Laman

Minggu, 25 Oktober 2009

BAHASA CINTA SEORANG PENJUAL BUNGA

Hari ini suasana kios bunga “Blossom” lebih ramai dari biasanya. Semua karyawan dibuat sibuk melayani pengunjung. Tak terkecuali Windy, sang pemilik kios bunga yang cukup besar itu terlihat sibuk mengawasi kerja karyawannya. Tiba-tiba salah seorang karyawan memberitahukan bahwa ada pelanggan baru yang berkunjung, dan sedang menunggu di ruang tamu. Dengan segera ia melangkah ke ruang tamu.

“Selamat siang.” Sapanya dengan senyuman penuh kehangatan. Seorang perempuan cantik dan pria tampan tampak tengah duduk di sofa. Mereka memberikan senyuman.

”Sepertinya saya tidak asing dengan Anda.” Ujar Windy sedikit ragu.
Wanita itu tersenyum, “Kita pernah satu SMP. Big Balon.” Tuturnya.

“Christin Gendut!” seru Windy.

Windy langsung memeluk erat Christin. Ia tidak menyangka, tujuh tahun berpisah telah membawa banyak perubahan kepada diri Christin. Gadis gendut itu telah berubah menjadi wanita cantik nan langsing.

Ternyata Christin dan tunangannya, Mario, datang menemui Windy untuk memintanya menghiasi tempat resepsi pernikahannya dengan bunga-bunga indah di kiosnya. Satu minggu lagi mereka akan menikah.

“Bisakah kita pergi sekarang untuk melihat tempatnya?”

”Mm... ” belum sempat menjawab, sebuah SMS masuk ke ponsel Windy. Ia langsung membuka isi pesan itu. SMS dari Kak Wahyu.

“Segera pulang. Ayah menunggu di rumah. Ada hal penting.”

Windy menghela nafas panjang, “Maaf, Christ. Aku tidak bisa pergi bersamamu. Ada urusan di rumah. Kamu berikan saja alamatnya, besok aku akan men-survey sendiri.”

”Baiklah, ini alamat hotelnya.” kata Christ seraya memberikan sebuah kartu.

Tak lama kemudian, Christ dan Mario berpamitan. Windy juga bergegas pulang ke rumah, sebelum ayahnya marah dan ngambek.

Setibanya di rumah, ternyata ayahnya membawakan seorang calon suami untuknya. Sejak awal dia juga sudah merasakan firasat yang tidak enak. Sudah beberapa kali ayahnya seperti ini. Dia menyesal pulang awal.

“Glen ini adalah direktur perusahaan Macrotop dan juga mempunyai sebuah hotel bintang lima.” Begitulah promosi sang ayah tentang calon kandidat menantunya kali ini.

Windy tak bisa mengelak lagi. Dia sudah berjanji akan menuruti keinginan ayahnya jika dia tidak mau memilih sendiri siapa calon suaminya. Itu tak mungkin terjadi. Di dunia ini hanya ada satu lelaki yang ia cinta, yang selama ini ia nanti-nantikan. Meskipun ia tak pernah muncul dan telah menghilang bagai ditelan bumi. Ia sadar, lebih baik mengampil yang sudah ada, daripada menunggu yang belum pasti. Tapi perasaan memang tak pernah bisa dibohongi.

”Mereka berdua sangat cocok. Bagaimana kalau pernikahannya dilaksanakan secepatnya saja? Mungkin satu minggu dari sekarang?” ujar ayah kepada Pak Efendi, ayah Glen.

”Lebih cepat, lebih baik. Bagaimana, Glen?” jawab Pak Efendi singkat.

“Terserah ayah.” Kata lelaki tampan itu dengan seulas senyuman. Lelaki itu memang tampan. Tapi entah mengapa tetap tidak bisa menyentuh hati Windy. Mungkin karena ia masih terlalu shock.

”Aku rasa... itu terlalu cepat. Kami bahkan belum berkenalan lebih akrab. Sangat aneh kalau dua orang asing tiba-tiba disuruh menikah. Setidaknya diberi waktu satu tahun untuk berkenalan.”

”Kalau Windy belum siap, saya masih bisa menunggu.” ujar Glen menanggapi kata-kata Windy.

”Wah, tidak boleh begitu. Terlalu lama ditunda tidak baik. Bisa menimbulkan kesempatan lirik kanan kiri nanti. Kalau begitu dua bulan saja, sekalian untuk mempersiapkan segala sesuatunya.” usul Pak Efendi.

Windy tetap kurang mantap. Meskipun diberi waktu seratus tahun, ia tetap belum siap. Tapi ayahnya sudah menyetujui. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Janji harus ditepati. Dan selama waktu itu, dia akan berusaha mencintai calon suaminya.

*****

Resepsi pernikahan Christ dan Mario akhirnya di laksanakan. Seandainya Windy tahu kalau acaranya akan dilaksanakan di hotel milik calon suaminya, dia tidak akan mau menerima tawaran Christ untuk menjadi florist. Entah mengapa sering bertemu dengan Glen membuatnya semakin tidak nyaman dan menyebalkan. Sikap Glen yang sangat penurut dan mau dijodohkan begitu saja membuatnya kesal. Padahal seharusnya ia mulai belajar untuk menyukainya.

Saat akan berangkat menghadiri resepsi pernikahan Crist, sebenarnya Glen ingin mengajaknya berangkat bersama. Tapi ia menolak dengan alasan rumah yang tidak searah.

”Selamat, ya Christ.” ucap Windy seraya memberikan sebuah bingisan warna ungu.

”Terima kasih. Sebenarnya tatanan bunga aneka warna yang indah di tempat ini sudah menjadi kado terindah untukku. Terima kasih sudah menjadi sahabatku.”

Tanpa basa-basi, Windy langsung memeluk erat sahabat lamanya itu. Sahabat yang kini telah menemukan pangerannya.

Setelah memberikan ucapan selamat, Windy mengikuti Glen untuk diperkenalkan dengan rekan-rekan bisnisnya. Serentetan perbincangan tentang bisnis membuatnya pusing. Ia tak mengerti isi pembicaraan mereka. Seolah ia merasa tak dihiraukan oleh Glen. Dia sibuk sendiri.
Untung tak berapa lama kemudin, Christ datang dan mengajaknya pergi untuk menikmati hidangan.

“Aku sangat bersyukur, hampir semua teman lamaku datang di hari yang berbahagia ini.” Kata Christ sembari menikmati manisan buah.

“Ya, aku sempat bertemu dengan Ihsan dan Bedu, anak terjahil di kelas kita.”

“Eh, tahu tidak? Endri juga datang. Baru satu bulan ia pulang dari Australia. Huh! Tujuh tahun ia bertahan di Australia apa tidak hebat? Bahkan sekarang dia sudah semakin tampan, tidak sehitam dulu. Aku dengar dia langsung dipercaya menjadi direktur pemasaran di sebuah perusahaan besar!”

Christ berbicara panjang lebar, hingga ia tidak menyadari kalau Windy sudah tidak ada di sampingnya. Windy terlihat sedang mondar-mandir seperti sedang mencari sesuatu. Terpaksa Christ berjalan menghampirinya.

“Sedang mencari apa? Sejak tadi kata-kataku tidak didengar,ya?” protes Christ.

”Mm... maaf. Aku....”

”Apa yang sedang kamu cari?”

”Aku... aku... mencari... Endri.” katanya dengan ekspresi sedikit takut.

”Oh, Endri. Hah! Pasti kamu ingin mengajaknya berbisnis juga, ya? Dasar otak bisnis!”

Windy hanya nyengir kuda. Sebenarnya ia takut kalau sampai Christ tahu, sejak dulu ia mencintai Endri. Selama ini tidak ada satupun orang yang tahu tentang hal itu. ia memang sangat pandai menyimpan rahasia, meskipun sungguh sangat menyesakkan di dada.

”Endri sudah pulang. Katanya ada pekerjaan penting. Nanti kalau dia menghubungiku, akan aku tanyakan dimana tempatnya bekerja, agar kamu mudah mengajaknya berbisnis.”

*****

Waktu terus berlalu kian cepat. Tak terasa satu bulan masa perjodohan telah terlewat begitu saja. Tinggal satu bulan tersisa untuknya menghirup udara kebebasan. Namun keberadaan Glen selalu membuatnya sesak dan sulit bernapas. Ia tak sepenuhnya merasakan kebebasan.

Hari ini Glen mengajaknya vitting baju pengantin. Lagi-lagi kata ’terlalu cepat’ yang terbersit di pikirannya. Ia belum siap. Deretan gaun pengantin indah mengantri untuk ia coba. Setiap kali mencobanya, Glen hanya mengucapkan satu kata, ‘cantik’. Katanya, semua baju cocok untuknya.

Namun Glen tidak bisa menemaninya sampai selesai. Panggilan tugas memaksanya meninggalkan Windy sendiri. Ia menyuruh gadis itu untuk menunggunya di taman sampai ia kembali.

Terik matahari siang itu terasa sangat menyengat. Sudah hampir satu jam ia menunggu Glen di bangku taman, di bawah pohon mangga yang rindang. Entah sudah berapa puluh orang yang lewat di depannya. Ia tak sempat menghitung.

Suara dedaunan kering yang terinjak-injak tak juga mampu mengusiknya. Ia membiarkan angin bertiup pelan membelai rambut hitamnya yang panjang. Tiba-tiba hembusan angin menghantarkan aroma khas lavender… parfum yang sering dipakai oleh seseorang yang spesial. Ia mencoba menengok ke kanan kiri, berharap menemukan orang yang ia cari. Tapi tak ada.
Beberapa saat kemudian, ada telepon dari Glen yang memberitahukan kalau ia tak bisa datang untuk menjemputnya. Windy sangat kecewa. Seharusnya sejak tadi dia pulang sendiri saja. Panas!

Dengan langkah malas, ia menuntun kakinya berjalan menapaki trotoar di bawah panasnya siang. Tangan kanannya menjinjing sebuah tas berisi gaun pengantin pilihannya. Kejadian ini membuatnya semakin membenci Glen. Ternyata pekerjaan lebih penting dari calon istrinya.

”Bruk!” Windy bertabrakan dengan seseorang. Barang bawaannya terlempar jauh. Tiba-tiba aroma lavender kembali mengusik penciumannya. Seketika ia terdiam. Detak jantungnya seakan terhenti.

“Lain kali, jangan pernah berjalan sambil melamun.” ujar seorang pria.

”Endri.... ” lirih Windy. Lidahnya seakan kelu. Orang yang selama tujuh tahun lebih ia nantikan, kini berada tepat di hadapannya.

”Kau mengenalku?” tanyanya penasaran.

Secepat mungkin Windy menyembunyikan rasa gugupnya, ”A... a... aku Windy Almira Santika, teman satu kelasmu saat SMP.” ucapnya.

Endri tersenyum. Senyuman yang sangat manis, hampir membuatnya pingsan.

Endri, teman lama itu membuat Windy lupa akan tujuannya. Mereka duduk di bangku taman sambil membuka kenangan masa lalu mereka. Nada bicara mereka sangat lirih, seperti pembicaraan dua orang pemalu yang baru saling mengenal.

”Aku dengar selama tujuh tahun kamu menetap di Australia.”

”Iya. Mengikuti ayah tiriku. Tapi sekarang, aku akan tetap di Indonesia saja, lebih enak. Seperti rumah sendiri.” tutur Endri.

Seorang pedagang es krim lewat di hadapan mereka. Endri mentraktir gadis yang hatinya sedang berbunga-bunga itu makan es.

”Aku dengar dari Christ, kamu pemilik kios bunga ’Blossom’ yang terkenal itu, ya?”

”Hanya kios kecil.”

”Tujuh tahun tidak bertemu kamu banyak perubahan, ya. Lebih feminim. Tidak segalak dulu.”

“Hidup itu memang perlu perubahan, agar tidak bosan. Tidak sepertimu. Masih sama seperti dulu.”

”Benarkah?”

”Kamu masih menggunakan tangan kirimu untuk melakukan sesuatu.”

Endri langsung melihat tangannya. Ya. Sejak dulu dia memang kidal. Ia tersenyum-senyum sendiri.

”Parfummu... masih tetap aroma khas lavender.”

Sekali lagi Endri mengecek tubuhnya, kemudian tersenyum.

”Ya, aku sangat menyukai lavender.” gumannya. ”Emm... mau menemaniku makan siang? Sebentar lagi jam istirahat habis.” ajaknya. Windy hanya membalas dengan senyuman.

Endri mengajak gadis itu menikmati makan siang di restoran cepat saji di dekat taman kota. Sebenarnya tujuannya keluar adalah untuk makan siang. Ternyata beruntung bertemu teman lama, sehingga ada teman makan siang.

”Kenapa tidak dimakan? Apa tidak enak?” tanya Endri, melihat sejak tadi Windy belum juga
mencicipi hidangan di hadapannya.

”Eh, iya!” katanya seraya langsung menyuapkan potongan daging ke mulutnya.

Sebenarnya dia bukan tidak suka makanannya. Dia hanya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk melihatnya. Dia takut, inilah terakhir kalinya ia bisa melihat Endri. Dia pernah berjanji kepada diri sendiri, tidak akan melepaskannya lagi kalau ada kesempatan bertemu.

”Aku dengar kamu akan menikah.”

”Huk!” Windy langsung tersedak mendengar kata-kata Endri.

“Kamu tidak apa-apa?”

“Eh, iya. Tidak apa-apa.” kilahnya seraya mengelap mulutnya.

Windy memastikan, Endri pasti tahu rencana pernikahannya dari Christ. Huh! Pertemuan menyenangkan di dalam keadaan yang tak memungkinkan.

”Jam makan istirahat sudah habis. Aku duluan kembali ke kantor, ya.”

”Iya.”

”Saat jam makan siang tiba, kamu bisa menemuiku di taman. Aku akan senang jika ada teman makan. Jangan sungkan menemuiku. Dan jangan menabrak orang lagi. Semangat!” tuturnya, sebelum pergi meninggalkan Windy. Gadis itu tersenyum, seolah mendapat kesempatan bertemu dengan cinta pertamanya itu lagi dan lagi.

Kehadiran Endri sungguh menimbulkan pengaruh yang sangat dasyat bagi gadis itu. sampai-sampai, malam ini ia tak bisa tidur, membayangkan senyuman manis yang mengembang di sudut hatinya. Cinta pertama... selalu penuh warna.

*****

Sama... sebuah kata yang bisa melukiskan hari-hari Windy setelah bertemu kembali dengan Endri. Di tempat yang sama, di waktu yang sama, bahkan di bangku yang sama, Windy selalu menunggu kehadiran Endri di sana. Ia selalu memasang senyuman. Penantiannya tak pernah sia-sia, karena Endri selalu datang untuk memenuhi janjinya, mentraktir makan siang di restoran yang sama dengan menu yang sama pula.

Perbincangan sama, seputar masa lalu. Meskipun hanya pertemuan biasa, tapi Windy ingin setiap hari selalu sama, tetap berjalan seperti saat ini. Ia tak ingin kehilangannya lagi. Meskipun tak bisa memilikinya, setidaknya ia masih bisa melihatnya.

*****

Di lain sisi, ada sesuatu hal yang berbeda dalam kehidupan Endri. Hampir setiap pagi meja kerjanya dihiasi oleh bunga mawar merah dan sepucuk surat tanpa nama pengirimnya. Awalnya ia mengira bunga-bunga itu pemberian Mutia, Kekasihnya. Tapi ternyata bukan.

25 Maret
HAL YANG PALING MENYEDIHKAN DI DUNIA INI ADALAH KETIKA ORANG YANG KITA CINTAI TIDAK MENGERTI CINTA KITA

26 Maret
MENUNGGU ADALAH HAL YANG PALING TIDAK MENYENANGKAN. TAPI MENUNGGU KEHADIRANMU ADALAH SESUATU YANG SANGAT MENYENANGKAN.

27 Maret
WAKTU AKAN TERUS BERJALAN MESKI KITA LUPA UNTUK MENGHITUNGNYA. TAPI PERNAHKAH KAU MERASA BAHWA ADA SESEORANG DI LUAR SANA YANG SELALU MENGIKUTI IRINGAN SANG WAKTU, SETIAP DETIK TERSENYUM MENANTI KEHADIRANMU, MESKI KAU TAK AKAN PERNAH BISA MELIHAT SENYUMANNYA.

30 Maret
MESKIPUN MATAKU TERHALANG RIBUAN BUKIT UNTUK MEMANDANGMU, NAMUN AKU AKAN TETAP BISA MELIHATMU. KARENA DI DALAM HATIKU... TELAH TERPATRI LUKISAN WAJAHMU. AKU AKAN TERUS MENUNGGU HINGGA BUKIT-BUKIT ITU MENYINGKIR DAN MEMBERIKU JALAN UNTUK MENGUCAP... I LOVE YOU.

1 April
ONE DAY, I WANT TO TELL YOU THAT I LOVE YOU, I MISS YOU, I NEED YOU, I WANT YOU, AND I’LL WAIT THE DAY.

3 April
KAU MUNGKIN PERNAH BERTANYA-TANYA DALAM HATI, SIAPAKAH AKU INI? AKU ADALAH ORANG YANG HANYA MAMPU MENCINTAIMU DALAM HATIKU. ORANG YANG HANYA BISA MEMANDANGIMU DARI ARAH YANG TAK PERNAH KAU SANGKA.

5 April
MENGAPA KAU DAN AKU ADA? MENGAPA AKU HARUS MENCINTAIMU? MENGAPA AKU MAU MENUNGGUMU, MESKIPUN AKU TAHU, AKU AKAN TERLUKA KARENA ITU? MENGAPA MENCINTAIMU MEMBUATKU BAHAGIA? MENGAPA MENCINTAIMU JUGA MEMBUATKU TERLUKA? BEGITU BANYAK TANYA YANG TAK AKU MENGERTI JAWABANNYA. KARENA AKU HANYA MENGERTI SATU HAL: AKU MENCINTAIMU.

6 April
SERIBU TAHUN TAK AKAN CUKUP UNTUK MENCERITAKAN BETAPA AKU MENCINTAIMU. SERIBU KANVAS TAK AKAN MAMPU MELUKISKAN KISAH PENANTIANKU YANG PANJANG INI. SERIBU DANAU TAK AKAN KUASA MENAMPUNG TETESAN AIR MATAKU YANG TERLUKA KARENA CINTA YANG TAK PERNAH KAU SADARI.

Kehadiran bunga dan sepucuk surat di meja kerjanya menelisik rasa keingintahuannya. Ia ingin tahu, siapa pengagum rahasianya. Mengingat hubungannya dengan Mutia menjadi semakin renggang karena kejadian ini. Ia dikira selingkuh.

Siang itu ia sengaja pergi ke taman sebelum jam istirahat tiba, untuk menemui Windy di tempat biasa. Akhirnya kali ini ia merasakan sendiri, betapa tidak enaknya menunggu, seperti yang sering dilakukan Windy di sana.

”Endri....” sapa Windy yang terkejut melihat Endri lebih dulu datang ke sana.

”Hai! Duduk.” katanya, mempersilahkan.

”Ternyata menunggu di bawah terik siang sangat tidak menyenangkan, ya.” ujarnya. Windy tersenyum.
”Kali ini kau membawa bunga mawar?” tanya Windy keheranan. Ada sedikit rasa percaya diri, kalau mawar itu untuknya. Ia sangat berharap demikian.

”Oh, iya. Ini mawar yang indah, bukan?” tanya Endri. Sekali lagi Windy hanya mengangguk.

“Seseorang yang memberikannya padaku. Dalam dua minggu belakangan ini, ada seseorang yang rajin mengirimiku mawar merah dan sepucuk surat. Tanpa nama.” Ujar Endri.

“Lantas…”

“Entah mengapa isi suratnya sangat menyentuh hati. Seolah-olah aku telah menyakitinya. Padahal, satu-satunya wanita yang ku kenal di Indonesia adalah Mutia, pacarku. Bisakah kamu mencarikan siapa pengirimnya? Karena kamu pasti tahu benar, kios-kios bunga di Jakarta ini.”
Windy tertawa kecil, ”Tanyakan kepada pengantar bungannya. Itupun kalau ia mau mengatakan siapa pengirimnya. Aku tidak bisa banyak membantu.”

*****

”Pak Endri, ada kiriman bunga lagi!” seru Lina, sang sekretaris, ketika melihat Endri baru datang.

”Awas... jangan-jangan itu kiriman dari banci yang menyukaimu!” gurau Marwan.
Endri tak memperdulikannya. Ia langsung membuka isi suratnya.


MANUSIA BICARA DENGAN BAHASA MANUSIA. HEWAN BICARA DENGAN BAHASA HEWAN. TUMBUHAN BICARA DENGAN BAHASA TUBUHAN. MEREKA BISA SALING MENGERTI. KAU DAN AKU MASING-MASING MEMILIKI HATI. TIDAK BISAKAH KAU MEMAHAMI ISI HATIKU? TIDAK BISAKAH KAU MENDENGAR SUARA HATIKU? BERULANGKALI AKU BERSERU, ‘AKU CINTA PADAMU’. TAPI KAU TAK PERNAH BISA MENDENGAR. SETIDAKNYA… BACALAH MATAKU, AGAR KAU DAPAT MENEMUKAN KEBENARAN DI DALAMNYA.


“Lina! Pasti kamu yang selama ini iseng memberikan surat-surat ini.” tuduh Endri.

”Hah! Lebih baik aku gunakan uangnya untuk membeli alat-alat make-up.” balas Lina dengan nada sewot.

*****

Hari ini Endri sengaja datang ke kantor pagi-pagi sekali. Ia ingin menangkap sendiri pengantar bunganya untuk diinterogasi. Teman kerjanya satu per satu mulai berdatangan. Namun kiriman bungan itu tak kunjung datang.

”Menunggu kiriman bunga, ya?” terka Lina.

”Iya.”

”Ah, untuk apa ditunggu. Paling yang datang pengantar bunganya saja. Pemgirim aslinya tidak mungkin mau ketahuan.” Sahut Marwan.

“Setidaknya aku bisa menanyakan siapa pengirimnya.”

“Permisi…” akhirnya orang yang dinanti-nantikan datang.

“Tuan, ada kiriman bunga untuk Anda.”kata pengantar bunga itu seraya memberikan sekuntum bunga mawar dan sepucuk surat.

“Terima kasih. Kalau boleh tahu, siapa pengirim bunga yang cantik ini?”

”Maaf, saya tidak bisa memberi tahu. Itu rahasia. Permisi.” kata si pengantar bunga seraya berlari pergi.

”Tunggu!” seru Endri dan langsung mengejarnya.

Sesampainya di lapangan parkir, Endri kehilangan jejak si pengirim bunga. Ketika akan kembali ke ruang kerjanya, ia berpapasan dengan Pak Glen dan Windy.

”Wah, Windy pasti akan menjadi penata bunga di hari pernikahan Pak Glen.” gumannya dalam hati.

”Bagaimana, apa kau berhasil menangkapnya?” tanya Lina.

”Gagal!”

”Saat kamu pergi, Pak Glen memperkenalkan calon istrinya kepada kami. Sayang, kamu tidak melihatnya. Dia sangat cantik! Serasi dengan Pak Glen yang tampan.”

”Ah, saat resepsi juga nanti akan bertemu.” balas Endri cuek. Ia segera menuju mejanya, mengambil sepucuk surat yang tadi belum sempat ia baca.


SALAHKAH AKU YANG TELAH DIAM-DIAM MENCINTAIMU, MEMENDAM SEJUTA ASA UNTUK MEMILIKIMU? SALAHKAH AKU YANG SELALU DIAM-DIAM MEMANDANGIMU, MENIKMATI SETIAP SENYUMAN MANISMU? SALAHKAH AKU YANG TERUS BERUSAHA MENGGAPAI CINTAMU, MESKI TANGANKU TAK AKAN PERNAH SAMPAI MENJANGKAUNYA? MENGAPA TAK KAU COBA MEMBUKA HATIMU... MERESAPI, SIAPAKAH ORANG YANG MENCINTAIMU INI?


*****

Windy merebahkan tubuhnya di ranjang. Rasanya detik demi detik membuatnya kian sulit bernapas. Ia semakin terjepit. Ia memandangi gaun pengantin yang tergantung di dinding. Besok… gaun itu akan melekat di tubuhnya. Hilanglah semua kebebasanya dalam waktu yang sangat singkat: PERNIKAHAN.

Endri, seseorang yang kehadirannya selalu memberi oksigen baru… apakah masih mau bersenang-senang bersamanya setelah tahu, kalau dirinya adalah kekasih atasannya? Tadi siang pria pujaan hatinya itu sempat melihatnya bersama Glen. Dia juga pasti sudah membaca surat undangannya. Hantinya kacau! Berkali-kali ia berusaha untuk memejamkan mata, tapi tetap tidak bisa.


*****

Siang itu Windy berniat menemui Endri di tempat biasa. Wajahnya tampak berseri-seri. Namun beberapa waktu di tunggu, ia tak kunjung datang. Nomor ponsel tentu saja tidak punya. Sejak awal pertemuan, mereka sudah sepakat untuk tidak saling bertukar nomor telepon, agar dapat bicara langsung saja di tempat biasa.

Akhirnya ia ingat kalau ini adalah hari minggu. Tentu saja Endri tak akan datang ke kantornya. Hanya ada satu tempat yang ia kunjungi setiap hari minggu. Lapangan Futsal.

Ternyata benar. Endri tampak asyik bermandikan keringat di tengah lapangan bersama teman-temannya. Ia melambaikan tangan ketika melihat kehadiran gadis itu.

”Aku pikir kau tidak akan datang.” kata Endri sembari meneguk air minumnya.

”Mana mungkin aku melewatkan kesempatan untuk mengenang masa lalu bersamamu. Apalagi kalau mendapat traktiran gratis.” canda Windy.

”Aku senang ada teman bicara yang menyenangkan sepertimu. Soalnya Mutia tidak pernah ada waktu. Sibuk pemotretan.

“Hari minggu masih kerja juga?”

“Tidak. Sekarang dia sedang belanja. Katanya ingin membeli kado pernikahan untuk atasanku nanti malam. Eh, bukankah kamu yang jadi penata bungannya, ya?”

Windy tersenyum sambil menggeleng. Ternyata Endri belum tahu juga yang sebenarnya.

“Kau tidak mengajakku makan siang?” protes Windy. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Endri mengangguk sambil terheran-heran.

Windy terlihat sangat menikmati hari ini. Padahal ia sudah sering menikmati menu yang sama setiap bersama Endri: BURGER DAN SECANGKIR KAPUCCINO.

”Ini akan menjadi makan siang ternikmat yang pernah aku rasakan.” ujar Windy dengan penuh senyum kebahagiaan.

”Nikmat? Bukankah hampir setiap hari kita menikmatinya bersama? Aku bahkan sudah mulai bosan.”

”Mungkin ini terakhir kalinya kita bisa makan seperti ini bersama. Karena itu, nikmatilah!”

”Memangnya kamu pergi kemana?”

”Pergi mengikuti kata hati. Pergi ke tempat yang terindah. Tempat yang terdengar pana, tetapi terasa sejuk, ada banyak bunga, sehingga aku bisa menikmati semerbak bunga setiap hari.”

”Tempat seperti apa itu? pantai atau hutan?” tutur Endri sekenanya. Ia kembali menikmati makanannya. ”Kalau kamu pergi, aku akan kehilngan teman bicara. Kenapa kita tidak saling tukar nomor ponsel saja?”

”Ponsel itu membuat berisik. Apalagi kamu. Pasti seharian penuh berbunyi terus oleh telepon dan smsmu. Lagipula, seperti ini lebih asyik. Kalau ingin bicara, langsung face to face. Aku ingin menjadi orang yang jarang kamu ingat, tapi tidak pernah terlupakan.”

“Hem, bahasa sastrawan!” sergah Endri. “Tapi setidaknya tidak akan ada lagi yang meminta traktiran.”

Selesai makan siang, mereka menghabiskan siang di taman kota. Siang ini sedikit mendung, tapi tak memunculkan pertanda akan turun hujan. Mereka berdua duduk diam menikmati setiap membusan angin yang bertiup. Suara bising kendaraan tak mengurangi ketenangan jiwa mereka.

“Besok, aku sudah tidak lagi menunggumu di sini. Tidak ada lagi cerita semasa SMP yang akan kita bagikan.” ujar Windy, membuka pembicaraan.

“Aku juga tidak perlu lagi terburu-buru keluar kantor untuk menemuimu.”

“Endri… kalau boleh, aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”

”Apa?” tanyanya, seraya menghadapkan wajahnya ke arah gadis itu.

”Kau mau berjanji, apa yang akan aku katakan tidak akan merubah sesuatu menjadi kebencian?”

”Aku bukan orang yang seperti itu. katakanlah kejujuran, walaupun sangat menyakitkan.”

”Aku menyukaimu.”

Senyuman yang sedari tadi terkembang di sudut bibirnya kini telah pudar begitu saja. Sorot matanya yang tajam tertangkap dalam retina mata Windy.

”Kau bercanda.”

“Tidak.” Jawabnya lirih. “Akulah wanita yang hanya bisa mencintaimu dalam hatiku. Dan… akulah wanita yang selalu menghiasi meja kerjamu dengan sekuntum mawar merah.”

Endri semakin terperangah. Orang yang selama ini ia cari ternyata ada di hadapannya saat ini.

”Akulah yang selama tujuh tahun merindukanmu. Akulah orang bodoh yang mau menunggumu, meskipun ia tahu, semuanya hanya sia-sia. Akulah orang yang selalu berbicara lewat isyarat hati, mengharap kau bisa mendengarnya. Akulah... akulah orang itu.” beberapa tetes air mata mengalir mengiringi kejujuran yang terucap.

”Windy, aku....”

”Kita sudah sepakat, kata-kataku tidak akan mengubah apapun. Aku hanya mencoba jujur tentang perasaanku padamu. Bahkan aku tak menginginkan jawabanmu. Aku hanya ingin kamu tahu... selama tujuh tahun ini, ada seseorang yang mencintaimu.”

Endri memberikan sapu tangannya pada gadis manis yang sedang menangis di sampingnya. Gadis itu menyeka air matanya dan mulai bisa tersenyum. Gadis itu memberikan sebuah gantungan kunci berbentuk bola sepak dan sepucuk surat kepada Endri.

”Aku harus pergi sekarang. Terima kasih atas segala kenangan satu bulan terakhir ini. Tolong jangan katakan pertemuan kita kepada siapapun. Ini bukan hanya sebuah permintaan. Tapi janji yang harus kau penuhi. Selamat jalan.” tutur Windy sebelum beranjak pergi. Ia melemparkan sebuah senyuman sebelum akhirnya ia naik bus. Endri membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan. Ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga: TEMAN.

Dalam keadaan yang masih membuatnya tidak percaya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Telepon dari Lina.

”Halo, Lina. Ada apa?”

”Endri, sudah tahu, belum? Pak direktur tidak jadi menikah.”

“Apa!? Memangnya kenapa? Apa mau diundur?”

”Bukan! Calon pengantin wanitanya kabur!”

“Kabur?”

“Iya. Katanya pengantin wanitanya tidak mau dijodohkan dengan pak direktur. Mungkin ada pria lain di hatinya. Eh! Sudah dulu, ya. Pulsaku mau habis. Bye...”

”Huh! Satu lagi kejadian aneh hari ini.” guman Endri.

Ia kembali beralih memandangi gantungan kunci dan sepucuk surat yang diberikan Windy padanya. Perlahan ia mulai membuka amplop surat itu dan mulai membacanya.



UNTUK ENDRI SETYA PERWIRA,

SUDAH SEKIAN LAMA AKU INGIN MENGATAKAN KEJUJURAN HATI INI. RAHASIA INDAH INI SUDAH CUKUP MEMBUATKU SULIT BERNAPAS. AKU INGIN BEBAS LEPAS TANPA BEBAN SEPERTI LAYAKNYA SEEKOR MERPATI. DAN AKHIRNYA AKU BISA MELAKUKANNYA: MENGATAKAN KEJUJURAN, MESKIPUN MENYAKITKAN. SETIDAKNYA AKU MERASAKAN RASA SAKIT ITU UNTUK TERAKHIR KALI. DARIPADA AKU TERUS MENYIMPANNYA, DAN RASA SAKIT ITU TETAP SAJA MEMBAYANGI.

KAU TAHU, MENGAPA AKU MEMBERIKAN GANTUNGAN KUNCI ITU PADAMU? ITU PERTANDA BAHWA AKU TELAH MEMBUANG KUNCINYA. KUNCI YANG SELALU MEMBERIKU HARAPAN, BAHWA AKU DAPAT MEMBUKA PINTU HATIMU UNTUKKU DENGAN KUNCI ITU. TAPI TERNYATA KUNCI ITU TIDAK PAS DI HATIMU, TAK BISA MEMBUKA HATIMU. INILAH SAATNYA BAGIKU UNTUK MENERIMA KENYATAAN: CINTA TAK HARUS MEMILIKI.

KALAU AKU SUDAH BERANI MENCINTAI SESEORANG, MAKA AKU HARUS BISA MENERIMA SEANDAINYA SESEORANG ITU MENCINTAI ORANG LAIN.

AKU TAK AKAN MEMAKSA LAGI. MEMAKSA DIRI SENDIRI UNTUK MENDAPATKANMU... DAN MEMAKSAMU UNTUK BISA MENERIMAKU. KARENA SESUNGGUHNYA HATI ITU AKAN TERBUKA, JIKA ORANG ITU MAU MEMBUKANYA SENDIRI. ATAU ADA SESEORANG YANG MEMILIKI KUNCI YANG PAS DENGAN HATIMU. TENTUNYA ORANG ITU BUKAN AKU. BENAR-BENAR BUKAN AKU.

MAAF, KALAU SEPERTI INI CARANYA. INILAH BAHASA CINTA SEORANG PENJUAL BUNGA. SELALU MENGEJUTKAN. SEPERTI AROMA SEMERBAK SETIAP BUNGA YANG BERBEDA-BEDA.

MUNGKIN AKU IBARAT BUNGA LIAR YANG TAK BERAROMA, TAPI INGIN TERCIUM WANGI DI SAMPINGMU. SEHINGGA KUPAKAIKAN PARFUM DI BUNGA ITU. TAPI KAU TETAP BISA MEMBEDAKAN AROMA BUNGA YANG ASLI. KAU TAK TERTARIK KEPADA BUNGA LIAR INI.

SEKARANG, AKU TIDAK AKAN MELAKUKANNYA LAGI. AKU AKAN TAMPIL DENGAN APA ADANYA DIRIKU: BUNGA LIAR SEDERHANA YANG TAK BERAROMA, BUNGA LIAR YANG BIASA. ENTAH ORANG AKAN MENYUKAI ATAU TIDAK, INILAH AKU. WINDY ALMIRA SANTIKA.

AKHIRNYA, SELAMAT TINGGAL... AKU UCAPKAN DENGAN BERAT HATI. SEMOGA KITA BISA BERTEMU LAGI.


Selesai membaca surat itu, Endri menjadi merasa bersalah. Tapi dia juga merasa senang. Kejujurannya ia lakukan dengan cara yang sangat unik. Ia tahu, temannya itu memang ingin selalu dikenang orang.

”Endri... sedang apa di sini?” sebuah sapaan lembut mengagetkan Endri. Christin.

”Mm... tidak. Tidak apa-apa.” kilahnya. ”Kamu mau kemana?”

”Aku sedang mencari Windy. Ada yang mengatakan, dia sering terlihat di sini.”

Mendengarnya, Endri sedikit terkejut. “Kenapa dicari? Memangnya kenapa?” ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, mengingat tingkah Windy yang aneh selama bersamanya.

”Kamu belum tahu, ya? Windy kabur dari pernikahannya. Kamu tahu, kan, nanti malam adalah malam pernikahan Windy dan Glen, atasanmu.”

”Apa!?” Endri merasa tidak tahu apa-apa. Kenyataan ini begitu menyentak hatinya. Bagaimana mungkin calon pengantin bosnya kabur begitu saja di depan matanya?

”Kamu juga belum tahu? Kamu tidak mendapat undangannya?” selidik Christ.

Segera Endri menggeledah tasnya. Ia temukan sebuah undangan berwarna biru yang belum sempat ia baca. Ada gambar Windy dan Glen di depannya. Ia merasa sangat bodoh. Ketika melihat Windy dan Glen di kantor, seharusnya ia sudah dapat menebak, kalau dialah calon istri Pak Glen. Ia tertegun.

Ternyata bahasa cinta seorang gadis penjual bunga memang sangat rumit dimengerti. Begitu banyak hal yang tersembunyi di balik indahnya mahkota bunga. Seperti bunga melati, terlihat sederhana, namun semerbak baunya. Begitu juga Windy, gadis yang tampak polos dan sederhana, namun ternyata menyimpan banyak rahasia.


____SELESAI____

This is for my first love. I’m sorry… now, I forgot you.
I’m Happy! I feel happy and free
(momoy_dandelion)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar