SURAT PENULIS
Sudah cukup lama rasanya tidak melihat dunia yang satu ini.... berbagi cerita bersama pembaca. Siapa saja yang kebetulan datang ke duniaku ini.... aku ucapkan selamat datang. Selamat bergabung dengan dunia MOMOY DANDELION yang selalu penuh dengan kesepian, tanpa keistimewaan. goodbye.........
by: MOMOY DANDELION
Seandainya aku punya mimpi, maka itulah alasan mengapa aku masih mau bertahan hidup. Aku akan mati ketika aku tak lagi punya mimpi. Di sinilah... di Lembah Mandalawangi, aku menaburkan mimpi-mimpi.
Kamis, 30 September 2010
tempat terindah
TEMPAT TERINDAH
Ini adalah suatu masa di mana isu Pemanasan Global menyebar dengan gencarnya. Musim kini tak lagi bersahabat. Tak ada lagi kepastian antara pergantian musim hujan dan kemarau. Tapi aku menyukai musim kali ini. Suatu musim yang penuh dengan kehadiran angin-angin nakal yang senantiasa mengajakku menari bersama dedaunan yang berguguran, rerumputan yang bergoyang, dan kesunyian di kebun belakang sekolah.
Siapa yang peduli, tempat terpencil dengan lapangan voli yang jarang digunakan ini. rumput yang panjang-panjang, dedaunan yang berserakan, terasa komplit dengan lumut-lumut yang menjadi anggota tetap di dinding. Tapi aku menyukai tempat ini. Seperti aku menyukai seseorang yang setia bermain voli di sana. Dia adalah Dida, seorang laki-laki yang aku suka sejak kelas satu SMA.
Aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Hingga kini aku belum pernah mengatakan kata indah itu padanya. Rasanya tak ada sedikitpun keberanian untuk mengatakannya. Dalam hati ini, rasa itu semakin meluap dan agaknya mau meledak. Tapi aku masih saja bisa menekannya.
Kini ada suatu kekhawatiran besar di hatiku. Sebuah kekhawatiran, seandainya saja kata itu tak pernah terucap dari mulutku, akankah aku tak akan menyesal? Kali ini saja aku akan segera kehilangan sosoknya. Empat bulan lagi akan ada acara kelulusan. Aku pasti akan berpisah dengannya. Tapi lidah ini tak juga mau bergoyang untuk mengatakannya.
Dia tepat ada di depanku. Tapi aku tak pernah bisa menjangkaunya. Menyapanya saja aku tak berani. Apa seumur hidupku, kata itu tak akan pernah terucap? Apa aku harus terus menjadi pengagum rahasianya? Dida... tak bisakah kau melihatku sebentar?
”Venus....” sebuah belaian lembut membuyarkan pikiranku tentang Dida. Ku arahkan pandangan kepada orang yang tiba-tiba saja datang.
”Sudah aku duga, kau pasti ada di sini.” dia tersenyum. Ah... aku hampir saja lupa dengan pria ini. Seorang pangeran yang kini menjadi kekasihku. Senyumnya begitu indah, namun tak mampu menghapus keberadaan seseorang dalam hatiku.
”Melvi, kau mencariku?” dia tertawa kecil, menertawakan pertanyaan bodohku. Sementara kini, aku tak peduli lagi dengan orang yang sedang bermain voli di sana.
”Pertanyaanmu aneh. Untuk apa aku ke tempat ini kalau tidak untuk mencarimu? Tidak mungkin aku ingin bermain voli dengan mereka. Ah, sudahlah. Ayo kita ke kantin.”
Aku hanya mengangguk. Ia menggenggam erat tanganku seraya mengajak aku melangkah. Aku ini kejam sekali. Mengapa lelaki baik ini tak juga membuat hatiku luluh? Aku adalah kekasihnya. Tapi... mengapa di dalam hatiku justru ada Dida.
Teman-teman selalu mengatakan kalau aku adalah gadis beruntung yang bisa mendapatkan Melvi. Mereka selalu membayangkan, betapa bahagianya perasaanku sebagai gadis yang beruntung itu. aku mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa itu kebahagiaan? Apa aku merasa bahagia seperti yhang selalu mereka katakan? Akupun tak bisa menjawabnya.
Seharusnya aku merasa bahagia. Seharusnya aku selalu tersenyum untuk Melvi. Tapi... hanyah ekspresi biasa-biasa saja yang selalu aku tampilkan. Aku memang pendiam. Itu yang semua orang tahu. Tapi dalam hatiku, aku selalu menggerutu hingga mata dan telingaku merasa lelah untuk mendengarkan keluh kesahku. Ini semua tentang Dida. Tapi bukan salahnya kalau aku menjadi seperti ini, meskipun sosoknya membuatku tak bisa melihat cinta dan ketulusan Melvi padaku.
”Kau adalah hatiku. Jika kau berkata tidak, akupun akan berkata tidak. Jangban pernah terlepas dariku. Karena tanpamu, aku tak akan pernah bisa berpikir.” begitu kata-kata yang pernah Melvi ucapkan padaku. Aku tak tahu mengapa ia bisa menyukaiku, hingga berkata demikian padaku.
Aku seperti seorang peri yang datang membawanya pada kebaikan. Melvi adalah seorang yang keras dan emosian. Ia sering berkelahi layaknya seorang jagoan tanpa takut kepada peraturan sekolah. Kedudukan orangtuanya sebagai pemilik yayasan membuatnya tampak semakin berkuasa. Aku tak pernah suka orang seperti itu. Bahkan dia adalah salah satu orang yang selalu aku hindari.
Pertama kali berbicara padanya, ketika aku melihatnya sedang memukuli teman sebelah rumahku, Joe. Saat itu, banyak sekali orang yang melihat aksi kejamnya, tapi tak ada yang mau melerai. Aku lama-lama tak tahan melihat arena tinju dadakan itu. Kulangkahkan kaki meski aku sebenarnya sangat takut. Tanpa basa-basi, aku langsung memegang pundaknya. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan membantingku cukup keras ke tanah. Tulang-tulangku seakan patah semua. Aku melihat tatapan tajamnya mengarah padaku.
”Jangan sakiti dia....” kataku. Saat itu aku benar-benar ketakutan. Aku tak kuasa menahan tangis, karena seluruh tubuhku terasa sakit. Ia terus memandangiku seraya berjongkok di sampingku. Aku mencoba duduk sambil menghapus air mata.
”Maaf.” itu kata terakhir yang ia ucapkan sebelum memapahku ke ruang kesehatan. Kulihat tatapan matanya berubah menjadi sebuah tatapan yang hangat.
Entah apa sebabnya, mungkin sejak saat itu ia mulai menjadi pelindungku. Ia begitu baik. Sangat baik. Mungkin itu yang membuatku mau menjadi kekasihnya.
Selama aku bersamanya, telah banyak perubahan pada dirinya. Ia tak lagi berkelahi atau memukuli orang sembarangan. Meski terkadang ia masih suka emosian, tapi tak pernah sekalipun ia berkata kasar padaku. Ia selalu berusaha untuk membuatku tersenyum bahagia. Meskipun hal itu tak pernah terjadi.
Siang ini udara terasa panas, mengiringi kegembiraan Melvi dan teman-temannya yang telah mengalahkan SMA Garuda Sakti dalam pertandingan basket. Mereka merayakannya dengan makan-makan. Aku... tentu saja ikut bersama mereka. Ya... meskipun kemenangan itu biasa saja untukku. Sebenarnya saat itu aku ingin sekali pergi dan berkunjung ke tempat di belakang sekolah yang biasa aku datangi. Suatu tempat di mana aku bisa melihat pangeranku yang sesungguhnya. Rasanya hidupku tak mungkin tenang sebelum kata ’cinta’ itu terucap untuknya. Aku menunggu waktu yang tepat. Tapi... kapankah saat itu akan tiba?
”Venus... apa yang sedang kamu lamunkan?” sapaan halus Melvi selalu saja membuatku tersentak.
”Ah! Tidak.” jawabku singkat.
”Kenapa tidak dimakan? Apa kau tidak suka?”
”Aku tidak lapar.” ya ampun... lagi-lagi jawaban seperti itu yang aku ucapkan padanya. Venus... kenapa kamu seperti itu terhadap orang sebaik Melvi? Kenapa aku terus menerus seperti mayat hidup yang kehilangan harapan? Apa sebenarnya yang aku inginkan? Aku hanya bisa membuat Melvi bingung dan kecewa. Dia selalu berusaha membuatku tersenyum. Sedangkan aku... tak bisa sekalipun memberikan senyuman tulus untuknya.
”Jangan seperti ini terus. Aku bingung, Venus. Apa kau tidak pernah merasa bahagia bersamaku?” akhirnya pertanyaan itu terlontar juga.
”Maaf. Maaf telah membuatmu bingung. Maaf, karena aku tidak pernah bisa terlihat gembira di depanmu. Aku tak tahu, mengapa ekspresi wajahku seperti ini hingga membuatmu sedih.” tanpa sengaja aku menitihkan air mata. Rasanya tak tega juga kalau Melvi tahu yang sebenarnya.
”Sudahlah, aku tidak apa-apa. Jangan menyalahkan diri sendiri. Lain kali, aku tidak akan menanyakannya lagi.” ia menyeka air mataku sembari menebarkan senyuman, kemudian membelai rambut panjangku dengan lembut.
”Oo... diakah gadis yang sangat kau cintai itu?” tiba-tiba Firman dan teman-temannya dari SMA Garuda Sakti datang menghampiri kami. Melvi mengarahkan pandangan kepadanya. Teman-teman yang lain juga telah mengambil ancang-ancang seolah akan ada pertempuran hebat. Melvi memberi isyarat agar teman-temannya tenang.
”Apa karena dia, kau berhenti dari balapan liar? Tak aku sangka kau tak lebih dari seorang pecundang. Gadis lugu seperti dia bukanlah tipemu. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia.”
”Bug...!!” sebuah tinju melayang begitu kuat ke arah Firman hingga dia terjatuh, ”kau boleh mengatakan apapun tentang aku. Tapi aku tidak terima kau menghinanya! Anjing!” aku melihat amarah itu kembali menjalari Melvi.
Firman tersenyum sembari mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya, ”Hah! Hanya sebatas ini pukulanmu? Banyak kemunduran. Dulu kita teman, sekarang bermusuhan.” Firman bangkit, ”aku akan membalasnya pukulan ini seratus kali lebih menyakitkan dan tak akan pernah kau lupakan. Jaga baik-baik gadismu kalau kau tak ingin melihatku menyakitinya.” kata Firman sembari mengacungkan jari tengahnya.
Firman dan teman-temannya tersenyum mengejek sambil berlalu pergi.
”Bangsat!” Melvi mencoba mengejar mereka. Tapi sebelum itu terjadi, aku memegangi lengannya.
”Aku menyukai Melvi yang baik hati dan tidak suka berkelahi.” kataku.
Melvi menggenggam tanganku, ”Aku tidak akan memukul orang sembarangan lagi. Kecuali, ada yang ingin mengganggu dan menyakitimu... aku tak akan segan membunuhnya.”
Semangat itu yang selalu membuatku tak nyaman. Ia mau melakukan segalanya untuk melindungi aku. Tatapan mata itu... tatapan mata yang tajam membara penuh dendam, tapi kadang berubah menjadi tatapan cinta yang penuh kehangatan. Aku tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika Melvi tahu kalau selama ini aku hanyah menyukai Dida. Apa dia akan menyakiti Dida? Seandainya begitu, lebih baik kusimpan rapat-rapat bayangan Dida di hatiku.
Daun-daun jatuh terbawa angin. Sungguh hangat sapaan mentari pagi ini. Seperti semangatku yang dasyat pagi ini. Aku kembali memainkan jemari, menuntun pensil menggambar sebuah sosok dalam selembar kertas. Hanya sketsa wajah itu yang selalu ingin aku abadikan dalam setiap liukan jemari yang memainkan pensil ini. Aku begitu takut kehilangan sosoknya. Aku takut jika suatu ketika aku tak bisa membayangkannya lagi. Dida... tidak apa-apa aku seperti ini. Tidak apa-apa kalau kau tak pernah tahu kalau aku menyukaimu.
”Apa yang sedang kau gambar?” ah... suara itu kembali muncul. Mengapa Melvi selalu muncul ketika aku sedang membicarakan Dida di hatiku. Aku langsung menjauhkan apa yang sedang aku gambar dari jangkauan pangeran yang duduk di sampingku ini.
”Apa aku tidak boleh melihat?” tanyanya. Akupun menggeleng.
”Kenapa!?” tanyanya lagi dengan penuh ekspresi keheranan.
”Karena aku belum menjadi seorang pelukis terkenal. Kalau cita-citaku sudah tercapai, kau boleh melihat semua gambarku.”
Kuangkat sketsa itu. Begitu indah. Melvi terus mencoba mengintip, tapi aku terus menghalang-halanginya.
”Dug!” tiba-tiba sebuah bole melayang tepat ke arah tanganku. Sketsanya ikut melayang bersama bola itu.
”Auw!” teriakku. Kukibas-kibaskan tanganku yang sakit.
”Mana yang sakit?” Melvi terlihat begitu khawatir. Ia memijat tanganku dengan lembut. Warna biru langsung muncul.
”Mm... apa ada bola yang melayang kemari?” tiba-tiba dia muncul. Oh... mengapa Dida muncul di saat seperti ini.
”Venus... kau kenapa?” tanyanya lagi. Aku hanya tersenyum kecil.
Sepertinya Melvi tak menyukai pertanyaan itu, ”Kalau tidak bisa bermain, untuk apa memegang bola? Jelas-jelas ada orang di sini, apa kau buta!”
Tiba-tiba Melvi langsung bangkit, mendorong Dida hingga jatuh, kemudian memukulinya di depan mataku. Sama seperti ketika aku melihatnya sedang memukuli Joe.
”Melvi, hentikan!” teriakku. Satu tonjokkan ia hentikan sebelum mendarat di pipi Dida. Melvi mendorong Dida dengan kasarnya. Amarah masih terpancar dari kedua mata melvi. Dida babak belur. Anak-anak yang sedari tadi juga bermain voli hanya berani memandangi dari kejauhan. Melvi menggandeng tanganku dan mengajak pergi. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Orang yang aku sukai sedang kesakitan tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Di ruang UKS, Melvi mengompres tanganku dengan air es. Ia memperlalukan lukaku seperti sebuah luka yang parah dan harus ditangani dengan baik. Padahal hanya memar saja. Ya... walaupun terasa cukup sakit. Aku heran sendiri. Mengapa kulitku sungguh sensitif. Hanya terkena pukulan bola saja bisa sampai bengkak.
Beberapa saat kemudian anak-anak klub basket datang dengan raut muka masam dan pandangan sinis. Aku tahu, mereka pasti kesal karena sejak awal Melvi terlalu memanjakan aku. Memang sejak awal seharusnya aku tak mengenal Melvi. Dia telah memiliki teman-teman yang begitu menyayanginya. Aku tak pantas bersama mereka. Kupandangi wajah Melvi yang bersih dengan senyuman manisnya. Tangannya yang lembut dengan hati-hati membalutkan perban di tanganku.
“Melvi… kita harus segera berangkat. Jangan sampai kita terkena diskualifikasi karena terlambat datang.” Arjuna akhirnya angkat bicara.
”Sebentar.” begitu jawaban Melvi. Ia tak sekalipun mengalihkan perhatiannya dariku.
”Itu kan hanya luka kecil. Petugas UKS juga bisa menangani. Pertandingan kita jauh lebih penting!” sahut Zilan.
Melvi menoleh, ”Aku bilang sebentar! Sekali lagi kalian berani bicara, aku hajar kalian satu per satu!”
Suasana kembali hening. Melvi kembali melanjutkan memasang perban di tanganku.
”Pergilah! Biarkan petugas UKS yang melanjutkan. Aku juga tak ingin melihatmu kalah.” kataku.
”Aku tak akan pergi tanpamu. Kau yang selalu membuat aku merasa menang meskipun belum bertanding.”
Aku terdiam. Kubiarkan Melvi menyelesaikan membalut tanganku. Beberapa saat kemudian, mereka keluar meninggalkan UKS. Aku dan Melvi mengikuti di belakang mereka. Ketika akan menuju tempat parkir, sekilas aku berpapasan dengan Dida. Ia memandang ke arahku dan sempat melihat tanganku yang dibalut perban. Sudah terlanjur ia melihat. Meski aku mencoba untuk menyembunyikannya.
Hari kembali berganti. Kemarin adalah hari yang menyenangkan. Melvi dan timnya kembali memenangkan pertandingan. Kini aku sendiri lagi. Sementara mereka sedang berpeluh di lapangan, mengikuti latihan untuk pertandingan minggu depan. Aneh! Ujian Nasional tinggal tiga bulan lagi. Tapi mereka masih saja sibuk dengan pertandingan basket. Aku tidak tahu, kapan mereka memiliki waktu untuk belajar. Pelajaran di sekolah saja sering ditinggalkan demi latihan. Ah… Melvi saja memiliki lima orang guru privat. Dia pasti bisa membagi waktunya dengan baik.
Aku... masih juga suka mengunjungi tempat indah di belakang sekolah. Meskipun kali ini aku tidak bisa menggambar, setidaknya hari ini aku akan bertemu dengannya. Tapi sepertinya hari ini ada yang berbeda di sana. Terdengar suara anak-anak dari klub voli sedang menggerutu, berbicara dengan nada kesal. Aku mendekat. Kulihat lapangan voli yang sangat mengenaskan, sangat berantakan seperti baru tersapu angin topan. Net yang robek, bola-bola yang kempes, dan bangku-bangku yang patah.
”Meskipun klub voli kurang berprestasi dan ingin dibubarkan, tidak seharusnya memakai cara seperti ini.”
”Aku rasa pelakunya orang yang sangat kekanak-kanakkan dan masa kecilnya tidak bahagia. Sempat-sempatnya mereka mencangkuli lapangan kita dan menanam pohon di sini. Bangku-bangku dihancurkan. Seperti atraksi debus saja.”
”Net yang aku beli juga durusak. Padahal dua bulan aku harus menabung untuk mendapatkannya.”
”Sudahlah, kalau kita terus menggerutu, kapan tempat ini akan kembali seperti semula. Lagipula sejak dulu kejadian seperti ini sudah sering dialami oleh pendahulu kita. Kita harus menerima, karena klub kita belum mendapat pengakuan dari kepala sekolah. Untuk itu kita harus terus giat berlatih agar dapat mendapatkan banyak kemenangan, sehingga sekolahan ini bisa membanggakan kita.” ucap Dida sembari membereskan bangku-bangku yang rusak.
”Kau terlalu santai menyikapi masalah. Bukankah kau yang paling banyak bekerja keras untuk mengusahakan klub kita tetap ada? Apa tidak sayang dengan uang yang telah kau keluarkan untuk membeli bola-bola yang sekarang sudah kempes ini?”
”Sebentar...” tiba-tiba Dida menoleh ke arahku, menyadari kehadiranku. Ia tersenyum, kemudian berjalan menghampiri aku. Sementara yang lain melanjutkan pekerjaan mereka.
”Hai...!” sapanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecil. Setelah sekian lama, baru kali ini aku sedekat ini dengannya. Ini pertama kalinya Dida menyapaku lagi.
”Mm... maaf, tidak ada tempat duduk lagi. Semuanya hancur.” katanya dengan senyuman miris. ”Eh, kita duduk di batu itu saja.” Dida menunjuk ke sebuah batu besar yang terletak di sudut dan kita akhirnya duduk di sana. Meskipun mukanya masih menampakkan bekas pukulan Melvi, tapi aku merasa kalau ia masih tetap manis.
”Apa yang terjadi?” tanyaku. Oh, aku senang sekali sampai ingin pingsan saja. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa berbicara dengan Dida. Dia pernah satu kelas denganku saat kelas sepuluh. Sekarang kita telah berbeda kelas meskipun sama-sama mengambil program IPA.
”Aku juga tidak tahu. Tadi pagi aku datang, tempatnya sudah seperti ini. Ah, sudahlah. Ini hal kecil. Hanya perlu dibereskan.” ia kembali menjawab pertanyaanku dengan senyuman. Sikapnya seolah-olah biasa saja. Tapi aku tahu, sebenarnya dia sangat kecewa.
”Eh, bagaimana dengan tanganmu, apa masih sakit?”
”Ah, tidak! Hanya luka kecil. Sebentar lagi juga sembuh.” Kataku sambil nyengir kuda. Sebenarnya aku juga heran sendiri. Sudah tiga hari, tapi bengkaknya belum sembuh juga.
“Maaf, gara-gara aku hari ini kau tidak bisa menggambar.”
”Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku tahu, itu tak sengaja. Seharusnya aku yang minta maaf, karena Melvi telah memukulmu.”
”Dia berhak memukul orang yang telah melukai gadis yang ia cintai. Eh, tunggu sebentar.” Dida bangkit dari duduknya, berjalan menuju sebuah lemari usang, mengambil selembar kertas dari dalamnya, kemudian memberikannya padaku. Betapa terkejutnya aku, ternyata kertas itu adalah sketsa wajah Dida yang waktu itu terbang bersama bola. Aku malu sekali! Akhirnya dia tahu kalau waktu itu aku sedang menggambar dirinya.
“Sketsamu bagus. Suatu saat, aku ingin kau melukisku. Tapi setelah luka-luka di wajahku sembuh. Karena aku tidak mau terlihat jelek nanti.” guraunya. Aku tersenyum. Dia masih bisa melucu, meskipun suasana kadang ia buat serius.
”Mm... Venus, aku senang dengan kehadiranmu di sini. Tapi sebaiknya kau lebih dulu kembali ke kelas sebelum bel berbunyi. Jangan sampai Melvi memiliki prasangka ketika melihatmu di sini.”
Meskipun aku masih ingin berlama-lama di sini, tapi aku bisa mengerti apa yang dikhawatirkan Dida. Dia hanya tidak ingin ada keributan, apalagi dalam suasana seperti ini. Aku mengangguk.
”Kau tidak kembali ke kelas?” tanyaku.
”Setelah bel berbunyi, aku dan teman-teman akan kembali ke kelas.”
Akhirnya aku berjalan meninggalkan Dida sembari membawa selembar sketsa. Hari yang menyenangkan, meski tak sepenuhnya menyenangkan. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk lebih mengakrabkan diri dengan Dida.
Jam pelajaran terakhir kosong. Teman-teman sudah banyak yang keluar kelas. Ada yang ingin ke kantin, mengunjungi perpustakaan, berjaga di UKS, bahkan aku sempat mendengar ada yang ingin kabur lewat pintu belakang. Karena meskipun tidak ada guru yang mengisi pelajaran, pintu gerbang utama belum terbuka sebelum pelajaran berakhir. Apalagi di depan ada empat orang satpam yang berjaga-jaga.
Aku sendiri memilih untuk tetap duduk di kelas sambil mengamati sketsa yang pernah aku buat. Sedikit lusuh dan kotor, tapi akan menjadi sketsa yang paling aku suka. Dida... dia pasti berbohong. Dia pasti tidak kembali ke kelas. Dia pasti tetap bertahan di sana sampai semuanya beres.
Ketika aku sedang terhanyut dalam lamunan, tiba-tiba Melvi sudah ada di hadapanku dengan menebarkan sebuah senyuman. Ah, kali ini aku sungguh tak ingin melihatnya. Dia membuat aku kesal. Aku membuang muka.
”Hey, putri yang cantik hari ini murung? Adakah yang bisa membuatnya ceria kembali?” tanyanya. Aku hanya menggeleng.
”Venus, kau kenapa?” tanyanya lagi.
Aku menoleh ke arahnya, menatap dengan tatapan tajam dan dalam, ”Hari ini dan seterusnya mungkin aku tidak bisa senang. Seseorang telah menghancurkan tempat terindahku. Aku tidak bisa lagi merasa nyaman di sana. Aku tak mungkin bisa tersenyum!” kataku dengan nada sedikit keras.
Melvi menunduk seakan ia tahu kalau aku sedang menuduhnya. Ya, memang aku menuduhnya. Aku kesal padanya. Dia telah membuat orang yang aku kagumu dalam-dalam merasa kecewa dan sedih. Kami terdiam.
”Venus.” sebuah sapaan membuyarkan suasana. Aku dan Melvi menoleh. Dida berdiri di depan pintu, melayangkan senyuman ke arahku, namun senyum itu kian pudar karena keberadaan Melvi.
Dida muncul di saat yang tidak tepat. Ia berjalan perlahan menghampiriku. Melvi masih tertunduk.
”Maaf, telah mengganggu. Aku hanya ingin mengembalikan peralatan menggambar milikmu. Tadi tertinggal di sana.” katanya sembari memberikan buku gambar dan kotak pensil.
Aku lupa. Meskipun tidak menggambar, aku selalu membawanya. Melvi akhirnya tahu kalau aku pergi ke tempat itu. Bodohnya aku, selalu membuat suasana semakin tidak nyaman.
”Semoga tanganmu lekas sembuh dan bisa menggambar lagi di tempat yang sangat biasa itu. Tentunya kalau kau masih berkenan melihat tempat yang berantakan seperti tadi. Baiklah, aku harus kembali ke tempat itu lagi. Maaf, telah mengganggu.” ucap Dida sebelum pergi.
Selepas Dida pergi, suasana kembali hening. Ketika bel pulang berbunyi, barulah Melvi mengajakku pulang.
Malam ini langit cerah bertaburan jutaan bintang. Bulan bersinar begitu terang. Seperti itulah gambaran langit yang tadi sempat aku lihat sebelum Ibu menyuruhku masuk kamar, minum obat, dan istirahat. Melvi juga sempat menelepon, memastikan aku sudah minum obat atau belum.
Aku hampir bosan dengan semua itu. Setiap hari aku harus minum obat. Hampir setiap minggu harus check-up ke dokter dan disuntik. Padahal aku merasa tidak sakit. Tapi kata ibu itu harus, untuk menjaga kesehatan karena aku anemia. Huh! Aku pikir anemia tak separah itu.
Kulayangkan pandangan ke dinding di sebelah tempat tidurku. Aku tersenyum, membalas Dida yang tersenyum dalam sketsa yang aku buat. Aku baru menyadari kalau aku telah banyak membuat sketsa Dida. Biarlah menjadi kenang-kenangan meskipun aku tak bisa bersamanya.
“Tok… tok… tok…. “ tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk jendela kamar.
Aku menjadi takut sendiri. Tapi suara ketukan itu terus berlanjut. Kuberanikan diri berjalan menuju ke arah jendela, membuka tirai, dan menyibakkan jendela kacanya. Udara dingin langsung menyeruak masuk.
”Srek!” seseorang berpakaian serba hitam dan bertopeng tiba-tiba muncul dan mengacungkan pisau ke arahku. Jantungku seakan berhenti seketika. Aku hampir mati berdiri.
”Kalau tidak ingin terluka, diam dan ikuti aku!” tegasnya.
Orang bertopeng itu menggandeng tanganku sambil terus mengacungkan pisaunya tepat di leherku. Aku tak berani berkata-kata. Dia terus menggajakku berjalan menuju pintu belakang. Sesampainya di jalan, sebuah mobil telah menunggu. Aku disuruh masuk ke dalam mobil ada empat orang di dalamnya. Dua orang diantaranya langsung menutup mataku. Ini seperti penculikan-penculikan sebelumnya. Saat masih kecil, lima kali aku hampir menjadi korban penculikan. Kali ini sepertinya mereka akan berhasil.
Aku tak berani bersuara selama perjalanan. Orang-orang yang menculikku ini juga hanya diam. Sesampainya di suatu tempat, aku diturunkan. Mereka memaksaku berjalan mengikuti arahan mereka. Cukup lama mereka mengajakku berputar-putar, hingga aku tak tahu kemana mereka membawaku.
Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai di tempat yang mereka maksud. Seseorang membuka ikatan mataku. Penglihatanku cukup samar, karena terlalu lama ditutup.
”Krek!” tiba-tiba beberapa lampu menyala bersamaan, menyilaukan mata. Aku melihat keadaan sekeliling yang kini terlihat jelas. Suatu tempat indah yang sepertinya aku kenal. Lapangan voli!
Sunggu sangat berbeda dengan apa yang aku lihat tadi siang. Sangat indah. Lapangan voli yang bentuknya lebih baik dari yang biasa aku lihat. Net telah terpasang rapi di tengahnya. Bangku-bangku kayu yang rusak telah tergantikan oleh bangku-bangku bercat kuning yang terbuat dari besi. Dinding yang semula terlihat kusam dengan lumut-lumut yang menempel, kini telah menjadi indah dengan cat warna biru. Rumput-rumput liar sudah habis dipangkas, tergantikan oleh tanaman hias yang indah. Bola-bola yang rusak sudah diganti dengan bola-bola baru yang banyak. Lemari tua yang biasa aku lihat telah berganti menjadi lemari kaca yang besar.
Aku sangat terkesima. Kubalikkan tubuh ke belakang. Melvi! Aku kembali dibuat terkejut. Senyum yang sedari tadi terpasang hilang begitu saja. Aku kira dia Dida.
”Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum karena melihat ekspresiku yang aneh.
”Ka...u yang membuat semua ini?”
Ia kembali tersenyum, “Iya.”
“Tentunya dengan bantuan kami.” Sahut Arjuna. Aku kembali terkejut setelah tahu kalau orang yang mengacungkan pisau ke arahku adalah Arjuna. Menyusul kemudian yang lain membuka topengnya. Zilan, Ray, Idrus, Sofan, semuanya tertawa kecil, menertawakan aku.
”Oh, ternyata kalian yang menculikku.” gumanku.
”Kami hanya orang suruhan. Otak dari semua ini adalah Melvi.” ujar ray.
Aku memandang kesal ke arah Melvi yang tepat berada di depanku sedang tersenyum. Tapi akhirnya aku luluh juga. Sekeras apapun sikapnya, dia tetap memiliki sisi baik. Tapi mengapa aku tak juga bisa menyukai lelaki bermata bening ini.
”Melvi seharian ini telah bekerja keras untuk mengecat seluruh dinding di sini dengan warna biru dan kuning.” ujar Zilan.
”Hey, sebaiknya kita tidak mengganggu mereka berdua. Melvi, sekarang dia tanggung jawabmu.” ucap Sofan seraya mengajak teman-temannya pergi.
Melvi kembali tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyuman pula. Mata beningnya memancarkan tatapan cinta. Ia menggandeng tangan kiriku dengan erat.
”Kau menyukai tempat ini?” tanyanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan.
”Apa yang kau suka, aku akan berusaha menyukainya. Maaf, jika selama ini aku kurang bisa memahamimu. Kau terlalu sedikit bicara, terkadang membuat aku sedikit bingung.”
Mataku berkaca-kaca. Entah mengapa aku tiba-tiba memeluknya, ”Terima kasih. Terima kasih akan banyak hal yang telah kau lakukan untukku. A... aishiteru!”
Aku terkejut dengan kata-kataku sendiri. Baru kali ini aku mengatakan kata itu padanya. Kata yang kujaga hanya untuk Dida. Apa aku mulai menyukai laki-laki ini?
”Hachi...!” tiba-tiba aku bersin.
”Kau kedinginan?” tanya Melvi seraya melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku.
”Malam ini memang sepertinya dingin sekali. Sebaiknya kita pulang, kau bisa kembali ke tempat ini kapan saja.” tuturnya seraya mengajakku pulang.
Melvi mengantarku sampai di depan jendela. Selarut ini ia masih bisa mengembangakan senyuman hangatnya. Kulepas jaket yang sedari tadi aku kenakan dan aku pakaikan ke tubuh Melvi.
”Masuklah, sebelum ibumu menyadari kau tak ada di tempat tidurmu.” pintanya lembut seraya memberikan sebuah kecupan di pipi kananku. Ia kembali tersenyum, ”Masuklah.” katanya lagi sembari hampir membukakan pintu jendela untukku. Aku segera mencegahnya.
”Tidak etis seorang laki-laki melihat tempat tidur perempuan.” kataku. Melvi tampaknya bisa menerima. Sebenarnya aku hanya tidak ingin Melvi melihat apa yang terpasang di dinding kamarku. Aku tidak ingin membuatnya kecewa.
”Boleh, aku meminta satu bantuan besar padamu?”
”Apa?” tanyanya dengan raut penuh tanya.
”Sekian lama aku menyukai suasana tenang di lapangan voli. Tapi mungkin ini saatnya aku ingin tempat itu menjadi sedikit ramai, menjadi salah satu tempat menyenangkan seperti lapangan basket, lapangan futsal, dan lab musik. Bisakah?” pintaku sembari menatap dalam-dalam kedua mata bening lelaki itu.
”Maksudmu... kau ingin voli menjadi salah satu ekskul andalan di sekolah?” tanyanya. Aku mengangguk.
”Mereka belum memenuhi kriteria. Sejak pertama kali di bentuk, tak pernah sekalipun ekskul voli memberikan kebanggaan. Justru sebaliknya, selalu tampil memalukan di setiap pertandingan. Peminatnya saja jarang, tak ada yang berbakat. Sebenarnya ekskul itu sudah dibekukan sejak lima tahun lalu. Tapi, orang-orang yang sering kau lihat di sana, entah mengapa menghidupkan tempat itu lagi.”
”Mungkin karena kurangnya fasilitas dan pelatih, ekskul voli tidak berkembang. Mereka membutuhkan dukungan. Setiap kali aku duduk di sana, aku selalu melihat semangat yang tinggi dan gigih untuk tetap berlatih. Walaupun tempat mereka sering diacak-acak, mereka tidak pernah putus asa. Bersama-sama mereka akan membereskannya sendiri. Tanpa sepengetahuan pihak sekolah, ternyata mereka sudah pernah memenangkan lima tropi kejuaraan tingkat daerah. Bahkan sekarang mereka sedang giat-giatnya berlatih untuk menghadapi pertandingan tingkat provinsi, bertepatan dengan hari pertandinganmu.”
”Kau peduli kepada mereka?” tanyanya penuh curiga, seakan menghakimi kalau ada sesuatu rasa yang lain.
”Aku cukup banyak mendengar keluh kesah mereka dari kejauhan. Mereka merasakan ketidakadilan, karena sama-sama membayar SPP yang mahal, tapi tidak bisa menikmati apa yang seharusnya mereka dapatkan.”
”Tapi ada banyak ekskul lain yang bisa mereka pilih.”
”Kau pastinya tahu, orang biasa tidak pernah memiliki pilihan. Adakah anggota di klub basket yang berasal dari keluarga seorang tukang kayu, kuli bangunan, atau sopir taksi?” Melvi terdiam mendengar pertanyaanku.
”Apakah dunia harus terus seperti ini? Seandainya aku berasal dari kalangan orang biasa, mungkin kau juga tak akan mencintaiku.” kataku dengan nada kesal. Melvi tak langsung merespon, membuatku kesal dan berniat langsung masuk kamar saja.
Melvi menahan tanganku, “Aku tak pernah melihatmu sebagai orang lain. Venus adalah Venus. Satu-satunya perempuan yang begitu dalam mengisi hatiku.”
Kata-kata Melvi membuatku terharu. Seseorang yang tak pernah memperdulikan orang lain tiba-tiba saja bisa peduli kepadaku. Aku mulai terhanyut dengan perasaanku sendiri.
”Aku akan berusaha untuk sedikit mengubah dunia menjadi seperti yang kau inginkan.” katanya seraya mencium keningku dan beranjak pergi meninggalkan sebuah senyuman. Aku segera beranjak memasuki kamar. Selamat malam dunia.
Beberapa hari kemarin aku tidak bisa berangkat sekolah karena sakit. Siang ini aku sengaja datang untuk mengintip reaksi teman-teman klub voli melihat tempat latihan mereka yang baru. Ajakan Melvi untuk makan bersama di kantin aku tolak. Sesampainya di sana, kulihat mereka semua sedang bermain voli dengan keceriaan yang lebih dari biasanya..
Mereka membunyikan musik sambil sesekali menari-nari. Kulihat Dida ikut larut dalam kegembiraan itu. Seandainya Dida dan Melvi adalah satu orang yang sama, tentunya aku tidak akan bingung menentukan arah perasaanku. Hatiku telah lebih dulu terpaut untuk Dida. Tapi kini hatiku sedikit menyimpang dari semestinya, hatiku mulai terhanyut dalam ketulusan cinta seorang Melvi.
”Venus, kemari!” seru Dida. Aku sedikit terkejut, karena ternyata Dida menyadari kehadiranku. Semua mata tertuju padaku. Aku tak bergeming. Tapi Dida malah menghampiriku dan menarik aku untuk bergabung bersama mereka.
”Teman-teman, inilah peri cantik yang selalu setia menemani kita di sini.” seru Dida. Semua melemparkan senyuman padaku. Aku bingung dan hanya bisa membalas sambutan itu dengan senyuman pula.
Iman tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah mahkota yang terbuat dari akar pohon dengan hiasan dedaunan dan bunga kering. Ia memakaikannya di kepalaku.
”Peri cantik, selamat datang kembali di sarang kami.” katanya.
Baru kali ini aku sedekat ini dengan mereka semua. Biasanya aku hanya bisa melihat mereka dari kejauhan. Terkadang, meskipun mereka melihatku di sana, mereka hanya melemparkan senyuman. Sekalipun tak pernah saling bicara. Sekarang aku bisa berbicara bersama mereka.
”Aku mewakili teman-teman berterima kasih padamu.” kata Dida.
”Kenapa berterima kasih? Aku tidak pernah melakukan apapun untuk kalian. Kalian bahkan mungkin merasa terganggu dengan kehadiranku di tempat ini.”
”Kami justru senang, masih ada orang yang mau berkunjung ke tempat ini.” Sahut Iman.
“Berkat dirimu, tempat ini bisa berubah menjadi indah. Seandainya peri cantik seperti dirimu tidak pernah datang kemari, tempat ini pasti akan menjadi lebih buruk.” Tambah Soni.
“Benar. Kelembutan hatimu juga telah menyentuh perasaan kepala sekolah untuk meresmikan keberadaan klub ini. Sekarang dan seterusnya, aku yakin, tempat ini akan tetap ada.” ujar Ryan.
”Semua ini karena kerja keras dan semangat kalian. Siapapun yang melihat, pasti akan tersentuh dengan semangat kalian mempertahankan tempat ini.” balasku. Mereka semua tersenyum.
”Venus.” tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilku.
Melvi. Senyum-senyum yang tadi mengembang seketika hilang. Akupun tak berani tersenyum. Aku takut Melvi akan marah lagi melihatku bersama mereka. Ia berjalan mendekatiku, sorot matanya tajam mengarah kepada Dida dan teman-temannya.
”Siang ini kau belum minum obat. Kau harus makan siang, jangan sampai terlambat makan lagi. Ayo.” ajak Melvi seraya menggandeng tanganku.
Suasana hening. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Dida dan teman-temannya juga tak ada yang berani angkat bicara. Aku sempat menengok dan melemparkan senyuman. Tapi mereka hanya membalasnya dengan senyuman yang canggung.
Usai sekolah, Melvi mengajakku menonton balapan motor di Sirkuit Sentul. Aku kurang mengerti, apa yang menarik melihat kepulan asap dan suara bising di sana. Melvi mungkin salah mengajak orang. Aku sedikitpun tak menyukai tempat itu. Setelah balapan usai, Melvi mengajakku menghampiri orang yang baru saja berhasil finish pertama.
”Hey, Melvi. Terima kasih sudah menyempatkan datang.” kata orang itu seraya memeluk Melvi. Mereka tampak seperti dua orang yang sudah saling akrab.
”Aku salut padamu, Soji. Kau selalu menjadi yang terbaik. Em, iya. Kenalkan, ini Venus.” tutur Melvi.
”Oh, Nona manis ini pasti kekasihmu. Hati-hati, Melvi sangat pencemburu. Kau tahu, dia selalu marah setiap kali aku mengalahkannya dalam balapan. Kalau ada yang mendekatimu, pasti dia akan cemburu. Bukankah begitu?” Melvi cemberut. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata Soji. Tanpa ia mengatakan, aku sudah tahu.
”Kau tahu, tidak. Dulu aku, Melvi, dan Firman sering menghabiskan waktu bersama di jalan. Kami sering adu nyali dalam balapan liar. Tapi sekarang hanya Firman yang masih bertahan. Aku juga masih menyukai balapan, tapi sudah berada di tempat yang benar. Sedangkan orang ini, entah mengapa malah beralih ke dunia basket.”
”Hey, tidak perlu dibahas. Kau ingin lari dari janjimu untuk mentraktirku.” potong Melvi. Akhirnya pembicaraan terhenti dan Soji mengajak kami makan di restoran mewah.
*****
Sore ini matahari masih bersinat terang. Sangat indah. Seindah sosok yang sekarang sedang aku lukis. Dia adalah model lukisanku yang pertama. Dida. Dia sangat menawan, hingga aku terus tersipu dibuatnya.
”Apakah masih lama? Aku sudah tidak kuat.” keluh Dida. Hanpir satu jam ia terus berdiri dengan gaya yang sama.
“Ia. Kau boleh istirahat. Sebentar lagi lukisannya selesai.” kataku. Dida langsung menggerak-gerakkan tubuhnya.
Andai saja aku bisa lebih lama berdua dengannya. Ah! Itu lagi. Bukankah aku sedang mencoba untuk mencintai Melvi? Tapi mengapa Dida masih saja tak tergantikan.
”Wah... lukisan ini jauh lebih tampan dari yang dilukis.” guman Dida. Aku hanya tersenyum.
”Ah, suatu kebanggaan bisa dilukis oleh seorang peri cantik.” tambahnya.
”Sudah selesai. Kita tunggu sampai kering sebentar, baru kau bisa membawanya pulang.”
Aku meletakkan lukisan itu di tempat yang masih terkena sinar matahari. Sambil menunggunya kering, Dida mengajakku duduk bersama sambil menikmati jus mangga.
”Rasanya sudah lama sekali aku tak melihatmu tertawa lepas seperti yang biasa kita lakukan saat kelas sepuluh. Kau telah berubah. Aku hampir tak mengenalimu lagi.”
Aku termenung mendengar ucapan Dida, ”Setiap orang pasti berubah. Kaupun menjadi lebih pendiam dari sebelumnya.”
“Aku diam karena terlalu terkejut. Terkejut melihatmu bersama orang yang wataknya sangat kau benci. Aku selalu bertanya-tanya... mengapa harus Melvi? Mengapa bukan aku? Seandainya waktu bisa diputar kembali, maukah kau menjadi kekasihku?”
”Apa!?” tanyaku terkejut.
Dida tersenyum, ”Aku hanya bercanda.”
Aku kecewa. Seandainya saja dia benar-benar menyukaiku, maka pertanyaanku selama ini bisa terjawab, bahwa cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dia telah meruntuhkan harapanku. Aku yang bodoh. Mana mungkin Dida menyukaiku. Dia pernah mengatakan, kalau dia menyukai gadis yang enerjik seperti anak-anak cheerleaders. Aku tak termasuk daalm kriterianya.
”Eh, sudah cukup sore. Ayo kita pulang.” Ajak Dida.
”Em, kau boleh pulang lebih dulu. Aku menunggu sopir menjemputku.” Kataku. Sebenarnya aku hanya mencari-cari alasan agar tidak pulang dengannya. Aku takut Melvi tahu dan sesuatu yang buruk kembali terjadi.
”Sopirmu masih satu jam lagi akan datang. Atau... kau malu, pulang jalan kaki bersamaku?”
”Bukan begitu.” pulang bersamanya, tentu saja itu yang aku inginkan.
”Ya, aku tahu, kau telah terbiasa menaiki mobil mewah. Sangat aneh jika tiba-tiba jalan kaki. Baiklah, aku bisa mengerti.”
”Hey, jangan marah. Aku hanya bercanda. Baiklah, aku mau ikut bersamamu.”
Dida tersenyum mendengar jawabanku. Ia langsung menarikku dan menyambar lukisan yang baru kering.
Baru sekali ini aku pulang jalan kaki. Sedangkan Dida, hampir setiap hari melakukannya. Padahal dia adalah putra tunggal seorang pengacara terkenal di kota Bandung ini. Dia berbeda, tidak seperti kebanyakan orang yang suka membangga-banggakan kekayaan orangtuanya dengan membawa mobil mewah ke sekolah. Seandainya mau, dia bahkan bisa bergabung dengan klub basket atau futsal yang dikuasai anak-anak orang kaya. Entah mengapa dia memilih untuk menghidupkan kembali tim voli, ekskul yang diminati orang-orang biasa. Tapi justru itulah yang aku suka darinya.
Sepanjang perjalanan, Dida terus menceritakan hal-hal lucu yang pernah ia alami bersama tim volinya. Gaya bicaranya masih seperti yang dulu. Membuat aku tak bisa menahan tawa. Dia bukan anak yang konyol, tapi selalu bisa membawa suasana. Di lampu merah, dia membelikan aku es kolang-kaling. Rasanya aneh, tapi enak.
Semua berjalan baik-baik saja hingga Firman dan lima orang temannya tiba-tiba muncul di dekat jembatan.
”Kita bertemu lagi.” sapanya padaku. ”Sayang, Melvi tidak di sini. Seandainya dia tahu kekasihnya pulang bersama orang lain... pasti sangat menyenangkan.”
”Siapa kalian? Mengapa menghalangi jalan kami?” tanya Dida dengan tegas.
”Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur. Pergi dan biarkan nona ini menyelesaikan masalahnya denganku. Aku jamin, Melvi tidak akan tahu kau pulang bersamanya.” pinta Firman seraya mendekat. Dida menghalanginya mendekati aku.
”Dia pulang bersamaku. Aku memiliki tanggung jawab untuk mengantarnya pulang dalam keadaan baik.” tegas Dida. Aku salut padanya.
”Oh, baiklah. Ini berarti kau menantangku.”
Dida dan Firman saling melemparkan tatapan tajam. Dida menyuruhku untuk mundur. Perkelahian langsung terjadi. Dida tidak mungkin bisa menghadapi enam orang itu sendiri. Orang-orang yang melihat hanya berdiam diri, tak ada yang berusaha melerai. Aku hanya bisa melihat Dida dipukuli berkali-kali.lukisan yang baru selesai aku buat langsung rusak.
Ini semua salahku. Seandainya aku tak pulang bersamanya, semua ini tidak akan terjadi. Aku orang tidak berguna yang hanya bisa berdiri kaku melihat orang yang aku cintai dipukuli orang. Tak terasa air mata meleleh dipipiku.
”Venus.” sebuah sapaan lembut menghampiriku. Aku menoleh ke belakang.
”Melvi.” lirihku. Tangisku langsung meledak dipelukannya. Aku sangat takut.
”Jangan menangis lagi. Aku sudah ada di sini.” kata Melvi menenangkanku. Ia mengusap air mataku dengan sapu tangannya. Kulihat binar matanya kali ini dingin.
”Akhirnya kau datang.” ucap Firman menyadari kehadiran Melvi. Aku melihat Dida terkapar tak berdaya. Wajahnya dipenuhi luka.
Melvi melepaskan genggaman tanganku. Dia melangkah maju menghampiri Firman. Dia langsung memukul Firman. Teman-teman Firman yang tidak terima, langsung berusaha mengeroyoknya. Tapi Melvi bisa mengimbangi mereka. Semangat membara dan menggebu-gebu itu kembali muncul. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, Dida kembali bangkit dan membantu Melvi menghadapi mereka.
”Kau masih mau membela kekasihmu yang telah berani pulang dengan orang lain? Kau tahu, lukisan itu sepertinya dibuat dengan penuh rasa cinta. Apa mungkin gadis yang sangat kau cintai itu menyukai orang lain?” ujar Firman untuk memancing emosi Melvi.
”Bug!” Melvi justru membalas kata-kata itu dengan sebuah pukulan keras.
Tiba-tiba seseorang mendekatiku dengan membawa pisau di tangan dan menghujamkannya ke arahku. Sebelum sempat pisau itu menghujam ke tubuhku, Melvi memelukku. Lengan kananku hanya tergores sedikit. Sementara tangan Melvi terluka sedikit dalam. Tanpa memperdulikan lukannya, Melvi langsung menghajar orang itu habis-habisan. Merasa telah kalah, Firman dan teman-temannya langsung berlari pergi.
Melvi langsung menghampiriku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung melepas kaos yang ia kenakan, merobeknya, dan membalutkannya untuk menutupi lukaku. Kulihat lengannya terkoyak cukup dalam. Darah segar terus keluar. Tapi sepertinya ia tak merasakan sakit.
Dida mendekat, tubuhnya lebam-lebam dan wajahnya babak belur. Di sudut bibirnya terlihat noda darah.
“Melvi, terima kasih.” Ucapnya.
“Bug! Bug! Bug!” tiba-tiba Melvi melayangkan pukulan ke arah Dida hingga Dida jatuh tersungkur. “Sudah aku katakan padamu. Jangan pernah melakukan sesuatu yang tidak bisa kau pertanggungjawabkan! Hari ini kau telah membahayakan nyawa seseorang.”
”Bug!” Melvi sempat menendang tubuh Dida sebelum akhirnya ia membawaku pergi menaiki mobilnya.
”Tidak seharusnya kau memukulnya. Dia telah membantuku.” protesku ketika mobil mulai berjalan.
”Dia telah membahayakan nyawamu.” balasnya dengan tetap serius mengendarai mobilnya.
“Ini hanya luka kecil. Tidak sebanding dengan luka-luka di tubuh Dida.” Aku melihat lenganku. Balutan baju Melvi yang berwarna putih telah berubah menjadi merah. Padahal aku pikir aku hanya tergores. Tapi darah yang keluar cukup banyak.
“Kau tidak boleh terluka sedikitpun.”
“Apa tidak peduli, orang lain terluka parah, asalkan aku baik-baik saja? Kau sudah tidak adil padanya!” bentakku.
”Sebelumnya kau tak pernah semarah ini padaku. Mengapa setiap kali ada hal yang menyangkut Dida, kau selalu bersemangat. Apa kau menyukainya?” akhirnya pertanyaan itu terlontar. Aku tak berani menjawabnya.
”Tanpa kau menjawabnya, aku sudah tahu jawabannya. Sejak dulu, memang hanya dia yang bisa membuatmu tersenyum senang. Sedangkan aku hanya bisa membawamu dalam bahaya. Aku sudah melihat gambar wajah yang terpasang di dinding kamarmu.”
Mobil terus melaju mengiringi suasana hening. Aku tidak berani berkata-kata lagi. Tiba-tiba aku merasa pusing, pandanganku semakin samar, dan akhirnya gelap.
bersambung..........................................
Ini adalah suatu masa di mana isu Pemanasan Global menyebar dengan gencarnya. Musim kini tak lagi bersahabat. Tak ada lagi kepastian antara pergantian musim hujan dan kemarau. Tapi aku menyukai musim kali ini. Suatu musim yang penuh dengan kehadiran angin-angin nakal yang senantiasa mengajakku menari bersama dedaunan yang berguguran, rerumputan yang bergoyang, dan kesunyian di kebun belakang sekolah.
Siapa yang peduli, tempat terpencil dengan lapangan voli yang jarang digunakan ini. rumput yang panjang-panjang, dedaunan yang berserakan, terasa komplit dengan lumut-lumut yang menjadi anggota tetap di dinding. Tapi aku menyukai tempat ini. Seperti aku menyukai seseorang yang setia bermain voli di sana. Dia adalah Dida, seorang laki-laki yang aku suka sejak kelas satu SMA.
Aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Hingga kini aku belum pernah mengatakan kata indah itu padanya. Rasanya tak ada sedikitpun keberanian untuk mengatakannya. Dalam hati ini, rasa itu semakin meluap dan agaknya mau meledak. Tapi aku masih saja bisa menekannya.
Kini ada suatu kekhawatiran besar di hatiku. Sebuah kekhawatiran, seandainya saja kata itu tak pernah terucap dari mulutku, akankah aku tak akan menyesal? Kali ini saja aku akan segera kehilangan sosoknya. Empat bulan lagi akan ada acara kelulusan. Aku pasti akan berpisah dengannya. Tapi lidah ini tak juga mau bergoyang untuk mengatakannya.
Dia tepat ada di depanku. Tapi aku tak pernah bisa menjangkaunya. Menyapanya saja aku tak berani. Apa seumur hidupku, kata itu tak akan pernah terucap? Apa aku harus terus menjadi pengagum rahasianya? Dida... tak bisakah kau melihatku sebentar?
”Venus....” sebuah belaian lembut membuyarkan pikiranku tentang Dida. Ku arahkan pandangan kepada orang yang tiba-tiba saja datang.
”Sudah aku duga, kau pasti ada di sini.” dia tersenyum. Ah... aku hampir saja lupa dengan pria ini. Seorang pangeran yang kini menjadi kekasihku. Senyumnya begitu indah, namun tak mampu menghapus keberadaan seseorang dalam hatiku.
”Melvi, kau mencariku?” dia tertawa kecil, menertawakan pertanyaan bodohku. Sementara kini, aku tak peduli lagi dengan orang yang sedang bermain voli di sana.
”Pertanyaanmu aneh. Untuk apa aku ke tempat ini kalau tidak untuk mencarimu? Tidak mungkin aku ingin bermain voli dengan mereka. Ah, sudahlah. Ayo kita ke kantin.”
Aku hanya mengangguk. Ia menggenggam erat tanganku seraya mengajak aku melangkah. Aku ini kejam sekali. Mengapa lelaki baik ini tak juga membuat hatiku luluh? Aku adalah kekasihnya. Tapi... mengapa di dalam hatiku justru ada Dida.
Teman-teman selalu mengatakan kalau aku adalah gadis beruntung yang bisa mendapatkan Melvi. Mereka selalu membayangkan, betapa bahagianya perasaanku sebagai gadis yang beruntung itu. aku mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa itu kebahagiaan? Apa aku merasa bahagia seperti yhang selalu mereka katakan? Akupun tak bisa menjawabnya.
Seharusnya aku merasa bahagia. Seharusnya aku selalu tersenyum untuk Melvi. Tapi... hanyah ekspresi biasa-biasa saja yang selalu aku tampilkan. Aku memang pendiam. Itu yang semua orang tahu. Tapi dalam hatiku, aku selalu menggerutu hingga mata dan telingaku merasa lelah untuk mendengarkan keluh kesahku. Ini semua tentang Dida. Tapi bukan salahnya kalau aku menjadi seperti ini, meskipun sosoknya membuatku tak bisa melihat cinta dan ketulusan Melvi padaku.
”Kau adalah hatiku. Jika kau berkata tidak, akupun akan berkata tidak. Jangban pernah terlepas dariku. Karena tanpamu, aku tak akan pernah bisa berpikir.” begitu kata-kata yang pernah Melvi ucapkan padaku. Aku tak tahu mengapa ia bisa menyukaiku, hingga berkata demikian padaku.
Aku seperti seorang peri yang datang membawanya pada kebaikan. Melvi adalah seorang yang keras dan emosian. Ia sering berkelahi layaknya seorang jagoan tanpa takut kepada peraturan sekolah. Kedudukan orangtuanya sebagai pemilik yayasan membuatnya tampak semakin berkuasa. Aku tak pernah suka orang seperti itu. Bahkan dia adalah salah satu orang yang selalu aku hindari.
Pertama kali berbicara padanya, ketika aku melihatnya sedang memukuli teman sebelah rumahku, Joe. Saat itu, banyak sekali orang yang melihat aksi kejamnya, tapi tak ada yang mau melerai. Aku lama-lama tak tahan melihat arena tinju dadakan itu. Kulangkahkan kaki meski aku sebenarnya sangat takut. Tanpa basa-basi, aku langsung memegang pundaknya. Tiba-tiba ia menarik tanganku dan membantingku cukup keras ke tanah. Tulang-tulangku seakan patah semua. Aku melihat tatapan tajamnya mengarah padaku.
”Jangan sakiti dia....” kataku. Saat itu aku benar-benar ketakutan. Aku tak kuasa menahan tangis, karena seluruh tubuhku terasa sakit. Ia terus memandangiku seraya berjongkok di sampingku. Aku mencoba duduk sambil menghapus air mata.
”Maaf.” itu kata terakhir yang ia ucapkan sebelum memapahku ke ruang kesehatan. Kulihat tatapan matanya berubah menjadi sebuah tatapan yang hangat.
Entah apa sebabnya, mungkin sejak saat itu ia mulai menjadi pelindungku. Ia begitu baik. Sangat baik. Mungkin itu yang membuatku mau menjadi kekasihnya.
Selama aku bersamanya, telah banyak perubahan pada dirinya. Ia tak lagi berkelahi atau memukuli orang sembarangan. Meski terkadang ia masih suka emosian, tapi tak pernah sekalipun ia berkata kasar padaku. Ia selalu berusaha untuk membuatku tersenyum bahagia. Meskipun hal itu tak pernah terjadi.
Siang ini udara terasa panas, mengiringi kegembiraan Melvi dan teman-temannya yang telah mengalahkan SMA Garuda Sakti dalam pertandingan basket. Mereka merayakannya dengan makan-makan. Aku... tentu saja ikut bersama mereka. Ya... meskipun kemenangan itu biasa saja untukku. Sebenarnya saat itu aku ingin sekali pergi dan berkunjung ke tempat di belakang sekolah yang biasa aku datangi. Suatu tempat di mana aku bisa melihat pangeranku yang sesungguhnya. Rasanya hidupku tak mungkin tenang sebelum kata ’cinta’ itu terucap untuknya. Aku menunggu waktu yang tepat. Tapi... kapankah saat itu akan tiba?
”Venus... apa yang sedang kamu lamunkan?” sapaan halus Melvi selalu saja membuatku tersentak.
”Ah! Tidak.” jawabku singkat.
”Kenapa tidak dimakan? Apa kau tidak suka?”
”Aku tidak lapar.” ya ampun... lagi-lagi jawaban seperti itu yang aku ucapkan padanya. Venus... kenapa kamu seperti itu terhadap orang sebaik Melvi? Kenapa aku terus menerus seperti mayat hidup yang kehilangan harapan? Apa sebenarnya yang aku inginkan? Aku hanya bisa membuat Melvi bingung dan kecewa. Dia selalu berusaha membuatku tersenyum. Sedangkan aku... tak bisa sekalipun memberikan senyuman tulus untuknya.
”Jangan seperti ini terus. Aku bingung, Venus. Apa kau tidak pernah merasa bahagia bersamaku?” akhirnya pertanyaan itu terlontar juga.
”Maaf. Maaf telah membuatmu bingung. Maaf, karena aku tidak pernah bisa terlihat gembira di depanmu. Aku tak tahu, mengapa ekspresi wajahku seperti ini hingga membuatmu sedih.” tanpa sengaja aku menitihkan air mata. Rasanya tak tega juga kalau Melvi tahu yang sebenarnya.
”Sudahlah, aku tidak apa-apa. Jangan menyalahkan diri sendiri. Lain kali, aku tidak akan menanyakannya lagi.” ia menyeka air mataku sembari menebarkan senyuman, kemudian membelai rambut panjangku dengan lembut.
”Oo... diakah gadis yang sangat kau cintai itu?” tiba-tiba Firman dan teman-temannya dari SMA Garuda Sakti datang menghampiri kami. Melvi mengarahkan pandangan kepadanya. Teman-teman yang lain juga telah mengambil ancang-ancang seolah akan ada pertempuran hebat. Melvi memberi isyarat agar teman-temannya tenang.
”Apa karena dia, kau berhenti dari balapan liar? Tak aku sangka kau tak lebih dari seorang pecundang. Gadis lugu seperti dia bukanlah tipemu. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari dia.”
”Bug...!!” sebuah tinju melayang begitu kuat ke arah Firman hingga dia terjatuh, ”kau boleh mengatakan apapun tentang aku. Tapi aku tidak terima kau menghinanya! Anjing!” aku melihat amarah itu kembali menjalari Melvi.
Firman tersenyum sembari mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya, ”Hah! Hanya sebatas ini pukulanmu? Banyak kemunduran. Dulu kita teman, sekarang bermusuhan.” Firman bangkit, ”aku akan membalasnya pukulan ini seratus kali lebih menyakitkan dan tak akan pernah kau lupakan. Jaga baik-baik gadismu kalau kau tak ingin melihatku menyakitinya.” kata Firman sembari mengacungkan jari tengahnya.
Firman dan teman-temannya tersenyum mengejek sambil berlalu pergi.
”Bangsat!” Melvi mencoba mengejar mereka. Tapi sebelum itu terjadi, aku memegangi lengannya.
”Aku menyukai Melvi yang baik hati dan tidak suka berkelahi.” kataku.
Melvi menggenggam tanganku, ”Aku tidak akan memukul orang sembarangan lagi. Kecuali, ada yang ingin mengganggu dan menyakitimu... aku tak akan segan membunuhnya.”
Semangat itu yang selalu membuatku tak nyaman. Ia mau melakukan segalanya untuk melindungi aku. Tatapan mata itu... tatapan mata yang tajam membara penuh dendam, tapi kadang berubah menjadi tatapan cinta yang penuh kehangatan. Aku tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika Melvi tahu kalau selama ini aku hanyah menyukai Dida. Apa dia akan menyakiti Dida? Seandainya begitu, lebih baik kusimpan rapat-rapat bayangan Dida di hatiku.
Daun-daun jatuh terbawa angin. Sungguh hangat sapaan mentari pagi ini. Seperti semangatku yang dasyat pagi ini. Aku kembali memainkan jemari, menuntun pensil menggambar sebuah sosok dalam selembar kertas. Hanya sketsa wajah itu yang selalu ingin aku abadikan dalam setiap liukan jemari yang memainkan pensil ini. Aku begitu takut kehilangan sosoknya. Aku takut jika suatu ketika aku tak bisa membayangkannya lagi. Dida... tidak apa-apa aku seperti ini. Tidak apa-apa kalau kau tak pernah tahu kalau aku menyukaimu.
”Apa yang sedang kau gambar?” ah... suara itu kembali muncul. Mengapa Melvi selalu muncul ketika aku sedang membicarakan Dida di hatiku. Aku langsung menjauhkan apa yang sedang aku gambar dari jangkauan pangeran yang duduk di sampingku ini.
”Apa aku tidak boleh melihat?” tanyanya. Akupun menggeleng.
”Kenapa!?” tanyanya lagi dengan penuh ekspresi keheranan.
”Karena aku belum menjadi seorang pelukis terkenal. Kalau cita-citaku sudah tercapai, kau boleh melihat semua gambarku.”
Kuangkat sketsa itu. Begitu indah. Melvi terus mencoba mengintip, tapi aku terus menghalang-halanginya.
”Dug!” tiba-tiba sebuah bole melayang tepat ke arah tanganku. Sketsanya ikut melayang bersama bola itu.
”Auw!” teriakku. Kukibas-kibaskan tanganku yang sakit.
”Mana yang sakit?” Melvi terlihat begitu khawatir. Ia memijat tanganku dengan lembut. Warna biru langsung muncul.
”Mm... apa ada bola yang melayang kemari?” tiba-tiba dia muncul. Oh... mengapa Dida muncul di saat seperti ini.
”Venus... kau kenapa?” tanyanya lagi. Aku hanya tersenyum kecil.
Sepertinya Melvi tak menyukai pertanyaan itu, ”Kalau tidak bisa bermain, untuk apa memegang bola? Jelas-jelas ada orang di sini, apa kau buta!”
Tiba-tiba Melvi langsung bangkit, mendorong Dida hingga jatuh, kemudian memukulinya di depan mataku. Sama seperti ketika aku melihatnya sedang memukuli Joe.
”Melvi, hentikan!” teriakku. Satu tonjokkan ia hentikan sebelum mendarat di pipi Dida. Melvi mendorong Dida dengan kasarnya. Amarah masih terpancar dari kedua mata melvi. Dida babak belur. Anak-anak yang sedari tadi juga bermain voli hanya berani memandangi dari kejauhan. Melvi menggandeng tanganku dan mengajak pergi. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Orang yang aku sukai sedang kesakitan tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Di ruang UKS, Melvi mengompres tanganku dengan air es. Ia memperlalukan lukaku seperti sebuah luka yang parah dan harus ditangani dengan baik. Padahal hanya memar saja. Ya... walaupun terasa cukup sakit. Aku heran sendiri. Mengapa kulitku sungguh sensitif. Hanya terkena pukulan bola saja bisa sampai bengkak.
Beberapa saat kemudian anak-anak klub basket datang dengan raut muka masam dan pandangan sinis. Aku tahu, mereka pasti kesal karena sejak awal Melvi terlalu memanjakan aku. Memang sejak awal seharusnya aku tak mengenal Melvi. Dia telah memiliki teman-teman yang begitu menyayanginya. Aku tak pantas bersama mereka. Kupandangi wajah Melvi yang bersih dengan senyuman manisnya. Tangannya yang lembut dengan hati-hati membalutkan perban di tanganku.
“Melvi… kita harus segera berangkat. Jangan sampai kita terkena diskualifikasi karena terlambat datang.” Arjuna akhirnya angkat bicara.
”Sebentar.” begitu jawaban Melvi. Ia tak sekalipun mengalihkan perhatiannya dariku.
”Itu kan hanya luka kecil. Petugas UKS juga bisa menangani. Pertandingan kita jauh lebih penting!” sahut Zilan.
Melvi menoleh, ”Aku bilang sebentar! Sekali lagi kalian berani bicara, aku hajar kalian satu per satu!”
Suasana kembali hening. Melvi kembali melanjutkan memasang perban di tanganku.
”Pergilah! Biarkan petugas UKS yang melanjutkan. Aku juga tak ingin melihatmu kalah.” kataku.
”Aku tak akan pergi tanpamu. Kau yang selalu membuat aku merasa menang meskipun belum bertanding.”
Aku terdiam. Kubiarkan Melvi menyelesaikan membalut tanganku. Beberapa saat kemudian, mereka keluar meninggalkan UKS. Aku dan Melvi mengikuti di belakang mereka. Ketika akan menuju tempat parkir, sekilas aku berpapasan dengan Dida. Ia memandang ke arahku dan sempat melihat tanganku yang dibalut perban. Sudah terlanjur ia melihat. Meski aku mencoba untuk menyembunyikannya.
Hari kembali berganti. Kemarin adalah hari yang menyenangkan. Melvi dan timnya kembali memenangkan pertandingan. Kini aku sendiri lagi. Sementara mereka sedang berpeluh di lapangan, mengikuti latihan untuk pertandingan minggu depan. Aneh! Ujian Nasional tinggal tiga bulan lagi. Tapi mereka masih saja sibuk dengan pertandingan basket. Aku tidak tahu, kapan mereka memiliki waktu untuk belajar. Pelajaran di sekolah saja sering ditinggalkan demi latihan. Ah… Melvi saja memiliki lima orang guru privat. Dia pasti bisa membagi waktunya dengan baik.
Aku... masih juga suka mengunjungi tempat indah di belakang sekolah. Meskipun kali ini aku tidak bisa menggambar, setidaknya hari ini aku akan bertemu dengannya. Tapi sepertinya hari ini ada yang berbeda di sana. Terdengar suara anak-anak dari klub voli sedang menggerutu, berbicara dengan nada kesal. Aku mendekat. Kulihat lapangan voli yang sangat mengenaskan, sangat berantakan seperti baru tersapu angin topan. Net yang robek, bola-bola yang kempes, dan bangku-bangku yang patah.
”Meskipun klub voli kurang berprestasi dan ingin dibubarkan, tidak seharusnya memakai cara seperti ini.”
”Aku rasa pelakunya orang yang sangat kekanak-kanakkan dan masa kecilnya tidak bahagia. Sempat-sempatnya mereka mencangkuli lapangan kita dan menanam pohon di sini. Bangku-bangku dihancurkan. Seperti atraksi debus saja.”
”Net yang aku beli juga durusak. Padahal dua bulan aku harus menabung untuk mendapatkannya.”
”Sudahlah, kalau kita terus menggerutu, kapan tempat ini akan kembali seperti semula. Lagipula sejak dulu kejadian seperti ini sudah sering dialami oleh pendahulu kita. Kita harus menerima, karena klub kita belum mendapat pengakuan dari kepala sekolah. Untuk itu kita harus terus giat berlatih agar dapat mendapatkan banyak kemenangan, sehingga sekolahan ini bisa membanggakan kita.” ucap Dida sembari membereskan bangku-bangku yang rusak.
”Kau terlalu santai menyikapi masalah. Bukankah kau yang paling banyak bekerja keras untuk mengusahakan klub kita tetap ada? Apa tidak sayang dengan uang yang telah kau keluarkan untuk membeli bola-bola yang sekarang sudah kempes ini?”
”Sebentar...” tiba-tiba Dida menoleh ke arahku, menyadari kehadiranku. Ia tersenyum, kemudian berjalan menghampiri aku. Sementara yang lain melanjutkan pekerjaan mereka.
”Hai...!” sapanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecil. Setelah sekian lama, baru kali ini aku sedekat ini dengannya. Ini pertama kalinya Dida menyapaku lagi.
”Mm... maaf, tidak ada tempat duduk lagi. Semuanya hancur.” katanya dengan senyuman miris. ”Eh, kita duduk di batu itu saja.” Dida menunjuk ke sebuah batu besar yang terletak di sudut dan kita akhirnya duduk di sana. Meskipun mukanya masih menampakkan bekas pukulan Melvi, tapi aku merasa kalau ia masih tetap manis.
”Apa yang terjadi?” tanyaku. Oh, aku senang sekali sampai ingin pingsan saja. Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa berbicara dengan Dida. Dia pernah satu kelas denganku saat kelas sepuluh. Sekarang kita telah berbeda kelas meskipun sama-sama mengambil program IPA.
”Aku juga tidak tahu. Tadi pagi aku datang, tempatnya sudah seperti ini. Ah, sudahlah. Ini hal kecil. Hanya perlu dibereskan.” ia kembali menjawab pertanyaanku dengan senyuman. Sikapnya seolah-olah biasa saja. Tapi aku tahu, sebenarnya dia sangat kecewa.
”Eh, bagaimana dengan tanganmu, apa masih sakit?”
”Ah, tidak! Hanya luka kecil. Sebentar lagi juga sembuh.” Kataku sambil nyengir kuda. Sebenarnya aku juga heran sendiri. Sudah tiga hari, tapi bengkaknya belum sembuh juga.
“Maaf, gara-gara aku hari ini kau tidak bisa menggambar.”
”Kau tidak perlu merasa bersalah. Aku tahu, itu tak sengaja. Seharusnya aku yang minta maaf, karena Melvi telah memukulmu.”
”Dia berhak memukul orang yang telah melukai gadis yang ia cintai. Eh, tunggu sebentar.” Dida bangkit dari duduknya, berjalan menuju sebuah lemari usang, mengambil selembar kertas dari dalamnya, kemudian memberikannya padaku. Betapa terkejutnya aku, ternyata kertas itu adalah sketsa wajah Dida yang waktu itu terbang bersama bola. Aku malu sekali! Akhirnya dia tahu kalau waktu itu aku sedang menggambar dirinya.
“Sketsamu bagus. Suatu saat, aku ingin kau melukisku. Tapi setelah luka-luka di wajahku sembuh. Karena aku tidak mau terlihat jelek nanti.” guraunya. Aku tersenyum. Dia masih bisa melucu, meskipun suasana kadang ia buat serius.
”Mm... Venus, aku senang dengan kehadiranmu di sini. Tapi sebaiknya kau lebih dulu kembali ke kelas sebelum bel berbunyi. Jangan sampai Melvi memiliki prasangka ketika melihatmu di sini.”
Meskipun aku masih ingin berlama-lama di sini, tapi aku bisa mengerti apa yang dikhawatirkan Dida. Dia hanya tidak ingin ada keributan, apalagi dalam suasana seperti ini. Aku mengangguk.
”Kau tidak kembali ke kelas?” tanyaku.
”Setelah bel berbunyi, aku dan teman-teman akan kembali ke kelas.”
Akhirnya aku berjalan meninggalkan Dida sembari membawa selembar sketsa. Hari yang menyenangkan, meski tak sepenuhnya menyenangkan. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk lebih mengakrabkan diri dengan Dida.
Jam pelajaran terakhir kosong. Teman-teman sudah banyak yang keluar kelas. Ada yang ingin ke kantin, mengunjungi perpustakaan, berjaga di UKS, bahkan aku sempat mendengar ada yang ingin kabur lewat pintu belakang. Karena meskipun tidak ada guru yang mengisi pelajaran, pintu gerbang utama belum terbuka sebelum pelajaran berakhir. Apalagi di depan ada empat orang satpam yang berjaga-jaga.
Aku sendiri memilih untuk tetap duduk di kelas sambil mengamati sketsa yang pernah aku buat. Sedikit lusuh dan kotor, tapi akan menjadi sketsa yang paling aku suka. Dida... dia pasti berbohong. Dia pasti tidak kembali ke kelas. Dia pasti tetap bertahan di sana sampai semuanya beres.
Ketika aku sedang terhanyut dalam lamunan, tiba-tiba Melvi sudah ada di hadapanku dengan menebarkan sebuah senyuman. Ah, kali ini aku sungguh tak ingin melihatnya. Dia membuat aku kesal. Aku membuang muka.
”Hey, putri yang cantik hari ini murung? Adakah yang bisa membuatnya ceria kembali?” tanyanya. Aku hanya menggeleng.
”Venus, kau kenapa?” tanyanya lagi.
Aku menoleh ke arahnya, menatap dengan tatapan tajam dan dalam, ”Hari ini dan seterusnya mungkin aku tidak bisa senang. Seseorang telah menghancurkan tempat terindahku. Aku tidak bisa lagi merasa nyaman di sana. Aku tak mungkin bisa tersenyum!” kataku dengan nada sedikit keras.
Melvi menunduk seakan ia tahu kalau aku sedang menuduhnya. Ya, memang aku menuduhnya. Aku kesal padanya. Dia telah membuat orang yang aku kagumu dalam-dalam merasa kecewa dan sedih. Kami terdiam.
”Venus.” sebuah sapaan membuyarkan suasana. Aku dan Melvi menoleh. Dida berdiri di depan pintu, melayangkan senyuman ke arahku, namun senyum itu kian pudar karena keberadaan Melvi.
Dida muncul di saat yang tidak tepat. Ia berjalan perlahan menghampiriku. Melvi masih tertunduk.
”Maaf, telah mengganggu. Aku hanya ingin mengembalikan peralatan menggambar milikmu. Tadi tertinggal di sana.” katanya sembari memberikan buku gambar dan kotak pensil.
Aku lupa. Meskipun tidak menggambar, aku selalu membawanya. Melvi akhirnya tahu kalau aku pergi ke tempat itu. Bodohnya aku, selalu membuat suasana semakin tidak nyaman.
”Semoga tanganmu lekas sembuh dan bisa menggambar lagi di tempat yang sangat biasa itu. Tentunya kalau kau masih berkenan melihat tempat yang berantakan seperti tadi. Baiklah, aku harus kembali ke tempat itu lagi. Maaf, telah mengganggu.” ucap Dida sebelum pergi.
Selepas Dida pergi, suasana kembali hening. Ketika bel pulang berbunyi, barulah Melvi mengajakku pulang.
Malam ini langit cerah bertaburan jutaan bintang. Bulan bersinar begitu terang. Seperti itulah gambaran langit yang tadi sempat aku lihat sebelum Ibu menyuruhku masuk kamar, minum obat, dan istirahat. Melvi juga sempat menelepon, memastikan aku sudah minum obat atau belum.
Aku hampir bosan dengan semua itu. Setiap hari aku harus minum obat. Hampir setiap minggu harus check-up ke dokter dan disuntik. Padahal aku merasa tidak sakit. Tapi kata ibu itu harus, untuk menjaga kesehatan karena aku anemia. Huh! Aku pikir anemia tak separah itu.
Kulayangkan pandangan ke dinding di sebelah tempat tidurku. Aku tersenyum, membalas Dida yang tersenyum dalam sketsa yang aku buat. Aku baru menyadari kalau aku telah banyak membuat sketsa Dida. Biarlah menjadi kenang-kenangan meskipun aku tak bisa bersamanya.
“Tok… tok… tok…. “ tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk jendela kamar.
Aku menjadi takut sendiri. Tapi suara ketukan itu terus berlanjut. Kuberanikan diri berjalan menuju ke arah jendela, membuka tirai, dan menyibakkan jendela kacanya. Udara dingin langsung menyeruak masuk.
”Srek!” seseorang berpakaian serba hitam dan bertopeng tiba-tiba muncul dan mengacungkan pisau ke arahku. Jantungku seakan berhenti seketika. Aku hampir mati berdiri.
”Kalau tidak ingin terluka, diam dan ikuti aku!” tegasnya.
Orang bertopeng itu menggandeng tanganku sambil terus mengacungkan pisaunya tepat di leherku. Aku tak berani berkata-kata. Dia terus menggajakku berjalan menuju pintu belakang. Sesampainya di jalan, sebuah mobil telah menunggu. Aku disuruh masuk ke dalam mobil ada empat orang di dalamnya. Dua orang diantaranya langsung menutup mataku. Ini seperti penculikan-penculikan sebelumnya. Saat masih kecil, lima kali aku hampir menjadi korban penculikan. Kali ini sepertinya mereka akan berhasil.
Aku tak berani bersuara selama perjalanan. Orang-orang yang menculikku ini juga hanya diam. Sesampainya di suatu tempat, aku diturunkan. Mereka memaksaku berjalan mengikuti arahan mereka. Cukup lama mereka mengajakku berputar-putar, hingga aku tak tahu kemana mereka membawaku.
Beberapa saat kemudian, akhirnya sampai di tempat yang mereka maksud. Seseorang membuka ikatan mataku. Penglihatanku cukup samar, karena terlalu lama ditutup.
”Krek!” tiba-tiba beberapa lampu menyala bersamaan, menyilaukan mata. Aku melihat keadaan sekeliling yang kini terlihat jelas. Suatu tempat indah yang sepertinya aku kenal. Lapangan voli!
Sunggu sangat berbeda dengan apa yang aku lihat tadi siang. Sangat indah. Lapangan voli yang bentuknya lebih baik dari yang biasa aku lihat. Net telah terpasang rapi di tengahnya. Bangku-bangku kayu yang rusak telah tergantikan oleh bangku-bangku bercat kuning yang terbuat dari besi. Dinding yang semula terlihat kusam dengan lumut-lumut yang menempel, kini telah menjadi indah dengan cat warna biru. Rumput-rumput liar sudah habis dipangkas, tergantikan oleh tanaman hias yang indah. Bola-bola yang rusak sudah diganti dengan bola-bola baru yang banyak. Lemari tua yang biasa aku lihat telah berganti menjadi lemari kaca yang besar.
Aku sangat terkesima. Kubalikkan tubuh ke belakang. Melvi! Aku kembali dibuat terkejut. Senyum yang sedari tadi terpasang hilang begitu saja. Aku kira dia Dida.
”Kenapa?” tanyanya sambil tersenyum karena melihat ekspresiku yang aneh.
”Ka...u yang membuat semua ini?”
Ia kembali tersenyum, “Iya.”
“Tentunya dengan bantuan kami.” Sahut Arjuna. Aku kembali terkejut setelah tahu kalau orang yang mengacungkan pisau ke arahku adalah Arjuna. Menyusul kemudian yang lain membuka topengnya. Zilan, Ray, Idrus, Sofan, semuanya tertawa kecil, menertawakan aku.
”Oh, ternyata kalian yang menculikku.” gumanku.
”Kami hanya orang suruhan. Otak dari semua ini adalah Melvi.” ujar ray.
Aku memandang kesal ke arah Melvi yang tepat berada di depanku sedang tersenyum. Tapi akhirnya aku luluh juga. Sekeras apapun sikapnya, dia tetap memiliki sisi baik. Tapi mengapa aku tak juga bisa menyukai lelaki bermata bening ini.
”Melvi seharian ini telah bekerja keras untuk mengecat seluruh dinding di sini dengan warna biru dan kuning.” ujar Zilan.
”Hey, sebaiknya kita tidak mengganggu mereka berdua. Melvi, sekarang dia tanggung jawabmu.” ucap Sofan seraya mengajak teman-temannya pergi.
Melvi kembali tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan senyuman pula. Mata beningnya memancarkan tatapan cinta. Ia menggandeng tangan kiriku dengan erat.
”Kau menyukai tempat ini?” tanyanya. Aku hanya bisa membalasnya dengan anggukan.
”Apa yang kau suka, aku akan berusaha menyukainya. Maaf, jika selama ini aku kurang bisa memahamimu. Kau terlalu sedikit bicara, terkadang membuat aku sedikit bingung.”
Mataku berkaca-kaca. Entah mengapa aku tiba-tiba memeluknya, ”Terima kasih. Terima kasih akan banyak hal yang telah kau lakukan untukku. A... aishiteru!”
Aku terkejut dengan kata-kataku sendiri. Baru kali ini aku mengatakan kata itu padanya. Kata yang kujaga hanya untuk Dida. Apa aku mulai menyukai laki-laki ini?
”Hachi...!” tiba-tiba aku bersin.
”Kau kedinginan?” tanya Melvi seraya melepaskan jaketnya dan memakaikannya padaku.
”Malam ini memang sepertinya dingin sekali. Sebaiknya kita pulang, kau bisa kembali ke tempat ini kapan saja.” tuturnya seraya mengajakku pulang.
Melvi mengantarku sampai di depan jendela. Selarut ini ia masih bisa mengembangakan senyuman hangatnya. Kulepas jaket yang sedari tadi aku kenakan dan aku pakaikan ke tubuh Melvi.
”Masuklah, sebelum ibumu menyadari kau tak ada di tempat tidurmu.” pintanya lembut seraya memberikan sebuah kecupan di pipi kananku. Ia kembali tersenyum, ”Masuklah.” katanya lagi sembari hampir membukakan pintu jendela untukku. Aku segera mencegahnya.
”Tidak etis seorang laki-laki melihat tempat tidur perempuan.” kataku. Melvi tampaknya bisa menerima. Sebenarnya aku hanya tidak ingin Melvi melihat apa yang terpasang di dinding kamarku. Aku tidak ingin membuatnya kecewa.
”Boleh, aku meminta satu bantuan besar padamu?”
”Apa?” tanyanya dengan raut penuh tanya.
”Sekian lama aku menyukai suasana tenang di lapangan voli. Tapi mungkin ini saatnya aku ingin tempat itu menjadi sedikit ramai, menjadi salah satu tempat menyenangkan seperti lapangan basket, lapangan futsal, dan lab musik. Bisakah?” pintaku sembari menatap dalam-dalam kedua mata bening lelaki itu.
”Maksudmu... kau ingin voli menjadi salah satu ekskul andalan di sekolah?” tanyanya. Aku mengangguk.
”Mereka belum memenuhi kriteria. Sejak pertama kali di bentuk, tak pernah sekalipun ekskul voli memberikan kebanggaan. Justru sebaliknya, selalu tampil memalukan di setiap pertandingan. Peminatnya saja jarang, tak ada yang berbakat. Sebenarnya ekskul itu sudah dibekukan sejak lima tahun lalu. Tapi, orang-orang yang sering kau lihat di sana, entah mengapa menghidupkan tempat itu lagi.”
”Mungkin karena kurangnya fasilitas dan pelatih, ekskul voli tidak berkembang. Mereka membutuhkan dukungan. Setiap kali aku duduk di sana, aku selalu melihat semangat yang tinggi dan gigih untuk tetap berlatih. Walaupun tempat mereka sering diacak-acak, mereka tidak pernah putus asa. Bersama-sama mereka akan membereskannya sendiri. Tanpa sepengetahuan pihak sekolah, ternyata mereka sudah pernah memenangkan lima tropi kejuaraan tingkat daerah. Bahkan sekarang mereka sedang giat-giatnya berlatih untuk menghadapi pertandingan tingkat provinsi, bertepatan dengan hari pertandinganmu.”
”Kau peduli kepada mereka?” tanyanya penuh curiga, seakan menghakimi kalau ada sesuatu rasa yang lain.
”Aku cukup banyak mendengar keluh kesah mereka dari kejauhan. Mereka merasakan ketidakadilan, karena sama-sama membayar SPP yang mahal, tapi tidak bisa menikmati apa yang seharusnya mereka dapatkan.”
”Tapi ada banyak ekskul lain yang bisa mereka pilih.”
”Kau pastinya tahu, orang biasa tidak pernah memiliki pilihan. Adakah anggota di klub basket yang berasal dari keluarga seorang tukang kayu, kuli bangunan, atau sopir taksi?” Melvi terdiam mendengar pertanyaanku.
”Apakah dunia harus terus seperti ini? Seandainya aku berasal dari kalangan orang biasa, mungkin kau juga tak akan mencintaiku.” kataku dengan nada kesal. Melvi tak langsung merespon, membuatku kesal dan berniat langsung masuk kamar saja.
Melvi menahan tanganku, “Aku tak pernah melihatmu sebagai orang lain. Venus adalah Venus. Satu-satunya perempuan yang begitu dalam mengisi hatiku.”
Kata-kata Melvi membuatku terharu. Seseorang yang tak pernah memperdulikan orang lain tiba-tiba saja bisa peduli kepadaku. Aku mulai terhanyut dengan perasaanku sendiri.
”Aku akan berusaha untuk sedikit mengubah dunia menjadi seperti yang kau inginkan.” katanya seraya mencium keningku dan beranjak pergi meninggalkan sebuah senyuman. Aku segera beranjak memasuki kamar. Selamat malam dunia.
Beberapa hari kemarin aku tidak bisa berangkat sekolah karena sakit. Siang ini aku sengaja datang untuk mengintip reaksi teman-teman klub voli melihat tempat latihan mereka yang baru. Ajakan Melvi untuk makan bersama di kantin aku tolak. Sesampainya di sana, kulihat mereka semua sedang bermain voli dengan keceriaan yang lebih dari biasanya..
Mereka membunyikan musik sambil sesekali menari-nari. Kulihat Dida ikut larut dalam kegembiraan itu. Seandainya Dida dan Melvi adalah satu orang yang sama, tentunya aku tidak akan bingung menentukan arah perasaanku. Hatiku telah lebih dulu terpaut untuk Dida. Tapi kini hatiku sedikit menyimpang dari semestinya, hatiku mulai terhanyut dalam ketulusan cinta seorang Melvi.
”Venus, kemari!” seru Dida. Aku sedikit terkejut, karena ternyata Dida menyadari kehadiranku. Semua mata tertuju padaku. Aku tak bergeming. Tapi Dida malah menghampiriku dan menarik aku untuk bergabung bersama mereka.
”Teman-teman, inilah peri cantik yang selalu setia menemani kita di sini.” seru Dida. Semua melemparkan senyuman padaku. Aku bingung dan hanya bisa membalas sambutan itu dengan senyuman pula.
Iman tiba-tiba muncul dengan membawa sebuah mahkota yang terbuat dari akar pohon dengan hiasan dedaunan dan bunga kering. Ia memakaikannya di kepalaku.
”Peri cantik, selamat datang kembali di sarang kami.” katanya.
Baru kali ini aku sedekat ini dengan mereka semua. Biasanya aku hanya bisa melihat mereka dari kejauhan. Terkadang, meskipun mereka melihatku di sana, mereka hanya melemparkan senyuman. Sekalipun tak pernah saling bicara. Sekarang aku bisa berbicara bersama mereka.
”Aku mewakili teman-teman berterima kasih padamu.” kata Dida.
”Kenapa berterima kasih? Aku tidak pernah melakukan apapun untuk kalian. Kalian bahkan mungkin merasa terganggu dengan kehadiranku di tempat ini.”
”Kami justru senang, masih ada orang yang mau berkunjung ke tempat ini.” Sahut Iman.
“Berkat dirimu, tempat ini bisa berubah menjadi indah. Seandainya peri cantik seperti dirimu tidak pernah datang kemari, tempat ini pasti akan menjadi lebih buruk.” Tambah Soni.
“Benar. Kelembutan hatimu juga telah menyentuh perasaan kepala sekolah untuk meresmikan keberadaan klub ini. Sekarang dan seterusnya, aku yakin, tempat ini akan tetap ada.” ujar Ryan.
”Semua ini karena kerja keras dan semangat kalian. Siapapun yang melihat, pasti akan tersentuh dengan semangat kalian mempertahankan tempat ini.” balasku. Mereka semua tersenyum.
”Venus.” tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggilku.
Melvi. Senyum-senyum yang tadi mengembang seketika hilang. Akupun tak berani tersenyum. Aku takut Melvi akan marah lagi melihatku bersama mereka. Ia berjalan mendekatiku, sorot matanya tajam mengarah kepada Dida dan teman-temannya.
”Siang ini kau belum minum obat. Kau harus makan siang, jangan sampai terlambat makan lagi. Ayo.” ajak Melvi seraya menggandeng tanganku.
Suasana hening. Aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Dida dan teman-temannya juga tak ada yang berani angkat bicara. Aku sempat menengok dan melemparkan senyuman. Tapi mereka hanya membalasnya dengan senyuman yang canggung.
Usai sekolah, Melvi mengajakku menonton balapan motor di Sirkuit Sentul. Aku kurang mengerti, apa yang menarik melihat kepulan asap dan suara bising di sana. Melvi mungkin salah mengajak orang. Aku sedikitpun tak menyukai tempat itu. Setelah balapan usai, Melvi mengajakku menghampiri orang yang baru saja berhasil finish pertama.
”Hey, Melvi. Terima kasih sudah menyempatkan datang.” kata orang itu seraya memeluk Melvi. Mereka tampak seperti dua orang yang sudah saling akrab.
”Aku salut padamu, Soji. Kau selalu menjadi yang terbaik. Em, iya. Kenalkan, ini Venus.” tutur Melvi.
”Oh, Nona manis ini pasti kekasihmu. Hati-hati, Melvi sangat pencemburu. Kau tahu, dia selalu marah setiap kali aku mengalahkannya dalam balapan. Kalau ada yang mendekatimu, pasti dia akan cemburu. Bukankah begitu?” Melvi cemberut. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata Soji. Tanpa ia mengatakan, aku sudah tahu.
”Kau tahu, tidak. Dulu aku, Melvi, dan Firman sering menghabiskan waktu bersama di jalan. Kami sering adu nyali dalam balapan liar. Tapi sekarang hanya Firman yang masih bertahan. Aku juga masih menyukai balapan, tapi sudah berada di tempat yang benar. Sedangkan orang ini, entah mengapa malah beralih ke dunia basket.”
”Hey, tidak perlu dibahas. Kau ingin lari dari janjimu untuk mentraktirku.” potong Melvi. Akhirnya pembicaraan terhenti dan Soji mengajak kami makan di restoran mewah.
*****
Sore ini matahari masih bersinat terang. Sangat indah. Seindah sosok yang sekarang sedang aku lukis. Dia adalah model lukisanku yang pertama. Dida. Dia sangat menawan, hingga aku terus tersipu dibuatnya.
”Apakah masih lama? Aku sudah tidak kuat.” keluh Dida. Hanpir satu jam ia terus berdiri dengan gaya yang sama.
“Ia. Kau boleh istirahat. Sebentar lagi lukisannya selesai.” kataku. Dida langsung menggerak-gerakkan tubuhnya.
Andai saja aku bisa lebih lama berdua dengannya. Ah! Itu lagi. Bukankah aku sedang mencoba untuk mencintai Melvi? Tapi mengapa Dida masih saja tak tergantikan.
”Wah... lukisan ini jauh lebih tampan dari yang dilukis.” guman Dida. Aku hanya tersenyum.
”Ah, suatu kebanggaan bisa dilukis oleh seorang peri cantik.” tambahnya.
”Sudah selesai. Kita tunggu sampai kering sebentar, baru kau bisa membawanya pulang.”
Aku meletakkan lukisan itu di tempat yang masih terkena sinar matahari. Sambil menunggunya kering, Dida mengajakku duduk bersama sambil menikmati jus mangga.
”Rasanya sudah lama sekali aku tak melihatmu tertawa lepas seperti yang biasa kita lakukan saat kelas sepuluh. Kau telah berubah. Aku hampir tak mengenalimu lagi.”
Aku termenung mendengar ucapan Dida, ”Setiap orang pasti berubah. Kaupun menjadi lebih pendiam dari sebelumnya.”
“Aku diam karena terlalu terkejut. Terkejut melihatmu bersama orang yang wataknya sangat kau benci. Aku selalu bertanya-tanya... mengapa harus Melvi? Mengapa bukan aku? Seandainya waktu bisa diputar kembali, maukah kau menjadi kekasihku?”
”Apa!?” tanyaku terkejut.
Dida tersenyum, ”Aku hanya bercanda.”
Aku kecewa. Seandainya saja dia benar-benar menyukaiku, maka pertanyaanku selama ini bisa terjawab, bahwa cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dia telah meruntuhkan harapanku. Aku yang bodoh. Mana mungkin Dida menyukaiku. Dia pernah mengatakan, kalau dia menyukai gadis yang enerjik seperti anak-anak cheerleaders. Aku tak termasuk daalm kriterianya.
”Eh, sudah cukup sore. Ayo kita pulang.” Ajak Dida.
”Em, kau boleh pulang lebih dulu. Aku menunggu sopir menjemputku.” Kataku. Sebenarnya aku hanya mencari-cari alasan agar tidak pulang dengannya. Aku takut Melvi tahu dan sesuatu yang buruk kembali terjadi.
”Sopirmu masih satu jam lagi akan datang. Atau... kau malu, pulang jalan kaki bersamaku?”
”Bukan begitu.” pulang bersamanya, tentu saja itu yang aku inginkan.
”Ya, aku tahu, kau telah terbiasa menaiki mobil mewah. Sangat aneh jika tiba-tiba jalan kaki. Baiklah, aku bisa mengerti.”
”Hey, jangan marah. Aku hanya bercanda. Baiklah, aku mau ikut bersamamu.”
Dida tersenyum mendengar jawabanku. Ia langsung menarikku dan menyambar lukisan yang baru kering.
Baru sekali ini aku pulang jalan kaki. Sedangkan Dida, hampir setiap hari melakukannya. Padahal dia adalah putra tunggal seorang pengacara terkenal di kota Bandung ini. Dia berbeda, tidak seperti kebanyakan orang yang suka membangga-banggakan kekayaan orangtuanya dengan membawa mobil mewah ke sekolah. Seandainya mau, dia bahkan bisa bergabung dengan klub basket atau futsal yang dikuasai anak-anak orang kaya. Entah mengapa dia memilih untuk menghidupkan kembali tim voli, ekskul yang diminati orang-orang biasa. Tapi justru itulah yang aku suka darinya.
Sepanjang perjalanan, Dida terus menceritakan hal-hal lucu yang pernah ia alami bersama tim volinya. Gaya bicaranya masih seperti yang dulu. Membuat aku tak bisa menahan tawa. Dia bukan anak yang konyol, tapi selalu bisa membawa suasana. Di lampu merah, dia membelikan aku es kolang-kaling. Rasanya aneh, tapi enak.
Semua berjalan baik-baik saja hingga Firman dan lima orang temannya tiba-tiba muncul di dekat jembatan.
”Kita bertemu lagi.” sapanya padaku. ”Sayang, Melvi tidak di sini. Seandainya dia tahu kekasihnya pulang bersama orang lain... pasti sangat menyenangkan.”
”Siapa kalian? Mengapa menghalangi jalan kami?” tanya Dida dengan tegas.
”Sebaiknya kau tidak perlu ikut campur. Pergi dan biarkan nona ini menyelesaikan masalahnya denganku. Aku jamin, Melvi tidak akan tahu kau pulang bersamanya.” pinta Firman seraya mendekat. Dida menghalanginya mendekati aku.
”Dia pulang bersamaku. Aku memiliki tanggung jawab untuk mengantarnya pulang dalam keadaan baik.” tegas Dida. Aku salut padanya.
”Oh, baiklah. Ini berarti kau menantangku.”
Dida dan Firman saling melemparkan tatapan tajam. Dida menyuruhku untuk mundur. Perkelahian langsung terjadi. Dida tidak mungkin bisa menghadapi enam orang itu sendiri. Orang-orang yang melihat hanya berdiam diri, tak ada yang berusaha melerai. Aku hanya bisa melihat Dida dipukuli berkali-kali.lukisan yang baru selesai aku buat langsung rusak.
Ini semua salahku. Seandainya aku tak pulang bersamanya, semua ini tidak akan terjadi. Aku orang tidak berguna yang hanya bisa berdiri kaku melihat orang yang aku cintai dipukuli orang. Tak terasa air mata meleleh dipipiku.
”Venus.” sebuah sapaan lembut menghampiriku. Aku menoleh ke belakang.
”Melvi.” lirihku. Tangisku langsung meledak dipelukannya. Aku sangat takut.
”Jangan menangis lagi. Aku sudah ada di sini.” kata Melvi menenangkanku. Ia mengusap air mataku dengan sapu tangannya. Kulihat binar matanya kali ini dingin.
”Akhirnya kau datang.” ucap Firman menyadari kehadiran Melvi. Aku melihat Dida terkapar tak berdaya. Wajahnya dipenuhi luka.
Melvi melepaskan genggaman tanganku. Dia melangkah maju menghampiri Firman. Dia langsung memukul Firman. Teman-teman Firman yang tidak terima, langsung berusaha mengeroyoknya. Tapi Melvi bisa mengimbangi mereka. Semangat membara dan menggebu-gebu itu kembali muncul. Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, Dida kembali bangkit dan membantu Melvi menghadapi mereka.
”Kau masih mau membela kekasihmu yang telah berani pulang dengan orang lain? Kau tahu, lukisan itu sepertinya dibuat dengan penuh rasa cinta. Apa mungkin gadis yang sangat kau cintai itu menyukai orang lain?” ujar Firman untuk memancing emosi Melvi.
”Bug!” Melvi justru membalas kata-kata itu dengan sebuah pukulan keras.
Tiba-tiba seseorang mendekatiku dengan membawa pisau di tangan dan menghujamkannya ke arahku. Sebelum sempat pisau itu menghujam ke tubuhku, Melvi memelukku. Lengan kananku hanya tergores sedikit. Sementara tangan Melvi terluka sedikit dalam. Tanpa memperdulikan lukannya, Melvi langsung menghajar orang itu habis-habisan. Merasa telah kalah, Firman dan teman-temannya langsung berlari pergi.
Melvi langsung menghampiriku. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung melepas kaos yang ia kenakan, merobeknya, dan membalutkannya untuk menutupi lukaku. Kulihat lengannya terkoyak cukup dalam. Darah segar terus keluar. Tapi sepertinya ia tak merasakan sakit.
Dida mendekat, tubuhnya lebam-lebam dan wajahnya babak belur. Di sudut bibirnya terlihat noda darah.
“Melvi, terima kasih.” Ucapnya.
“Bug! Bug! Bug!” tiba-tiba Melvi melayangkan pukulan ke arah Dida hingga Dida jatuh tersungkur. “Sudah aku katakan padamu. Jangan pernah melakukan sesuatu yang tidak bisa kau pertanggungjawabkan! Hari ini kau telah membahayakan nyawa seseorang.”
”Bug!” Melvi sempat menendang tubuh Dida sebelum akhirnya ia membawaku pergi menaiki mobilnya.
”Tidak seharusnya kau memukulnya. Dia telah membantuku.” protesku ketika mobil mulai berjalan.
”Dia telah membahayakan nyawamu.” balasnya dengan tetap serius mengendarai mobilnya.
“Ini hanya luka kecil. Tidak sebanding dengan luka-luka di tubuh Dida.” Aku melihat lenganku. Balutan baju Melvi yang berwarna putih telah berubah menjadi merah. Padahal aku pikir aku hanya tergores. Tapi darah yang keluar cukup banyak.
“Kau tidak boleh terluka sedikitpun.”
“Apa tidak peduli, orang lain terluka parah, asalkan aku baik-baik saja? Kau sudah tidak adil padanya!” bentakku.
”Sebelumnya kau tak pernah semarah ini padaku. Mengapa setiap kali ada hal yang menyangkut Dida, kau selalu bersemangat. Apa kau menyukainya?” akhirnya pertanyaan itu terlontar. Aku tak berani menjawabnya.
”Tanpa kau menjawabnya, aku sudah tahu jawabannya. Sejak dulu, memang hanya dia yang bisa membuatmu tersenyum senang. Sedangkan aku hanya bisa membawamu dalam bahaya. Aku sudah melihat gambar wajah yang terpasang di dinding kamarmu.”
Mobil terus melaju mengiringi suasana hening. Aku tidak berani berkata-kata lagi. Tiba-tiba aku merasa pusing, pandanganku semakin samar, dan akhirnya gelap.
bersambung..........................................
CINTA TERMAHAL SEORANG GADIS MISKIN
Aku bingung dengan makhluk yang disebut ‘perempuan’. Sebenarnya apa yang mereka inginkan. Jalan pikirannya sulit ditebak. Mereka menyebalkan, membuat aku terus penasaran. Terutama dia. Perempuan manis yang selalu menghabiskan istirahat pertamanya di sudut perpustakaan.
Namanya Adelia Jamaika. Biasanya dipanggil Ai. Namanya memang bagus. Tapi dia berasal dari kalangan bawah. Aku yakin, dia pasti belum pernah ke luar Pulau Jawa. Apalagi ke Jamaika.
Sudah dua bulan ini dia menyita perhatianku. Ai, orang miskin yang memiliki harga diri sangat tinggi. Kalau saja tidak ada acara taruhan itu, aku juga tidak akan mau berhubungan dengan gadis aneh itu. Dia sudah membuatku sangat kesal, kesal, dan kesal!
Mungkin dia sudah tidak waras. Aku sempurna. Aku tampan, punya mobil, dan aku juga seorang kapten basket. Banyak yang menyukai aku. Sekali aku bilang ’I love you’, tidak pernah ada yang menolaknya. Tapi dia... dia berani menolakku, mempermakukanku di depan banyak orang berkali-kali.
”Hai.” sapaku seraya duduk di hadapannya tanpa menunggu dipersilahkan. Dia tersenyum. Hah! Aku paling benci senyuman itu.
”Ai, hari ini kamu cantik.” pujiku.
Ia kembali tersenyum, ”Alhamdulillah, penglihatanmu masih normal. Semua perempuan pasti akan selalu terlihat cantik. Kalau laki-laki, barulah tampan.”
Hah! Gadis ini memang paling tidak bisa menghargai pujian orang.
“Ai, istirahat kedua mau menemaniku makan di kantin? Aku traktir sampai puas.”
”Daripada mentraktirku, lebih baik kamu simpan saja kelebihan uangmu. Mungkin suatu saat akan lebih berguna.”
Ya, pasti seperti itu jawabannya.
”Orang miskin sepertimu memang sulit membayangkan kehidupan orang kaya. Karena terlalu kaya, tempat penyimpanan uangnya sudah penuh semua. Hanya mentraktirmu saja tidak akan membuat keluargaku bangkrut. Kamu memang selalu seperti ini. Tidak pernah menyambut baik niat baikku.”
”Terima kasih atas niat baiknya. Selama aku bisa, aku tidak mau bergantung kepada orang lain. Sudah, ya, aku ingin kembali ke kelas.” pamitnya. Aku ditinggal pergi begitu saja.
*****
Hari berikutnya, saat istirahat pertama aku kembali menemuinya di sudut perpustakaan. Dia tersenyum melihat kedatanganku. Tidak sulit mencari keberadaannya di sekolah. Kalau tidak di perpustakaan, pasti di UKS.
”Ai... apa hari ini ada keberuntungan untukku?” tanyaku.
”Keberuntungan apa yang kamu maksud? Aku bukan peramal.” jawabnya enteng.
”Keberuntungan lelaki sempurna ini untuk mendapatkan cintamu. Aku bisa memberikan apapun untukmu, Ai. Bahkan kalau kamu menginginkan pesawat jet, akan aku belikan.”
”Kamu bilang dirimu sempurna. Tapi mengapa masih menginginkan cinta gadis miskin ini? Maaf, aku tidak menjualnya. Permisi!”
Kata-katanya sangat berbobot. Bahkan sebelum pergi dia sempat meninggalkan seulas senyuman. Gagal lagi.
Ditolak berkali-kali oleh Adelia Jamaika sudah biasa. Yang terpenting adalah tetap berusaha. Aku ingin tahu, seberapa mahal ia menjual cintanya. Seperti Ai yang tidak pernah kehilangan kata-kata, akupun tak akan pernah kehilangan ide untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku menyuruh guru BK untuk memanggil Ai ke ruangannya. Gadis aneh itu pasti akan bingung. Salah siapa selalu menghindar dariku.
Beberapa saat kemudian Ai muncul. Aku tersenyum melihat raut wajahnya yang sedang heran.
“Silakan duduk.” Kataku mempersilahkan. Diluar dugaanku, dia mengembangkan senyuman.
”Terima kasih. Aku merasa tersanjung mendapatkan undangan datang ke tempat ini. Kamu belum menyerah juga.”
”Aku, Jonas Wira Samudra, tidak akan pernah menyerah kepada seorang gadis miskin keras kepala. Seharusnya kamu yang menyerah. Akuilah aku sempurna dan tidak ada alasan bagimu untuk menolakku.”
”Bukankah sudah sering aku mengatakan, kamu memang sempurna. Wajar saja banyak yang menyukaimu.”
”Tapi kenapa kamu menjadi pengecualian? Kenapa aku tidak bisa membuatmu cinta kepadaku?”
”Karena cinta tidak bisa dipaksakan.” jawabnya enteng, sembari mengumbar senyuman yang sangat aku benci. Dia meledekku.
”Siapa yang memaksakan? Aku hanya memintamu memberiku kesempatan agar bisa membuatmu bisa mencintaiku. Aku saja bisa menyukai gadis miskin sepertimu, tapi kenapa kamu tidak bisa menyukai orang kaya sepertiku!”
Ai masih bisa tersenyum di saat aku sedang serius. Apa dia tidak bisa mengerti kalau aku sedang marah.
”Bel sudah berbunyi. Aku masuk ke kelas dulu.”
“Ai!” bentakku, saking kesalnya terhadap sikap cuek si nenek lampir. ”Apa kamu hanya bisa menghindar? Jawab pertanyaanku!” desakkku. Akhirnya dia urung melangkah pergi.
“Kamu tidak selevel denganku.”
“Apa!?”
“Kalangan bawah sepertiku tidak akan mencari pasangan di luar dunianya. Berhentilah berharap.”
Aku tertawa mendengar ucapannya, ”Apa aku tidak salah dengar? Kamu berbicara tentang derajat di antara kita? Baru sekali ini aku mendengar ada orang miskin yang begitu membanggakan derajatnya.”
”Benar. Aku memiliki satu hal yang sangat berharga yang tidak kamu miliki. Karena itulah aku masih bisa berbangga diri. Baiklah, aku kembali ke kelas dulu.”
Dia bisa saja membuat aku kecewa. Huh! Wanita ini sudah mencampakan aku berapa kali, ya? Sekian lama tidak ada perubahan juga.
”Wah, sepertinya pangeran ini sudah kewalahan menghadapi targetnya.” kata Morgan yang sedari tadi bersembunyi bersama Fandi dan Jay.
”Hanya seorang Adelia saja tidak bisa kamu tangani. Sudah hampir dua bulan dari perjanjian kita, ingat itu.” sahut Jay.
”Ya, aku ingat. Kalian tenang saja. Masih ada satu hari. Aku tidak mungkin gagal. Tidak akan ada perempuan yang kuasa menolak pesonaku. Gadis miskin itu hanya basa-basi. Sebenarnya dia sama saja dengan yang lain.”
”Sebaiknya permainan ini dihentikan saja. Kamu akan malu sendiri nanti.” Fandi yang biasanya diam dan menurut entah mengapa sejak ada permainan ini ia mau berkata-kata. Membuat aku pusing mendengarnya. Akhirnya aku tinggal pergi daripada mendengar nasihatnya.
*****
Hari penentuan akhirnya tiba. Aku sengaja datang ke UKS mendahului Ai. Aku tahu, hari ini gilirannya berjaga di sana. Ketiga temanku yang menyebalkan bersembunyi di bilik perawatan anak laki-laki. Morgan dan Jay katanya ingin melihat kekalahanku. Tapi aku pastikan itu tak akan mungkin terjadi.
Akhirnya gadis itu datang. Melihat keberadaanku, seperti biasa, dia mengembangkan senyuman yang aku rasa sedang mengejek.
”Halo....” sapanya ketika pertama kali masuk.
”I love you, Ai.” kataku seraya berjongkok di hadapannya seraya mengulurkan sebuah buket bunga mawar merah.
Ai tampak sedikit terkejut, ”Belum menyerah juga, ya?” katanya.
”Sudah aku katakan berulang kali, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan cintamu. Kamu tidak mau menerimannya?”
”Maaf, mungkin bukan aku orang yang tepat untuk menerimanya.”
”Mungkin menurutmu aku tidak serius.” kuletakkan buket bunga itu di atas meja dan kuambil sebuah kotak berwarna merah. ”Bukalah!” pintaku.
Dengan sedikit keraguan, akhirnya Ai mau menerima dan membukanya.
”Itu hanya sebagian kecil yang ingin aku berikan padamu. Aku sedang tidak bercanda, aku serius ingin melamarmu.”
Ai masih terkesima dengan isi kotak perhiasan itu. Aku yakin, dia tidak akan menolak setelah melihat kilauan berlian dan emas di dalamnya. Dia menutup kotak itu dan mengembalikannya padaku.
”Carilah orang lain yang lebih tepat menerimanya. Orang yang akan mencintaimu secara tulus dan kamu juga mencintainya secara tulus, bukan untuk mempermainkannya hanya karena sebuah taruhan.”
Apa!? Dari mana dia tahu semua ini. Sejak kapan dia tahu? Pasti Morgan dan Jay!
”Mm... Ai, aku....”
”Tidak apa-apa. Bukan rahasia lagi kalau kamu suka membuat taruhan dengan teman-temanmu. Aku bisa memaklumi. Tapi sekali ini kalah, tidak apa-apa, kan?”
”Wah... apa kamu tidak mencintai aku? Apa yang kurang dariku?”
”Kurang cepat.”
”Apa!?”
”Iya. Kamu kurang cepat melamarku. Aku sudah menikah.”
”Apa!?” aku seperti disambar petir di siang bolong mendengarnya. Ai sudah menikah?
“Dia istriku, Jonas.” sahut Fandi.
“Apa!?” sambaran petir kembali mengenai hatiku. Tiba-tiba Fandi muncul dan mengaku sebagai suami Ai? Sopirku... sudah menikah? Masih SMA sudah menikah?
”Bohong! Kenapa sejak dulu tidak pernah mengatakannya? Kenapa baru sekarang?” protesku.
”Sejak awal aku berusaha untuk mengatakannya, menyuruhmu untuk tidak menerima taruhan itu, tapi kamu tidak pernah mendengarnya. Katamu aku adalah sopir yang harus selalu mendukungmu. Sudah aku katakan, kamu akan malu sendiri kalau melanjutkan taruhan ini.” si pendiam Fandi sudah mulai bisa banyak bicara.
Hah! Seperti inilah akhir ceritanya. Ternyata selama ini aku mengejar-ngejar istri sopirku sendiri. Cinta termahal Ai yang tidak pernah bisa aku beli ternyata sudah diberikan kepada Fandi. Aku malu!
_____SELESAI____
Persembahan untuk mereka, para lelaki keras kepala.
(Momoy_Dandrelion)
Namanya Adelia Jamaika. Biasanya dipanggil Ai. Namanya memang bagus. Tapi dia berasal dari kalangan bawah. Aku yakin, dia pasti belum pernah ke luar Pulau Jawa. Apalagi ke Jamaika.
Sudah dua bulan ini dia menyita perhatianku. Ai, orang miskin yang memiliki harga diri sangat tinggi. Kalau saja tidak ada acara taruhan itu, aku juga tidak akan mau berhubungan dengan gadis aneh itu. Dia sudah membuatku sangat kesal, kesal, dan kesal!
Mungkin dia sudah tidak waras. Aku sempurna. Aku tampan, punya mobil, dan aku juga seorang kapten basket. Banyak yang menyukai aku. Sekali aku bilang ’I love you’, tidak pernah ada yang menolaknya. Tapi dia... dia berani menolakku, mempermakukanku di depan banyak orang berkali-kali.
”Hai.” sapaku seraya duduk di hadapannya tanpa menunggu dipersilahkan. Dia tersenyum. Hah! Aku paling benci senyuman itu.
”Ai, hari ini kamu cantik.” pujiku.
Ia kembali tersenyum, ”Alhamdulillah, penglihatanmu masih normal. Semua perempuan pasti akan selalu terlihat cantik. Kalau laki-laki, barulah tampan.”
Hah! Gadis ini memang paling tidak bisa menghargai pujian orang.
“Ai, istirahat kedua mau menemaniku makan di kantin? Aku traktir sampai puas.”
”Daripada mentraktirku, lebih baik kamu simpan saja kelebihan uangmu. Mungkin suatu saat akan lebih berguna.”
Ya, pasti seperti itu jawabannya.
”Orang miskin sepertimu memang sulit membayangkan kehidupan orang kaya. Karena terlalu kaya, tempat penyimpanan uangnya sudah penuh semua. Hanya mentraktirmu saja tidak akan membuat keluargaku bangkrut. Kamu memang selalu seperti ini. Tidak pernah menyambut baik niat baikku.”
”Terima kasih atas niat baiknya. Selama aku bisa, aku tidak mau bergantung kepada orang lain. Sudah, ya, aku ingin kembali ke kelas.” pamitnya. Aku ditinggal pergi begitu saja.
*****
Hari berikutnya, saat istirahat pertama aku kembali menemuinya di sudut perpustakaan. Dia tersenyum melihat kedatanganku. Tidak sulit mencari keberadaannya di sekolah. Kalau tidak di perpustakaan, pasti di UKS.
”Ai... apa hari ini ada keberuntungan untukku?” tanyaku.
”Keberuntungan apa yang kamu maksud? Aku bukan peramal.” jawabnya enteng.
”Keberuntungan lelaki sempurna ini untuk mendapatkan cintamu. Aku bisa memberikan apapun untukmu, Ai. Bahkan kalau kamu menginginkan pesawat jet, akan aku belikan.”
”Kamu bilang dirimu sempurna. Tapi mengapa masih menginginkan cinta gadis miskin ini? Maaf, aku tidak menjualnya. Permisi!”
Kata-katanya sangat berbobot. Bahkan sebelum pergi dia sempat meninggalkan seulas senyuman. Gagal lagi.
Ditolak berkali-kali oleh Adelia Jamaika sudah biasa. Yang terpenting adalah tetap berusaha. Aku ingin tahu, seberapa mahal ia menjual cintanya. Seperti Ai yang tidak pernah kehilangan kata-kata, akupun tak akan pernah kehilangan ide untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku menyuruh guru BK untuk memanggil Ai ke ruangannya. Gadis aneh itu pasti akan bingung. Salah siapa selalu menghindar dariku.
Beberapa saat kemudian Ai muncul. Aku tersenyum melihat raut wajahnya yang sedang heran.
“Silakan duduk.” Kataku mempersilahkan. Diluar dugaanku, dia mengembangkan senyuman.
”Terima kasih. Aku merasa tersanjung mendapatkan undangan datang ke tempat ini. Kamu belum menyerah juga.”
”Aku, Jonas Wira Samudra, tidak akan pernah menyerah kepada seorang gadis miskin keras kepala. Seharusnya kamu yang menyerah. Akuilah aku sempurna dan tidak ada alasan bagimu untuk menolakku.”
”Bukankah sudah sering aku mengatakan, kamu memang sempurna. Wajar saja banyak yang menyukaimu.”
”Tapi kenapa kamu menjadi pengecualian? Kenapa aku tidak bisa membuatmu cinta kepadaku?”
”Karena cinta tidak bisa dipaksakan.” jawabnya enteng, sembari mengumbar senyuman yang sangat aku benci. Dia meledekku.
”Siapa yang memaksakan? Aku hanya memintamu memberiku kesempatan agar bisa membuatmu bisa mencintaiku. Aku saja bisa menyukai gadis miskin sepertimu, tapi kenapa kamu tidak bisa menyukai orang kaya sepertiku!”
Ai masih bisa tersenyum di saat aku sedang serius. Apa dia tidak bisa mengerti kalau aku sedang marah.
”Bel sudah berbunyi. Aku masuk ke kelas dulu.”
“Ai!” bentakku, saking kesalnya terhadap sikap cuek si nenek lampir. ”Apa kamu hanya bisa menghindar? Jawab pertanyaanku!” desakkku. Akhirnya dia urung melangkah pergi.
“Kamu tidak selevel denganku.”
“Apa!?”
“Kalangan bawah sepertiku tidak akan mencari pasangan di luar dunianya. Berhentilah berharap.”
Aku tertawa mendengar ucapannya, ”Apa aku tidak salah dengar? Kamu berbicara tentang derajat di antara kita? Baru sekali ini aku mendengar ada orang miskin yang begitu membanggakan derajatnya.”
”Benar. Aku memiliki satu hal yang sangat berharga yang tidak kamu miliki. Karena itulah aku masih bisa berbangga diri. Baiklah, aku kembali ke kelas dulu.”
Dia bisa saja membuat aku kecewa. Huh! Wanita ini sudah mencampakan aku berapa kali, ya? Sekian lama tidak ada perubahan juga.
”Wah, sepertinya pangeran ini sudah kewalahan menghadapi targetnya.” kata Morgan yang sedari tadi bersembunyi bersama Fandi dan Jay.
”Hanya seorang Adelia saja tidak bisa kamu tangani. Sudah hampir dua bulan dari perjanjian kita, ingat itu.” sahut Jay.
”Ya, aku ingat. Kalian tenang saja. Masih ada satu hari. Aku tidak mungkin gagal. Tidak akan ada perempuan yang kuasa menolak pesonaku. Gadis miskin itu hanya basa-basi. Sebenarnya dia sama saja dengan yang lain.”
”Sebaiknya permainan ini dihentikan saja. Kamu akan malu sendiri nanti.” Fandi yang biasanya diam dan menurut entah mengapa sejak ada permainan ini ia mau berkata-kata. Membuat aku pusing mendengarnya. Akhirnya aku tinggal pergi daripada mendengar nasihatnya.
*****
Hari penentuan akhirnya tiba. Aku sengaja datang ke UKS mendahului Ai. Aku tahu, hari ini gilirannya berjaga di sana. Ketiga temanku yang menyebalkan bersembunyi di bilik perawatan anak laki-laki. Morgan dan Jay katanya ingin melihat kekalahanku. Tapi aku pastikan itu tak akan mungkin terjadi.
Akhirnya gadis itu datang. Melihat keberadaanku, seperti biasa, dia mengembangkan senyuman yang aku rasa sedang mengejek.
”Halo....” sapanya ketika pertama kali masuk.
”I love you, Ai.” kataku seraya berjongkok di hadapannya seraya mengulurkan sebuah buket bunga mawar merah.
Ai tampak sedikit terkejut, ”Belum menyerah juga, ya?” katanya.
”Sudah aku katakan berulang kali, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan cintamu. Kamu tidak mau menerimannya?”
”Maaf, mungkin bukan aku orang yang tepat untuk menerimanya.”
”Mungkin menurutmu aku tidak serius.” kuletakkan buket bunga itu di atas meja dan kuambil sebuah kotak berwarna merah. ”Bukalah!” pintaku.
Dengan sedikit keraguan, akhirnya Ai mau menerima dan membukanya.
”Itu hanya sebagian kecil yang ingin aku berikan padamu. Aku sedang tidak bercanda, aku serius ingin melamarmu.”
Ai masih terkesima dengan isi kotak perhiasan itu. Aku yakin, dia tidak akan menolak setelah melihat kilauan berlian dan emas di dalamnya. Dia menutup kotak itu dan mengembalikannya padaku.
”Carilah orang lain yang lebih tepat menerimanya. Orang yang akan mencintaimu secara tulus dan kamu juga mencintainya secara tulus, bukan untuk mempermainkannya hanya karena sebuah taruhan.”
Apa!? Dari mana dia tahu semua ini. Sejak kapan dia tahu? Pasti Morgan dan Jay!
”Mm... Ai, aku....”
”Tidak apa-apa. Bukan rahasia lagi kalau kamu suka membuat taruhan dengan teman-temanmu. Aku bisa memaklumi. Tapi sekali ini kalah, tidak apa-apa, kan?”
”Wah... apa kamu tidak mencintai aku? Apa yang kurang dariku?”
”Kurang cepat.”
”Apa!?”
”Iya. Kamu kurang cepat melamarku. Aku sudah menikah.”
”Apa!?” aku seperti disambar petir di siang bolong mendengarnya. Ai sudah menikah?
“Dia istriku, Jonas.” sahut Fandi.
“Apa!?” sambaran petir kembali mengenai hatiku. Tiba-tiba Fandi muncul dan mengaku sebagai suami Ai? Sopirku... sudah menikah? Masih SMA sudah menikah?
”Bohong! Kenapa sejak dulu tidak pernah mengatakannya? Kenapa baru sekarang?” protesku.
”Sejak awal aku berusaha untuk mengatakannya, menyuruhmu untuk tidak menerima taruhan itu, tapi kamu tidak pernah mendengarnya. Katamu aku adalah sopir yang harus selalu mendukungmu. Sudah aku katakan, kamu akan malu sendiri kalau melanjutkan taruhan ini.” si pendiam Fandi sudah mulai bisa banyak bicara.
Hah! Seperti inilah akhir ceritanya. Ternyata selama ini aku mengejar-ngejar istri sopirku sendiri. Cinta termahal Ai yang tidak pernah bisa aku beli ternyata sudah diberikan kepada Fandi. Aku malu!
_____SELESAI____
Persembahan untuk mereka, para lelaki keras kepala.
(Momoy_Dandrelion)
surat cinta bertinta cahaya rembulan
Malam ini bulan bersinar tampak begitu terang. Sebuah bintang yang paling berkilau bertengger gagah di dekat sang dewi malam. Aku sedikit ragu menarikan pena, merangkai kata-kata indah pengungkap curahan hati terdalam untukmu, wahai koki jelita… Mba Uli.
Mba Uli….
Masih ingatkah Engkau akan bintang dan bulan ini? Hampir setiap malam aku, Mba Uli, Mba Wahyu, Puji, dan Izzah memandangi kedua perhiasan langit malam itu sembari memperbincangkan tentang masa depan, di balkon rumah kost yang sudah kita anggap sebagai rumah sendiri.
”Aku ingin sekali menikah muda. Tanggal 12 Desember 2012, tepat di usia 22 tahun. Keren!” celotehku suatu malam sembari menyeruput secangkir teh hangat yang sedari tadi aku pegang.
”Wah... mau menikah saat kiamat, ya? Di internet sudah banyak dibahas kalau pada tahun 2012 akan kiamat. Pasti akan menjadi pesta yang paling seru, ya.” tukas Puji. Semuanya tertawa mendengar kicauan Si Ratu Chatting, kecuali aku.
”Hey, dasar otak dukun!” seruku seraya menjitak kepalanya. ”Itu namanya syirik.” lanjutku.
”Kalau aku sih target menikah 27 tahun. Pernikahan itu masalah gampang. Yang penting... mapan!” ujar Izzah dengan mantapnya.
”Setuju!” seru Mba Uli yang sedari tadi diam. Kami langsung mengalihkan pandangan kepada Mba Uli. Jarang-jarang Mba Uli mau berkomentar.
”Menikah itu kan tidak cukup hanya makan cinta. Materi juga perlu untuk modal.” sahut Mba Wahyu.
”Hmm... pernikahan itu kan juga bisa membukakan pintu rizki Tuhan. Sudah dijanjikan, Tuhan yang akan mencukupkan kebutuhan kita. Lagipula... lebih asyik menikah muda, bisa merasakan pacaran setelah pernikahan lebih lama. He he he.”
Akhirnya perbincangan malam itu malah menjadi keributan. Kita saling melempar kata-kata dan ejekan. Tapi perdebatan itu segera berhenti, setelah terdengar suara kentut....
”Mba Uli...!” teriak kami, seolah sudah dapat memastikan kalau Mba Uli yang kentut.
Dengan senyum terkembang Mba Uli langsung lari ke kamar sebelum kami sempat mengejar. Mba Uli selalu saja seperti ini. Mba... lain kali jangan suka makan ubi terlalu banyak.
Mba Uli....
Bulan masih setia bersinar dan bintang pun tetap bertahan mendampingi. Meski hanya beberapa bulan saja kebersamaan kita, tapi aku telah menganggap Mba Uli sebagai kakak, teman, bahkan ibu yang sangat pandai memasak di rumah kedua ini. Andai saja Mba Uli tidak pergi. Andai Mba uli bisa tetap bersama kami di sini....
Mba Uli....
Tempat ini masih sulit air seperti ketika dulu Mba Uli masih di sini. Kami juga masih jarang mandi. (He he he... tapi kita tetap wangi... kan mandinya pakai minyak wangi)
Ingat tentang kekeringan, tidak ada air di bak mandi... aku jadi teringat kejadian-kejadian berkesan di sini.
Yaitu saat Izzah terperosok ke dalam tandon penampungan air ketika kami ingin mengeceknya, apakah ada airnya atau tidak. Aku sangat panik saat itu. dengan sekuat tenaga aku berusaha mengangkatnya sebelum jatuh ke bawah. Tapi dia malah menyuruhku untuk melepaskannya saja. Ternyata tandonnya dangkal. Aku kira sangat dalam. Huh! Membuat spot jantung saja!
Kemudian ketika musim angin tiba. Pakaian yang kita jemur di balkon atas selalu ada yang terbang ke genteng rumah tetangga. Kalau para nelayan memancing ikan di laut dan sungai, kita justru selalu memancing pakaian di atap rumah tetangga. Empat pasang kaos kaki milikku tak terselamatkan, dan aku harus mengikhlaskannya.
Tak bisa aku lupa juga, keisengan kita di balkon atas. Setiap kali musim rambutan tiba, kita selalu bisa memanen rambutan meski tidak memiliki pohonnya. Dengan asyiknya kita memakan buah rambutan tetangga yang pohonnya miring ke arah balkon kita.
Mba Uli....
Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, karakter dan hobi juga sangat jauh berbeda, tapi dengan cepat kita dapat saling mengakrabkan diri selayaknya sebuah keluarga. Ibu kost yang tidak pernah peduli dan air yang sangat sulit mengalir setiap hari tak pernah melunturkan senyuman dan tawa riang di rumah ini. Susah senang kita jalani bersama di sini.
Oh, iya. Aku masih ingat julukkan yang Mba Uli berikan kepada kami. Puji Si Ratu Chatting, karena hampir setiap saat asyik di kamar sendiri, tertawa-tawa sambil menekan-nekan tombol ponselnya. Mba Wahyu Si Ratu Make-up dan Shopping. Izzah Si Putri Tidur, dan aku... Si Kutu Komputer. Sementara kami juga menjuluki Mba Uli sebagai “Juru Masak”. Setiap hari Mba Uli selalu menyajikan masakan-masakan yang TOP BANGET! Kalau Mba Uli buka warung... pasti laris.
Sempat juga terpikir oleh kita untuk membuat warung nasi goreng dan gado-gado. Mba Uli yang masak, Mba Wahyu bagian potong-memotong bahan, aku tukang cuci piringnya, Izzah yang membungkus dan mengantarkan pesanan, dan Puji yang paling enak... jadi kasir. Tapi angan-angan itu sepertinya tak mungkin menjadi nyata. Mba Uli sudah pindah jauh.
Mba Uli....
Aku sangat mengagumimu. Engkaulah salah satu sosok Kartini masa kini. Engkau tak pernah terlihat lelah meskipun setumpuk pekerjaan senantiasa membebanimu. Sejak pagi hingga senja menjelang, kau habiskan waktumu di balik perusahaan tekstil itu. tak pernah ada keluh kesal, hanya ada senyuman penuh ketulusan yang mengembang di sudut bibirmu. Semuda ini, Engkau telah bisa menopang perekonomian keluargamu. Sementara aku, aku terkadang masih mengabaikan amanah orang tua untuk serius menuntut ilmu di sini. Aku belum juga mau memahami, betapa sulitnya mencari uang.
Mba Uli...
Seandainya boleh aku berkata jujur, aku tidak ingin Mba Uli pergi. Rumah ini terasa ada yang kurang. Hampa. Tidak ada lagi deretan masakan lezat di meja makan. Tidak ada lagi sosok kakak yang selalu memberi nasihat-nasihat bijak dan menyejukkan hati. Tidak ada lagi yang suka kentut sembarangan.
Seandainya boleh, aku ingin menitihkan buliran air mata ketika mendengar bahwa Mba Uli akan dipindahkan ke cabang perusahaan yang lain. Aku ingin menahan ketika Mba Uli mulai beranjak pergi. Ingin aku katakan, ”Jangan pergi, kakakku.”
SEANDAINYA AKU ADA DI HATIMU....
ITULAH SEBAB BAHAGIA DAN KECERIAANKU
RUANG DI HATIMU BEGITU BANYAK:
RUANG TERMULIA UNTUK TUHAN YANG TAK TERGANTIKAN
RUANG TERHORMAT UNTUK AYAH DAN IBU
RUANG TERHANGAT UNTUK SAUDARA DAN KELUARGAMU...
DAN
RUANG TERINDAH UNTUK KEKASIHMU
MAKA LETAKKANLAH AKU
DI RUANG YANG PALING SEDERHANA
AGAR JARANG DIINGAT
TAPI TAK AKAN PERNAH KAU LUPAKAN
AKU....
SI KUTU KOMPUTER
Tapi aku tidak melakukan apa yang ingin aku lakukan. Dengan lapang hati aku mengikhlaskan Mba Uli untuk pergi. Aku tahu, ini semua demi yang terbaik, demi masa depan Mba Uli sendiri. Sebagai sebuah keluarga, sudah seharusnya saling mendukung anggota keluarga yang lain untuk meju dan berprestasi.
Surat ini... aku tulis di bawah terang rembulan, ungkapan kerinduan terdalam kepadamu, Mba Uli. Meski surat ini tak tak bisa terbaca olehmu, meski surat ini tak akan pernah tersampaikan kepada alamat yang aku inginkan, biarlah hanya aku dan Tuhan Penguasa malam yang tahu.
Surat yang aku tulis pada lembaran malam dengan tinta cahaya rembulan ini mengandung segenggam doa yang aku panjatkan kepada Sang Maha Kuasa, semoga Mba Uli mendapatkan kebahagiaan di tempat yang baru. Semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi. Dengan dua titik air mata, aku ucapkan, ”terima kasih untuk segalanya”.
____SELESAI___
10 September 2009,
Di bawah terang bulan di langit bertabur bintang kota Semarang
(momoy_dandelion)
Mba Uli….
Masih ingatkah Engkau akan bintang dan bulan ini? Hampir setiap malam aku, Mba Uli, Mba Wahyu, Puji, dan Izzah memandangi kedua perhiasan langit malam itu sembari memperbincangkan tentang masa depan, di balkon rumah kost yang sudah kita anggap sebagai rumah sendiri.
”Aku ingin sekali menikah muda. Tanggal 12 Desember 2012, tepat di usia 22 tahun. Keren!” celotehku suatu malam sembari menyeruput secangkir teh hangat yang sedari tadi aku pegang.
”Wah... mau menikah saat kiamat, ya? Di internet sudah banyak dibahas kalau pada tahun 2012 akan kiamat. Pasti akan menjadi pesta yang paling seru, ya.” tukas Puji. Semuanya tertawa mendengar kicauan Si Ratu Chatting, kecuali aku.
”Hey, dasar otak dukun!” seruku seraya menjitak kepalanya. ”Itu namanya syirik.” lanjutku.
”Kalau aku sih target menikah 27 tahun. Pernikahan itu masalah gampang. Yang penting... mapan!” ujar Izzah dengan mantapnya.
”Setuju!” seru Mba Uli yang sedari tadi diam. Kami langsung mengalihkan pandangan kepada Mba Uli. Jarang-jarang Mba Uli mau berkomentar.
”Menikah itu kan tidak cukup hanya makan cinta. Materi juga perlu untuk modal.” sahut Mba Wahyu.
”Hmm... pernikahan itu kan juga bisa membukakan pintu rizki Tuhan. Sudah dijanjikan, Tuhan yang akan mencukupkan kebutuhan kita. Lagipula... lebih asyik menikah muda, bisa merasakan pacaran setelah pernikahan lebih lama. He he he.”
Akhirnya perbincangan malam itu malah menjadi keributan. Kita saling melempar kata-kata dan ejekan. Tapi perdebatan itu segera berhenti, setelah terdengar suara kentut....
”Mba Uli...!” teriak kami, seolah sudah dapat memastikan kalau Mba Uli yang kentut.
Dengan senyum terkembang Mba Uli langsung lari ke kamar sebelum kami sempat mengejar. Mba Uli selalu saja seperti ini. Mba... lain kali jangan suka makan ubi terlalu banyak.
Mba Uli....
Bulan masih setia bersinar dan bintang pun tetap bertahan mendampingi. Meski hanya beberapa bulan saja kebersamaan kita, tapi aku telah menganggap Mba Uli sebagai kakak, teman, bahkan ibu yang sangat pandai memasak di rumah kedua ini. Andai saja Mba Uli tidak pergi. Andai Mba uli bisa tetap bersama kami di sini....
Mba Uli....
Tempat ini masih sulit air seperti ketika dulu Mba Uli masih di sini. Kami juga masih jarang mandi. (He he he... tapi kita tetap wangi... kan mandinya pakai minyak wangi)
Ingat tentang kekeringan, tidak ada air di bak mandi... aku jadi teringat kejadian-kejadian berkesan di sini.
Yaitu saat Izzah terperosok ke dalam tandon penampungan air ketika kami ingin mengeceknya, apakah ada airnya atau tidak. Aku sangat panik saat itu. dengan sekuat tenaga aku berusaha mengangkatnya sebelum jatuh ke bawah. Tapi dia malah menyuruhku untuk melepaskannya saja. Ternyata tandonnya dangkal. Aku kira sangat dalam. Huh! Membuat spot jantung saja!
Kemudian ketika musim angin tiba. Pakaian yang kita jemur di balkon atas selalu ada yang terbang ke genteng rumah tetangga. Kalau para nelayan memancing ikan di laut dan sungai, kita justru selalu memancing pakaian di atap rumah tetangga. Empat pasang kaos kaki milikku tak terselamatkan, dan aku harus mengikhlaskannya.
Tak bisa aku lupa juga, keisengan kita di balkon atas. Setiap kali musim rambutan tiba, kita selalu bisa memanen rambutan meski tidak memiliki pohonnya. Dengan asyiknya kita memakan buah rambutan tetangga yang pohonnya miring ke arah balkon kita.
Mba Uli....
Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, karakter dan hobi juga sangat jauh berbeda, tapi dengan cepat kita dapat saling mengakrabkan diri selayaknya sebuah keluarga. Ibu kost yang tidak pernah peduli dan air yang sangat sulit mengalir setiap hari tak pernah melunturkan senyuman dan tawa riang di rumah ini. Susah senang kita jalani bersama di sini.
Oh, iya. Aku masih ingat julukkan yang Mba Uli berikan kepada kami. Puji Si Ratu Chatting, karena hampir setiap saat asyik di kamar sendiri, tertawa-tawa sambil menekan-nekan tombol ponselnya. Mba Wahyu Si Ratu Make-up dan Shopping. Izzah Si Putri Tidur, dan aku... Si Kutu Komputer. Sementara kami juga menjuluki Mba Uli sebagai “Juru Masak”. Setiap hari Mba Uli selalu menyajikan masakan-masakan yang TOP BANGET! Kalau Mba Uli buka warung... pasti laris.
Sempat juga terpikir oleh kita untuk membuat warung nasi goreng dan gado-gado. Mba Uli yang masak, Mba Wahyu bagian potong-memotong bahan, aku tukang cuci piringnya, Izzah yang membungkus dan mengantarkan pesanan, dan Puji yang paling enak... jadi kasir. Tapi angan-angan itu sepertinya tak mungkin menjadi nyata. Mba Uli sudah pindah jauh.
Mba Uli....
Aku sangat mengagumimu. Engkaulah salah satu sosok Kartini masa kini. Engkau tak pernah terlihat lelah meskipun setumpuk pekerjaan senantiasa membebanimu. Sejak pagi hingga senja menjelang, kau habiskan waktumu di balik perusahaan tekstil itu. tak pernah ada keluh kesal, hanya ada senyuman penuh ketulusan yang mengembang di sudut bibirmu. Semuda ini, Engkau telah bisa menopang perekonomian keluargamu. Sementara aku, aku terkadang masih mengabaikan amanah orang tua untuk serius menuntut ilmu di sini. Aku belum juga mau memahami, betapa sulitnya mencari uang.
Mba Uli...
Seandainya boleh aku berkata jujur, aku tidak ingin Mba Uli pergi. Rumah ini terasa ada yang kurang. Hampa. Tidak ada lagi deretan masakan lezat di meja makan. Tidak ada lagi sosok kakak yang selalu memberi nasihat-nasihat bijak dan menyejukkan hati. Tidak ada lagi yang suka kentut sembarangan.
Seandainya boleh, aku ingin menitihkan buliran air mata ketika mendengar bahwa Mba Uli akan dipindahkan ke cabang perusahaan yang lain. Aku ingin menahan ketika Mba Uli mulai beranjak pergi. Ingin aku katakan, ”Jangan pergi, kakakku.”
SEANDAINYA AKU ADA DI HATIMU....
ITULAH SEBAB BAHAGIA DAN KECERIAANKU
RUANG DI HATIMU BEGITU BANYAK:
RUANG TERMULIA UNTUK TUHAN YANG TAK TERGANTIKAN
RUANG TERHORMAT UNTUK AYAH DAN IBU
RUANG TERHANGAT UNTUK SAUDARA DAN KELUARGAMU...
DAN
RUANG TERINDAH UNTUK KEKASIHMU
MAKA LETAKKANLAH AKU
DI RUANG YANG PALING SEDERHANA
AGAR JARANG DIINGAT
TAPI TAK AKAN PERNAH KAU LUPAKAN
AKU....
SI KUTU KOMPUTER
Tapi aku tidak melakukan apa yang ingin aku lakukan. Dengan lapang hati aku mengikhlaskan Mba Uli untuk pergi. Aku tahu, ini semua demi yang terbaik, demi masa depan Mba Uli sendiri. Sebagai sebuah keluarga, sudah seharusnya saling mendukung anggota keluarga yang lain untuk meju dan berprestasi.
Surat ini... aku tulis di bawah terang rembulan, ungkapan kerinduan terdalam kepadamu, Mba Uli. Meski surat ini tak tak bisa terbaca olehmu, meski surat ini tak akan pernah tersampaikan kepada alamat yang aku inginkan, biarlah hanya aku dan Tuhan Penguasa malam yang tahu.
Surat yang aku tulis pada lembaran malam dengan tinta cahaya rembulan ini mengandung segenggam doa yang aku panjatkan kepada Sang Maha Kuasa, semoga Mba Uli mendapatkan kebahagiaan di tempat yang baru. Semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi. Dengan dua titik air mata, aku ucapkan, ”terima kasih untuk segalanya”.
____SELESAI___
10 September 2009,
Di bawah terang bulan di langit bertabur bintang kota Semarang
(momoy_dandelion)
UNDER THE TREES
Bagian IV
SEBUAH STATUS
Sore telah menjelang ketika anak-anak DKK masih menyibukkan diri di basecamp, ruang kerja DKK yang terletak di belakang auditorium Fakultas Ekonomi. Sebuah ruangan yang dapat dikatakan cukup besar dan mewah dengan peralatan yang memadahi untuk mendukung kerja mereka.
Sebenarnya anggota DKK bukan hanya lima orang. Total seluruh anggota ada 20 orang. Tapi karena kelima orang itu merupakan pengurus inti yang sering terlibat langsung dalam menghukum orang yang bersalah, sehingga mereka dikenal sebagai DKK.
Orang-orang yang awam kebanyakan mengira bahwa pekerjaan DKK adalah mencari perkara dan menghukum orang-orang yang tak bersalah atau setidaknya salah menurut mereka, tapi tidak salah menurut persepsi kebanyakan orang. DKK memiliki citra jelek di sana. Banyak orang-orang yang telah dihukum dengan cara yang tidak wajar oleh mereka. Ada yang pernah digantung di atas pohon, ada yang diceburkan ke dalam kolam lumpur, ada yang pernah dibakar tasnya, dipotong rambutnya, bahkan ada yang pernah dipendam setengah badan di kolam pasir yang ada di taman selama setengah hari penuh. Tak ada alasan yang jelas atas kesalahan mereka. Apapun yang ditetapkan DKK, itulah hukum. Pihak universitas tak bisa turun tangan, karena DKK merupakan organisasi yang berdiri sendiri. Selain itu, para petinggi DKK merupakan anak dari para penyumbang dana yang sangat berpengaruh, sehingga semakin memantapkan keberadaan DKK.
Apa yang tampak di permukaan tak selalu benar. Begitulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kinerja DKK. Meskipun mereka memiliki imej jelek di mata para mahasiswa, tapi mereka tak pernah berhenti untuk terus bekerja mewujudkan keamanan kampus. Hanya saja cara kerja mereka yang sering memakai kekerasan dan tidak mau menjelaskan alasan vonis bersalah mereka. Itulah yang menyebabkan banyak orang salah paham dan banyak yang membenci mereka.
Banyak kasus yang telah ditangani DKK yang tidak sepopuler kasus-kasus penghukuman tanpa alasan yang jelas. Kerja terbesar yang pernah mereka lakukan adalah memutus rantai perdagangan narkoba di kalangan mahasiswa. Setiap minggu, biasanya mereka melakukan razia mendadak terhadap para mahasiswa. Mahasiswa yang terbukti membawa barang terlarang, akan segera diproses lebih lanjut oleh pihak universitas.
Selain itu, mereka juga sering merampas minuman keras dari tangan para mahasiswa yang nekad membawa minuman itu ke kampus. Tak jarang ada perkelahian. Tapi yang benar, tetap DKK.
Anggota DKK terbagi menjadi empat kelompok dalam melaksanakan tugasnya, yaitu kelompok observasi, identifikasi,analisis, dan eksekusi. Masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Kelompok observasi bertugas mengamati setiap gerak-gerik mahasiswa. Ketika ada tanda-tanda yang mencurigakan, data orang tersebut akan dilaporkan kepada kelompok identifikasi yang akan membuntuti tersangka hingga menemukan bukti kesalahannya. Bukti yang didapatkan akan diproses lagi oleh tim analisis, yang juga akan mencari bukti lain untuk lebih menguatkan, kemudian memutuskan bersalah atau tidaknya tersangka. Jika terbukti bersalah, kelompok eksekusi akan memvonisnya denganhukuman yang dianggap setimpal dan diharapkan memberikan efek jera kepada pelakunya.
Kelompok eksekusi adalah Candra, pandu, sambu, Restu, dan Oris. Kelimanya anak pengusaha kaya yang selalu terlihat eksklusif di mata teman-temannya. Banyak yang menganggap mereka bertindak seenaknya karena kedudukan orang tua mereka sebagai penyumbang dana di universitas itu. Eksekusi bagi yang melihatnya adalah sebuah mainan untuk mereka, bukan untuk kepentingan kampus.
Meskipun DKK ada 20 orang, namun sore itu hanya ada lima orang dari kelompok eksekusi. Tidak ada tugas yang mereka kerjakan, selain bersantai seperti yang biasa mereka lakukan. Ada banyak fasilitas yang dapat mereka nikmati di dana. Kulkas dua pintu selalu dipenuhi makanan. Tempat tidur yang empuk siap memanjakan mereka. Televisi layar datar, laptop, dan PS siap menghibur mereka setiap saat. Segala fasilitas yang ada murni dibiayai oleh orangtua mereka berlima.
Sambu dan Restu sedang asyik bermain PS. Oris dan Candra duduk santai di sofa sambil menonton TV. Sementara Pandu hanya duduk diam seperti yang biasa ia lakukan.
“Boy, makanlah. Sejak siang kau belum makan.” ujar Candra kepada adiknya.
”Aku belum lapar. Nanti saja saat makan malam bersama di rumah.”
”Malam ini ayah dan ibu tidak akan pulang. Mereka masih ada di Singapura.”
Pandu terdiam. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi. Telepon dari ibunya.
”Ibu.” katanya dengan nada lirih.
”Nanti malam ayah dan ibu tidak bisa makan malam bersama kalian. Masih ada urusan yang harus diselesaikan ayahmu di Singapura. Jangan sampai telat makan, ya. Patuhlah kepada kakakmu.” nasihat ibu.
Pandu kembali terdiam. ”Ibu, aku sudah besar. Tidak boleh terus mengandalkan kakakku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” katanya dalam hati.
”Pandu, kau mendengarkan ibu?”
”Eh, iya. Aku akan mengingat nasihat ibu.” balasnya.
Beberapa detik kemudian sambungan telepon terputus. Dari arah pintu, muncullah delapan orang tamu tak diundang yang langsung membuat darah Oris mendidih ketika melihat kehadiran mereka. Kedelapan orang itu tersenyum sinis kepada kelima DKK. Oris dan teman-temannya langsung bangkit untuk menyambut kedatangan tamu tak diundang itu. Oris berdiri di barisan terdepan, berhadapan langsung dengan ketua rombongan, Ferdian. Ia melirik ke samping Ferdian. Ada seorang gadis cantik yang sedang menundukkan kepalanya, Meka.
“Oris, kau masih hidup?” ejek Ferdian dengan senyuman mengejeknya. “Aku kira kau akan bunuh diri setelah kehilangan harga diri dan dicampakan Meka.” tambahnya. Ia sengaja menggandeng mesra Meka untuk lebih membuat Oris emosi.
Dengan perasaan marah meledak-ledak di dada, Oris memaksakan untuk tersenyum. “Aku telah menemukan harga diriku kembali. Ternyata tidak hilang, hanya terselip di antara buku-buku pelajaran.”
”Kau sudah bisa bercanda sekarang?” guman Ferdian.
”Pergilah dari sini. Sebentar lagi kantor ini tutup. Jika ingin mengajukan berkas pengaduan, bisa datang lagi kapan-kapan.”
Ferdian menatap keempat orang di belakang Oris. ”Aku salut kalian masih bisa bertahan. Tapi sayang, kalian tetap saja pecundang di mata orang-orang.”
”Bukankah kau yang pecundang? Dendam terhadap kami, tapi memakai tangan orang lain untuk membalaskannya.” sahut Candra.
Ferdian menoleh ke arah Candra. ”Oh, Si Putih sudah bisa bicara? Sepertinya rasa sedih terhadap kematian kekasih tercintamu sudah reda.”
”Brengsek!” maki Candra seraya melayangkan satu bogem mentah di ujung bibir Ferdian.
Suasana memanas. Teman-teman Ferdian hampir maju membalas, namun dicegah oleh Ferdian. Ferdian tersenyum. Dengan ujung jempolnya, ia mengusap darah yang keluar di bibirnya. Ia melihat Candra yang masih tampak emosi.
“Kalian semua memang sangat menyedihkan. Kalian tak lebih dari lumpur kotor yang sangat menjijikan.” ejek Ferdian.
Candra hampir maju, tapi Oris mencegahnya.
“Kenapa? Pukullah kalau kau mau. Bukankah biasanya kau selalu di depan untuk membela orang yang belum jelas statusnya sebagai adikmu?” pancing Ferdian.
”Sialan!” seru Candra.
Perkelahian tak bisa terhindarkan. Namun Pandu tak ikut membantu teman-temannya menghadapi tamu pengacau itu. Ia tetap berdiri mematung. Setiap ada yang akan menghajarnya, langsung ditendang oleh Candra. Setiap kali bertemu Ferdian, ia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah dia memang benar seorang anak yang terlahir dari hasil hubungan gelap yang sering dikatakan Ferdian. Ayahnya orang Inggris. Seharusnya ia memiliki kulit putih seperti ayahnya. Tapi kulitnya sawo matang, tak seperti kakaknya. Iapun tak menemukan kemiripan dirinya dengan kakaknya.
”Pandu! Apa yang sedang kau lakukan?” tegur Sambu seraya terus beradu pukul dengan lawannya.
”Tentu saja sedang memikirkan siapa sebenarnya ayahnya.” ledek Ferdian.
”Tutup mulutmu! Dia adikku dan selamanya adalah adikku.” bentak Candra yang tidak rela Ferdian mengejek adiknya. Dengan membabi buta, ia mengadu tinju dengan Ferdian.
”Kau hanya tidak bisa menerima kalau nantinya fakta menunjukkan kalau dia bukan adikmu. Mana ada dua saudara yang sangat berbeda.” ujar Ferdian.
”Keberadaannya sebagai adikku adalah fakta. Tidak ada yang bisa merubah takdir itu.”
Pandu terus mendengar perdebatan dalam perkelahian itu. Adu pukul masih berlangsung. Ia tetap diam. Ucapan Ferdian masih terpikir olehnya. Dengan gontai, ia berjalan meninggalkan arena pertarungan. Candra sempat melihat adiknya pergi. Rasa marahnya terhadap Ferdian semakin membuncah. Dengan keras ia membanting tubuh Ferdian, kemudian memukulnya berkali-kali hingga Ferdian terkapar tak berdaya.
Candra mengangkat kerah leher Ferdian, “Kenapa kau begitu suka menggangu orang!” bentaknya. “Belum puaskah kau merendahkan kami? Apa maumu sebenarnya!?” teriaknya dengan sorotan mata penuh emosi. Kerah baju Ferdian ia remas dengan kuatnya.
Dalam keadaan babak belur, Ferdian masih bisa tersenyum. “Mauku? Aku ingin kau benar-benar hancur seperti apa yang telah kau lakukan padaku. Kau telah merebut Safar dariku dan karena kau, Safar meninggal!” kata Ferdian dengan tatapan angkuh. ”Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang!” serunya seraya menepis tangan Candra dari lehernya.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia bangkit, mengajak teman-temannya mengakhiri perkelahian dan pergi meninggalkan ruang kerja DKK. Candra terpaku di tempatnya. Ia sama sekali tak menghalangi Ferdian pergi.
Candra, Sambu, Restu, dan Oris tak luput dari pukulan. Muka mereka lebam-lebam. Tubuh mereka menampakkan bagian-bagian yang membiru. Dengan napas masih terengah-engah, mereka merebahkan diri di sofa. Sambu mengambilkan minuman dari kulkas untuk mereka.
”Huh! Seru juga permainan hari ini. Tapi wajahku tidak tampan lagi sekarang.” ujar Restu sembari melihat wajahnya yang biru-biru di cermin. Dengan telaten ia merapikan rambutnya yang acak-acakan.
”Seperti banci saja!” komentar Oris.
”Orang jelek dilarang komentar!” sergah Restu.
Oris hampir menonjok Restu jika tidak ditangkis Candra.
*****
Pandu duduk menunduk. Tepat di hadapannya ada Candra yang terus memandanginya. Suasana hening. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan tepat pukul sebelas malam. Begitu heningnya suasana hingga bunyi jarum jam terdengar begitu jelas.
”Apa kau akan terus seperti ini?” tanya Candra. Tak ada respon dari Pandu. ”Hanya mendengar gurauan seperti ini saja kau sudah terpuruk.” lanjutnya. Tetap tak ada tanda-tanda Pandu akan bersuara. ”Apa kekuranganku hingga kau meragukan aku sebagai kakakmu?”
”Seharusnya kau yang meragukanku. Aku tak memiliki kepantasan untuk menjadi adikmu.” lirih Pandu.
”Sekarang balikkan pertanyaan itu untukku. Apa aku pantas menjadi kakakmu? Kau begitu jenius. Kau dua tahun lebih muda dariku, tapi sudah berada di tingkat yang sama denganku. Bahkan nilaimu lebih baik dariku. Mungkin justru aku anak angkat itu. Apa kau juga berpikiran sama?”
”Tidak.”
”Terserah apa kata orang tentang kita. Kau tak perlu peduli. Kalau kau sakit, aku akan merasa lebih sakit.”
”Maaf.”
”Kelak jika ada orang yang bertanya tentang statusmu, katakan dengan lantang bahwa kau adalah Pandu Sebastian, adik Candra Sebastian, putra kedua keluarga Sebastian. Aku tidak mau mendengar alasan apapun darimu untuk meragukan statusmu. Termasuk warna kulitmu yang selalu membuatku iri.” tegas Candra.
Pandu tersenyum, ”Seharusnya aku yang iri pada kulit putihmu yang menawan.”
”Siapa bilang menawan? Aku bahkan sudah berkali-kali pergi ke pantai hanya untuk membuat kulitku semanis dirimu. Apa kita bertukar kulit saja?”
Pandu kembali tersenyum mendengar kekonyolan kakaknya. Dia sosok kakak yang selalu membelanya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri, tak akan mengungkit-ungkit statusnya. Walau apapun yang terjadi, Candra akan tetap menjadi kakaknya.
*****
SEBUAH STATUS
Sore telah menjelang ketika anak-anak DKK masih menyibukkan diri di basecamp, ruang kerja DKK yang terletak di belakang auditorium Fakultas Ekonomi. Sebuah ruangan yang dapat dikatakan cukup besar dan mewah dengan peralatan yang memadahi untuk mendukung kerja mereka.
Sebenarnya anggota DKK bukan hanya lima orang. Total seluruh anggota ada 20 orang. Tapi karena kelima orang itu merupakan pengurus inti yang sering terlibat langsung dalam menghukum orang yang bersalah, sehingga mereka dikenal sebagai DKK.
Orang-orang yang awam kebanyakan mengira bahwa pekerjaan DKK adalah mencari perkara dan menghukum orang-orang yang tak bersalah atau setidaknya salah menurut mereka, tapi tidak salah menurut persepsi kebanyakan orang. DKK memiliki citra jelek di sana. Banyak orang-orang yang telah dihukum dengan cara yang tidak wajar oleh mereka. Ada yang pernah digantung di atas pohon, ada yang diceburkan ke dalam kolam lumpur, ada yang pernah dibakar tasnya, dipotong rambutnya, bahkan ada yang pernah dipendam setengah badan di kolam pasir yang ada di taman selama setengah hari penuh. Tak ada alasan yang jelas atas kesalahan mereka. Apapun yang ditetapkan DKK, itulah hukum. Pihak universitas tak bisa turun tangan, karena DKK merupakan organisasi yang berdiri sendiri. Selain itu, para petinggi DKK merupakan anak dari para penyumbang dana yang sangat berpengaruh, sehingga semakin memantapkan keberadaan DKK.
Apa yang tampak di permukaan tak selalu benar. Begitulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan kinerja DKK. Meskipun mereka memiliki imej jelek di mata para mahasiswa, tapi mereka tak pernah berhenti untuk terus bekerja mewujudkan keamanan kampus. Hanya saja cara kerja mereka yang sering memakai kekerasan dan tidak mau menjelaskan alasan vonis bersalah mereka. Itulah yang menyebabkan banyak orang salah paham dan banyak yang membenci mereka.
Banyak kasus yang telah ditangani DKK yang tidak sepopuler kasus-kasus penghukuman tanpa alasan yang jelas. Kerja terbesar yang pernah mereka lakukan adalah memutus rantai perdagangan narkoba di kalangan mahasiswa. Setiap minggu, biasanya mereka melakukan razia mendadak terhadap para mahasiswa. Mahasiswa yang terbukti membawa barang terlarang, akan segera diproses lebih lanjut oleh pihak universitas.
Selain itu, mereka juga sering merampas minuman keras dari tangan para mahasiswa yang nekad membawa minuman itu ke kampus. Tak jarang ada perkelahian. Tapi yang benar, tetap DKK.
Anggota DKK terbagi menjadi empat kelompok dalam melaksanakan tugasnya, yaitu kelompok observasi, identifikasi,analisis, dan eksekusi. Masing-masing kelompok terdiri dari lima orang. Kelompok observasi bertugas mengamati setiap gerak-gerik mahasiswa. Ketika ada tanda-tanda yang mencurigakan, data orang tersebut akan dilaporkan kepada kelompok identifikasi yang akan membuntuti tersangka hingga menemukan bukti kesalahannya. Bukti yang didapatkan akan diproses lagi oleh tim analisis, yang juga akan mencari bukti lain untuk lebih menguatkan, kemudian memutuskan bersalah atau tidaknya tersangka. Jika terbukti bersalah, kelompok eksekusi akan memvonisnya denganhukuman yang dianggap setimpal dan diharapkan memberikan efek jera kepada pelakunya.
Kelompok eksekusi adalah Candra, pandu, sambu, Restu, dan Oris. Kelimanya anak pengusaha kaya yang selalu terlihat eksklusif di mata teman-temannya. Banyak yang menganggap mereka bertindak seenaknya karena kedudukan orang tua mereka sebagai penyumbang dana di universitas itu. Eksekusi bagi yang melihatnya adalah sebuah mainan untuk mereka, bukan untuk kepentingan kampus.
Meskipun DKK ada 20 orang, namun sore itu hanya ada lima orang dari kelompok eksekusi. Tidak ada tugas yang mereka kerjakan, selain bersantai seperti yang biasa mereka lakukan. Ada banyak fasilitas yang dapat mereka nikmati di dana. Kulkas dua pintu selalu dipenuhi makanan. Tempat tidur yang empuk siap memanjakan mereka. Televisi layar datar, laptop, dan PS siap menghibur mereka setiap saat. Segala fasilitas yang ada murni dibiayai oleh orangtua mereka berlima.
Sambu dan Restu sedang asyik bermain PS. Oris dan Candra duduk santai di sofa sambil menonton TV. Sementara Pandu hanya duduk diam seperti yang biasa ia lakukan.
“Boy, makanlah. Sejak siang kau belum makan.” ujar Candra kepada adiknya.
”Aku belum lapar. Nanti saja saat makan malam bersama di rumah.”
”Malam ini ayah dan ibu tidak akan pulang. Mereka masih ada di Singapura.”
Pandu terdiam. Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi. Telepon dari ibunya.
”Ibu.” katanya dengan nada lirih.
”Nanti malam ayah dan ibu tidak bisa makan malam bersama kalian. Masih ada urusan yang harus diselesaikan ayahmu di Singapura. Jangan sampai telat makan, ya. Patuhlah kepada kakakmu.” nasihat ibu.
Pandu kembali terdiam. ”Ibu, aku sudah besar. Tidak boleh terus mengandalkan kakakku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” katanya dalam hati.
”Pandu, kau mendengarkan ibu?”
”Eh, iya. Aku akan mengingat nasihat ibu.” balasnya.
Beberapa detik kemudian sambungan telepon terputus. Dari arah pintu, muncullah delapan orang tamu tak diundang yang langsung membuat darah Oris mendidih ketika melihat kehadiran mereka. Kedelapan orang itu tersenyum sinis kepada kelima DKK. Oris dan teman-temannya langsung bangkit untuk menyambut kedatangan tamu tak diundang itu. Oris berdiri di barisan terdepan, berhadapan langsung dengan ketua rombongan, Ferdian. Ia melirik ke samping Ferdian. Ada seorang gadis cantik yang sedang menundukkan kepalanya, Meka.
“Oris, kau masih hidup?” ejek Ferdian dengan senyuman mengejeknya. “Aku kira kau akan bunuh diri setelah kehilangan harga diri dan dicampakan Meka.” tambahnya. Ia sengaja menggandeng mesra Meka untuk lebih membuat Oris emosi.
Dengan perasaan marah meledak-ledak di dada, Oris memaksakan untuk tersenyum. “Aku telah menemukan harga diriku kembali. Ternyata tidak hilang, hanya terselip di antara buku-buku pelajaran.”
”Kau sudah bisa bercanda sekarang?” guman Ferdian.
”Pergilah dari sini. Sebentar lagi kantor ini tutup. Jika ingin mengajukan berkas pengaduan, bisa datang lagi kapan-kapan.”
Ferdian menatap keempat orang di belakang Oris. ”Aku salut kalian masih bisa bertahan. Tapi sayang, kalian tetap saja pecundang di mata orang-orang.”
”Bukankah kau yang pecundang? Dendam terhadap kami, tapi memakai tangan orang lain untuk membalaskannya.” sahut Candra.
Ferdian menoleh ke arah Candra. ”Oh, Si Putih sudah bisa bicara? Sepertinya rasa sedih terhadap kematian kekasih tercintamu sudah reda.”
”Brengsek!” maki Candra seraya melayangkan satu bogem mentah di ujung bibir Ferdian.
Suasana memanas. Teman-teman Ferdian hampir maju membalas, namun dicegah oleh Ferdian. Ferdian tersenyum. Dengan ujung jempolnya, ia mengusap darah yang keluar di bibirnya. Ia melihat Candra yang masih tampak emosi.
“Kalian semua memang sangat menyedihkan. Kalian tak lebih dari lumpur kotor yang sangat menjijikan.” ejek Ferdian.
Candra hampir maju, tapi Oris mencegahnya.
“Kenapa? Pukullah kalau kau mau. Bukankah biasanya kau selalu di depan untuk membela orang yang belum jelas statusnya sebagai adikmu?” pancing Ferdian.
”Sialan!” seru Candra.
Perkelahian tak bisa terhindarkan. Namun Pandu tak ikut membantu teman-temannya menghadapi tamu pengacau itu. Ia tetap berdiri mematung. Setiap ada yang akan menghajarnya, langsung ditendang oleh Candra. Setiap kali bertemu Ferdian, ia selalu mempertanyakan tentang dirinya, apakah dia memang benar seorang anak yang terlahir dari hasil hubungan gelap yang sering dikatakan Ferdian. Ayahnya orang Inggris. Seharusnya ia memiliki kulit putih seperti ayahnya. Tapi kulitnya sawo matang, tak seperti kakaknya. Iapun tak menemukan kemiripan dirinya dengan kakaknya.
”Pandu! Apa yang sedang kau lakukan?” tegur Sambu seraya terus beradu pukul dengan lawannya.
”Tentu saja sedang memikirkan siapa sebenarnya ayahnya.” ledek Ferdian.
”Tutup mulutmu! Dia adikku dan selamanya adalah adikku.” bentak Candra yang tidak rela Ferdian mengejek adiknya. Dengan membabi buta, ia mengadu tinju dengan Ferdian.
”Kau hanya tidak bisa menerima kalau nantinya fakta menunjukkan kalau dia bukan adikmu. Mana ada dua saudara yang sangat berbeda.” ujar Ferdian.
”Keberadaannya sebagai adikku adalah fakta. Tidak ada yang bisa merubah takdir itu.”
Pandu terus mendengar perdebatan dalam perkelahian itu. Adu pukul masih berlangsung. Ia tetap diam. Ucapan Ferdian masih terpikir olehnya. Dengan gontai, ia berjalan meninggalkan arena pertarungan. Candra sempat melihat adiknya pergi. Rasa marahnya terhadap Ferdian semakin membuncah. Dengan keras ia membanting tubuh Ferdian, kemudian memukulnya berkali-kali hingga Ferdian terkapar tak berdaya.
Candra mengangkat kerah leher Ferdian, “Kenapa kau begitu suka menggangu orang!” bentaknya. “Belum puaskah kau merendahkan kami? Apa maumu sebenarnya!?” teriaknya dengan sorotan mata penuh emosi. Kerah baju Ferdian ia remas dengan kuatnya.
Dalam keadaan babak belur, Ferdian masih bisa tersenyum. “Mauku? Aku ingin kau benar-benar hancur seperti apa yang telah kau lakukan padaku. Kau telah merebut Safar dariku dan karena kau, Safar meninggal!” kata Ferdian dengan tatapan angkuh. ”Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang!” serunya seraya menepis tangan Candra dari lehernya.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia bangkit, mengajak teman-temannya mengakhiri perkelahian dan pergi meninggalkan ruang kerja DKK. Candra terpaku di tempatnya. Ia sama sekali tak menghalangi Ferdian pergi.
Candra, Sambu, Restu, dan Oris tak luput dari pukulan. Muka mereka lebam-lebam. Tubuh mereka menampakkan bagian-bagian yang membiru. Dengan napas masih terengah-engah, mereka merebahkan diri di sofa. Sambu mengambilkan minuman dari kulkas untuk mereka.
”Huh! Seru juga permainan hari ini. Tapi wajahku tidak tampan lagi sekarang.” ujar Restu sembari melihat wajahnya yang biru-biru di cermin. Dengan telaten ia merapikan rambutnya yang acak-acakan.
”Seperti banci saja!” komentar Oris.
”Orang jelek dilarang komentar!” sergah Restu.
Oris hampir menonjok Restu jika tidak ditangkis Candra.
*****
Pandu duduk menunduk. Tepat di hadapannya ada Candra yang terus memandanginya. Suasana hening. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan tepat pukul sebelas malam. Begitu heningnya suasana hingga bunyi jarum jam terdengar begitu jelas.
”Apa kau akan terus seperti ini?” tanya Candra. Tak ada respon dari Pandu. ”Hanya mendengar gurauan seperti ini saja kau sudah terpuruk.” lanjutnya. Tetap tak ada tanda-tanda Pandu akan bersuara. ”Apa kekuranganku hingga kau meragukan aku sebagai kakakmu?”
”Seharusnya kau yang meragukanku. Aku tak memiliki kepantasan untuk menjadi adikmu.” lirih Pandu.
”Sekarang balikkan pertanyaan itu untukku. Apa aku pantas menjadi kakakmu? Kau begitu jenius. Kau dua tahun lebih muda dariku, tapi sudah berada di tingkat yang sama denganku. Bahkan nilaimu lebih baik dariku. Mungkin justru aku anak angkat itu. Apa kau juga berpikiran sama?”
”Tidak.”
”Terserah apa kata orang tentang kita. Kau tak perlu peduli. Kalau kau sakit, aku akan merasa lebih sakit.”
”Maaf.”
”Kelak jika ada orang yang bertanya tentang statusmu, katakan dengan lantang bahwa kau adalah Pandu Sebastian, adik Candra Sebastian, putra kedua keluarga Sebastian. Aku tidak mau mendengar alasan apapun darimu untuk meragukan statusmu. Termasuk warna kulitmu yang selalu membuatku iri.” tegas Candra.
Pandu tersenyum, ”Seharusnya aku yang iri pada kulit putihmu yang menawan.”
”Siapa bilang menawan? Aku bahkan sudah berkali-kali pergi ke pantai hanya untuk membuat kulitku semanis dirimu. Apa kita bertukar kulit saja?”
Pandu kembali tersenyum mendengar kekonyolan kakaknya. Dia sosok kakak yang selalu membelanya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri, tak akan mengungkit-ungkit statusnya. Walau apapun yang terjadi, Candra akan tetap menjadi kakaknya.
*****
UNDER THE TREES
Bagian III
PANGERAN
DI TENGAH GUYURAN HUJAN
Pagi menjelang. Inilah hari baru yang ditunggu-tunggu Soli. Hari pertama masuk kampus baru. Kampus yang menurut Yorin menyeramkan dengan keberadaan DKK. Ia tidak sabar melihat, sebenarnya seperti apa DKK, hingga semua orang takut kepada mereka. Universitas Tunas Bangsa. Sebenarnya bukan universitas elit itu yang diinginkan Soli. Bahkan dia sudah merencanakan kepindahannya ke kampus biasa. Tapi ayahnya memberi pilihan yang sulit, boleh pindah asalkan di kampus yang cukup terkenal atau tidak pindah sama sekali. Akhirnya dia menurut dan memilih Universitas Tunas Bangsa sebagai jalan terakhir.
Yorin juga turut andil dalam keputusan Soli. Dia mendesaknya untuk pindah ke sana karena menurutnya masih banyak orang biasa yang kulian di sana, meskipun tetap saja mayoritas adalah anak-anak pengusaha. Selain itu, rasa penasarannya terhadap DKK yang sangat kuat. Berkuliah di tempat yang dikuasai sekelompok orang mungkin akan melahirkan cerita tersendiri. Selama ini ia sudah merasakan rasanya sebagai orang yang dianggap penting di sekolah. Kini gilirannya menjadi bukan siapa-siapa.
Soli menarik napas panjang. Ia mengembangkan senyuman. Di hadapannya kampus megah berdiri kokoh menunjukkan kekuasaannya. Dalam hati ia bertekad untuk meruntuhkan keangkuhan gedung itu.
”Selamat pagi.” sapa Yorin yang tiba-tiba datang dari arah belakang.
”Selamat pagi.” balas Soli.
”Sudah siap?” tanya Yorin seraya merangkul teman kerjanya itu. Soli hanya mengangguk dengan senyuman. Kemudian mereka berjalan beriringan dengan langkah riang.
”Hari pertama kuliah harus diawali dengan kegembiraan.” kata Yorin menyemangati. Soli hanya bisa membalas kata-kata temannya dengan terus tersenyum. Tiba-tiba Yorin berhenti.
”Kenapa?” tanya Soli penasaran.
”Aku melupakan sesuatu.” jawabnya. ”Tunggu sebentar, aku ada urusan!” serunya sambil berlari cepat dengan spontan. Soli sampai tak berkedip melihat tingkah temannya itu. Dia memang selalu ceroboh.
Akhirnya Soli hanya bisa menunggu, karena tak tahu dimana tempat ia akan belajar. Yorin yang tahu. Beberapa mahasiswa terlihat hilir mudik di depannya, saling merasa asyik dengan urusan masing-masing. Dandanan mahasiswinya sangat modis dan cantik ala anak-anak kaum elit. Soli melihat dirinya sendiri dan membandingkan dengan gadis-gadis itu. Sangat jauh. Tapi dia hanya tersenyum. Ia lebih senang dengan penampilannya sekarang. Penampilan sederhana ala kadarnya seperti rakyat jelata.
Beberapa menit tak kunjung melihat kedatangan Yorin, ia mulai bosan. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan sendiri di kampus yang belum ia kenali. Tempat yang ia tuju adalah taman. Tamannya cukup rindang dengan cukup banyak pepohonan. Pohon-pohonnya lumayan bagus untuk dipanjat. Ada pikiran iseng yang menyusup dalam benak untuk Soli untuk menjadikan taman itu sebagai basecamp-nya.
Ketika sedang duduk di bangku taman sambil menikmati kesejukan udara pagi, pada jarak sepuluh meter di depannya ada lima orang tampan yang sedang tertawa riang sambil bercanda. Terus terang dalam hati Soli mengakui mereka semua mempesona. Ada salah satu yang paling membuatnya terpesona, seseorang yang sepertinya telah ia kenal.
”Dug!!!” jantung Soli seakan tersentak. Salah satu dari mereka adalah Pangeran, orang yang terakhir kali ia temui di pesta satu minggu yang lalu.
Ia mencubit pipinya, takut apa yang ia lihat salah. Tapi tetap saja orang itu seperti Pangeran. Ia tersenyum.
”Benarkah aku satu kampus dengan Pangeran itu? Seandainya benar, aku akan mengajaknya memanjat pohon setiap hari.” guman Soli sambil tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberikan tatapan tajam ke arahnya. Tatapan yang dipenuhi kebencian, kemarahan, dan dendam yang menyala-nyala. Senyum Soli berubah getir. Tatapan itu menakutkannya. Kemudian disusul tatapan-tatapan aneh dari yang lain. Sekilas ia lihat Pangeran melihatnya dengan ekspresi heran.
Orang-orang itu berjalan mendekati Soli sambil melemparkan tatapan aneh. Pangeran tetap mematung di tempatnya. Suasana menjadi tegang. Langit di hati Soli berubah muram, seram, dengan petir menyambar-nyambar. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan tak tahu mengapa ia menjadi diperhatikan.
Mereka semakin mendekat, ”Dug!” jantung Soli kembali tersentak. Dengan jelas ia bisa melihat salah satu dari mereka memiliki kucir panjang berwarna biru.
”DKK!” serunya dalam hati. Seluruh pikirannya kacau. Rasanya hari ini akan menjadi hari terburuk baginya. Ia tetap mencoba bersikap tenang meskipun sebenarnya ia sangat gugup dan khawatir. Ia merasa ceroboh karena tidak mengingat-ingat perkataan Yorin tentang DKK kemarin. Walaupun salah paham, DKK tidak mungkin akan melepaskan orang yang dianggap menghina martabat mereka.
”Kenapa kau menertawakan kami?” tanya anak berkucir yang ia tahu bernama Candra itu. Meskipun tampan, tapi tetap saja terlihat menakutkan.
Soli menunduk, ”Seram sekali. Pasti dia sangat marah. Kulit wajahnya yang putih sampai berubah menjadi merah. Seperti kepiting rebus. Ah, tidak. Seperti ikan pari panggang.” Lirihnya.
Candra mendongakkan kepala Soli, seperti mau mencekik leher gadis itu. Soli terperanjat.
”Kau tidak mau menghargai orang lain bicara?” katanya dengan tatapan yang semakin tajam.
”Tolong lepaskan.” pinta Soli. Namun Candra tak mau mendengarkan permintaannya.
”Kenapa kau menertawakan kami? Kenapa kau memandangi kami? Apa menurutmu kami seperti badut?” katanya lagi.
”Aku tidak menertawakan kalian.” kilah Soli. Candra melepaskan tangannya dari leher Soli.
”Apa kau anak baru? Sepertinya aku belum pernah melihatmu di sini?” tanya salah seorang yang memakai syal di leherrnya. Soli menebak dia adalah Restu, orang yang sangat suka menjahili anak baru.
”Oh, anak baru. Sepertinya perlu diberi pelajaran pertama agar dapat beradaptasi dengan kampus kita tercinta.” sahut pria berkacamata yang bernama Sambu.
Mereka semua tersenyum seperti orang yang telah mempecundangi lawan.
“Ikut kami!” pinta Oris seraya menarik tangan Soli dengan kasarnya.
Soli begitu terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Ia berusaha keras untuk melepaskan cengkeraman Oris, namun tak bisa. Oris terlalu kuat dan tampak seperti algojo. Ia melirik ke arah Pangeran, berharap ia mau menolongnya. Tapi Pangeran itu hanya tertunduk, bahkan tak mau melihat perlakuan aneh DKK di hari pertama ia kuliah.
”Dia bukan Pangeran. Seandainya ia pengeran, ia pasti sudah akan menolongku. Pangeran tidak akan membiarkanku menangis.” katanya dalam hati sambil melihat sosok yang mirip Pangeran itu dengan penuh kekecewaan.
Ia tidak bisa melawan. Oris terus menariknya, hingga ia terpaksa harus sedikit berlari untuk mengimbangi langkahnya yang cepat. Ia merasa seperti tersangka yang telah divonis bersalah dan akan segera dibawa untuk di eksekusi. Beberapa orang yang melihat memandanginya sambil berbisik-bisik. Ia tak tahu apa yang dipikirkan mereka semua. Tak ada satupun yang mau menolong atau melakukan sesuatu.
”Soli!” teriak Yorin yang sedang berdiri di tempat terakhir mereka bertemu.
”Yorin, mereka memperlakukanku dengan kasar.” adu Soli.
Mereka terus menyeret Soli ke tempat eksekusi. Berkali-kali Soli meminta agar Oris melepaskan tangannya. Tapi dengan angkuh dan dingin, ia diam, tak merespon permintaan itu. Candra menunjukkan muka bengisnya dalam diam. Sementara Restu dan Sambu tertawa kecil setiap kali memandanginya.
Sesampainya di halaman kampus, tepat di bawah tiang bendera, mereka berhenti. Empat orang itu berlagak seperti orang yang akan mengintrogasinya. Banya orang yang memperhatikan mereka, namun tak ada yang berani mendekat. Pangeran belum juga tampak. Padahal Soli masih berharap dia akan membelanya.
”Kau tahu siapa kami?” tanya Candra.
”Apa kalian Dewan Keamanan Kampus di sini?” Soli balik bertanya. Mereka tersenyum.
”Benar.” Balas Candra. “Kau tahu, apa peraturan-peraturan DKK di kampus ini? Apa kau tahu, kau telah melanggar salah satu aturan itu?” lanjutnya.
”Aku memang sempat mendengar ada larangan untuk memandangi kalian. Tapi aku tidak tahu kalau kalian adalah DKK. Aku minta maaf seandainya aku membuat kalian salah paham.”
”Berani sekali membuat kami salah paham. Kau ingin mempermainkan kami!?” gertak Oris dengan muka masamnya. ”Ambilkan tali!” pintanya.
Restu langsung mengeluarkan gulungan tali dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Oris. Soli berfirasat buruk. Hari ini mungkin akan benar-benar menjadi hari terburuknya.
”Ikat dia di tiang.” pinta Candra.
Soli tersentak. Restu dan Sambu memegangi tangannya, sementara Oris mengikatkan talinya di badan Soli.
”Apa yang kalian lakukan? Apa ini cara kalian menyambut orang baru?” protes Soli sembari menggeliat-geliatkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Tapi Oris mengikatnya dengan kencang.
”Benar sekali. Aku sangat suka memberikan penyambutan spesial kepada setiap orang baru.” balas Restu dengan senyuman yang membuat Soli merasa kesal.
Keempat orang itu memandangi tahanan mereka terikat di tiang bendera dengan senyuman penuh kepuasan. Soli hanya pasrah. Ia bukan super woman yang sering muncul di TV. Meskipun lihai memanjat pohon, ia sama sekali tak bisa bela diri untuk menghajar orang-orang itu. Jangankan untuk menghajar mereka, bicara keras dengan kata-kata kasar saja dia tak bisa.
”Apa hanya karena aku memandangi kalian, sehingga kalian mengikatku di sini? Apa tidak boleh sekedar memperhatikan kalian?”
”Tidak boleh!” tegas Oris.
”Pandangan dan senyumanmu membuat aku merasa terhina.” terang Candra dengan muka masih masam. ”Apa kau menganggap kami badut yang layak untuk dilihat dan ditertawakan? Kau tidak pernah berpikir, kalau tindakanmu bisa menyinggung perasaan orang? Adikku bahkan tak mau melihatmu karena sangat tersinggung oleh tingkah lakumu.”
Soli terperanjat mendenggar kata-kata Candra. Mungkin benar, orang itu adalah Pandu, adik Candra. Kulit tubuhnya sawo matang khas orang Indonesia. Berbeda dengan Candra yang berkulit putih. Soli kini menyadari kalau kakak beradik itu memang sangat berbeda, tapi sama-sama aneh. Anak-anak DKK menang aneh, karena tidak suka dipandangi orang. Apalagi Pandu yang begitu mudah tersinggunya ketika menyadari ada orang yang memperhatikannya.
”Mungkin dia memang Pandu, bukan Pangeran.” bisiknya dalam hati. “Kalau begitu sampaikan maafku padanya. Maaf, kalau aku telah membuatnya tersinggung.” kata Soli.
”Anggap saja keberadaanmu di sini sebagai tanda permintaan maafmu sekaligus introspeksi diri. Kau harus terus di sini sampai tengah hari nanti. Jangan mengharap pertolongan, karena tak ada yang akan menolongmu.” tegas Candra.
”Bersyukurlah, rambut panjangmu yang kusut itu tidak kami pangkas habis. Anggap saja sebagai dispensasi perkenalan dari DKK terhadap anak baru.” ujar Restu.
”Sekali lagi membuat kesalahan yang sama, aku tak bisa menjamin rambutmu akan selamat.” tambah Sambu.
”Belajarlah lebih banyak tentang peraturan kampus. Jangan pernah melanggarnya jika tidak mau berurusan dengan kami.” timpal Oris. “Selamat berintrospeksi.” Tambahnya.
Keempat orang itu pergi dengan senangnya. Sementara Soli hanya bisa menerima nasibnya. Ia tahu, tidak akan ada orang yang akan berani menolongnya. Di bawah kakinya ada tulisan ”DILARANG MELEPASKAN TAHANAN DKK”. Baru kali ini ia menemui kampus yang aneh dengan peraturan yang aneh dan orang-orang yang aneh pula. Ia tersenyum walau getir. Ia marah, tapi tak tahu cara melampiaskan kemarahannya. Meskipun sedikit bandel, tapi ia tak pernah bersikap atau berkata-kata kasar. Ibunya selalu mengajari untuk bersikap lembut dan bertutur kata yang santun. Semarah apapun, ia tetap mencoba untuk berkata yang sopan. Padahal segala caci maki sudah membuncah di dadanya.
*****
DKK tertawa riang setelah menyelesaikan satu pekerjaan yang menyenangkan. Candra menepuk pundak Pandu yang masih terdiam di taman. Ia merangkul adik kesayangannya itu.
”Boy, seharusnya kau melihat ekspresi gadis itu sekarang. Pasti kau akan tertawa seperti kami.” selorohnya. Namun Pandu tetap diam.
”Gadis itu menitipkan maaf untukmu.” kata Sambu.
”Kenapa diam? Apa aku harus memberikan pelajaran tambahan untuk anak itu agar dapat membuatmu kembali bersemangat? Hey, hargailah sedikit usaha kakakmu ini untuk membuatmu tersenyum.” respon Candra. Tapi Pandu justru melepaskan tangan kakaknya dari pundaknya, kemudian pergi begitu saja.
”Hey, Boy, mau kemana?” tanya Candra.
“Masuk kelas. Sebentar lagi ada kuliah. Bukankah kalian juga ada kuliah?” balas Pandu sembari terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
”Huh! Adik kesayanganmu itu memang selalu aneh. Apa tidak ada hal yang bisa membuatnya tertawa?” ujar Restu.
”Jangankan tertawa, tersenyum saja jarang.” kilah Sambu.
”Hey, aku tidak suka kalian mengkritik adikku.” tegas Candra dengan nada serius. Sambu dan Restu terdiam.
”Sudahlah, Pandu itu tidak aneh. Mungkin kita saja yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan dia. Meskipun kita dan Pandu berada di tingkat yang sama, tapi kita harus tetap ingat, usianya terpaut dua tahun lebih muda dari kita karena dia mengikuti kelas akselerasi. Jadi pemikirannya masih seperti anak kecil walaupun pengetahuannya setingkat dengan kita. Ibaratnya dewasa sebelum waktunya. Karena takut dikatakan sebagai anak kecil, makanya dia lebih banyak diam.” terang Oris.
Teman-temannya melongo mendengarkan penjelasannya yang agak panjang dan melebar itu.
”Bukankah kau mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Dari mana mendapatkan ilmu psikologi?” selidik Sambu.
”Oh, dulu kekasihku anak psikologi. Untuk mengakrabkan diri, aku sempatkan membaca buku psikologi.” jawabnya.
Ketiga temannya hanya bisa saling pandang. Entah mengapa Oris selalu mengunggul-unggulkan mantan kekasihnya. Padahal dia telah dikhianati, hingga sampai saat ini belum bisa menyukai orang lain lagi. Meka, cinta pertama dan kekasih pertamanya itu mencampakannya demi orang yang pernah menghina Oris.
*****
Langit tiba-tiba menjadi sangat mendung. Soli masih terikat di tiang bendera. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu waktu hukumannya habis. Hari ini sudah dapat dipastikan ia tidak bisa mengikuti kuliah perdananya. Dari arah depan, terlihat Yorin berlari terburu-buru ke arahnya.
”Bagaimana mereka bisa melakukan hal ini kepadamu?” tanyanya dengan ekspresi kecemasan di wajahnya.
Soli tersenyum, ”Seperti yang pernah kau katakan, hanya dengan memandangi mereka, aku bisa terikat di sini.”
”Hey, bukannya kesal dan sedih malah tersenyum. Seharusnya kau tetap menungguku di sana. Aku sudah memperingatkanmu, jangan bertindak di tempat yang masih asing. Memangnya tadi kau kemana?” lanjut Yorin yang kini berubah marah padanya.
”Maaf, aku tidak bisa menahan diri untuk melihat taman di kampus ini.”
”Terus bagaimana? Aku tidak bisa menolongmu.” ekspresi Yorin berubah gundah.
”Masuklah ke kelas, aku tidak apa-apa di sini. Bukankah sebentar lagi kuliah dimulai?”
Yorin memandangi wajah temannya dengan seksama, ada rasa iba melihat teman baiknya terikat seperti saat ini.
”Langit mendung, bagaimana kalau nanti turun hujan? Bagaimana kalau kau sakit?”
”Aku akan baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas.”
”Teman seperti apa aku ini kalau tidak mencemaskan temannya yang sekarang sedang diikat seperti tahanan yang akan dieksekusi!” ujar Yorin dengan kesal karena tak dapat berbuat apa-apa untuk temannya.
”Pergilah sebelum DKK datang. Aku tidak ingin bertambah satu korban lagi. Pergilah.” Pinta Soli dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
Bel tanda perkuliahan berbunyi. Bergegas Yorin langsung berlari pergi dengan membawa kekecewaan terhadap dirinya sendiri karena tak bisa membela temannya. Soli tetap berusaha tersenyum, meskipun sebenarnya ia sangat malu menjadi tontonan hingga rasanya ingin menangis. Betapa aneh keadaannya sekarang. Seperti binatang yang dicancang pada sebuah tiang. Langit yang mendung seperti keadaan hatinya sekarang. Sedih, malu, kesal, dan marah bercampur menjadi satu.
Sementara itu, dari balik kaca jendela ruang perkuliahan di lantai lima, Pandu terus memandangi gadis yang sedang terikat di tiang bendera halaman kampus. Dosen yang sedang menerangkan di depan kelas sama sekali tak ia dengarkan. Pandangannya terus tertuju pada gadis itu. Hasil perbuatan kakak dan teman-temannya itu bukannya membuat ia senang, tapi justru membuatnya iba. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Bukan tanpa alasan ia tak mau menolong gadis itu. Tapi ia sungguh terkejut hingga hampir tak bisa bernapas ketika melihat gadis itu ada di kampusnya. Gadis yang sangat ia kenal. Gadis yang selalu ia temui dengan cara yang unik. Gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya meskipun sudah sekitar delapan tahun saling mengenal.
Ia begitu kaget hingga seluruh tubuhnya seakan kaku tak berdaya. Ia hanya bisa mematung melihat kakak dan teman-temannya memperlakukan sahabat rahasianya dengan kasar. Tak mungkin ia terang-terangan membela gadis itu di depan anak-anak DKK yang selalu melindunginya. Mereka bersikap seperti itu kepada gadis itu juga untuk membelannya, seperti yang sering terjadi. Meskipun sebenarnya cara mereka tak membuatnya merasa lebih baik.
Pandu terus melihat ke luar jendela. Gadis itu tampak kecil di matanya. Gadis yang dulu sangat suka menangis karena jatuh dari pohon dan selalu ia beri coklat setiap kali ia menangis itu kini sedang tersiksa di bawah sana. Ingin ia mendekati gadis itu, tapi tak mungkin. Ia masih belum siap mendengarkan apa yang nanti akan dikatakan DKK jika ia menolong gadis itu.
Langit semakin kelam diselimuti awan hitam. Titik-titik hujan mulai turun, lama kelamaan semakin deras. Perasaan Pandu terhenyak melihat hujan mengguyur tubuh gadis yang terikat di tiang bendera. Pikirannya kacau oleh suara-suara yang berasal dari hati dan egonya. Di satu sisi tentu saja ia ingin menolong gadis yang pastinya kini sedang merasa kedinginan itu. Di sisi lain, ia masih belum siap melihat ekspresi wajah teman-temannya jika menfgetahui apa yang dilakukannya.
Guyuran hujan semakin deras. Suara sang dosen juga semakin terdengar keras. Otaknya serasa ingin meledak.
”Brak!” Pandu memaksa dirinya berdiri. Semua orang memandang ke arahnya, termasuk sang dosen.
”Pandu, ada apa?” tanya sang dosen.
Pandu terdiam membisu seperti patung. Ia tak memikirkan kalau ia sedang menjadi pusat perhatian. Dilema dalam pikirannya semakin membuncah. Tanpa berkata apapun, akhirnya ia keluar dari ruang perkuliahan. Semua orang yang berada di sana memandang penuh keheranan dengan seribu tanya di benak mereka. Pandu memang terkenal pendiam. Namun belum pernah dia berlaku kurang sopan dengan keluar kelas tanpa ijin seperi sekarang.
Hujan mengguyur tubuh Soli yang semakin melemah. Rasanya ia sudah tidak tahan dan lebih baik pingsan. Ia merasa pusing. Pandangannya kurang jelas karena hujan begitu deras. Dicobanya menggeliat-geliatkan tubuh, berusaha melepaskan tali yang mengekangnya.
”U huk...huk...!” Soli terbatuk karena ada air hujan yang masuk ke mulutnya. Ia merasa kedinginan. Sudah sekitar sepuluh menit hujan membasahinya, tapi belum ada tanda-tanda akan reda, bahkan semakin deras hujannya.
Soli semakin merasa tak berdaya. Ia prediksikan sebentar lagi ia akan terkapar di tempat eksekusi. Tak ada yang akan datang menolongnya. Semua orang sedang menikmati kehangatan di ruang perkuliahan. Hanya ia, orang aneh yang mau berdiri di bawah guyuran hujan deras. Rasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Kepalanya mulai pening.
Ketika keadaan badannya semakin tak menentu, samar-samar ia melihat bayangan seseorang mendekat ke arahnya. Hujan yang deras membuat sosok orang itu tak jelas. Lambat laun sosok orang itu semakin jelas. Dalam keadaan pusing, ia masih bisa mengenali kalau orang itu seperti Pangeran. Seperti ada energi tambahan yang menyusup ke dadanya ketika melihat Pangeran.
Di bawah guyuran hujan, Pangeran menatapnya dengan tatapan iba. Karena terlalu bahagia melihat kedatagan pengeran, Soli tak bisa menahan tangisannya. Ia terisak-isak sama seperti ketika pertama kali bertemu Pangeran ketika ia terjatuh dari atas pohon.
”Kenapa menangis? Bukankah aku sudah ada di sini.” katanya.
Pangeran melepaskan tali yang melilit di tubuh gadis yang masih terisak-isak itu. Ketika tali telah terlepas, tubuh Soli hampir jatuh seandainya tak disanggah Pangeran. Kakinya sangat lemas karena dingin. Kepalanya pusing tapi hatinya merasa sangat gembira meskipun diekspresikan dengan air mata. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Pangeran langsung menggendongnya, membawanya pergi meninggalkan tempat eksekusi. Isak tangis Soli belum mereda seperti hujan yang mengguyur.
”Kali ini aku tak membawa coklat. Berhentilah menangis. Anggap aku berhutang sebatang coklat padamu.” tutur Pangeran.
Soli tersenyum. Ia mengingat kembali masa lalu. Setiap ia menangis, Pangeran selalu memberinya coklat. Tapi setelah dewasa dan ia tak menangis, ia tak pernah mendapat coklat lagi dari Pangeran. Ini adalah kali pertama setelah sekian lama Pangeran tak memberinya coklat.
”Pangeran....” desahnya lirih sebelum akhirnya ia pingsan dalam gendongan Pangeran. Hujan terus mengguyur mengiringi Pangeran dan Soli.
*****
Hujan telah reda ketika Soli tersadar dari pingsannya. Ia kebingungan, mendapati dirinya telah ada di sebuah ruangan bercat putih dengan selang infus di tangannya. Dipandanginya setiap sudut kamar tempatnya dirawat. Tak ada Pangeran. Padahal ia sangat yakin kalau Pangeran yang telah membawanya ke tempat itu.
Pandangannya beralih ke jendela.masih tampak sisa-sisa embun yang membasahi kaca jendela. Pepohonan di luar sana juga terlihat basah. Langit masih tampak mendung. Soli tersenyum. Betapa bahagia perasaannya saat ini. Pangeran telah menolongnya. Pangeran yang selalu datang di saat ia membutuhkan seorang teman.
”Krek!” terdengar suara pintu dibuka. Soli menoleh ke arah pintu. Ia tersenyum, seakan tahu kalau orang yang datang pasti Pangeran.
Wajahnya berubah cemberut ketika melihat yang datang ternyata anak-anak DKK. Spontan ia langsung memalingkan pandangannya. Suara-suara sepatu mereka terdengar semakin jelas, semakin mendekat ke arahnya. Soli tetap dalam posisi membelakangi mereka. Perasaan kesal, marah, takut, dan cemas kembali berkecambuk di hatinya.
”Kenapa memalingkan muka? Tidak mau menghormati orang lain?” suara itu telah Soli kenal. Suara Candra Si Ikan Pari.
”Aku tidak mau rambutku dipotong hanya karena aku memandangi kalian. Apa aku salah? Bukankah itu peraturan yang berlaku di kampus kalian?” kilah Soli yang tetap kukuh tak mau menoleh ke arah mereka.
Oris tiba-tiba menduduki kursi di depan Soli. Dia memandangi gadis itu sambil tersenyum-senyum. Tangannya dilipat di dada, membuat Soli semakin kesal.
“Untuk apa kalian datang kemari? Apa ingin kembali mengikat gadis lemah ini di tiang bendera?” keluh Soli sembari terus menatap Oris yang senyumannya tampak sedang mengejeknya.
”Siapa yang menolongmu?” celetuk Candra.
Soli terperanjat. Ia diam.
”Hey, ketua DKK sedang bertanya padamu.” Sergah Oris.
“Kenapa kalian harus tahu? Kenapa aku harus memberitahukan kepada kalian?”
”Karena kami memiliki tanggung jawab terhadapmu. Bukankah sudah jelas, tak ada yang boleh melepaskan tahanan DKK. Katakan, siapa orang itu?” kata Candra.
”Tentunya kau tak ingin terus berurusan dengan kami selama kuliah di kampus kita tercinta. Apalagi kau seorang mahasiswa baru. Kami bisa membuatmu tidak pernah tenang hingga kau mau mengalah. Bekerjasamalah dengan kami.” bujuk Sambu.
Nyali Soli menciut, tapi bukan karena takut. Ia merasa berat mengambil sikapnya. Di satu sisi ia tak mungkin mengatakan kalau orang yang telah menolongnya adalah pangeran. Ia paham, orang-orang DKK pasti akan melakukan sesuatu terhadap orang yang berani melepaskan tahanan mereka. Di sisi lain, jika ia Drop Out dari Universitas itu, maka ayahnya akan mengajaknya kembali ke rumah. DKK pasti akan melakukan segala cara untuk membuatnya merasa tidak betah dan akhirnya keluar.
”Kau tak mau mengatakannya?” tanya Oris. ”Kau ingin dikeluarkan dari kampus dengan cara tidak terhormat bahkan sebelum kau sempat duduk di ruang perkuliahan?” ancam Oris dengan tatapan matanya yang tajam.
”Pangeran!” celetuk Soli. Ia tak tahan menerima tekanan dari orang-orang tidak beres itu. Sementara anak-anak DKK saling berpandangan, seakan tak percaya dengan apa yang telah mereka dengar.
”Apa yang kau katakan?” tanya Candra menegaskan.
Soli membalikkan tubuhnya ke arah Candra yang membuatnya kesal karena terlalu banyak bertanya. Ia memandangi lelaki berkulit putih itu.
”Pa...” belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba seseorang masuk. Mata Soli terbelalak. Pangeran datang. Pangeran langsung menundukkan kepalanya ketika melihat Soli sedang memperhatikannya.
”Kenapa datang terlambat?” sambut Restu sembari menjabat tangan Pandu. Perhatian kini tertuju kepada satu lagi anggota DKK.
Soli terus memperhatikan lelaki yang baru datang itu. Dengan akrabnya Candra merangkul Pangeran di mata Soli. Pangeran sempat memperhatikannya, tapi kembali menunduk ketika kedua mata mereka bertemu.
”Kau bilang siapa yang menolongmu?” tanya Candra lagi.
Padahal Soli berharap Si Ikan Pari itu telah melupakan pertanyaannya. Sekilas Soli melihat Pangeran menunjukkan ekspresi aneh. Tapi anak itu tetap menunduk. Soli kembali ragu, orang itu tidak seperti pangeran, meskipun wajahnya sangat mirip. Pangeran lebih murah senyum dan baik hati daripada orang itu. Seandainya dia pangeran, sudah pasti langsung membelanya, tidak akan membiarkannya kebingungan.
“Orang yang menolongku adalah Pangeran.” Tegas Soli. Anak-anak DKK saling berpandangan, kecuali Pandu yang masih betah menundukkan kepalanya.
“Apa kau sedang tidak mengigau?” selidik Oris dengan mendekatkan wajahnya ke wajah Soli. Soli langsung mendorong Oris. Ia duduk.
“Ibuku tak pernah mengajariku berbohong.”
“Di kampus kita tak ada mahasiswa yang bernama Pangeran. Berani sekali dia menyebut dirinya pangeran. Sebenarnya siapa dia? Kau pasti tahu banyak tentang dia.” selidik Candra.
”Seharusnya kalian yang lebih tahu. Aku ini hanya mahasiswa baru yang bahkan belum sempat mengikuti perkuliahan gara-gara melakukan kesalahan dan harus menjalani hukuman diikat di tiang bendera di bawah guyuran hujan deras tanpa ada kepedulian DKK untuk menolong orang yang hampir sekarat ini.”
Soli melirik ke arah Pandu yang masih menunduk. Ia berharap lelaki itu mau mengangkat mukanya dan mengakui bahwa dialah Pangeran yang telah menolong Soli. Agar Soli yakin bahwa lelaki yang ada di hadapannya itu benar-benar pangeran. Tapi sepertinya harapan itu tak akan terjadi. Lelaki itu terus menunduk.
”Kita pergi saja. Sebentar lagi latihan basket dimulai.” ujar Oris seraya bangkit dari duduknya.
”Benar, lain waktu saja kita mencari orang yang mengaku sebagai pangeran itu. Lagipula, saksi mata pasti banyak.” bujuk Restu.
Candra tampak berpikir sejenak. ”Bagaimana meurutmu?” tanyanya pada Pandu.
”Untuk apa diperpanjang. Bukankah lebih baik hidup damai? Lupakan masalah ini.” jawabnya dengan tetap menundukkan kepala.
”Mana bisa seperti itu?” Oris berjalan mendekati Pandu. ”Orang salah tetap pantas mendapatkan hukuman. Tentunya kau belum lupa, bagaimana orang-orang memperlakukan kita sebelum ada DKK. Apa kau sudah lupa, bagaimana sorot mata mereka memandangi kita, dan apa yang mereka bicarakan di depan dan di belakang dengan kata-kata yang sungguh menyakitkan hati, seperti ingin membunuh kita secara perlahan-lahan. Apa kau sudah melupakannya?” katanya dengan nada menggebu-gebu seperti orang kesal.
Tampak Pandu mengepalkan tangannya. Meskipun tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, Soli merasa kata-kata Oris telah merasuk ke dalam hati Pandu. Orang itu tetap diam, meskipun tubuhnya mengisyaratkan adanya gejolak dalam dirinya.
”Apa kau sudah lupa, bagaimana cara mereka memandangi kita? Kau lupa, apa makna di balik tatapan mereka? Mengapa begitu mudah kau mengatakan masalah ini selasai? Gadis ini bahkan telah menertawakan kita seperti badut! Apa pikiranmu masih selevel anak kecil yang mudah dibohongi orang?” tambah Oris.
”Hentikan!” pinta Candra seraya menjauhkan Oris dari adiknya. ”Oris, ucapanmu sama saja dengan orang-orang yang menghina DKK. Kau bisa menyakiti adikku, dan juga menyakiti aku.”
Oris menunduk. ”Maaf, aku sedikit emosi.”
”Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan di depan orang sakit ini?” sahut Soli yang dari tadi kebingungan menjadi pendengar pembicaraan mereka.
Semua orang menatapnya. ”Need not to know.” Ucap Candra seraya membawa adiknya keluar, diikuti yang lain.
Kini tinggal Soli sendiri dengan sejuta tanya di hatinya yang belum menemukan jawabannya. DKK sekarang telah menjadi tantangan baginya untuk ia tahu. Dari apa yang ia dengar, ada perbedaan persepsi antara apa yang selama ini ia dengar dari Yorin dengan apa yang mereka katakan. Oris yang bersikap agak emosi menunjukkan bahwa ada sesuatu yang melatarbelakangi sikap keras DKK. Itulah misteri yang ingin diketahui Soli.
*****
PANGERAN
DI TENGAH GUYURAN HUJAN
Pagi menjelang. Inilah hari baru yang ditunggu-tunggu Soli. Hari pertama masuk kampus baru. Kampus yang menurut Yorin menyeramkan dengan keberadaan DKK. Ia tidak sabar melihat, sebenarnya seperti apa DKK, hingga semua orang takut kepada mereka. Universitas Tunas Bangsa. Sebenarnya bukan universitas elit itu yang diinginkan Soli. Bahkan dia sudah merencanakan kepindahannya ke kampus biasa. Tapi ayahnya memberi pilihan yang sulit, boleh pindah asalkan di kampus yang cukup terkenal atau tidak pindah sama sekali. Akhirnya dia menurut dan memilih Universitas Tunas Bangsa sebagai jalan terakhir.
Yorin juga turut andil dalam keputusan Soli. Dia mendesaknya untuk pindah ke sana karena menurutnya masih banyak orang biasa yang kulian di sana, meskipun tetap saja mayoritas adalah anak-anak pengusaha. Selain itu, rasa penasarannya terhadap DKK yang sangat kuat. Berkuliah di tempat yang dikuasai sekelompok orang mungkin akan melahirkan cerita tersendiri. Selama ini ia sudah merasakan rasanya sebagai orang yang dianggap penting di sekolah. Kini gilirannya menjadi bukan siapa-siapa.
Soli menarik napas panjang. Ia mengembangkan senyuman. Di hadapannya kampus megah berdiri kokoh menunjukkan kekuasaannya. Dalam hati ia bertekad untuk meruntuhkan keangkuhan gedung itu.
”Selamat pagi.” sapa Yorin yang tiba-tiba datang dari arah belakang.
”Selamat pagi.” balas Soli.
”Sudah siap?” tanya Yorin seraya merangkul teman kerjanya itu. Soli hanya mengangguk dengan senyuman. Kemudian mereka berjalan beriringan dengan langkah riang.
”Hari pertama kuliah harus diawali dengan kegembiraan.” kata Yorin menyemangati. Soli hanya bisa membalas kata-kata temannya dengan terus tersenyum. Tiba-tiba Yorin berhenti.
”Kenapa?” tanya Soli penasaran.
”Aku melupakan sesuatu.” jawabnya. ”Tunggu sebentar, aku ada urusan!” serunya sambil berlari cepat dengan spontan. Soli sampai tak berkedip melihat tingkah temannya itu. Dia memang selalu ceroboh.
Akhirnya Soli hanya bisa menunggu, karena tak tahu dimana tempat ia akan belajar. Yorin yang tahu. Beberapa mahasiswa terlihat hilir mudik di depannya, saling merasa asyik dengan urusan masing-masing. Dandanan mahasiswinya sangat modis dan cantik ala anak-anak kaum elit. Soli melihat dirinya sendiri dan membandingkan dengan gadis-gadis itu. Sangat jauh. Tapi dia hanya tersenyum. Ia lebih senang dengan penampilannya sekarang. Penampilan sederhana ala kadarnya seperti rakyat jelata.
Beberapa menit tak kunjung melihat kedatangan Yorin, ia mulai bosan. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan sendiri di kampus yang belum ia kenali. Tempat yang ia tuju adalah taman. Tamannya cukup rindang dengan cukup banyak pepohonan. Pohon-pohonnya lumayan bagus untuk dipanjat. Ada pikiran iseng yang menyusup dalam benak untuk Soli untuk menjadikan taman itu sebagai basecamp-nya.
Ketika sedang duduk di bangku taman sambil menikmati kesejukan udara pagi, pada jarak sepuluh meter di depannya ada lima orang tampan yang sedang tertawa riang sambil bercanda. Terus terang dalam hati Soli mengakui mereka semua mempesona. Ada salah satu yang paling membuatnya terpesona, seseorang yang sepertinya telah ia kenal.
”Dug!!!” jantung Soli seakan tersentak. Salah satu dari mereka adalah Pangeran, orang yang terakhir kali ia temui di pesta satu minggu yang lalu.
Ia mencubit pipinya, takut apa yang ia lihat salah. Tapi tetap saja orang itu seperti Pangeran. Ia tersenyum.
”Benarkah aku satu kampus dengan Pangeran itu? Seandainya benar, aku akan mengajaknya memanjat pohon setiap hari.” guman Soli sambil tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberikan tatapan tajam ke arahnya. Tatapan yang dipenuhi kebencian, kemarahan, dan dendam yang menyala-nyala. Senyum Soli berubah getir. Tatapan itu menakutkannya. Kemudian disusul tatapan-tatapan aneh dari yang lain. Sekilas ia lihat Pangeran melihatnya dengan ekspresi heran.
Orang-orang itu berjalan mendekati Soli sambil melemparkan tatapan aneh. Pangeran tetap mematung di tempatnya. Suasana menjadi tegang. Langit di hati Soli berubah muram, seram, dengan petir menyambar-nyambar. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan tak tahu mengapa ia menjadi diperhatikan.
Mereka semakin mendekat, ”Dug!” jantung Soli kembali tersentak. Dengan jelas ia bisa melihat salah satu dari mereka memiliki kucir panjang berwarna biru.
”DKK!” serunya dalam hati. Seluruh pikirannya kacau. Rasanya hari ini akan menjadi hari terburuk baginya. Ia tetap mencoba bersikap tenang meskipun sebenarnya ia sangat gugup dan khawatir. Ia merasa ceroboh karena tidak mengingat-ingat perkataan Yorin tentang DKK kemarin. Walaupun salah paham, DKK tidak mungkin akan melepaskan orang yang dianggap menghina martabat mereka.
”Kenapa kau menertawakan kami?” tanya anak berkucir yang ia tahu bernama Candra itu. Meskipun tampan, tapi tetap saja terlihat menakutkan.
Soli menunduk, ”Seram sekali. Pasti dia sangat marah. Kulit wajahnya yang putih sampai berubah menjadi merah. Seperti kepiting rebus. Ah, tidak. Seperti ikan pari panggang.” Lirihnya.
Candra mendongakkan kepala Soli, seperti mau mencekik leher gadis itu. Soli terperanjat.
”Kau tidak mau menghargai orang lain bicara?” katanya dengan tatapan yang semakin tajam.
”Tolong lepaskan.” pinta Soli. Namun Candra tak mau mendengarkan permintaannya.
”Kenapa kau menertawakan kami? Kenapa kau memandangi kami? Apa menurutmu kami seperti badut?” katanya lagi.
”Aku tidak menertawakan kalian.” kilah Soli. Candra melepaskan tangannya dari leher Soli.
”Apa kau anak baru? Sepertinya aku belum pernah melihatmu di sini?” tanya salah seorang yang memakai syal di leherrnya. Soli menebak dia adalah Restu, orang yang sangat suka menjahili anak baru.
”Oh, anak baru. Sepertinya perlu diberi pelajaran pertama agar dapat beradaptasi dengan kampus kita tercinta.” sahut pria berkacamata yang bernama Sambu.
Mereka semua tersenyum seperti orang yang telah mempecundangi lawan.
“Ikut kami!” pinta Oris seraya menarik tangan Soli dengan kasarnya.
Soli begitu terkejut hingga tak bisa berkata-kata. Ia berusaha keras untuk melepaskan cengkeraman Oris, namun tak bisa. Oris terlalu kuat dan tampak seperti algojo. Ia melirik ke arah Pangeran, berharap ia mau menolongnya. Tapi Pangeran itu hanya tertunduk, bahkan tak mau melihat perlakuan aneh DKK di hari pertama ia kuliah.
”Dia bukan Pangeran. Seandainya ia pengeran, ia pasti sudah akan menolongku. Pangeran tidak akan membiarkanku menangis.” katanya dalam hati sambil melihat sosok yang mirip Pangeran itu dengan penuh kekecewaan.
Ia tidak bisa melawan. Oris terus menariknya, hingga ia terpaksa harus sedikit berlari untuk mengimbangi langkahnya yang cepat. Ia merasa seperti tersangka yang telah divonis bersalah dan akan segera dibawa untuk di eksekusi. Beberapa orang yang melihat memandanginya sambil berbisik-bisik. Ia tak tahu apa yang dipikirkan mereka semua. Tak ada satupun yang mau menolong atau melakukan sesuatu.
”Soli!” teriak Yorin yang sedang berdiri di tempat terakhir mereka bertemu.
”Yorin, mereka memperlakukanku dengan kasar.” adu Soli.
Mereka terus menyeret Soli ke tempat eksekusi. Berkali-kali Soli meminta agar Oris melepaskan tangannya. Tapi dengan angkuh dan dingin, ia diam, tak merespon permintaan itu. Candra menunjukkan muka bengisnya dalam diam. Sementara Restu dan Sambu tertawa kecil setiap kali memandanginya.
Sesampainya di halaman kampus, tepat di bawah tiang bendera, mereka berhenti. Empat orang itu berlagak seperti orang yang akan mengintrogasinya. Banya orang yang memperhatikan mereka, namun tak ada yang berani mendekat. Pangeran belum juga tampak. Padahal Soli masih berharap dia akan membelanya.
”Kau tahu siapa kami?” tanya Candra.
”Apa kalian Dewan Keamanan Kampus di sini?” Soli balik bertanya. Mereka tersenyum.
”Benar.” Balas Candra. “Kau tahu, apa peraturan-peraturan DKK di kampus ini? Apa kau tahu, kau telah melanggar salah satu aturan itu?” lanjutnya.
”Aku memang sempat mendengar ada larangan untuk memandangi kalian. Tapi aku tidak tahu kalau kalian adalah DKK. Aku minta maaf seandainya aku membuat kalian salah paham.”
”Berani sekali membuat kami salah paham. Kau ingin mempermainkan kami!?” gertak Oris dengan muka masamnya. ”Ambilkan tali!” pintanya.
Restu langsung mengeluarkan gulungan tali dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Oris. Soli berfirasat buruk. Hari ini mungkin akan benar-benar menjadi hari terburuknya.
”Ikat dia di tiang.” pinta Candra.
Soli tersentak. Restu dan Sambu memegangi tangannya, sementara Oris mengikatkan talinya di badan Soli.
”Apa yang kalian lakukan? Apa ini cara kalian menyambut orang baru?” protes Soli sembari menggeliat-geliatkan tubuhnya untuk melepaskan diri. Tapi Oris mengikatnya dengan kencang.
”Benar sekali. Aku sangat suka memberikan penyambutan spesial kepada setiap orang baru.” balas Restu dengan senyuman yang membuat Soli merasa kesal.
Keempat orang itu memandangi tahanan mereka terikat di tiang bendera dengan senyuman penuh kepuasan. Soli hanya pasrah. Ia bukan super woman yang sering muncul di TV. Meskipun lihai memanjat pohon, ia sama sekali tak bisa bela diri untuk menghajar orang-orang itu. Jangankan untuk menghajar mereka, bicara keras dengan kata-kata kasar saja dia tak bisa.
”Apa hanya karena aku memandangi kalian, sehingga kalian mengikatku di sini? Apa tidak boleh sekedar memperhatikan kalian?”
”Tidak boleh!” tegas Oris.
”Pandangan dan senyumanmu membuat aku merasa terhina.” terang Candra dengan muka masih masam. ”Apa kau menganggap kami badut yang layak untuk dilihat dan ditertawakan? Kau tidak pernah berpikir, kalau tindakanmu bisa menyinggung perasaan orang? Adikku bahkan tak mau melihatmu karena sangat tersinggung oleh tingkah lakumu.”
Soli terperanjat mendenggar kata-kata Candra. Mungkin benar, orang itu adalah Pandu, adik Candra. Kulit tubuhnya sawo matang khas orang Indonesia. Berbeda dengan Candra yang berkulit putih. Soli kini menyadari kalau kakak beradik itu memang sangat berbeda, tapi sama-sama aneh. Anak-anak DKK menang aneh, karena tidak suka dipandangi orang. Apalagi Pandu yang begitu mudah tersinggunya ketika menyadari ada orang yang memperhatikannya.
”Mungkin dia memang Pandu, bukan Pangeran.” bisiknya dalam hati. “Kalau begitu sampaikan maafku padanya. Maaf, kalau aku telah membuatnya tersinggung.” kata Soli.
”Anggap saja keberadaanmu di sini sebagai tanda permintaan maafmu sekaligus introspeksi diri. Kau harus terus di sini sampai tengah hari nanti. Jangan mengharap pertolongan, karena tak ada yang akan menolongmu.” tegas Candra.
”Bersyukurlah, rambut panjangmu yang kusut itu tidak kami pangkas habis. Anggap saja sebagai dispensasi perkenalan dari DKK terhadap anak baru.” ujar Restu.
”Sekali lagi membuat kesalahan yang sama, aku tak bisa menjamin rambutmu akan selamat.” tambah Sambu.
”Belajarlah lebih banyak tentang peraturan kampus. Jangan pernah melanggarnya jika tidak mau berurusan dengan kami.” timpal Oris. “Selamat berintrospeksi.” Tambahnya.
Keempat orang itu pergi dengan senangnya. Sementara Soli hanya bisa menerima nasibnya. Ia tahu, tidak akan ada orang yang akan berani menolongnya. Di bawah kakinya ada tulisan ”DILARANG MELEPASKAN TAHANAN DKK”. Baru kali ini ia menemui kampus yang aneh dengan peraturan yang aneh dan orang-orang yang aneh pula. Ia tersenyum walau getir. Ia marah, tapi tak tahu cara melampiaskan kemarahannya. Meskipun sedikit bandel, tapi ia tak pernah bersikap atau berkata-kata kasar. Ibunya selalu mengajari untuk bersikap lembut dan bertutur kata yang santun. Semarah apapun, ia tetap mencoba untuk berkata yang sopan. Padahal segala caci maki sudah membuncah di dadanya.
*****
DKK tertawa riang setelah menyelesaikan satu pekerjaan yang menyenangkan. Candra menepuk pundak Pandu yang masih terdiam di taman. Ia merangkul adik kesayangannya itu.
”Boy, seharusnya kau melihat ekspresi gadis itu sekarang. Pasti kau akan tertawa seperti kami.” selorohnya. Namun Pandu tetap diam.
”Gadis itu menitipkan maaf untukmu.” kata Sambu.
”Kenapa diam? Apa aku harus memberikan pelajaran tambahan untuk anak itu agar dapat membuatmu kembali bersemangat? Hey, hargailah sedikit usaha kakakmu ini untuk membuatmu tersenyum.” respon Candra. Tapi Pandu justru melepaskan tangan kakaknya dari pundaknya, kemudian pergi begitu saja.
”Hey, Boy, mau kemana?” tanya Candra.
“Masuk kelas. Sebentar lagi ada kuliah. Bukankah kalian juga ada kuliah?” balas Pandu sembari terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
”Huh! Adik kesayanganmu itu memang selalu aneh. Apa tidak ada hal yang bisa membuatnya tertawa?” ujar Restu.
”Jangankan tertawa, tersenyum saja jarang.” kilah Sambu.
”Hey, aku tidak suka kalian mengkritik adikku.” tegas Candra dengan nada serius. Sambu dan Restu terdiam.
”Sudahlah, Pandu itu tidak aneh. Mungkin kita saja yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan dia. Meskipun kita dan Pandu berada di tingkat yang sama, tapi kita harus tetap ingat, usianya terpaut dua tahun lebih muda dari kita karena dia mengikuti kelas akselerasi. Jadi pemikirannya masih seperti anak kecil walaupun pengetahuannya setingkat dengan kita. Ibaratnya dewasa sebelum waktunya. Karena takut dikatakan sebagai anak kecil, makanya dia lebih banyak diam.” terang Oris.
Teman-temannya melongo mendengarkan penjelasannya yang agak panjang dan melebar itu.
”Bukankah kau mengambil jurusan Manajemen Bisnis. Dari mana mendapatkan ilmu psikologi?” selidik Sambu.
”Oh, dulu kekasihku anak psikologi. Untuk mengakrabkan diri, aku sempatkan membaca buku psikologi.” jawabnya.
Ketiga temannya hanya bisa saling pandang. Entah mengapa Oris selalu mengunggul-unggulkan mantan kekasihnya. Padahal dia telah dikhianati, hingga sampai saat ini belum bisa menyukai orang lain lagi. Meka, cinta pertama dan kekasih pertamanya itu mencampakannya demi orang yang pernah menghina Oris.
*****
Langit tiba-tiba menjadi sangat mendung. Soli masih terikat di tiang bendera. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu waktu hukumannya habis. Hari ini sudah dapat dipastikan ia tidak bisa mengikuti kuliah perdananya. Dari arah depan, terlihat Yorin berlari terburu-buru ke arahnya.
”Bagaimana mereka bisa melakukan hal ini kepadamu?” tanyanya dengan ekspresi kecemasan di wajahnya.
Soli tersenyum, ”Seperti yang pernah kau katakan, hanya dengan memandangi mereka, aku bisa terikat di sini.”
”Hey, bukannya kesal dan sedih malah tersenyum. Seharusnya kau tetap menungguku di sana. Aku sudah memperingatkanmu, jangan bertindak di tempat yang masih asing. Memangnya tadi kau kemana?” lanjut Yorin yang kini berubah marah padanya.
”Maaf, aku tidak bisa menahan diri untuk melihat taman di kampus ini.”
”Terus bagaimana? Aku tidak bisa menolongmu.” ekspresi Yorin berubah gundah.
”Masuklah ke kelas, aku tidak apa-apa di sini. Bukankah sebentar lagi kuliah dimulai?”
Yorin memandangi wajah temannya dengan seksama, ada rasa iba melihat teman baiknya terikat seperti saat ini.
”Langit mendung, bagaimana kalau nanti turun hujan? Bagaimana kalau kau sakit?”
”Aku akan baik-baik saja. Kau tidak perlu cemas.”
”Teman seperti apa aku ini kalau tidak mencemaskan temannya yang sekarang sedang diikat seperti tahanan yang akan dieksekusi!” ujar Yorin dengan kesal karena tak dapat berbuat apa-apa untuk temannya.
”Pergilah sebelum DKK datang. Aku tidak ingin bertambah satu korban lagi. Pergilah.” Pinta Soli dengan senyuman yang sedikit dipaksakan.
Bel tanda perkuliahan berbunyi. Bergegas Yorin langsung berlari pergi dengan membawa kekecewaan terhadap dirinya sendiri karena tak bisa membela temannya. Soli tetap berusaha tersenyum, meskipun sebenarnya ia sangat malu menjadi tontonan hingga rasanya ingin menangis. Betapa aneh keadaannya sekarang. Seperti binatang yang dicancang pada sebuah tiang. Langit yang mendung seperti keadaan hatinya sekarang. Sedih, malu, kesal, dan marah bercampur menjadi satu.
Sementara itu, dari balik kaca jendela ruang perkuliahan di lantai lima, Pandu terus memandangi gadis yang sedang terikat di tiang bendera halaman kampus. Dosen yang sedang menerangkan di depan kelas sama sekali tak ia dengarkan. Pandangannya terus tertuju pada gadis itu. Hasil perbuatan kakak dan teman-temannya itu bukannya membuat ia senang, tapi justru membuatnya iba. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Bukan tanpa alasan ia tak mau menolong gadis itu. Tapi ia sungguh terkejut hingga hampir tak bisa bernapas ketika melihat gadis itu ada di kampusnya. Gadis yang sangat ia kenal. Gadis yang selalu ia temui dengan cara yang unik. Gadis yang bahkan belum ia ketahui namanya meskipun sudah sekitar delapan tahun saling mengenal.
Ia begitu kaget hingga seluruh tubuhnya seakan kaku tak berdaya. Ia hanya bisa mematung melihat kakak dan teman-temannya memperlakukan sahabat rahasianya dengan kasar. Tak mungkin ia terang-terangan membela gadis itu di depan anak-anak DKK yang selalu melindunginya. Mereka bersikap seperti itu kepada gadis itu juga untuk membelannya, seperti yang sering terjadi. Meskipun sebenarnya cara mereka tak membuatnya merasa lebih baik.
Pandu terus melihat ke luar jendela. Gadis itu tampak kecil di matanya. Gadis yang dulu sangat suka menangis karena jatuh dari pohon dan selalu ia beri coklat setiap kali ia menangis itu kini sedang tersiksa di bawah sana. Ingin ia mendekati gadis itu, tapi tak mungkin. Ia masih belum siap mendengarkan apa yang nanti akan dikatakan DKK jika ia menolong gadis itu.
Langit semakin kelam diselimuti awan hitam. Titik-titik hujan mulai turun, lama kelamaan semakin deras. Perasaan Pandu terhenyak melihat hujan mengguyur tubuh gadis yang terikat di tiang bendera. Pikirannya kacau oleh suara-suara yang berasal dari hati dan egonya. Di satu sisi tentu saja ia ingin menolong gadis yang pastinya kini sedang merasa kedinginan itu. Di sisi lain, ia masih belum siap melihat ekspresi wajah teman-temannya jika menfgetahui apa yang dilakukannya.
Guyuran hujan semakin deras. Suara sang dosen juga semakin terdengar keras. Otaknya serasa ingin meledak.
”Brak!” Pandu memaksa dirinya berdiri. Semua orang memandang ke arahnya, termasuk sang dosen.
”Pandu, ada apa?” tanya sang dosen.
Pandu terdiam membisu seperti patung. Ia tak memikirkan kalau ia sedang menjadi pusat perhatian. Dilema dalam pikirannya semakin membuncah. Tanpa berkata apapun, akhirnya ia keluar dari ruang perkuliahan. Semua orang yang berada di sana memandang penuh keheranan dengan seribu tanya di benak mereka. Pandu memang terkenal pendiam. Namun belum pernah dia berlaku kurang sopan dengan keluar kelas tanpa ijin seperi sekarang.
Hujan mengguyur tubuh Soli yang semakin melemah. Rasanya ia sudah tidak tahan dan lebih baik pingsan. Ia merasa pusing. Pandangannya kurang jelas karena hujan begitu deras. Dicobanya menggeliat-geliatkan tubuh, berusaha melepaskan tali yang mengekangnya.
”U huk...huk...!” Soli terbatuk karena ada air hujan yang masuk ke mulutnya. Ia merasa kedinginan. Sudah sekitar sepuluh menit hujan membasahinya, tapi belum ada tanda-tanda akan reda, bahkan semakin deras hujannya.
Soli semakin merasa tak berdaya. Ia prediksikan sebentar lagi ia akan terkapar di tempat eksekusi. Tak ada yang akan datang menolongnya. Semua orang sedang menikmati kehangatan di ruang perkuliahan. Hanya ia, orang aneh yang mau berdiri di bawah guyuran hujan deras. Rasa pusingnya semakin menjadi-jadi. Kepalanya mulai pening.
Ketika keadaan badannya semakin tak menentu, samar-samar ia melihat bayangan seseorang mendekat ke arahnya. Hujan yang deras membuat sosok orang itu tak jelas. Lambat laun sosok orang itu semakin jelas. Dalam keadaan pusing, ia masih bisa mengenali kalau orang itu seperti Pangeran. Seperti ada energi tambahan yang menyusup ke dadanya ketika melihat Pangeran.
Di bawah guyuran hujan, Pangeran menatapnya dengan tatapan iba. Karena terlalu bahagia melihat kedatagan pengeran, Soli tak bisa menahan tangisannya. Ia terisak-isak sama seperti ketika pertama kali bertemu Pangeran ketika ia terjatuh dari atas pohon.
”Kenapa menangis? Bukankah aku sudah ada di sini.” katanya.
Pangeran melepaskan tali yang melilit di tubuh gadis yang masih terisak-isak itu. Ketika tali telah terlepas, tubuh Soli hampir jatuh seandainya tak disanggah Pangeran. Kakinya sangat lemas karena dingin. Kepalanya pusing tapi hatinya merasa sangat gembira meskipun diekspresikan dengan air mata. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Pangeran langsung menggendongnya, membawanya pergi meninggalkan tempat eksekusi. Isak tangis Soli belum mereda seperti hujan yang mengguyur.
”Kali ini aku tak membawa coklat. Berhentilah menangis. Anggap aku berhutang sebatang coklat padamu.” tutur Pangeran.
Soli tersenyum. Ia mengingat kembali masa lalu. Setiap ia menangis, Pangeran selalu memberinya coklat. Tapi setelah dewasa dan ia tak menangis, ia tak pernah mendapat coklat lagi dari Pangeran. Ini adalah kali pertama setelah sekian lama Pangeran tak memberinya coklat.
”Pangeran....” desahnya lirih sebelum akhirnya ia pingsan dalam gendongan Pangeran. Hujan terus mengguyur mengiringi Pangeran dan Soli.
*****
Hujan telah reda ketika Soli tersadar dari pingsannya. Ia kebingungan, mendapati dirinya telah ada di sebuah ruangan bercat putih dengan selang infus di tangannya. Dipandanginya setiap sudut kamar tempatnya dirawat. Tak ada Pangeran. Padahal ia sangat yakin kalau Pangeran yang telah membawanya ke tempat itu.
Pandangannya beralih ke jendela.masih tampak sisa-sisa embun yang membasahi kaca jendela. Pepohonan di luar sana juga terlihat basah. Langit masih tampak mendung. Soli tersenyum. Betapa bahagia perasaannya saat ini. Pangeran telah menolongnya. Pangeran yang selalu datang di saat ia membutuhkan seorang teman.
”Krek!” terdengar suara pintu dibuka. Soli menoleh ke arah pintu. Ia tersenyum, seakan tahu kalau orang yang datang pasti Pangeran.
Wajahnya berubah cemberut ketika melihat yang datang ternyata anak-anak DKK. Spontan ia langsung memalingkan pandangannya. Suara-suara sepatu mereka terdengar semakin jelas, semakin mendekat ke arahnya. Soli tetap dalam posisi membelakangi mereka. Perasaan kesal, marah, takut, dan cemas kembali berkecambuk di hatinya.
”Kenapa memalingkan muka? Tidak mau menghormati orang lain?” suara itu telah Soli kenal. Suara Candra Si Ikan Pari.
”Aku tidak mau rambutku dipotong hanya karena aku memandangi kalian. Apa aku salah? Bukankah itu peraturan yang berlaku di kampus kalian?” kilah Soli yang tetap kukuh tak mau menoleh ke arah mereka.
Oris tiba-tiba menduduki kursi di depan Soli. Dia memandangi gadis itu sambil tersenyum-senyum. Tangannya dilipat di dada, membuat Soli semakin kesal.
“Untuk apa kalian datang kemari? Apa ingin kembali mengikat gadis lemah ini di tiang bendera?” keluh Soli sembari terus menatap Oris yang senyumannya tampak sedang mengejeknya.
”Siapa yang menolongmu?” celetuk Candra.
Soli terperanjat. Ia diam.
”Hey, ketua DKK sedang bertanya padamu.” Sergah Oris.
“Kenapa kalian harus tahu? Kenapa aku harus memberitahukan kepada kalian?”
”Karena kami memiliki tanggung jawab terhadapmu. Bukankah sudah jelas, tak ada yang boleh melepaskan tahanan DKK. Katakan, siapa orang itu?” kata Candra.
”Tentunya kau tak ingin terus berurusan dengan kami selama kuliah di kampus kita tercinta. Apalagi kau seorang mahasiswa baru. Kami bisa membuatmu tidak pernah tenang hingga kau mau mengalah. Bekerjasamalah dengan kami.” bujuk Sambu.
Nyali Soli menciut, tapi bukan karena takut. Ia merasa berat mengambil sikapnya. Di satu sisi ia tak mungkin mengatakan kalau orang yang telah menolongnya adalah pangeran. Ia paham, orang-orang DKK pasti akan melakukan sesuatu terhadap orang yang berani melepaskan tahanan mereka. Di sisi lain, jika ia Drop Out dari Universitas itu, maka ayahnya akan mengajaknya kembali ke rumah. DKK pasti akan melakukan segala cara untuk membuatnya merasa tidak betah dan akhirnya keluar.
”Kau tak mau mengatakannya?” tanya Oris. ”Kau ingin dikeluarkan dari kampus dengan cara tidak terhormat bahkan sebelum kau sempat duduk di ruang perkuliahan?” ancam Oris dengan tatapan matanya yang tajam.
”Pangeran!” celetuk Soli. Ia tak tahan menerima tekanan dari orang-orang tidak beres itu. Sementara anak-anak DKK saling berpandangan, seakan tak percaya dengan apa yang telah mereka dengar.
”Apa yang kau katakan?” tanya Candra menegaskan.
Soli membalikkan tubuhnya ke arah Candra yang membuatnya kesal karena terlalu banyak bertanya. Ia memandangi lelaki berkulit putih itu.
”Pa...” belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba seseorang masuk. Mata Soli terbelalak. Pangeran datang. Pangeran langsung menundukkan kepalanya ketika melihat Soli sedang memperhatikannya.
”Kenapa datang terlambat?” sambut Restu sembari menjabat tangan Pandu. Perhatian kini tertuju kepada satu lagi anggota DKK.
Soli terus memperhatikan lelaki yang baru datang itu. Dengan akrabnya Candra merangkul Pangeran di mata Soli. Pangeran sempat memperhatikannya, tapi kembali menunduk ketika kedua mata mereka bertemu.
”Kau bilang siapa yang menolongmu?” tanya Candra lagi.
Padahal Soli berharap Si Ikan Pari itu telah melupakan pertanyaannya. Sekilas Soli melihat Pangeran menunjukkan ekspresi aneh. Tapi anak itu tetap menunduk. Soli kembali ragu, orang itu tidak seperti pangeran, meskipun wajahnya sangat mirip. Pangeran lebih murah senyum dan baik hati daripada orang itu. Seandainya dia pangeran, sudah pasti langsung membelanya, tidak akan membiarkannya kebingungan.
“Orang yang menolongku adalah Pangeran.” Tegas Soli. Anak-anak DKK saling berpandangan, kecuali Pandu yang masih betah menundukkan kepalanya.
“Apa kau sedang tidak mengigau?” selidik Oris dengan mendekatkan wajahnya ke wajah Soli. Soli langsung mendorong Oris. Ia duduk.
“Ibuku tak pernah mengajariku berbohong.”
“Di kampus kita tak ada mahasiswa yang bernama Pangeran. Berani sekali dia menyebut dirinya pangeran. Sebenarnya siapa dia? Kau pasti tahu banyak tentang dia.” selidik Candra.
”Seharusnya kalian yang lebih tahu. Aku ini hanya mahasiswa baru yang bahkan belum sempat mengikuti perkuliahan gara-gara melakukan kesalahan dan harus menjalani hukuman diikat di tiang bendera di bawah guyuran hujan deras tanpa ada kepedulian DKK untuk menolong orang yang hampir sekarat ini.”
Soli melirik ke arah Pandu yang masih menunduk. Ia berharap lelaki itu mau mengangkat mukanya dan mengakui bahwa dialah Pangeran yang telah menolong Soli. Agar Soli yakin bahwa lelaki yang ada di hadapannya itu benar-benar pangeran. Tapi sepertinya harapan itu tak akan terjadi. Lelaki itu terus menunduk.
”Kita pergi saja. Sebentar lagi latihan basket dimulai.” ujar Oris seraya bangkit dari duduknya.
”Benar, lain waktu saja kita mencari orang yang mengaku sebagai pangeran itu. Lagipula, saksi mata pasti banyak.” bujuk Restu.
Candra tampak berpikir sejenak. ”Bagaimana meurutmu?” tanyanya pada Pandu.
”Untuk apa diperpanjang. Bukankah lebih baik hidup damai? Lupakan masalah ini.” jawabnya dengan tetap menundukkan kepala.
”Mana bisa seperti itu?” Oris berjalan mendekati Pandu. ”Orang salah tetap pantas mendapatkan hukuman. Tentunya kau belum lupa, bagaimana orang-orang memperlakukan kita sebelum ada DKK. Apa kau sudah lupa, bagaimana sorot mata mereka memandangi kita, dan apa yang mereka bicarakan di depan dan di belakang dengan kata-kata yang sungguh menyakitkan hati, seperti ingin membunuh kita secara perlahan-lahan. Apa kau sudah melupakannya?” katanya dengan nada menggebu-gebu seperti orang kesal.
Tampak Pandu mengepalkan tangannya. Meskipun tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, Soli merasa kata-kata Oris telah merasuk ke dalam hati Pandu. Orang itu tetap diam, meskipun tubuhnya mengisyaratkan adanya gejolak dalam dirinya.
”Apa kau sudah lupa, bagaimana cara mereka memandangi kita? Kau lupa, apa makna di balik tatapan mereka? Mengapa begitu mudah kau mengatakan masalah ini selasai? Gadis ini bahkan telah menertawakan kita seperti badut! Apa pikiranmu masih selevel anak kecil yang mudah dibohongi orang?” tambah Oris.
”Hentikan!” pinta Candra seraya menjauhkan Oris dari adiknya. ”Oris, ucapanmu sama saja dengan orang-orang yang menghina DKK. Kau bisa menyakiti adikku, dan juga menyakiti aku.”
Oris menunduk. ”Maaf, aku sedikit emosi.”
”Sebenarnya apa yang sedang kalian bicarakan di depan orang sakit ini?” sahut Soli yang dari tadi kebingungan menjadi pendengar pembicaraan mereka.
Semua orang menatapnya. ”Need not to know.” Ucap Candra seraya membawa adiknya keluar, diikuti yang lain.
Kini tinggal Soli sendiri dengan sejuta tanya di hatinya yang belum menemukan jawabannya. DKK sekarang telah menjadi tantangan baginya untuk ia tahu. Dari apa yang ia dengar, ada perbedaan persepsi antara apa yang selama ini ia dengar dari Yorin dengan apa yang mereka katakan. Oris yang bersikap agak emosi menunjukkan bahwa ada sesuatu yang melatarbelakangi sikap keras DKK. Itulah misteri yang ingin diketahui Soli.
*****
Langganan:
Postingan (Atom)