Laman

Minggu, 25 Oktober 2009

SATU WANITA TUJUH CINTA

Bagian II
Antara Tomboy dan Playboy

Siang ini matahari bersinar begitu terik. Panas. Namun di atas bendungan udara tidak terasa terlalu panas. Bahkan sesekali semilir angin berhembus membawa kesejukan. Yogi terduduk manis di tepi bendungan sambil melepaskan pandangan ke arah persawahan yang ada di seberang sungai. Di belakangnya ada Ilyas dan Ridwan yang sedang serius main catur. Jaka dan Samson sedang asyik berenang di bendungan yang tepat berada pada sepuluh meter di bawah kaki Yogi. Mandi di saat hari panas memang sangat menyegarkan. Sementara Karang, Angkasa, dan Amanda belum datang. Karang ada rapat mendadak, sedangkan Angkasa dan Amanda sedang mengikuti ekskul rutin di lapangan kecamatan.

”Hai, semua.”

Yogi, Ilyas, dan Ridwan langsung menengok ke arah datangnya suara itu. Ternyata karang. Di tangannya ia membawa bungkusan. Dengan lari-lari kecil ia menapaki anak tangga menuju ke atas bendungan. Samson dan Jaka yang melihat kehadiran Karang langsung berenang ke tepi, menyudahi keasyikan mereka berenang.

”Maaf, membuat kalian lama menunggu. Tadi rapatnya agak sedikit lama.”

”Apa itu?” tanya Ilyas penasaran dan penuh harap yang ada di dalam kantong itu adalah makanan. Karena biasanya selesai rapat, Karang memang selalu membagi-bagikan makanan kepada teman-temannya.

”Oh, ini ada sisa jamuan rapat.”

”Ini bagianku!” seru Samson seraya merebut kantong plastik dari tangan Karang. Ilyas dan Jaka ikut menyerbu.

”Wah, asyik! Kacang rebus dan donat.” Guman Jaka dengan girangnya setelah melihat isi bungkusan itu. Ridwan yang sedari tadi mencoba bertahan, akhirnya ikut berebut juga dengan ketiga temannya itu.

Sementara Yogi masih tetap di posisinya semula. Karang mencoba duduk di sebelahnya. Sejak dulu, tak ada hal yang mampu membuat Yogi antusias. Jangankan membuatnya antusias, hal yang membuatnya tertarik sangat jarang. Ia selalu bersikap biasa dalam menyikapi suatu persoalan.

”Kamu tidak ikut mengambil makanan yang aku bawa? Kalau tidak cepat, nanti habis dimakan mereka.” tanya Karang mencoba membuka kebisuan Yogi.

”Tidak apa-apa, tadi siang aku sudah makan di kantin.”

”Besok kamu tanding basket,kan?”

“Iya.”

Karang menepuk pundak Yogi, ”Semoga menang!” Yogi hanya tersenyum mendapat semangat dari Karang. Keduanya lalu hanyut dalam diam terbawa oleh syahdunya semilir angin yang mengalir. Karang pun tak memiliki topik lagi untuk diperbincangkan dengan orang sesederhana Yogi. Orang yang sederhana dalam bertindak dan dalam menyikapi masalah. Dia seperti orang yang tidak bermasalah. Justru temannya yang menganggapnya bermasalah. Sementara di belakang mereka ada yang masih memperdebatkan makanan.

Ketika sore menjelang, Angkasa dan Amanda baru datang. Amanda masih mengenakan seragam silatnya, sedangkan Angkasa telah mengganti seragam kebanggaannya di lapangan dengan kaos biasa. Meskipun mereka berjalan beriringan, tapi tetap saja tampak seperti dua orang yang tidak akur. Amanda membuang pandangannya, begitupula Angkasa. Mereka memang paling sering bertengkar. Hal sekecil apapun pasti diributkan jika sudah mengemukakan pendapat yang berbeda.

”Kalian kenapa?” tegur Ilyas.

”Angkasa sengaja menendang bola ke arah kepalaku tadi saat aku sedang latihan.”

”Sudah aku bilang, aku tidak sengaja!”

”Kalau tidak sengaja mengapa tepat mengenai aku? Kenapa tidak mengenai orang lain?”

”Mana aku tahu! Seandainya bolanya memiliki mata, tidak mungkin mau mengenai orang cerewet seperrtimu.”

”Sudah salah bukannya minta maaf malah marah-marah!”

”Stop!” seru Karang. Keduanya langsung berhenti berkata-kata. ”Kalian berdua suka sekali ribut. Mengganggu ketenangan saja. Kelakuan kalian seperti anak kecil. Begitu saja tidak mau saling memaafkan.”

”Aku sudah minta maaf.” kilah Angkasa.

”Masa minta maaf sambil lalu begitu saja. Aku tidak terima!”

”Kalian berdua salaman. Ayo saling memaafkan!” pinta Karang. Tapi keduanya malah menyembunyikan tangannnya. Karang menarik tangan Amanda dan Ilyas menarik tangan Angkasa. Kedua tangan itu dipertemukan.

”Maaf!” kata Amanda dan Angkasa hampir bersamaan.

”Nah, begitu kan manis.” guman Ilyas. Tapi tampaknya Angkasa dan Amanda belum seratus persen akur.

”Wah! Makanannya habis!” seru Angkasa melihat sisa-sisa makanan yang sedang dikerumuni Samson, Ridwan, dan Jaka. Ternyata dari tadi mereka diam karena sedang asyik makan.

”Salahmu sendiri datang terlambat.” kilah Samson.

”Juga karena terlalu asyik bertengkar dengan Amanda tentunya.” Tambah Jaka.

Angkasa ikut duduk, ikut memakan kacang rebus yang ada di hadapan Ridwan. Ia berusaha mengambilnya meski dihalang-halangi Ridwan.

Amanda memegangi kepalanya yang sakit terkena tendangan bola. Ia duduk di sebelah Yogi. Karang mengikutinya. Yogi tersenyum melihat satu-satunya wanita di sana yang tubuhnya penuh peluh sambil memijat-mijat kepalanya.

”Masih sakit?” tanyanya. Amanda hanya mengangguk dengan bibir sedikit manyun.

“Sudahlah, masa kena bola saja jadi cemberut. Biasanya kena seribu lemparan batu tetap tersenyum.” canda Karang.

”Hari ini semua orang menyebalkan sekali. Kalau sakit ya tetap saja sakit. Apa aku harus berpura-pura tidak sakit?” keluh Amanda.

”Maaf, maaf. Kalau begitu kita ke rumah sakit saja supaya kamu cepat sembuh.”

Amanda melemparkan tatapan tajam ke arah Karang, ”Pengurus OSIS sepertimu hari ini menyebalkan sekali.” katanya sembari memperlihatkan kepalan tangannya. Yogi memegang pundaknya, hingga hilang semua kesal di hatinya. Apalagi melihat senyuman yang mengisyaratkan agar ia sabar.

”Besok aku ada pertandingan persahabatan di SMA Bhakti Pertiwi. Mau ikut bersama aku dan samson?” ujar Yogi.

Amanda tersenyum. Ia merangkul pundak Yogi, ”Untuk teman sepertimu, tentu saja aku mau.”

”Besok jam delapan aku akan menjemputmu.” Amanda membalas dengan Acungan jempol.

“Apa yang diajak hanya Amanda?” protes Karang.

”Kalau ada waktu, kamu juga boleh datang.” balas Yogi.

”Yogi itu sudah memprediksikan kalau kamu tidak bisa datang. Jadi tidak perlu basa basi. Lagipula besok OSIS ada rapat membahas acara PENSI. Rapatnya jam 9 pagi, kan?”

”Lho, dari mana kamu tahu?” guman Karang penasaran.

”Dasar pikun! Kan kamu sendiri yang bilang.”

”Kapan!?”

”Kemarin di lapangan basket. Selesai ekskul yoga.” Amanda mencoba mengingatkan.

”Oh, iya. Aku lupa.” balasnya sambil cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Yogi hanya tersenyum.

”Ini akibatnya kalau terlalu banyak melakukan meditasi. Jadi pelupa.” cerocos Amanda.

”Yang penting jangan lupa kalau besok aku dan Angkasa juga akan bertanding di GOR Wasesa jam satu siang. Kalian semua harus datang, ya.” sahut Jaka.

”Mm... bagaimana, ya? Pasti hari sedang panas-panasnya. Aku tidak bisa memastikan bisa datang atau tidak.” ucap Amanda dengan nada bicara yang dibuat-buat. Ia sengaja ingin membuat Angkasa kesal.

”Aku juga berharap orang cerewet sepertimu tidak akan datang. Hanya akan mengganggu konsentrasi saja.” timpal Angkasa.

”Syukurlah kalau begitu. Berarti besok aku cukup datang ke pertandingan Yogi dan Samson.” Jawab Amanda tak mau kalah.

“Kalian berdua kalau sudah berselisih membuat orang lain repot saja. Kenapa, ya? Orang Indonesia itu gengsi sekali mengucapkan dan memberikan kata maaf? Padahal satu kata itu bisa mengobati segala jenis penyakit hati. Gara-gara satu kata itu juga banyak nyawa melayang dan banyak ikatan persaudaraan terputus. Yang lahir hanya kebencian dan permusuhan. Hidup itu kan lebih indah kalau berdamai.” ujar Ilyas.

Amanda dan Angkasa hanya diam karena merasa tersindir. Padahal sudah menjadi hal yang wajar sejak dulu kalau mereka sering bertentangan. Tapi tetap saja membuat orang lain pusing.


*****

Malam telah kembali menyelimuti hari. Amanda baru selesai shalat isya ketika ponselnya berbunyi. Ada telepon. Ia segera memburu ponselnya. Tampak di layar ponselnya, foto Angkasa yang sangat over gaya. Ia ragu utnuk mengangkatnya,karena tadi siang mereka baru saja beradu kata-kata. Dan rasa kesal masih bercongkol di dadanya. Tapi segera ia ingat bahwa Angkasa juga sahabatnya, meskipun terkadang menjengkelkan. Akhirnya ia angkat telepon itu juga.

“Assalamu’alaikum.” Sapa Amanda dengan nada masih berbaur kesal.

“Wa’alaikum salam.” Balas Angkasa yang ada di seberang sana.

“Ada angin apa yang menggerakkanmu untuk meneleponku?”

”Hey, buka jendelanya. Nanti kamu juga merasakan anginnya.” pinta Angkasa.

Amanda langsung menuju jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia menyibakkan tirai dan membuka jendelanya. Seketika angin malam menyeruak menerpa wajahnya. Ingin. Dilihatnya Angkasa sedang berdiri di balkon kamarnya yang tampak mewah. Lelaki itu melambaikan tangan padanya sambil terseyum. Amanda hanya menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Sudah sering Angkasa meneleponnya dengan gaya seperti itu. Padahal seandainya dia mau langsung bicara, Amanda sudah bisa mendengarnya. Karena kamar mereka bersebelahan.

”Ada apa?” tanya Amanda.

”Rambutmu kenapa tidak dikucir kuda?”

Amanda langsung memandangi Angkasa yang juga sedang memperhatikannya. Tidak penting sekali orang menelepon hanya untuk berkomentar. Lelaki itu tersenyum-senyum. Amanda membuang pandangannya ke arah jalan.

“Ini sudah malam. Aku tidak mau melayani pertanyaan tidak penting seperti itu. Sebenarnya mau bicara apa? Kalau tidak ada yang penting, lebih baik diakhiri saja, ya.”

”Begitu saja marah. Kalau aku Yogi, kamu pasti tidak akan berani marah.”

”Karena dia tidak pernah membuat orang kesal sepertimu. Ayo cepat, mau bicara apa? Aku mau mengerjakan PR.”

“Biasanya lupa kalau ada PR matematika. Sekarang ingatannya sudah tajam, ya?”

”Hm! Percakapan seperti ini yang sering membuat orang emosi. Kamu mau berkomentar atau mengatakan sesuatu padaku?” tegas Amanda. Matanya tajam ke arah lelaki yang sedang mengacungkan jari teluntuk dan jari tengahnya itu sambil nyengir kepadanya.

”Iya, iya. Aku hanya ingin mengatakan, tolong besok kamu datang ke pertandinganku. Nanti aku bawakan payung supaya kamu tidak kepanasan.”

Amanda kembali memandangi lelaki yang masih suka tersenyum itu. ”Kenapa? Sepertinya baru tadi siang kamu mengatakan tidak mau orang cerewet sepertiku datang untuk menonton pertandinganmu. Sudah lupa?”

”Nona, aku hanya bercanda. Sudah tiga tahun berteman, ternyata kamu belum juga mengerti aku.”

”Besok aku pasti datang.” jawab Amanda tegas. Ia melihat senyuman Angkasa semakin lebar.
”Begitu baru benar. Besok kita berangkat bersama, ya.”

“Besok aku akan berangkat bersama Yogi. Kamu tunggu saja aku di stadion.”

”Hmm... Yogi lagi. Jangan-jangan kamu suka kepadanya.” terka Angkasa.

”Jangan-jangan justru kamu yang menyukai aku.”

Angkasa terperanjat, ”Apa alasanku untuk suka padamu?”

”Karena kamu tidak suka aku dekat dengan Yogi. Kamu cemburu?” sekarang giliran Amanda yang tersenyum.

Angkasa tiba-tiba diam. Raut mukanya berubah masam. ”Iya.” balasnya singkat seraya mematikan telepon dan pergi masuk kamarnya. Sekarang giliran Amanda yang tertegun. Tidak disangka Angkasa akan menjawab seperti itu. Tapi segera ia tepis pikiran tidak-tidak dalam hatinya.

”Paling hanya perasaan cemburu seorang teman, karena temannya lebih dekat dengan temannya yang lain. Itu wajar.” guman Amanda dalam hati. Ia segera menutup jendelannya, dan kembali menyingkapkan tirainya.setelah itu ia menuju meja belajarnya, menghampiri PR matematika yang harus ia selesaikan sebelum ia lupa.

Pagi menjelang. Matahari telah memancarkan kehangatan sinarnya. Angkasa menyibakkan tirai jendela kamarnya. Dilihatnya jendela kamar Amanda. Masih tertutup. Padahal biasanya setiap pagi tetangganya itu selalu membuka jendelanya, menunjukkan raut masam ketika melihatnya tersenyum dan berkata, ”Kenapa senyum-senyum? Orang yang belum mandi tidak akan terlihat manis meski tersenyum selebar apapun.” Kemudian gadis itu akan menutup tirai jendelanya. Sementara ia akan tersenyum dan kemudian pergi menuju kamar mandi.

Hari ini jendela itu tertutup. Rumah itu kelihatannya sepi. Ayah Amanda pastilah selesai shalat subuh langsung pergi ke pabrik tahu. Ibu Amanda mungkin sedang asyik memasak di dapur. Sementara, dimana Amanda? Tidak mungkin jam enam pagi ia belum bangun. Sekasar-kasarnya Amanda, tak jarang Angkasa mendengar suara orang membaca Al-Qur’an setiap jam tiga pagi, setiap kali ia terbangun untuk shalat malam. LS bukanlah kumpulan orang-orang yang suka menyepelekan waktu shalat. Sedapat mungkin, mereka akan shalat tepat waktu secara berjama’ah, seperti yang sering mereka lakukan di mushala sekolah.

Angkasa kembali memandang jendela itu. Masih tetap tertutup. ”Mungkin karena hari ini hari minggu. Pasti Amanda sedang bermalas-malasan di tempat tidurnya.” guman Angkasa dalam hati. Tapi minggu-minggu sebelumnya jendela itu masih terbuka. Bahkan setiap jam lima pagi, selepas shalat subuh, gadis tomboy itu selalu memanggil-manggil namanya, mengajaknya balapan lari sampai ke taman kota. Dan yang kalah harus mentraktir serabi. Jika teman-teman yang lain ada yang kebetulan lari pagi di sana, yang kalah terpaksa harus menambah traktiran. Angkasa yang sering menjadi tukang traktir. Bukan karena dia kalah dengan anak tomboy itu, tetapi sengaja mengalah.

Masalah uang bagi anak orang kaya seperti dirinya tidak pernah menjadi masalah. Mobil sport warna biru yang menawan bahkan telah ia miliki sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-17. Tapi ia justru lebih suka naik sepeda atau jalan kaki bersama Amanda dan anak-anak LS lainnya. Ia tidak suka datang ke pesta-pesta orang kaya. Ia lebih suka datang ke acara yang tidak memandang status sosial. Pernah beberapa kali teman-teman satu sekolahnya yang tergolong anak orang kaya, ketika mengadakan pesta, mereka tak mau mengundang Jaka, karena mereka merasa Jaka tak sekelas dengan mereka. Padahal Jaka adalah orang yang sangat ia segani. Selain sebagai sahabat, patner bermain bola, Jaka juga seorang guru baginya. Guru yang mengajarinya tentang perlunya bersyukur kepada Tuhan atas apa yang ia miliki. Guru yang mengajari akan pentingnya kerja keras dan kemandirian. ”Sebelum berusaha dengan tenagaku hingga kucuran keringat mengering, aku tak perlu bantuan orang lain.” Begitulah yang selalu Jaka katakan setiap kali ia atau teman yang lain ingin membantunya.

Sahabatnya itu tidak pernah mengeluh dengan keadaannya. Meskipun belum pernah ia datang ke rumah Jaka, namun dari cerita-cerita Ilyas dan Karang, Jaka berasal dari keluarga yang sangat sederhana, yang untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah. Tapi semangat kecintaan Jaka pada pendidikan mampu mengalahkan tembok penghalang itu. Ia bahkan nekad menimba ilmu di sekolah yang tergolong cukup elit. Penghasilan ayahnya yang berprofesi sebagai penjual sayur keliling tidak mungkin mampu menutupi biaya pendidikan Jaka yang cukup mahal. Untungnya, sekolah memberinya kebijakan, ia dibebaskan dari uang SPP maupun buku-buku penunjang, selama ia dapat mempertahankan prestasinya sebagai tiga besar siswa terbaik di setiap semester. Dan ia bisa tetap mempertahankan prestasinya, meski persaingan ketat dengan Ridwan dan Edi terus berkelanjutan. Semester kemarin Ridwan berhasil memperoleh gelar siswa teladan untuk ketiga kalinya. Sementara ia menduduki peringkat kedua.

Oleh karena itu, setiap ada yang meremehkan Jaka, Angkasa hanya akan tersenyum sambil berlalu pergi, mengguman betapa bodohnya orang yang mencela sahabatnya itu. Dan setiap kali ada pesta yang diadakan temannya, tetapi tidak mau mengundang Jaka, ia pun tak akan mungkin datang. Ia justru mengajak teman-temannya jalan-jalan, membuat pesta sendiri, sekaligus untuk membesarkan hati Jaka, bahwa di mata teman-temannya dia sama dengan mereka dan orang-orang lain. Hanya saja kadang orang kurang mengerti karena tak pernah merasakan rasanya hidup sebagai seorang Jaka.

Lamunan Angkasa tentang Jaka dan teman-temannya tiba-tiba buyar ketika mendengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan rumah Amanda. Ia tak tahu siapa orang yang datang ke rumah Amanda karena wajah orang itu tertutup oleh helm. Tapi dari postur tubuhnya, Angkasa bisa memastikan kalau ia seorang laki-laki. Beberapa saat kemudian, Amanda keluar dari dalam rumah. Dengan ramput dikucir kuda dan jaket warna merah serta senyuman yang mengembang di bibirnya, ia tetap terlihat manis. Orang itu memberikan helm kepada Amanda seraya mengajak Amanda untuk naik motornya.

“Amanda!” seru Angkasa. Amanda yang akan memakai helm urung melakukannya karena kaget mendengar seruan memanggil namanya.

“Ada apa?” jawabnya dengan suara yang agak diperkeras setelah tahu asal suara yang memanggilnya dari arah balkon kamar Angkasa. Lelaki di samping Amanda pun ikut menoleh ke arah Angkasa. Tiba-tiba lelaki itu membuka helm yang ia kenakan, dengan senyuman ia melambaikan tangannya ke arah Angkasa. Angkasa sedikit meragukan ketajaman matanya melihat orang itu. Yogi! Angkasa berharap dia bukan Yogi.

“Hey, ada apa, wahai pangeran yang bau dan belum mandi?” tegas Amanda, karena agak lama Angkasa tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Angkasa tersadar dari keheranannya, “Eh, mau kemana?” tanyanya.

”Pertanyaan bodoh! Tentu saja aku akan pergi menonton pertandingan Yogi. Kamu tidak mau ikut?” seru Amanda sembari merangkul pundak Yogi.

”Katanya jam delapan, kenapa jam tujuh sudah mau berangkat?”

”Latihan dulu!” balas Amanda. ”Ah, kita harus cepat-cepat berangkat. Kalau kamu mau ikut, menyusul saja, ya. Mandi dulu, supaya wangi. Pertandingannya nanti jam setengah sembilan.” tambahnya, seraya mengajak Yogi untuk segera menjalankan motornya. Yogi hanya melambaikan tangan ke arah Angkasa sebelum tancap gas.

Kini hanya tersisa kepulan asap yang kian lama makin menghilang. Yogi dan Amanda telah berlalu. Angkasa merasa kecewa. Kemarin sore sengaja ia mencuci mobilnya hingga mengkilap untuk mengajak Amanda berangkat bersamanya keesokkan harinya, setengah jam sebelum Yogi datang. Tapi ternyata Yogi justru datang satu jam lebih awal. Angkasa menjadi berpikir, apa kurangnya dia dibandingkan Yogi? Sudah pasti lebih unggul Angkasa. Tidak seperti Yogi, dia bahkan terlalu banyak bicara.

Ketika hatinya sedang dipenuhi rasa kecemburuan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan malas ia masuk ke kamarnya, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja belajar. Telepon dari pelatihnya. Ia ngkat telepon itu.

”Halo, assalamu’alaikum.” katanya.

”Wa’alaikum salam.” jawab dari seberang sana. ”Angkasa, apakah tim kita sudah siap bertanding hari ini?”

”Insya Allah, sudah, Pak.”

”Kalau begitu, datanglah lebih awal untuk latihan. Bapak sudah menghubungi teman-temanmu, kecuali Jaka. Tolong kamu hubungi dia.”

”Tapi kenapa pertandingannya harus siang, Pak? Kan panas. Nanti tidak ada yang mau menonton.” keluh Angkasa.

”Menurut ramalan cuaca, hari ini akan mendung. Tenang saja. Harus tetap semangat, ya! Wassalamu’alaikum.”

”Wa’alaikum salam.” balas Angkasa. Ia melihat ke luar jendela. Langit tampak begitu cerah. ”Pak Andi memang ada-ada saja.” gumannya dalam hati.

Selang beberapa saat setelah ponsel ia letakkan, ponselnya kembali berbunyi. Ia ambil, di layar muncul foto wajah cantik Afara, kekasih barunya. Baru satu minggu mereka menjalin hubungan setelah seminggu sebelumnya ia telah mengakhiri hubungan dengan Resti. Jika Resti seorang model, maka Afara tak kalah populer dibandingkan mantan kekasih Angkasa itu. Dia adalah seorang covergirl. Wajahnya cukup sering muncul menghiasi majalah-majalah remaja saat ini. Banyak siswa laki-laki yang menyukainya. Tapi entah mengapa ia justru tertarik kepada Angkasa yang hanya terkenal di SMA Garuda Satria dan beberapa sekolah yang pernah menonton pria itu bermain bola. Pernah suatu ketika ia ditawari oleh Afara untuk menjadi cover majalah. Tapi dia menolak. Alasannya karena dia lebih menyukai berpeluh di lapangan daripada tampil tampan dengan bedak di depan kamera.

Walau bagaimanapun, Angkasa tetap menjadi idola. Mungkin hampir semua perempuan cantik dan berbakat di SMA itu pernah menjadi kekasihnya, terkecuali Amanda. Afara saja sangat mudah ia dapatkan. Setelah mengakhiri hubungan dengan Resti—tepatnya Resti yang meninggalkannya—Angkasa yang tahu jika Afara sering memperhatikannya bermain futsal di lapangan, ia langsung mendekati gadis itu. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja, Afara sudah menjadi kekasih barunya. Dengan seikat bungan dan ucapan ”Maukah kamu menjadi teman spesial dan teman dekatku?”, siapa perempuan yang berani menolak Angkasa. Mungkin seandainya Angkasa melontarkan kata-kata itu kepada Amanda, akan lain ceritanya. Amanda mungkin akan menertawakannya habis-habisan.

”Halo, sayang.” sapa Angkasa ketika mengangkat telepon dari Afara.

”Halo.” balas Afara dari ujung telepon. “Sayang, nanti jemput aku, ya. Hari ini aku tidak ada pemotretan. Jadi, aku bisa menonton pertandinganmu.” katanya dengan nada penuh kebahagiaan. Berbeda dengan perasaan Angkasa saat ini.

”Kalau boleh jujur, aku ingin sekali kamu datang dan melihat aku bermain. Pasti aku akan lebih bersemangat. Tapi lebih baik kamu jangan ikut.” bujuk Angkasa dengan kata-kata sok bijaksana.

”Kenapa seperti itu? Jarang kita memiliki waktu untuk berdua. Sekarang, ketika aku ada waktu luang, kamu tidak mau pergi bersamaku.” suara Afara menunjukkan kalau ia sangat kecewa.

”Bukan begitu maksudku, sayang. Kamu tahu aku sangat menyukaimu. Seperti para fans yang mengagumimu. Kamu harus menyadari posisimu kalau kamu adalah seorang covergirl dan foto model. Menjaga penampilan sangat penting untukmu. Kamu belum tahu betapa panasnya udara di lapangan nanti siang. Bagaimana kalau kulitmu menjadi hitam, mukamu menjadi kusut terkena debu lapangan? Apa kamu mau terlihat jelek di depan orang banyak?”

”Tidak.” kata Afara dengan manjanya.

”Karena itu aku sarankan kamu tidak perlu ikut.” tegas Angkasa.

”Tapi aku ingin pergi berdua denganmu.” timpal Afara.

“Lain kali kan bisa. Lagipula setiap hari kita selalu bertemu di sekolah. Kamu kurangilah aktivitasmu, supaya kita lebih sering menghabiskan waktu bersama.”

”Akan aku usahakan.” jawab Afara dengan nada lesu. ”Semoga berhasil, ya.”

”Uh, mendengar semangat dari wanita cantik di seberang sana, aku menjadi seratus kali lebih bersemangat.”

Afara tertawa kecil mendengar kata-kata Angkasa.

”Sayang, sudah dulu, ya. Aku harus bersiap-siap berangkat.” kata Angkasa.

”Baiklah. I love you.”

Angkasa terdiam sesaat, “Bye.” Katanya. Ia langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia memang aneh. Ia sering mengucapkan ‘sayang’ kepada kekasihnya. Tapi kata ‘I love you’ tak pernah terlontar dari bibirnya kepada seorang wanita.

Angkasa tersenyum. Ia merasa sudah berhasil mengatasi satu masalahnya, Afira. Entah mengapa ia selalu seperti itu. Ia begitu mudah mengagumi dan melupakan seseorang. Padahal baru satu minggu ia bersama Afira, sudah mulai tumbuh rasa jenuh dan bosan di hatinya.
Perempuan seakan hanya menjadi beban baginya. Padahal ia sendiri yang menginginkannya.

Angkasa segera bergegas menuju kamar mandi, agar dapat segera menyusul Amanda dan Yogi. Ia ingin mengganggu mereka. Ia beranggapan kalau Amanda tidak adil, hanya baik kepada Yogi. Padahal ia lebih dulu mengenal gadis tomboy itu. Sebelumnya ia telah menghubungi Gerdi—teman satu tim futsalnya---untuk menjemput Jaka dan menyuruh ia memimpin teman-temannya latihan sebelum bertanding. Ia sendiri telah berniat mengabaikan perintah pelatih utnuk latihan, agar dapat melihat pertandingan Yogi, sekaligus membuat Amanda merasa tidak nyaman.


*****

Sorak sorai penonton di sekitar lapangan basket SMA Bhakti Pertiwi memeriahkan suasana pagi itu. Sebelum pertandingan dimulai, ada penampilan cheerleaders dari kedua klub yang akan bertanding. Penampilan para pemandu sorak yang indah itu diiringi oleh tepuk tangan yang meriah. Para pemain basket merasa diberi penyegaran suasana sebelum bertanding. Apalagi Samson. Sementara Yogi tetap biasa-biasa saja. Tak jauh berbeda dengan Amanda yang hanya asyik dengan permen karetnya.

“Kenapa harus ada tarian sebelum pertandingan? Tidak masuk akal. Membosankan.” guman Amanda.

Yogi tersenyum. Ia memberikan sebotol minuman untuk Amanda. Ia lihat gadis itu penuh peluh, karena ketika latihan gadis itu ikut-ikutan turun ke lapangan. Amanda menerimanya dengan agak tidak bersemangat. Samson masih terpana dengan penampilan para pemandu sorak.

”Kenapa?” tegur Yogi.

Amanda menoleh, ”Ah, tidak apa-apa.” jawabnya singkat. Kemudian ia meneguk air mineral itu setelah ia membuang permen karet yang sejak tadi bersarang di mulutnya.

“Kamu tidak suka datang ke tempat ini?” terka Yogi.

Amanda balik menatap Yogi, ”Kenapa harus tidak suka?” katanya dengan ekspresi sok serius. Ia tersenyum, ”Aku hanya kesal, lama sekali mereka menari-nari di tengah lapangan seperti orang aneh saja. Aku kan ingin segera melihat teman baikku ini memenangkan pertandingan ini. Oke!” tambahnya dengan kata-kata penuh semangat.

Yogi ikut terbawa semangat yang dikobarkan gadis tomboy itu. Yogi tahu persis, beberapa kali Amanda datang ke pertandingannya selalu telat dari yang lain. Ternyata gadis itu sudah memprediksikan kalau pertandingan basket pasti akan diawali oleh penampilan pemandu sorak, yang perform sekitar setengah jam. Dan gadis itu tidak pernah menyukai tari-tarian seperti itu. Ia lebih suka ikut bermain langsung di lapangan.

”Hey, apa kalian memperhatikan? Ternyata Moya cantik juga, ya.” kata Samson sembari terus memperhatikan leader pemandu sorak dari sekolah mereka. Matanya seperti terhipnotis oleh kelihaian pemandu sorak itu. Amanda dan Yogi saling berpandangan. Mereka sama-sama aneh, mendengar Samson memuji seseorang.

”Halo, semua!” sapa Angkasa ketika ia baru saja tiba. Ia langsung menyusup, duduk di antara Yogi dan Amanda. Terang saja mereka berdua terkejut dengan kehadiran Angkasa yang tiba-tiba. Angkasa melemparkan senyum kepada Amanda dan Yogi. Samson tampak kurang begitu peduli dengan kehadiran orang itu. Ia lebih tertarik melihat apa yang ada di hadapannya. Namun senyuman itu disambut heran oleh Yogi dan raut kesal Amanda.

”Hey, kenapa kalian menyambutku seperti ini? Tidak suka dengan kedatanganku?” ucap Angkasa.

Dengan sangat cepat lelaki itu merebut botol minuman di tangan Amanda dan meminum isinya sampai tetes yang terakhir. Yogi hanya bisa menggeleng-geleng. Amanda terlihat semakin kesal. Apalagi ketika Angkasa kembali merekahkan senyuman. Gadis itu membuang pandangan dari orang menyebalkan yang telah menghabiskan minumannya itu.

Beberapa saat kemudian, penampilan para pemandu sorak berakhir. Yogi dan Samson dipanggil oleh pelatih mereka untuk memantapkan strategi. Seorang wasit berdiri di tengah lapangan dengan membawa sebuah bola. Dengan isyarat peluit ia memanggil semua pemain untuk masuk ke lapangan.

Amanda merasa sangat tidak nyaman berada di dekat trouble maker seperti Angkasa. Ia masih haus. Tapi minumannya sudah dihabiskan orang di sampingnya. Dari arah lapangan Yogi tersenyum ke arahnya. Amanda membalas senyuman itu. Angkasa turut memperhatikan komunikasi mata dua arah itu. Dengan sengaja ia merangkul Amanda seraya melambaikan tangan kepada Yogi. Amanda segera menjauhkan trouble maker itu dari jangkauannya. Yogi tersenyum melihat ulah kedua temannya itu. Amanda menjabatkan mengangkat kedua tangannya ke atas, kemudian menjabatkan keduannya, sebagai tanda persahabatan. Angkasa mengikuti. Yogi dan Samson yang melihat membalasnya dengan melakukan hal yang sama.

Pertandingan berlangsung cukup sengit. Babak pertama akhirnya berakhir dengan keunggulan SMA Garuda Satria. Para pemain keluar lapangan untuk beristirahat sebentar. Samson dan teman-temannya berjalan menuju bangku pemain. Yogi mengambil sebotol air mineral. Ketika ia hendak meminumnya, ia teringat Amanda yang tadi hanya sempat minum sedikit karena airnya diminum Angkasa. Akhirnya ia urung meminumnya. Ia berjalan ke arah bangku penonton, mendekati Amanda.

”Permainan yang bagus.” puji Amanda. ”Kalahkan mereka dalam dua babak langsung!”
tambahnya.

Yogi tersenyum. Ia menyerahkan botol minuman di tangannya kepada Amanda. ”Minumlah,” katanya.

Amanda heran. ”Aku hanya penonton, Yogi. Kamu yang harus meminumnya untuk memulihkan staminamu.”

Yogi berjongkok di depan Amanda. Angkasa hanya sebagai patung yang menyaksikan kelakuan kedua temannya itu. Ia berusaha bersikap biasa-biasa saja, meskipun sebenarnya dalam hati bercongkol rasa kesal.

“Seorang sahabat tahu apa yang dibutuhkan sahabatanya.” kata Yogi sembari memberikan minuman itu kepada Amanda.

Amanda tersenyum. Ia tersanjung, karena Yogi bisa tahu kalau ia sedang haus. Tentunya tidak seperti Angkasa yang justru lebih suka meledeknya. Dengan senang hati ia menerima pemberian itu. Kemudian Yogi kembali ke bangku pemain. Amanda buru-buru meminum air mineralnya, sebelum Angkasa kembali merebutnya.

“Pelan-pelan saja, aku tidak akan merebut minumanmu.” kata Angkasa dengan nada seperti kecewa.

Amanda sekilas melihat ekspresi orang di sebelahnya seperti orang yang gagal. Sangat miris. Namun ia tak peduli. Angkasa memang selalu begitu kalau merasa kalah.

Ketika akan mengambil handuknya, Yogi kebingungan karena tidak menemukan handuknya di atas tasnya. Padahal ia sudah sangat ingin mengelap keringat di wajahnya.

”Sam, kamu melihat handukku?” tanyanya kepada Samson yang sedang asyik meminum air mineralnya.

”Memangnya kamu taruh dimana?”

Yogi menunjuk ke arah tasnya, tempat ia meletakkan handuknya sebelum pertandingan. Samson mengangkat kedua bahunya, kemudian pergi. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seperti tingkah laku kebanyakan orang yang sedang kebingungan. Sekali lagi ia membuka tasnya, meskipun ia yakin sebelumnya ia telah mengeluarkan handuk dari dalam tas kebanggaannya itu.

”Maaf, apa kamu pemilik tas itu?” tanya seseorang dari arah belakang Yogi.

Yogi segera membalikan tubuhnya. Seorang perempuan cantik dengan kulit putihnya tepat barada di hadapannya. Yogi hampir tak bisa bernapas. Begitu terkesimanya ia, hingga seluruh tubuhya serasa membatu. Bibirnya sulit untuk digerakkan. Ia seperti melihat seorang bidadari berambut panjang dengan mata beningnya.

”Maaf, apa tas itu milikmu?” tanya perempuan itu lagi.

Yogi tersadar. ”Eh! Em... iya.” katanya dengan nada tergagap. Gadis itu tersenyum, membuat Yogi tertunduk malu.

“Aku ingin minta maaf. Handukmu aku yang mengambilnya.” kata gadis itu jujur. Yogi membelalakkan matanya, seperti terkejut. ”Aku memakainya untuk mengelap es krim yang membuat wajah keponakanku belepotan. Tapi nanti aku akan menggantinya.”

Yogi bingung, ingin kesal atau tidak. Satu sisi ia kesal, karena handuk kebanggaan anak LS sudah digunakan oleh sembarang orang. Belum lagi peluhnya yang terus mengucur, karena sedari tadi belum ia seka dengan handuk. Di sisi lain, ia tidak mungkin kesal kepada seseorang yang tampak seperti bidadari di hadapannya itu.

Ia menunduk, ”Kamu tidak perlu menggantinya.” katanya.

”Orang yang bersalah tentu saja harus memperbaiki kesalahannya. Kamu tidak memaafkan aku?”

”Tidak apa-apa. Aku sudah mengikhlaskannya.” kata Yogi dengan bijaknya.

”Mana bisa seperti itu. Aku akan tetap menggantinya dengan handuk yang sama persis dengan milikmu.”

”Kamu tidak akan menemukannya.”

”Mengapa tidak?” kilah si gadis dengan rasa optimis bahwa ia pasti bisa mendapatkan handuk itu.

”Hanya ada delapan orang di dunia ini yang memiliki handuk seperti ini.” kata Amanda yang secara tiba-tiba datang. Ia memperlihatkan handuknya yang berlogo LS kepada gadis optimis itu.

“Seorang sahabat tahu apa yang dibutuhkan sahabatanya.” kata Amanda sembari memberikan handuknya kepada Yogi.

Yogi menyambutnya dengan senyuman. Segera ia mengusap keringatnya dengan handuk Amanda.

“Minumanmu.” Kata Amanda lagi.

Yogi mengambil botol minuman dari tangan Amanda. Ia segera meneguknya. Rasa dahaga langsung hilang dari tenggorokannya.

Amanda merangkul pundak Yogi, “Menangkan pertandingan ini, orang tampan.” Kata Amanda dengan senyum tersimpul di bibirnya. Yogi ikut tersenyum. Ia mengulurkan tangannya, agar Amanda tos dengannya.

Tak berapa lama kemudian, wasit kembali meniup peluit, tanda pertandingan akan kembali dimulai. Yogi bersiap-siap. Ia tos sekali lagi dengan Amanda sebelum masuk lapangan. Sekilas ia melemparkan senyum kepada bidadari yang belum ia kenal namanya.

”Aku bagaimana?” tanya si gadis kepada Amanda. Ia tampak sangat tak enak hati.

”Cuci saja handuk itu sampai bersih, kemudian berikan pada Yogi. Dia bukan seorang yang pemarah. Meskipun kamu telah merusak atau menghilangkan benda berharga baginya, sedikitpun dia tidak akan marah. Bahkan dia bukanlah seorang yang pendendam walau disakiti separah apapun. Jadi, cukup memperbaiki kesalahanmu saja.” Ucap Amanda. Ia lantas meninggalkan perempuan itu menuju bangku di dekat Angkasa.

“Baik sekali kepada Yogi.” Sindir Angkasa ketika Amanda kembali duduk di sebelahnya.
Matanya terus terpaku pada peryandingan yang baru saja dimulai.

“Kepada teman tentu saja harus baik.” balas Amanda seraya berteriak memberi semangat kepada Yogi dan Samson yang sedang bertanding.

“Tapi kepadaku tidak.” Protes Angkasa.

“Kalau kamu baik padaku, pasti aku baik padamu.”

”Aku selalu baik padamu. Aku sering mentraktirmu makan serabi di taman kota.”

”Bukan kalah, tapi mengalah.”

Amanda memandang tajam ke arah Angkasa. Ia tidak rela menang hanya karena lawannya mengalah. ”Ini bukan waktunya bertengkar.” katanya kepada Angkasa. Padahal sebenarnya ia sudah tidak tahan untuk memukul lengan Angkasa seperti biasanya. Ia akhirnya mengalihkan perhatian kepada pertandingan.

Dimana ada Amanda, disana pasti ada Angkasa. Dimana ada mereka berdua, pasti selalu ada pertengkaran. Kedua orang yang sama-sama kekanak-kanakan dan masih ingin menang sendiri itu sangat aneh karena bisa terus bersama sebagai sahabat. Mereka berdua ibarat tikus dan kucing. Tapi ada Ilyas di antara mereka berdua, yang seringkali berperan sebagai penengah.

Sebenarnya belum lama Amanda dan Angkasa memiliki hobi perang mulut. Ketika mereka SMP, tidak pernah mereka memperdebatkan sesuatu. Bahkan mereka sering bersatu menghadapi anak-anak nakal yang suka mengambil bola kaki Angkasa. Mereka mulai tidak akur justru semenjak Amanda suka protes ketika Angkasa bersikap sok keren setelah masuk klub bola. Ditambah lagi suka ganti-ganti pasangan hanya dengan alasan ’bosan’.

Sementara Angkasa mulai membalas sikap Amanda sejak gadis tomboy itu mengatakan kalau basket lebih keren daripada sepak bola. Amanda semakin menyukai basket, sementara Angkasa semakin membenci perubahan Amanda. Sejak gadis tomboy itu suka basket, ia jarang bisa mengajaknya bermain bola di lapangan. Padahal dulu, setiap sore mereka pasti bermain sepak bola bersama anak-anak kompleks lainnya.

Karena rasa kesalnya pada Amanda yang dirasa semakin tidak peduli padanya, Angkasa semakin menjadi-jadi. Ia semakin tebar pesona kepada teman-teman perempuannya. Tapi ketika Amanda mulai memperhatikannya lagi, mulai tampak iri padanya, Yogi yang juga sahabatnya justru semakin dekat dengan Amanda. Ia merasa kembali terpinggirkan. Ia seperti tidak rela Amanda dekat dengan orang lain, karena ia lebih dulu mengenalnya. Padahal sebenarnya Amanda dekat dengan semua sahabatnya, termasuk Angkasa. Ia tidak jarang belajar bersama Ridwan, latihan tinju dengan Samson, bermain catur dengan Ilyas, latihan menggambar dengan Jaka, atau memancing dengan Karang. Tapi karena Angkasa lebih sering melihat sikap berbeda Yogi dan Amanda, ia menyimpulkan jika di antara mereka ada sesuatu. Padahal tidak ada apa-apa. Hanya perasaan sebatas sahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar