latihan pasti bisa.” kata Niken dengan seulas senyuman.
”Kak, kalau mencari pemain drama kira-kira. Masa aku? Kalau disuruh bertanding karate atau silat, aku mau.” protes Amanda.
”Aku orang paling susah menghafal pelajaran. Apalagi drama, pasti banyak dialognya. Kalu berperan jadi orang bisu atau jadi batu aku mau.” tukas Jaka.
”Aku juga tidak bisa. Soalnya aku suka grogi kalau harus tampil di depan orang banyak.” tambah Ridwan.
”Yang cocok Ilyas. Waktu SMP dia ikut klub teater. Di SMA ini juga dia mau ikut lagi.” kata Karang.
”Aduh, pokoknya kalian harus menolong kakak mensukseskan acara malam api unggun. Soalnya kakak ini penanggung jawab acara. Lagipula sudah kewajiban kalian untuk melaksanakan tugas ini, kan?” pinta Niken.
”Jadi makanan ini untuk menyuap kami?” sergah Angkasa.
”Tahu begini, lebih baik ikut kerja bakti.” protes Samson.
”Ini kewajiban kalian. Kami membebaskan kalian untuk merancang drama yang akan dipentaskan. Tema dan cerita silakan kalian buat sendiri. Seandainya kalian memerlukan bantuan, kami siap membantu. Aku harap tidak memalukan, soalnya Pak Kepala Sekolah akan datang. Ini juga kesempatan bagi kalian berdelapan untuk lebih dikenal di SMA ini. Aku jamin kalian akan dapat masuk ke organisasi atau klub yang kalian minati di SMA ini.” bujuk Ramdan.
”Tapi kalau kalian tidak mau, kalian harus mengikuti MOS lagi tahun depan.” ancam Johan.
”Wah, kita diancam.” protes Samson.
”Sam, kamu suka basket, kan? Kamu bisa langsung masuk tanpa seleksi seandainya kamu mau ikut pementasan.”
”Kakak mau menyogokku?”
”Menyogok bagaimana? Apa ada untungnya kamu menolak. Bukankah lebih baik menerima?” bujuk Johan. Samson berdiskusi sebentar dengan yang lain. Akhirnya mereka sepakat untuk menerima tugas itu. Semua panitia merasa puas. Walaupun merasa dibohongi dengan diajak makan bersama, mereka tetap merasa beruntung dapat dekat dengan para pengurus OSIS.
Setelah acara itu, mereka berdelapan berdiskusi tentang apa yang akan mereka pentaskan dalam acara malam api unggun yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka tak punya banyak waktu untuk membahasnya. Untung saja ada Ilyas yang sedikit berpengalaman dalam bidang teater. Dia yang merancang cerita dan membagi peran teman-temannya. Ilyas tetap sabar membimbing teman-teman yang berbeda karakter itu. Samson yang paling sulit diatur. Kerjaannya hanya marah-marah dan berteriak-teriak. Untung ada Amanda yang mampu mengimbanginya.
”Heh, bukan kamu saja yang tidak suka dengan kegiatan seperti ini. Kita semua tidak suka. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada nanti membuat malu diri sendiri di pementasan, lebih baik kita latihan agar tidak memalukan. Jadi kamu tidak perlu banyak bicara.” kata Amanda setelah emosinya memuncak mendengar ocehan Samson.
”Apa hakmu memerintahku?”
”Seandainya suaramu tak sampai ke telingaku, seandainya wajahmu tak terlihat di mataku, aku tidak peduli padamu.”
”Kalau begitu, pergilah! Dengan begitu kamu tidak akan melihat dan mendengar suaraku.”
”Sudahlah, lebih baik kita latihan lagi.” bujuk Angkasa.
”Seandainya aku tidak mendapat kartu hitam itu, aku tidak akan pernah mau di sini, apalagi bertemu dengan orang sepetimu. Tapi inilah takdir yang mengharuskan aku untuk bekerja sama dengan orang sepertimu.” balas Amanda. Mata Samson semakin tajam memandang perempuan di depannya.
”Mohon kerjasamanya, ya.” ucap Amanda dengan seulas senyuman. Ia mengulurkan tangannya. Amarah Samson seketika mereda. Ia kemudian menjabat tangan Amanda dengan mantap. Ia tertawa. Yang lain pun ikut tertawa. Ternyata perang dingin urung terjadi. Sejak kejadian itu, mereka menjadi akrab. Mereka latihan dengan serius, membuat Ilyas senantiasa tersenyum menghadapi mereka.
Pada saat acara malam api unggun penyambutan siswa baru, delapan anak itu akhirnya menampilkan drama yang mereka rancang. Ada banyak sambutan sinis dan meremehkan ketika mereka akan tampil.
”Cowok jadi-jadian seperti Amanda masa disuruh main drama. Apalagi si tukang marah-marah, Samson, yang suka teriak-teriak di kelas. Drama apaan. Kenapa bukan aku yang sudah pernah main sinetron bareng Luna Maya.” komentar Blita.
”Tapi kamu kan hanya sebagai peran pembantu.” jawab Indi yang ada di sampingnya.
”Semua artis ya begitu, berawal dari peran pembantu. Suatu saat juga jadi peran utama.” balas Blita dengan nada sinis.
Kata-kata Blita sempat terdengar oleh Amanda yang akan naik ke atas pentas. Saat delapan anak itu naik pentas, mereka disambut oleh muka-muka meremehkan mereka. Ilyas membisikkan sesuatu kepada teman-temannya agar tidak peduli kepada anggapan-anggapan orang. Katanya, yang terpenting adalah tampil sebaik mungkin agar orang yang menonton mereka terkesan. Tidak ada kesempatan untuk mundur. Harus terus maju. Hanya ada dua kemungkinan, dipuji atau diremehkan.
Akhirnya mereka menanpilkan drama berjudul ”Little Shine”. Lampu panggung dimatikan. Suasana gelap. Sunyi. Tak lama kemudian terdengar suara nyanyian Amanda yang membawa lilin di tangannya. Ia bernyanyi sambil menari, sehingga cahaya lilin di tangannya seperti kunang-kunang yang terbang.
Di malam yang sunyi ini aku hanya sendiri
Hutan gelap gulita
Mendendangkan nyanyian malam
Seram, aku takut sendiri
Andaisaja aku matahari
Aku takkan takut di hutan sendiri
Cahayanya hangat menerangi hutan
Tapi aku hanya cahaya kecil
Tak mampu menyinari seisi hutan
Apalah gunaku?
Aku hanya cahaya kecil tak berarti
Tak berarti seperti matahari
Tak berarti untuk malam
Tak berarti untuk diri sendiri
Suasana tetap hening. Semua memusatkan perhatian kepada Amanda. Banyak yang terkesima melihat penampilan gadis tomboy yang selama MOS sering membuat kesalahan dan sangat berani protes kepada panitia ketika ada hal-hal yang ia tak suka. Tak lama kemudian, datang kunang-kunang yang lain.
Drama ini mengisahkan seekor kunang-kunang yang merasa sepi dan tak berarti. Setiap malam ia seringkali sendiri. Sementara teman-temannya asyik berkejar-kejaran kesana-kemari dengan riangnya. Tapi ternyata ia tidak sendiri. Masih ada kunang-kunang yang mau menemaninya bermain. Kunang-kunang yang kesepian itu merasa senang. Tapi tetap saja ia merasa masih kurang. Ia merasa tidak pernah berguna. Cahayanya kecil, tak sebesar matahari, bulan, maupun bintang. Semua teman bingung mencari cara untuk menghiburnya. Pernah sebuah pohon berkata pada kunang-kunang itu,
”Walaupun kau tak bisa menerangi malam, tapi aku senang dengan keberadaanmu di hutan ini. Aku senang melihatmu terbang, menari-nari, sambil bernyanyi.” namun kata-kata sang pohon belum bisa membuatnya merasa berarti.
Pada suatu malam yang gelap, ada seorang manusia yang tersesat di hutan. Berkali-kali ia menabrak pohon dan jatuh karena suasana sangat gelap. Si kunang-kunang lantas mendekati orang itu. Ia ingin menolongnya.
”Oh,akhirnya aku melihat cahaya. Tapi sayang, engkau hanya cahaya kecil. Tak mungkin bisa memanduku mencari jalan di hutan yang gelap ini.” ratap orang itu.
”Ia. Sebenarnya aku ingin sekali menolongmu. Tapi aku hanyalah cahaya kecil yang tak berarti.” kata si kunang-kunang. Ia tampak kembali murung.
Tak berapa lama kemudian, muncul banyak teman-teman si kunang-kunang. Mereka merapatkan diri dan menggabungkan cahaya mereka, sehingga tampaklah cahaya yang terang. Manusia yang tersesat itu sangat senang melihatnya. Akhirnya sekumpulan kunang-kunang itu menjadi penerang jalan bagi manusia yang tersesat hingga dapat keluar dari hutan.
”Terima kasih, kunang-kunang.” kata manusia itu.
”Terima kasih, teman-teman.” kata si kunang-kunang. Ia tampak sangat bahagia, karena ternyata ia tidak sendiri. Ada banyak teman-teman yang menemaninya. Ia juga senang karena akhirnya dapat bermanfaat bagi orang lain.
”Itulah gunanya teman. Setiap mahluk, pasti membutuhkan teman. Tidak ada satupun mahluk yang bisa hidup sendiri.” kata salah satu teman kunang-kunang.
”Benar. Bahkan, suatu pekerjaan akan terasa ringan jika dikerjakan bersama-sama.” timpal yang lain.
”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” seru teman-teman si kunang-kunang.
Akhirnya si kunang-kunang dapat meneria keadaan dirinya. Meskipun cahayanya kecil, tapi ia masih bisa berguna bagi orang lain. Dan malam-malam yang akan datang, ia tak lagi sendiri. Ia akan terbang, menari, dan bernyanyi riang bersama banyak teman-temannya.
Pertunjukkan selesai. Tepuk tangan meriah menggema untuk penampilan yang sangat luar biasa. Delapan pemain drama itu tersenyum lebar melihat hasil jerih payah latihannya. Yang lebih membanggakan, Pak Kepala Sekolah menyalami mereka seraya memberi selamat. Para panitia MOS juga terlihat puas. Padahal kebanyakan dari mereka ragu kalau sekelompok anak aneh seperti mereka dapat menyuguhkan sebuah hiburan seindah itu.
Selesai pementasan, api unggun dinyalakan. Semuanya duduk mengelilingi api unggun. Para panitia mengambil tempat di tengah barisan. Giliran para panitia yang menghibur adik-adik kelas mereka. Ada yang bernyanyi, menari, pertuntukkan sepak bola api, hingga melawak. Tapi pertunjukkan paling berkesan adalah drama itu. Karena drama itulah delapan pemainnya menjadi terkenal.
*****
Delapan sahabat terus berjalan menuju kelas. Sesampainya di depan pintu kelas, mereka dihadang oleh Marlo, sang ketua kelas. Ia menyambut mereka dengan muka masam.
”Selamat pagi, ketua. Terima kasih telah menyambut kedatangan kami. Tapi tolong minggir sedikit, ya. Kami ingin masuk.” pinta Samson dengan kata-kata yang membuat Marlo tampak tersinggung. Karang langsung menepuk pundak Samson, sebagai isyarat agar lebih berhati-hati bicara.
”Aku bisa mengerti kalau kalian selalu ingin bersama, termasuk berangkat bersama. Tapi kalian bukan hanya hidup di dunia kalian saja. Tapi bersama orang lain. Tolong kalau tiba giliran piket, datanglah lebih awal.”
”Hey! Jangan....” belum sempat Samson menyelesaikan kata-katanya, Amanda lebih dulu menutup mulutnya dan menariknya menjauh dari Marlo.
”Maafkan kami. Lain kali tidak akan seperti ini lagi. Terima kasih sudah mengingatkan.” kata Karang.
”Nanti berikan kami jadwal piketnya, ya. Agar kami tidak lupa dan membuatmu kesal.” tambah Ilyas seraya merangkul pundak Marlo dengan penuh bersahabat.
”Sebagai gantinya, sepulang sekolah kami akan mengepel kelas.” lanjut Angkasa.
”Terima kasih,” Marlo menjabat tangan Angkasa. Rasa kesalnya sekarang sudah tidak tampak.
”Eh, jangan lama-lama di depan kelas. Nanti rejeki tidak mau masuk!” seru Jaka seraya mendorong teman-temannya untuk masuk kelas. Kata-kata Jaka mampu merekahkan senyuman di bibir mereka.
”Maksudmu Sri Rejeki, anak kelas sebelah?” timpal Ridwan.
“Eh…sudah banyak membaca buku belum juga mengerti. Sia-sia kamu menghabiskan banyak waktu di perpustakaan.” cibir Jaka.
”Bercanda, Mas. Aku kan tahu, kamu hanya menyukai Reni.” ketus Ridwan. Ia segera menutup mulutnya, karena kelepasan bicara. Mereka memandangi Jaka yang raut wajahnya memerah karena malu. Jaka menatap tajam ke arah Ridwan. Ia lantas mengejar Ridwan yang telah membocorkan rahasianya. Suasana kelas menjadi ribut oleh aksi kejar-kejaran dua anak itu. Tapi tidak ada yang berusaha menghentikan mereka.
Sementara itu, di taman, Samson masih marah kepada Amanda yang tiba-tiba menariknya dari ajang perdebatan.
”Sombong sekali orang yang bernama Marlo itu. Baru menjadi ketua kelas saja sudah berani sok berkuasa.” ketus Samson.
”Itu wajar. Haknya sebagai ketua kelas memang mengatur kelasnya. Ini kan memang kita yang salah karena melanggar jadwal piket.” jawab Amanda.
”Kamu mau membelanya? Seharusnya tadi kamu membiarkan aku melayani debat dengan Marlo!” bentak Samson.
”Kalau marahmu belum reda juga, aku masukkan kamu ke dalam kulkas di kantin!” bentak Amanda yang tak kalah galak dari Samson. Samson terdiam.
”Sam, tidak ada masalah yang dapat diselesaikan dengan emosi. Terkadang untuk menyelesaikannya kita perlu mengalah. Kalau tadi aku biarkan kamu tetap bicara, mungkin masalahnya akan semakin besar, bahkan sampai harus menghadap kepala sekolah. Aku yakin, teman-teman kita lebih bisa memberikan pengertian kepada Marlo. Dan sekarang, pasti sudah tidak ada apa-apa.”
Samson mencoba merenungi kata-kata Amanda, ”Jadi memang sikapku selama ini tidak pernah berguna bagi kalian.”
”Tidak juga. Kadang keberadaanmu dibutuhkan untuk menghadapi orang-orang yang suka main otot.” balas Amanda dengan seulas senyum.
”Memang aku pengawal pribadimu!”
”Sudahlah, kita ke kelas sekarang. Sebentar lagi pasti bel berbunyi.” Ajak Amanda.
Sesuai kesepakatan dengan Marlo, siang itu setelah jam sekolah usai, anak-anak LS kerja bakti membersihkan kelas. Tapi tidak tampak ada Karang, Ridwan, dan Samson di sana. Karang siang itu harus mengikuti rapat OSIS. Ridwan ada pertemuan dengan klub KIR, Karya Ilmiah Remaja. Sementara Samson dipanggil pelatih basketnya untuk membahas perubahan jadwal latihan tim inti. Otomatis hanya tersisa lima orang, Amanda, Angkasa, Ilyas, Yogi, dan Jaka, yang harus membersihkan kelas. Mereka berlima tidak ada satupun yang mengeluh. Mungkin akan berbeda ceritanya seandainya ada Samson di sana. Ruang kelas tidak kunjung bersih, tapi malah semakin berantakan, karena amukan Samson.
Suasana sekolah mulai sepi. Pada hari senin memang hanya ada ekskul renang dan kajian islam. Ekskul renang diadakan di luar sekolah, sedangkan ekskul kajian islam diadakan di mushala. Jadi tidak seramai hari-hari lain. Paling ramai pada hari kamis, karena ada ekskul basket, pemandu sorak, voli, teater, paduan suara, PASKIBRA, PMR, dan tari. Sedangkan hari tenang, hari jum’at. Pada hari itu hanya ada ekskul yoga selepas sholat jum’at. Hari sabtu ada ekskul sepak bola dan pencak silat yang biasa diadakan bersama di lapangan kecamatan, yang berada tepat di samping sekolahan. Hari selasa ada ekskul KIR, musik, tenis, dan elektro. Sedangkan di hari rabu ada ekskul Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sastra klub (tempat siswa yang hobi menulis), kaligrafi, seni lukis, dan English Club.
Selama membersihkan kelas, mereka mengusir kejenuhan dengan bercanda. Angkasa terus mengganggu Amanda yang sedang mengepel. Ia sengaja berlari-lari di bagian yang sudah dipel. Ia bermaksud membuat Amanda kesal. Namun Amanda tidak terpengaruh. Ia tetap kukuh dengan apa yang sedang ia kerjakan. Tapi lama-lama ia kesal juga. Sehingga membalas dengan mencipratkan air kotor ke baju Angkasa. Akhirnya Angkasa menyerah dan pergi menghampiri Yogi yang mengelap kaca jendela. Sedangkan Jaka dan Ilyas menyapu bagian luar kelas sembari sesekali main perang-perangan dengan sapu yang mereka pegang.
Dari delapan orang anggota LS, Yogi adalah yang paling kalem dan jarang bicara. Seandainya ada hal lucu, paling ia hanya tersenyum. Rasanya belum pernah ia tertawa sekalipun. Jangankan tertawa, bicara saja seperlunya dengan kalimat yang singkat. Ini bukan karena dia bisu atau apa. Dia normal. Menurut Samson yang sejak SD mengenal Yogi, orangnya memang sangat pendiam. Kalau ditanya paling jawabannya dengan mengangguk, menggeleng, atau mengangkat kedua bahunya. Terkadang menjawab ‘tidak tahu’. Kalau disuruh berkomentar, ia hanya tersenyum dan mengatakan ‘terserah’.
Saat pelajaran dia lumayan mau membuka mulutnya, mengeluarkan suara indahnya untuk berbicara. Tapi tidak menghilangkan ciri khas kalau dia tipe orang yang irit bicara. Saat dibuka waktu debat pendapat di kelas, ia selalu ikut angkat bicara. Tapi tetap saja, dengan kata-kata yang singkat, padat, tapi mengena.
Kadang teman-temannya kesal dengan sifatnya yang sangat pendiam. Dia hampir tidak pernah berkomentar tentang teman-temannya. Jika teman-temannya sedang bercerita macam-macam, ia hanya mendengarkan saja. Sampai Samson memanggilnya ‘Mayat Hidup’ sangking kesalnya. Penyebabnya, ia pernah melihat Yogi dikeroyok salah satu genk di sekolah yang hobi meminta uang dengan memaksa kepada siswa-siswa di sekolah itu. Yogi tidak memberi uang kepada mereka, karena uangnya sudah habis untuk membeli buku di koperasi sekolah. Akhirnya dia dihajar habis-habisan, tapi ia hanya diam seperti patung, tidak membalas sama sekali. Untung ada Samson yang kebetulan melihatnya. Dia langsung menghajar preman-preman berpendidikan itu sampai babak belur. Muka Yoga menjadi biru-biru.
“Terima kasih,” ucap Yoga saat itu.
”Kamu ini seperti mayat hidup saja. Masa ada orang yang berani memukulimu kamu diam saja. Kalau kamu merasa tidak bisa menghadapi mereka, kamu kan bisa berteriak minta tolong! Punya mulut kenapa tidak digunakan? Orang bisu saja ingin bisa bicara. Kalau tadi aku tidak datang bagaimana?” oceh Samson. Yogi hanya tersenyum. ”Kenapa tersenyum? Memangnya luka di wajahmu itu tidak sakit, masih bisa senyum-senyum. Kalau tadi kamu sampai mati, apa masih mau tersenyum?” lanjut Samson. Sekali lagi Yogi hanya tersenyum.
Angkasa bukannya membantu Yogi mengelap kaca, malah hanya terpaku melihat temannya itu. Lama kelamaan Yogi agak risih dengan sikap Angkasa.
”Kenapa?” tanya Yogi seraya menoleh ke arah Angkasa yang ada di sampingnya.
”Tidak ada.” jawab Angkasa. Yogi kembali melanjutkan pekerjaannya. ”Yogi, sebenarnya kamu tahu namaku tidak?” sambung Angkasa. Yogi memandanginya dengan pandangan penuh tanya.
”Bukan apa-apa. Selama ini aku jarang mendengarmu bicara. Waktu pementasan LS dulu, kamu juga hanya menjadi salah satu kunang-kunang tanpa dialog. Kamu orang yang sangat pendiam. Dan aku rasa, kamu tidak pernah sekalipun memanggil namaku.”
”Oh, iya?” Yogi kembali terpaku pada pekerjaannya.
”Apa selama ini kamu tidak merasa, kalau kamu ini terlalu irit bicara. Kamu ini kan salah satu tim basket inti. Kamu keren, permainanmu bagus, banyak yang suka padamu, tapi kamu pendiam. Setiap ada gadis yang mendekatimu selain Amanda, kamu selalu ingin menghindar. Seandainya kamu mau sedikit terbuka, aku yakin, kamu akan menjadi idola di sekolah ini.” Yogi hanya mampu tersenyum menanggapi perkataan temannya itu.
”Hey, jangan hanya tersenyum! Sekali-kali keluarkan pendapatmu, seperti yang biasa kau lakukan di kelas.” protes Angkasa.
”Setiap orang memiliki karakternya sendiri. Dan aku tidak bisa menjadi sepertimu, Angkasa. Sudahlah, daripada kita berdebat, lebih baik kamu membantuku membersihkan jendela. Kalau tidak bersih, nanti Marlo marah.” pinta Yogi.
”Kata-katamu sudah cukup panjang. Lumayan. Tapi intonasimu masih datar. Bicara itu sebaiknya menggunakan intonasi yang bervariasi. Kadang tinggi, rendah, sedang, supaya yang mendengar tidak jenuh. Kamu juga….” Belum selesai bicara, Yogi terlebih dulu melemparkan kain lap ke mukanya. ”Sialan!” bentak Angkasa. Sementara Yogi sudah kabur duluan meminta perlindungan Amanda. Angkasa mengejarnya.
”Amanda, serahkan Yogi! Aku ingin menjitak kepalanya.” pinta Angkasa yang melihat Yogi bersembunyi di balik tubuh Amanda.
”Playboy nakal tidak usah mengganggu anak baik-baik, ya.” Jawab Amanda.
“Dia sudah berani melempar kain kotor ini ke muka orang tampan sepertiku. Tidak bisa dimaafkan!”
Amanda memandang ke arah Yogi, ”Benarkah?”
“Dia terlalu banyak bicara.” Terang Yogi
“Orang tampan walaupun terkena sedikit kotoran akan tetap tampan, tenang saja. Hey, itu Resti di belakangmu.” kata Amanda yang lebih dulu melihat kehadiran Resti, kekasih baru Angkasa.
Angkasa menengok ke belakang. Tampak seorang perempuan cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai indah. Perempuan itu tersenyum padanya.
”Kamu belum pulang?” tanyanya. Amanda dan Yoga tampak malas melihat kegombalan Angkasa. Sementara Ilyas dan Jaka malah menjadikannya tontonan.
”Aku menunggumu.” balas Resti dengan nada halus.
”Uh... so sweet....!” ledek Ilyas dan Jaka seraya berpelukan, mendramatisir keadaan. Bukannya malu, Angkasa malah semakin menjadi-jadi menunjukkan rayuannya. Ia membelai rambut indah Resti. Amanda mau muntah melihatnya.
”Seharusnya kamu tidak perlu menungguku. Nanti kamu lelah.”
”Kalian berdua pulang saja! Jangan sampai bunga-bunga gombal berguguran mengotori kelas yang sudah aku bersihkan.” pinta Amanda dengan nada kesal.
”Ayo kita pergi saja, Resti. Di sini ada mahluk yang tidak pernah mengerti makna romantis.” kata Angkasa seraya menggandeng Resti dan mengajaknya pergi. Amanda semakin kesal mendengar kata-kata Angkasa. Tiba-tiba saja Yogi menggandeng tangannya. Amanda terkejut hingga lupa dengan semua kekesalannya.
”Apa-apaan ini.” guman Amanda dengan terkekeh-kekeh. Yogi malah tersenyum.
”Aku sedang menirukan Angkasa.” jawabnya dengan polos. Amanda berusaha menahan tawa mendengar jawaban temannya itu. Ia melepaskan genggaman tangan Yogi. Ia memegang pundak sahabatnya itu.
”Anak manis sepertimu tidak boleh meniru playboy jelek seperti Angkasa. Kamu akan lebih manis jika menjadi dirimu sendiri. Mengerti?” kata Amanda bijak. Yogi hanya membalas dengan senyuman.
”Wah... Amanda pilih kasih.” guman Jaka yang mulai berjalan ke arah mereka diikuti Ilyas. ”Dengan Yogi tutur katamu manis sekali. Sedangkan kepadaku, kamu selalu mengeluarkan suara singa dan harimau. Aku kan iri.” lanjutnya dengan nada dibuat-buat manja.
”Iya. Kepadaku yang baik hati ini saja masih suka kamu pukuli. Yogi belum pernah kamu pukul.” sahut Ilyas protes.
”Kalian apa-apaan, sih?” seru Amanda.
”Hmm... mulai galak lagi.”seloroh Jaka.
”Huh! Kalian sudah tidak waras. Kalau kalian ingin aku bersikap lembut pada kalian, bersikaplah lembut padaku seperti Yogi. Anak LS yang mau memperlakukan aku sebagai perempuan itu hanya Yogi. Kalian juga tidak pernah mengakui kalau aku cantik.”
Ilyas dan Jaka tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Amanda.
”Yogi mungkin sedang tidur saat mengatakan hal itu” ledek Jaka.
”Yoga, bantu aku.” pinta Amanda.
”Amanda cantik. Suatu saat kalian pasti menyadarinya.” kata Yogi. Amanda tersenyum penuh kemenangan.
”Amanda membayarmu berapa?” selidik Ilyas.
”Kalian tahu sejak dulu Yogi selalu berkata jujur. Sudahlah, terserah kalian mau mengakuinya atau tidak. Lebih baik kita pulang sekarang sebelum hujan turun. Langit mendung, teman.” ajak Amanda. Akhirnya perdebatan selesai dengan muka masam Ilyas dan Jaka. Sebenarnya mereka belum puas benar berdebatnya. Yogi memang tidak pernah asyik. Dia selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya, tidak pernah mau berbohong sedikit saja. Sebenarnya Ilyas dan Jaka mengakui, meskipun perempuan tomboy dengan rambut panjangnya yang selalu dikucir kuda itu galak, tapi tidak kalah cantik dengan anak-anak pemandu sorak. Hanya saja penampilannya tidak pernah mencerminkan sosok perempuan.
Sesampainya di depan pintu gerbang, mereka melihat Angkasa. Ternyata anak itu belum pulang.
”Kenapa masih di sini? Ditinggal Resti karena tidak membawa mobil?” tanya Amanda ketus.
”Wah... orang mau berniat baik malah ada yang berprasangka buruk.” Guman Angkasa. Dia sebenarnya sudah biasa dengan sikap jutek Amanda. Dia juga tahu kalau Amanda sangat benci dengan tingkahnya yang suka ganti-ganti pacar. Seperti Amanda benci dengan sikap emosional Samson, lelucon Jaka yang kadang keterlaluan, Ilyas yang terlampau sabar, Karang yang terlampau optimis, dan Ridwan yang selalu telat memahami permasalahan. Sedangkan terhadap Yogi yang sangat pendiam, Amanda tidak pernah mempermasalahkannya.
“Aku di sini menunggumu, nenek cerewet! Aku kan tahu, orang cerewet sepertimu walaupun bisa karate dan silat, tapi tetap saja tidak berani pulang sendiri.” lanjut Angkasa. Amanda kelincutan karena malu.
”Kenapa tidak berani?” tanya Jaka ingin tahu.
”Dia takut ada laki-laki yang menggodanya di jalan. Kalau ada aku kan tidak ada yang berani mengganggunya.” terang Angkasa.
”Terang saja begitu. Semua orang kan tahu kalau kamu playboy.” gerutu Amanda kesal.
”Ooo.... ” guman Ilyas dan Jaka. Sementara Yogi biasa-biasa saja.
”Kenapa O? A saja sekalian, supaya lebih lebar.” sewot Amanda.
“Aaa… “ ledek Ilyas dan Jaka. Amanda langsung menjitak kepala mereka berdua.
”Kamu galak sekali. Kepada Yogi saja kamu bisa bersikap baik, tidak pernah memukulnya.” protes Jaka.
”Makanya jangan banyak bicara. Jadilah pendiam seperti Yogi.” Ujar Amanda. “Angkasa, pulang sekarang saja, sebelum hujan turun.” Pinta Amanda. Angkasa hanya menjawab dengan acungan jempol.
“Teman-teman, sampai jumpa besok.” Kata Amanda seraya menjabat tangan Jaka, Ilyas, dan Yogi. Angkasa mengikuti. ”Yogi, hati-hati dengan mereka berdua.” lanjut Amanda.
”Hati-hati kenapa? Kami bukan macan sepertimu!” timpal Jaka.
Amanda dan Angkasa sering pulang bersama, karena rumah mereka searah. Dari delapan anak-anak LS, memang rumah mereka saja yang tidak searah. Tetapi terkadang Angkasa dan Amanda sengaja mengikuti yang lain, meskipun jaraknya menjadi lebih jauh. Mereka lebih suka seperti itu, karena tidak perlu melewati pasar yang akan sangat becek saat turun hujan.
Sementara itu, terjadi perdebatan sengit dalam rapat OSIS yang diikuti Karang. Awalnya rapat hanya membahas mengenai akan adanya pertandingan persahabatan dan lomba karya ilmiah. Tapi semakin lama, terjadi perdebatan yang membawa-bawa kepentingan pribadi. Masing-masing ingin mempertahankan pendapat mereka. Sehingga belum ada titik temu.
”Seharusnya saat rapat tidak boleh mengutamakan kepentingan kelompok. Sudah jelas tujuan rapat adalah utnuk kepentingan sekolah.” sindir Edi, karena merasa rapat terlalu memihak pendapat karang.
”Aku hanya mengusulkan.” tukas Karang.
”Tapi usulmu terlalu condong menguntungkan kelompokmu. Kamu dan LS ingin mendominasi.”
”Aku di sini sebagai pengurus OSIS, bukan sebagai LS.” kilah Karang.
”Apa itu di tanganmu?” kata Edi seraya menunjuk dekker di tangan Karang. ”Kamu bahkan tidak mau melepasnya saat rapat.” tambahnya.
Karang lantas melepaskannya, ”Sekarang sudah aku lepaskan.” Edi terdiam. Suasana hening.
”Aku rasa pembicaraan ini sudah sedikit melenceng dari agenda rapat. Sebaiknya kita kembali ke permasalahan awal.” pinta Kamal, mencoba mencairkan suasana. Ia adalah ketua OSIS tahun ini.
”Apa gunanya meneruskan rapat kalau hanya menguntungkan satu pihak saja.” protes Edi.
”Pihak siapa maksudmu?” tanya Kamal.
”Tentu saja Karang dan teman-temannya. Perwakilan yang diajukan Karang tidak lain adalah teman-temannya sendiri. Dia dan teman-temannya memang selalu ingin mendominasi.”
”Kalau seperti ini terus, kapan selesainya. Ini sudah sore.” keluh Irin, sekretaris OSIS.
”Edi, jangan keras kepala begitu. Karang hanya menyapaikan usul, sama sepertimu.” sahut Anjas.
”Ini sebenarnya rapat OSIS atau ajang unjuk keegoisan?” tambah Jabir.
”Anak OSIS tidak ada bedanya dengan siswa lain. Percuma saja ada LDK kalau tidak ada yang mengerti cara menghargai pendapat orang lain.” Amru ikut menyuarakan pendapatnya. Suasana kembali tenang. Terlihat muka-muka muram dan kecewa terhadap rapat kali ini.
”Kalau semua keberatan, usulku tidak perlu diterima. Aku minta maaf, karena kebetulan orang-orang yang aku ajukan adalah teman-temanku.” kata Karang dengan bijak.
”Tunggu dulu, Karang.” sergah Kamal. ”Teman-teman, aku yakin, Karang memilih orang-orang sebagai perwakilan sekolah bukan karena mereka adalah teman dekatnya. Kebetulan saja begitu. Tapi berdasarkan kemampuan dan pengalamannya di bidang masing-masing. Ridwan sudah tiga kali mengikuti lomba karya ilmiah. Meskipun belum pernah juara, tapi dia memiliki nilai lebih dari yang lain, yaitu pengalaman, yang membuatnya dapat belajar dari kesalahan sebelumnya. Sedangkan Angkasa, Samson, dan Marlo, mereka adalah ketua di klub masing-masing. Jadi mereka yang lebih tahu, siapa-siapa yang permainannya bagus. Sedangkan kita orang luar, tidak tahu menahu, kecuali ikut terlibat langsung di dalamnya. Jadi kurang tepat jika kita yang memilihnya.” ujar Kamal. Semua yang hadir menjadikannya pusat perhatian. Kamal memang pantas menjadi seorang pemimpin. Kata-katanya bijaksana dan mudah dipahami.
Edi mengangkat tangannya, ”Mengenai pertandingan persahabatan aku setuju dengan usul Karang. Tapi mengenai perwakilan untuk lomba KIR, aku tidak setuju.”
”Wah... mulai lagi. Katanya jangan mementingkan kepentingan pribadi. Tapi maunya timnya yang di pilih.” sindir Jabir. Edi agak masam mukanya.
”Jabir, beri Edi kesempatan untuk menjelaskannya. Silakan, Edi.” kata Kamal.
”Terima kasih. Menurutku, tidak adil jika memilih hanya berdasarkan pengalaman. Karena sampai kapanpun, hanya Ridwan yang memenuhi kriteria itu. Seharusnya digilir, agar semua memiliki pengalaman. Klub KIR itu bukan hanya Ridwan saja.”
”Termasuk kamu!” potong Anjas.
”Iya, termasuk aku dan teman-teman yang lain, yang juga membutuhkan pengalaman. Kalau tidak seperti itu, siapa yang akan menjadi analan setelah Ridwan lulus? Setiap generasi itu butuh penerus.”
”Dalam hal ini kita tidak boleh asal. Ini menyangkut sekolah. Apa salahnya memilih yang terbaik untuk yang terbaik bagi sekolah.” Tukas Fidya.
“Belum tentu juga kalau junior tidak lebih baik dari senior.” Ujar Gigih, membenarkan pendapat Edi. Semua kembali diam.
“Baiklah, kalau begitu, aku akan meminta guru pembimbing ekskul KIR untuk menyeleksi, siapa yang layak dijadikan perwakilan sekolah. Bagi yang tidak terpilih, boleh tepat mengikuti lomba, tapi atas nama sendiri, dan biaya juga ditanggung sendiri. Semoga ini adalah yang terbaik untuk sekolah kita. Bagaimana?”
Tidak ada yang menolah usul Kamal. Semua bisa menerima. Sebelum rapat dibubarkan, Kamal sempat meminta kepada teman-temannya, agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar