Bagian III
Mayat Hidup Jatuh Cinta
Angkasa memasang muka masam. Sebentar lagi pertandingan dimulai. Baginya, hari ini sangat tidak menyenangkan. Ketika baru sampai di GOR Wasesa, ia langsung diceramahi dengan sederetan kata tak berarti oleh pelatihnya. Ia mangkir dari latihan. Itu yang membuat pelatihnya naik darah. Sejak awal ia sudah memprediksikan hal itu akan terjadi. Tapi ia yakin, pasti akan berakhir baik-baik saja, karena posisinya sebagai kapten klub yang berhak mengatur anggotanya.
Ia membiarkan ceramah pak pelatih keluar masuk telingannya. Sebenarnya dia sendiri yang salah. Pak pelatih sudah mengingatkannya untuk latihan sebelum bertanding. Tapi ia malah pergi menonton pertandingan basket Yogi dan Samson.
Sebenarnya yang membuat mukanya masam bukan hanya karena diceramahi pak pelatih, tetapi karena melihat Amanda dan Yogi yang terlalu akrab. Mereka duduk di bagian belakang bangku pemain cadangan, sehingga Angkasa sangat jelas melihat mereka sedang tertawa bersama sambil makan es krim. Ridwan dan samson yang ada di samping mereka bahkan tidak ikut bercanda.
Amanda juga sepertinya tidak peduli padanya sedikitpun. Padahal sebentar lagi pertandingan dimulai, tapi Amanda tidak juga memberi ucapan ’selamat bertanding’ atau ’semoga berhasil’, seperti yang ia katakan kepada Yogi tadi pagi. Padahal sengaja ia tak mengajak Afara agar bisa leluasa bercanda dengan gadis tomboy itu. Tapi sekarang, gadis tomboy itu bahkan tidak memperdulikannya sama sekali.
Dengan perasaan kesal, ia terpaksa tetap turun ke lapangan, setelah wasit memberi kode bahwa pertandingan akan segera dimulai. Matanya terus mengarah kepada Amanda dan Yogi. Mereka berdua tidak menengok ke arahnya sama sekali. Hanya Ridwan dan Samson yang mengeratkan kedua tangannya sebagai tanda memberi semangat. Angkasa membalas dengan senyuman getir. Ia mencoba mengabaikan pemandangan menyebalkan itu, dan berlari kencang ke tengah lapangan. Di sana teman-temannya sudah menunggu.
Sementara di tempat duduk penonton, Amanda dan Yogi masih bercanda ria, membahas jalannya pertandingan basket tadi pagi. Ada banyak hal-hal lucu yang Amanda Lihat di sana, kemudian ia ceritakan kepada Yogi. Seperti ketika bola basket melayang ke arah penonton dan mengenai seorang siswi yang sedang memakai lipstik, cerminnya pecah, lipstiknya melebar ke mata, kemudian menjadi tertawaan banyak orang. Kemudian ada pemain dari kubu lawan yang salah memberikan bola kepada lawannya, pemandu sorak yang jatuh terpeleset, dan pemain yang celananya melorot. Amanda tertawa girang mengingat semua kejadian lucu itu. Sementara Yogi hanya bisa sebatas tersenyum.
”Hey, dari tadi bercanda terus. Perandingannya sudah dimulai.” Tegur Samson.
Amanda dan Yogi langsung berhenti tertawa. Mereka langsung mengalihkan pandangan ke arah lapangan. Tampak Angkasa telah menempati posisinya sebagai striker. Beberapa saat kemudian, peluit ditiup, pertandingan dimulai. Kubu lawan lebih dulu menyerang. Angkasa segera berlari, berusaha merebut bola dari lawan.
“Angkasa larinya payah! Setiap lomba lari denganku saja dia selalu kalah, apalagi di lapangan. Aku ragu kalau dia bisa menang.” kata Amanda.
”Pertandingan baru dimulai. Apa saja bisa terjadi. Sabar saja, Angkasa pasti menang.” balas Samson dengan optimisnya.
”Teman sendiri harus didukung.” tambah Ridwan.
”Playboy menyebalkan seperti dia, untuk apa diperhatikan. Kalau bisa aku tendang!”
”Kenapa? Apa dia sungguh menyebalkan?” tanya Samson.
”Tentu saja begitu.” jawab Amanda dengan mantapnya. ”Ah! Kamu tidak pernah memihakku. Kamu sama menyebalkannya dengan Angkasa, suka berbuat jahat padaku. Mana bisa mengerti.” keluh Amanda.
”Kapan aku jahat padamu? Bukannya kamu yang jahat, sering memukuliku?” kilah Samson.
”Itu karena kamu yang lebih dulu mencari perkara denganku.” timpal Amanda.
”Nona, mau menemaniku makan kacang?” sahut Yogi.
Amanda langsung mengalihkan pandangannya kepada Yogi. Ketika ia hendak mengambil bungkusan kacang dari tangan Yogi, Samson lebih dulu merebutnya. Amanda bertambah geram. Hampir saja ia melayangkan sebuah tinju ke arah samson, seandainya Yogi tak memegangi tangannya.
”Ayo, temani aku ke belakang.” kata Yogi, sembari menggandeng tangan Amanda. Ia membawa Amanda pergi dari sisi Samson. Seandainya hal itu tidak dilakukan, pasti akan terjadi kekacauan.
Amanda duduk di depan halaman stadion dengan muka masam. Beberapa saat kemudian Yogi muncul dengan dua bungkus es krim di tangannya. Ia memberikan salah satunya kepada Amanda, kemudian mengambil duduk di samping gadis itu.
”Kenapa kamu mencegah aku menghabisi Samson yang keterlaluan itu! Selalu saja seperti ini. Aku harus mengalah.” keluh Amanda dengan nada kesal.
”Pukul aku.” kata Yogi.
”Hah... mulai membela Samson lagi. Daripada memukulmu, lebih baik aku memukul diriku sendiri.” guman Amanda sembari memakan es krim pemberian Yogi. Dinginnya es sedikit melunturkan rasa kesalnya.
*****
Babak pertama telah usai. Tim Angkasa ketinggalan satu gol dari lawannya, SMA Tunas Cendekia. Angkasa lesu. Semua teman satu timnya menuju ruang ganti pemain untuk mendengarkan pengarahan dari pelatih. Tetapi ia malah berjalan mendekati Samson dan Ridwan yang sedang duduk di bangku penonton. Ia sedikit kecewa menihat Yogi dan Amanda telah meninggalkan tempatnya. Tapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya.
Dengan seulas senyuman, ia menerima botol minuman yang disodorkan oleh Samson. Ia meneguknya perlahan.
”Hari ini permainanmu sungguh sangat payah.” ujar Samson.
”Iya. Ini bukan dirimu yang biasanya. Aku perhatikan pelatihmu marah-marah terus di tepi lapangan. Kalau kamu tetap seperti ini, bisa-bisa pelatih menyuruhmu duduk di bangku cadangan.” tambah Ridwan.
”Begitu lebih baik.” jawabnya enteng. Ia meneguk kembali air minumnya.
”Hah! Sepertinya teman kita yang satu ini sedang tolol. Pasti gara-gara Afara tidak datang. Maklumi saja, pacarmu itu covergirl yang super sibuk. Mana sempat datang untuk acara seperti ini.” Kata Samson.
“Tenang saja, teman-temanmu ini masih setia datang.”
”Dimana Yogi dan Amanda?”
Samson menunjukkan ekspresi kalau ia tidak menyukai pertanyaan itu.
”Mereka keluar. Tadi Amanda dan Samson hampir adu jotos di sini. Seperti biasa, Yogi membawa dia kabur.” JawabRidwan.
Angkasa terdiam. Lagi-lagi Yogi. Selalu nama itu yang terkait dengan Amanda. Sesaat kemudian Yogi dan Amanda muncul dengan muka berseri-seri berjalan menuju ke arahnya. Ia memandang ke arah mereka berdua dengan ekspresi biasa-biasa saja. Bahkan senyuman Yogi tak ia balas. Samson tersenyum kepada Amanda sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Amanda membuang muka, menandakan ia masih kesal.
”Kalian kemana saja? Babak pertama sudah berakhir. Kita ketinggalan satu angka.” kata Ridwan.
”Apa hubungannya dengan aku dan Yogi? Kalau kalah, pasti karena ada yang salah dengan pemainnya.” ketus Amanda sembari memandang sinis ke arah Angkas.
Angkasa sangat kesal mendengar perkataan seperti itu. Tapi ia berusaha untuk tetap diam daripada mencari perkara dengan gadis itu. Yogi langsung memegang lengan Amanda, sebagai tanda agar ia diam.
”Maaf, karena terlalu asyik makan es krim, aku jadi lupa waktu. Di babak berikutnya, kamu harus lebih semangat. Kapten tangguh sepertimu pasti akan terus berjuang sampai akhir kemenangan. Tak peduli hati dan perasaanmu sedang kacau, di lapangan kamulah kaptennya.” tutur Yogi.
Angkasa tersenyum getir, ”Hari ini kosa katamu bertambah banyak.”
”Angkasa!” tiba-tiba pelatih datang dengan muka merah padam, membuat mereka terkejut.
Pelatih memandangi Angkasa dengan sorot mata tajam. Angkasa membuang pandangannya dan tetap bersikap santai. Samson dan Ridwan yang sedari tadi duduk akhirnya bangkit.
”Sebenarnya apa maumu? Seperti inikah tingkah seorang kapten? Datang seenaknya dan mangkir dari latihan. Bahkan sekarang tidak mau berkumpul di ruangan untuk mengevaluasi dan memperbaiki permainan. Kamu sudah merasa hebat?” maki sang pelatih.
Angkasa menghela napas, ”Ini hanya pertandingan persahabatan. Aku rasa tidak perlu terlalu ambisius.”
”Sebagai kapten, kamu menginginkan timmu kalah, agar saat keluar kita semua menundukkan kepala karena malu? Kamu ingin membuat citra SMA kita buruk?” timpal pak pelatih dengan nada yang semakin meninggi. Samson, Ridwan, Yogi dan Amanda hanya bisa sebatas menjadi penonton.
”Pelatih....”
”Ikut aku jika kamu masih mau bertahan dalam tim.” tegas pak pelatih seraya berjalan pergi. Padahal Angkasa belum menyelesaikan kata-katanya.
Samson menepuk pundak sahabatnya itu. ”Tetap semangat!”
”Kenapa selalu membuat masalah? Apa hidupmu tidak akan bahagia sebelum melihat orang lain kesal karenamu?” ujar Amanda dengan nada sinis.
Angkasa menegakkan kepalanya, beradu pandangan mata dengan Amanda. ”Iya, aku memang orang seperti itu. mau protes?”
Amanda ingin membalas kata-kata Angkasa, tapi Yogi kembali memegangi lengannya. Akhirnya ia kembali diam.
”Angkasa, cepat susul pak pelatih. Seorang kapten harus bisa mengabaikan perasaannya ketika telah berada di lapangan.” pinta Yogi.
Ada rasa senang dan kesal di hati Angkasa ketika mendengar ucapan Yogi yang selalu terdengar halus itu. Senang karena merasa diperhatikan dan kesal karena dia terlalu dekat dengan teman yang lebih dulu ia jumpai. Ia melihat Yogi tersreyum tulus kepadanya. Sementara Amanda membuang muka.
”Hey, cepat pergi. Jangan kamu biarkan Jaka sendirian. Pasti dia yang akan menjadi sasaran kemarahan pelatih.” kata Samson.
Akhirnya Angkasa beranjak pergi menuju ruang ganti pemain, dimana pelatih dan teman-temannya sedang menunggunya di sana.
”Hey, playboy bermasalah! Kalau kita kalah, kamu yang harus bertanggung jawab. Selamanya kamu adalah orang yang paling menyebalkan.”
Seruan Amanda terdengar sampai ke telingannya. Kata-kata iru sangat tajam hingga menghujam tepat di hatinya. Ia merasa telah kalah sebelum babak kedua dimulai. Ia merasa kebencian Amanda kepadanya sudah sebanyak tumpukan sampah di TPA Lebak Bulus.
Sementara itu, Samson dan Amanda kembali bertengkar karena Samson berusa membungkam mulut Amanda ketika mengeluarkan kata-kata tidak enak kepada Angkasa. Yogi harus kembali menjauhkan Amanda dari Samson. Ridwan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya karena bosan, hampir setiap hari melihat sahabatnya rusuh sendiri.
Amanda cemberut, ”Pasti aku lagi yang salah.”
”Apa suatu saat kamu akan memberiku dukungan dengan cara seperti itu?”
Amanda memandangi Yogi, ”Kenapa selalu seperti itu yang kamu tanyakan? Kamu adalah kamu dan Angkasa adalah Angkasa. Kalian dua orang yang berbeda. Kenapa harus disamakan?” protesnya.
”Bukankah kita sama-sama bersahabat?”
Amanda terdiam.
”Kamu adalah orang yang lebih lama mengenal Angkasa di antara kita berdelapan. Tapi
sepertinya kamu belum juga bisa memahaminya.”
”Itu karena dia selalu membuatku kesal. Dia yang selalu memulainya.”
”Apa kali ini juga?” tanyanya. Amanda terdiam. ”Hari ini dia menjadi lebih pendiam.”
“Iya, iya. Aku mengaku salah walaupun sebenarnya saat di SMA Bhakti Pertiwi dia sudah benar-benar membuatku kesal. Ya, aku mengaku salah.” Kata Amanda dengan ekspresi cemberut.
“Mau memperbaiki kesalahan?”
Amanda langsung mengalihkan pandangan kepada Yogi. Dilihatnya laki-laki manis itu tersenyum. ”Caranya?”
Yogi langsung memberikan sebotol minuman kepada Amanda. Amanda memandanginya dengan heran.
”Temui Angkasa dan berikan minuman itu padanya. Jangan lupa tersenyum dan minta maaf padanya.”
”Apa harus seperti itu? Dia pasti akan menertawakan aku seumur hidup. Huh! Mau ditaruh dimana mukaku nanti. Bisakah dilakukan dengan cara yang lain? Kesannya seperti aku yang menyebabkan dia terpuruk.”
”Dia membutuhkan dukunganmu. Kamu masih menganggapnya sebagai sahabat?”
Amanda cemberut, seakan tak mau melakukan apa yang disarankan Yogi. ”Ah... sahabat ya sahabat. Tapi jangan seperti itu.”
”Cepat pergilah sebelum pertandingan kembali dimulai. Hari ini aku sudah terlalu banyak bicara. Aku lelah.” kata Yogi sembari memegangi kepalanya dan berjalan menghampiri Samson dan Ridwan.
Amanda tersenyum. Memang hari ini Yogi cukup banyak bersuara. Padahal biasanya laki-laki manis itu hanya bisa tersenyum.
Amanda mengendap-endap masuk ruangan khusus pemain. Ia merasa belum siap melakukan apa yang diajarkan Yogi. Ia bersikap waspada seperti seorang pencuri yang takut ketahuan.
”Bruuk!” ia menabrak seseorang.
”Amanda!?”
Amanda tersenyum, ternyata orang yang ia tabrak adalah Jaka.
”Kamu sedang apa di sini?” tanya Jaka.
Amanda kembali tersenyum, ”Aku ingin bertemu dengan Angkasa.”
“Wah, kalau ingin mengajaknya bertengkar, sebaiknya jangan sekarang. Kelihatannya hari ini perasaannya sedang buruk. Bahkan sepertinya di dalam pelatih masih memarahinya. Ini gara-gara dia memaksakan diri menonton pertandingan klub basket dan mengabaikan latihan. Kamu keluar saja.”
”Heh! Jangan berpikiran buruk padaku, ya. Aku kemari untuk mendukung kalian.”
”Hah! Apa tidak salah? Kucing dan anjing bisa akur?”
Amanda melotot kepada Jaka.
”Iya, iya. Ampun! Angkasa ada di dalam. Mungkin sebentar lagi dia juga keluar.”
Tanpa basa-basi, Amanda langsung menyerobot masuk ruangan. Ia bertemu dengan beberapa pemain yang sudah siap keluar ke lapangan. Mereka memandang aneh ke arahnya. Amanda hanya cuek.
Sesampainya di dekat ruang ganti, ia mendengar suara keras pelatih yang sepertinya sedang memarahi Angkasa. Beberapa saat kemudian, pak pelatih keluar dengan perasaan kesal. Angkasa sendirian di dalam. Diam-diam Amanda masuk. Angkasa menoleh setelah merasakan ada orang yang datang. Sebenarnya ia ingin menunjukkan ekspresi senang melihat kedatangan Amanda. Tapi yang muncul adalah ekspresi biasa-biasa saja.
”Hey, playboy bermasalah! Tidak bisa sedikit saja mengalah, ya? Mau sampai kapan bertahan menjadi orang yang menyebalkan?” Amanda kelepasan bicara. Sebenarnya ia ingin mengatakan apa yang diajarkan Yogi. Tapi entah kenapa ketika melihat Angkasa, emosi dan egonya muncul lagi. Angkasa menunduk. Amanda menjadi merasa tidak enak hati.
”Mm....”
”Kalau ingin memarahiku, tolong jangan sekarang.” tukas Angkasa memotong kata-kata Amanda. Ia bangkit, mengambil handuk, dan mulai berjalan meninggalkan ruangan.
”Hey, tunggu! Urusan kita belum selesai.” sergah Amanda. Angkasa menghentikan langkahnya.
Cepat-cepat Amanda menghampiri Angkasa. Ia memandangi lelaki yang biasanya selalu tampak ceria namun kini kelihatan muram. Angkasa tetap menunduk. Amanda menyodorkan botol air minumnya, barulah Angkasa mau mengangkat wajahnya.
”Ini minuman isotonik agar kamu menjadi lebih segar. Aku tidak mau kamu terlihat bodoh saat di lapangan. Minumlah!” pinta Amanda.
Angkasa hanya memandanginya saja.
”Iya, iya... maafkan aku. Sebenarnya aku tidak ada maksud untuk bersikap ketus padamu. Tapi setiap kali melihatmu, rasa kesalku muncul begitu saja.” terang Amanda. Ia tersenyum tulus, ”Walau kita sering berdebat, tapi kita tetap sahabat yang harus saling mendukung. Apapun masalah yang sedang mengganggumu, tak usah dipedulikan. Meski hari ini aku terkesan membenci dan menyalahkanmu, tapi aku tetap ingin melihatmu menang dan membawa kebanggaan.” ia kembali tersenyum, ”Minumlah.”
*****
Pertandingan telah usai. Angkasa dan teman-temannya duduk di restoran untuk merayakan kemenangan mereka. Pak pelatih yang mentraktir. Angkasa, Amanda, Yogi, Jaka, Samson, dan Ridwan duduk mengelilingi meja yang sama. Angkasa duduk tepat di hadapan Amanda. Sementara Yogi dan Ridwan duduk di samping Amanda. Beberapa kali Angkasa mencuri pandang ke arah Amanda yang terus tertunduk. Gadis itu tidak memiliki keberanian untuk menatap Angkasa.
”Aku kira kita akan kalah dan kamu akan menjadi pecundang sejati seumur hidupmu.” tutur Samson.
”Ya. Aku juga sempat mencemaskan mood permainanmu. Di babak pertama permainanmu sungguh sangat jelek, lebih jelek dari permainan Tofan yang pernah kita keluarkan dari tim. Tapi ternyata di babak kedua kekuatan serigalamu muncul juga.” timpal Jaka.
”Bukan kekuatan serigala. Lebih tepatnya kekuatan buaya darat.” tukas Ridwan. Samson langsung memukul kepalanya. Sementara Angkasa tidak terlalu memperdulikan komentar teman-temannya. Ia terus memandangi Amanda yang sedari tadi diam.
”Ini pertandingan tergila yang pernah aku saksikan. Sang kapten bisa menciptakan 11 gol tanpa ampun ke gawang lawan. Saat ini klub bola SMA Nusantara pasti pulang dengan perasaan sangat malu.” lanjut Samson.
”Oh, iya. Sebelum pertandingan, Amanda menemuimu. Untuk apa? Jangan-jangan kalian bertengkar lagi di dalam. Makanya Angkasa menjadi semangat. Apa seperti itu?” selidik Jaka seraya menyikut Angkasa.
“Hah!?” sentak Angkasa yang terkejut. Ia tersenyum sambil memandangi Amanda, ”Mm... tanyakan saja kepada Amanda.” lanjutnya.
Semua mata tertuju pada Amanda. Amanda menjadi merasa dipojokkan.
”Kenapa? Mau tahu saja. Apa anehnya kalau seorang sahabat memberi semangat untuk sahabatnya?” kilah Amanda.
”Oh, iya?” guman Jaka, Samson, dan Ridwan bersamaan.
Angkasa hanya tersenyum. Yogi diam saja. Amanda semakin kesal.
”Huh! Kalian bertiga tidak asyik.” tukas Amanda seraya melanjutkan makannya.
”Aku mau pulang duluan.” kata Yogi. Semua mengarahkan pandangan kepadanya. ”Amanda, nanti kamu pulang dengan Angkasa saja.”
”Kenapa? Tunggu sebentar lagi, ya. Atau aku ikut pulang saja bersamamu?”
”Jangan!” sergah Angkasa. Amanda menoleh ke arahnya. ”Acara ini tidak asyik kalau semua pulang. Nanti pulang bersamaku saja. Jangan merepotkan Yogi untuk berputar-putar hanya untuk mengantarmu pulang.”
”Baiklah, aku pulang dulu.” ujar Yogi seraya menjabat satu persatu temannya.
Amanda tersenyum getir. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nanti saat harus pulang bersama Angkasa. Hari ini ia merasakan ada yang lain dengan Angkasa. Ia merasa tak nyaman, tidak seperti biasanya. Sekilas ia melihat Angkasa tersenyum padanya.
*****
Selepas berpamitan dengan teman-temannya, Yogi tak langsung pulang. Ia berhenti sejenak di taman kota untuk menikmati sedikit kesejukan. Ada sesuatu yang aneh yang ia rasakan saat ini. Entah mengapa ia tak begitu suka dengan hari ini. Hatinya terasa sakit seakan ditusuk oleh ratusan sembilu. Semua karena Angkasa. Ia tak suka melihat keakraban Angkasa dan Amanda.
Sedikit rasa penyesalan mengganjal di hatinya. Ia menyesal telah menjadi orang yang sok bijaksana. Ia menyesal karena telah menyuruh Amanda untuk mengikuti nasihatnya. Kali ini rasanya sakit sekali. Amanda seakan bukan lagi orang yang memperhatikannya. Ketika ia pergi, ia sangat berharap Amanda bisa ikut bersamanya. Tapi Angkasa lebih dulu bersuara. Sedangkan dia... selamanya tak akan ada keberanian untuk bicara.
Ia berpikir, mungkin tak akan ada lagi sosok Amanda yang manis makan es krim bersamanya. Mungkin ia tak bisa lagi membawa Amanda pergi ketika gadis itu mulai menunjukkan gelagat ingin berkelahi. Mungkin ia bukan lagi penyejuk bagi Amanda. Penyejuk yang mampu meredakan emosi gadis tomboy itu.
Amanda adalah satu-satunya orang yang selalu bisa banyak bicara dengannya meskipun ia sangat sedikit bicara. Sahabat-sahabatnya yang lain seringkali protes ketika ia hanya mengangguk dan tersenyum untuk menjawab pertanyaan mereka. Padalah Amanda tidak pernah mempermasalahkannya.
Ia merasa dirinya aneh. Tak mau ia akui perasaannya kepada Angkasa adalah cemburu dan perasaannya kepada Amanda adalah cinta. Satu hal yang pasti, ia ingin Amanda selalu berada di dekatnya. Maka ketika hari ini Angkasa begitu berbunga-bunga karena Amanda, ia tak begitu suka. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi antara mereka berdua selain acara pemberian minuman isotonik.
Angin semilir tiba-tiba berhembus lembut. Selembar kertas melayang dan jatuh tepat di bawah kaki Yogi. Yogi memperhatikannya, kemudian memungutnya. Selembar kertas bergambar sketsa pohon kaktus di dalam pot.
“Maaf….” Sebuah suara lembut tiba-tiba hadir. Yogi langsung mengalihkan pandangannya kepada orang yang ada di depannya. Ia terkesima. Seorang gadis manis yang tadi pagi ia temui di SMA Bhakti Pertiwi kembali hadir di hadapannya. Gadis itupun tersenyum padanya.
“Mm… bukankah kamu… maaf, handukmu baru saja aku bawa ke laundry. Mungkin baru besok aku bisa mengembalikannya padamu.” Kata gadis itu yang masih ingat dengan orang yang handuknya telah ia buat kotor.
“Kamu anggota klub basket SMA Garuda Satria, kan?” tanyanya. Yogi hanya mengangguk.
”Boleh aku duduk di sebelahmu?” pinta gadis itu. Kembali Yogi hanya menjawab dengan anggukan.
”Pelatih basket di sekolahmu adalah pamanku. Kebetulan mulai senin besok aku akan pindah ke sekolahmu. Nanti kalau aku bertemu denganmu, akan kukembalikan handukmu.” terangnya. Ia memperhatikan lelaki di sampingnya yang ia anggap aneh. Sejak tadi ia tidak bicara. Tiba-tiba Yogi balik memperhatikannya, sehingga ia berpura-pura mengalihkan pandangan.
”Eh, kita belum berkenalan. Namaku Zahra.” katanya sembari mengulurkan tangannya.
”Yogi.” balas Yogi seraya membalas jabat tangan itu.
Semilir angin berhembus seakan tak mau kalah ingin berkenalan juga dengan si manis Zahra. Bunga-bunga kebahagiaan bermekaran di hati Yogi. Meskipun ia terkesan biasa-biasa saja, tetapi hatinya sungguh merasa sangat senang. Ia kira gadis itu hanya akan menjadi angin lalu baginya. Tapi mulai besok, gadis itu bahkan akan satu sekolah dengannya.
*****
Seandainya aku punya mimpi, maka itulah alasan mengapa aku masih mau bertahan hidup. Aku akan mati ketika aku tak lagi punya mimpi. Di sinilah... di Lembah Mandalawangi, aku menaburkan mimpi-mimpi.
Minggu, 25 Oktober 2009
SATU WANITA TUJUH CINTA
Bagian II
Antara Tomboy dan Playboy
Siang ini matahari bersinar begitu terik. Panas. Namun di atas bendungan udara tidak terasa terlalu panas. Bahkan sesekali semilir angin berhembus membawa kesejukan. Yogi terduduk manis di tepi bendungan sambil melepaskan pandangan ke arah persawahan yang ada di seberang sungai. Di belakangnya ada Ilyas dan Ridwan yang sedang serius main catur. Jaka dan Samson sedang asyik berenang di bendungan yang tepat berada pada sepuluh meter di bawah kaki Yogi. Mandi di saat hari panas memang sangat menyegarkan. Sementara Karang, Angkasa, dan Amanda belum datang. Karang ada rapat mendadak, sedangkan Angkasa dan Amanda sedang mengikuti ekskul rutin di lapangan kecamatan.
”Hai, semua.”
Yogi, Ilyas, dan Ridwan langsung menengok ke arah datangnya suara itu. Ternyata karang. Di tangannya ia membawa bungkusan. Dengan lari-lari kecil ia menapaki anak tangga menuju ke atas bendungan. Samson dan Jaka yang melihat kehadiran Karang langsung berenang ke tepi, menyudahi keasyikan mereka berenang.
”Maaf, membuat kalian lama menunggu. Tadi rapatnya agak sedikit lama.”
”Apa itu?” tanya Ilyas penasaran dan penuh harap yang ada di dalam kantong itu adalah makanan. Karena biasanya selesai rapat, Karang memang selalu membagi-bagikan makanan kepada teman-temannya.
”Oh, ini ada sisa jamuan rapat.”
”Ini bagianku!” seru Samson seraya merebut kantong plastik dari tangan Karang. Ilyas dan Jaka ikut menyerbu.
”Wah, asyik! Kacang rebus dan donat.” Guman Jaka dengan girangnya setelah melihat isi bungkusan itu. Ridwan yang sedari tadi mencoba bertahan, akhirnya ikut berebut juga dengan ketiga temannya itu.
Sementara Yogi masih tetap di posisinya semula. Karang mencoba duduk di sebelahnya. Sejak dulu, tak ada hal yang mampu membuat Yogi antusias. Jangankan membuatnya antusias, hal yang membuatnya tertarik sangat jarang. Ia selalu bersikap biasa dalam menyikapi suatu persoalan.
”Kamu tidak ikut mengambil makanan yang aku bawa? Kalau tidak cepat, nanti habis dimakan mereka.” tanya Karang mencoba membuka kebisuan Yogi.
”Tidak apa-apa, tadi siang aku sudah makan di kantin.”
”Besok kamu tanding basket,kan?”
“Iya.”
Karang menepuk pundak Yogi, ”Semoga menang!” Yogi hanya tersenyum mendapat semangat dari Karang. Keduanya lalu hanyut dalam diam terbawa oleh syahdunya semilir angin yang mengalir. Karang pun tak memiliki topik lagi untuk diperbincangkan dengan orang sesederhana Yogi. Orang yang sederhana dalam bertindak dan dalam menyikapi masalah. Dia seperti orang yang tidak bermasalah. Justru temannya yang menganggapnya bermasalah. Sementara di belakang mereka ada yang masih memperdebatkan makanan.
Ketika sore menjelang, Angkasa dan Amanda baru datang. Amanda masih mengenakan seragam silatnya, sedangkan Angkasa telah mengganti seragam kebanggaannya di lapangan dengan kaos biasa. Meskipun mereka berjalan beriringan, tapi tetap saja tampak seperti dua orang yang tidak akur. Amanda membuang pandangannya, begitupula Angkasa. Mereka memang paling sering bertengkar. Hal sekecil apapun pasti diributkan jika sudah mengemukakan pendapat yang berbeda.
”Kalian kenapa?” tegur Ilyas.
”Angkasa sengaja menendang bola ke arah kepalaku tadi saat aku sedang latihan.”
”Sudah aku bilang, aku tidak sengaja!”
”Kalau tidak sengaja mengapa tepat mengenai aku? Kenapa tidak mengenai orang lain?”
”Mana aku tahu! Seandainya bolanya memiliki mata, tidak mungkin mau mengenai orang cerewet seperrtimu.”
”Sudah salah bukannya minta maaf malah marah-marah!”
”Stop!” seru Karang. Keduanya langsung berhenti berkata-kata. ”Kalian berdua suka sekali ribut. Mengganggu ketenangan saja. Kelakuan kalian seperti anak kecil. Begitu saja tidak mau saling memaafkan.”
”Aku sudah minta maaf.” kilah Angkasa.
”Masa minta maaf sambil lalu begitu saja. Aku tidak terima!”
”Kalian berdua salaman. Ayo saling memaafkan!” pinta Karang. Tapi keduanya malah menyembunyikan tangannnya. Karang menarik tangan Amanda dan Ilyas menarik tangan Angkasa. Kedua tangan itu dipertemukan.
”Maaf!” kata Amanda dan Angkasa hampir bersamaan.
”Nah, begitu kan manis.” guman Ilyas. Tapi tampaknya Angkasa dan Amanda belum seratus persen akur.
”Wah! Makanannya habis!” seru Angkasa melihat sisa-sisa makanan yang sedang dikerumuni Samson, Ridwan, dan Jaka. Ternyata dari tadi mereka diam karena sedang asyik makan.
”Salahmu sendiri datang terlambat.” kilah Samson.
”Juga karena terlalu asyik bertengkar dengan Amanda tentunya.” Tambah Jaka.
Angkasa ikut duduk, ikut memakan kacang rebus yang ada di hadapan Ridwan. Ia berusaha mengambilnya meski dihalang-halangi Ridwan.
Amanda memegangi kepalanya yang sakit terkena tendangan bola. Ia duduk di sebelah Yogi. Karang mengikutinya. Yogi tersenyum melihat satu-satunya wanita di sana yang tubuhnya penuh peluh sambil memijat-mijat kepalanya.
”Masih sakit?” tanyanya. Amanda hanya mengangguk dengan bibir sedikit manyun.
“Sudahlah, masa kena bola saja jadi cemberut. Biasanya kena seribu lemparan batu tetap tersenyum.” canda Karang.
”Hari ini semua orang menyebalkan sekali. Kalau sakit ya tetap saja sakit. Apa aku harus berpura-pura tidak sakit?” keluh Amanda.
”Maaf, maaf. Kalau begitu kita ke rumah sakit saja supaya kamu cepat sembuh.”
Amanda melemparkan tatapan tajam ke arah Karang, ”Pengurus OSIS sepertimu hari ini menyebalkan sekali.” katanya sembari memperlihatkan kepalan tangannya. Yogi memegang pundaknya, hingga hilang semua kesal di hatinya. Apalagi melihat senyuman yang mengisyaratkan agar ia sabar.
”Besok aku ada pertandingan persahabatan di SMA Bhakti Pertiwi. Mau ikut bersama aku dan samson?” ujar Yogi.
Amanda tersenyum. Ia merangkul pundak Yogi, ”Untuk teman sepertimu, tentu saja aku mau.”
”Besok jam delapan aku akan menjemputmu.” Amanda membalas dengan Acungan jempol.
“Apa yang diajak hanya Amanda?” protes Karang.
”Kalau ada waktu, kamu juga boleh datang.” balas Yogi.
”Yogi itu sudah memprediksikan kalau kamu tidak bisa datang. Jadi tidak perlu basa basi. Lagipula besok OSIS ada rapat membahas acara PENSI. Rapatnya jam 9 pagi, kan?”
”Lho, dari mana kamu tahu?” guman Karang penasaran.
”Dasar pikun! Kan kamu sendiri yang bilang.”
”Kapan!?”
”Kemarin di lapangan basket. Selesai ekskul yoga.” Amanda mencoba mengingatkan.
”Oh, iya. Aku lupa.” balasnya sambil cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Yogi hanya tersenyum.
”Ini akibatnya kalau terlalu banyak melakukan meditasi. Jadi pelupa.” cerocos Amanda.
”Yang penting jangan lupa kalau besok aku dan Angkasa juga akan bertanding di GOR Wasesa jam satu siang. Kalian semua harus datang, ya.” sahut Jaka.
”Mm... bagaimana, ya? Pasti hari sedang panas-panasnya. Aku tidak bisa memastikan bisa datang atau tidak.” ucap Amanda dengan nada bicara yang dibuat-buat. Ia sengaja ingin membuat Angkasa kesal.
”Aku juga berharap orang cerewet sepertimu tidak akan datang. Hanya akan mengganggu konsentrasi saja.” timpal Angkasa.
”Syukurlah kalau begitu. Berarti besok aku cukup datang ke pertandingan Yogi dan Samson.” Jawab Amanda tak mau kalah.
“Kalian berdua kalau sudah berselisih membuat orang lain repot saja. Kenapa, ya? Orang Indonesia itu gengsi sekali mengucapkan dan memberikan kata maaf? Padahal satu kata itu bisa mengobati segala jenis penyakit hati. Gara-gara satu kata itu juga banyak nyawa melayang dan banyak ikatan persaudaraan terputus. Yang lahir hanya kebencian dan permusuhan. Hidup itu kan lebih indah kalau berdamai.” ujar Ilyas.
Amanda dan Angkasa hanya diam karena merasa tersindir. Padahal sudah menjadi hal yang wajar sejak dulu kalau mereka sering bertentangan. Tapi tetap saja membuat orang lain pusing.
*****
Malam telah kembali menyelimuti hari. Amanda baru selesai shalat isya ketika ponselnya berbunyi. Ada telepon. Ia segera memburu ponselnya. Tampak di layar ponselnya, foto Angkasa yang sangat over gaya. Ia ragu utnuk mengangkatnya,karena tadi siang mereka baru saja beradu kata-kata. Dan rasa kesal masih bercongkol di dadanya. Tapi segera ia ingat bahwa Angkasa juga sahabatnya, meskipun terkadang menjengkelkan. Akhirnya ia angkat telepon itu juga.
“Assalamu’alaikum.” Sapa Amanda dengan nada masih berbaur kesal.
“Wa’alaikum salam.” Balas Angkasa yang ada di seberang sana.
“Ada angin apa yang menggerakkanmu untuk meneleponku?”
”Hey, buka jendelanya. Nanti kamu juga merasakan anginnya.” pinta Angkasa.
Amanda langsung menuju jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia menyibakkan tirai dan membuka jendelanya. Seketika angin malam menyeruak menerpa wajahnya. Ingin. Dilihatnya Angkasa sedang berdiri di balkon kamarnya yang tampak mewah. Lelaki itu melambaikan tangan padanya sambil terseyum. Amanda hanya menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Sudah sering Angkasa meneleponnya dengan gaya seperti itu. Padahal seandainya dia mau langsung bicara, Amanda sudah bisa mendengarnya. Karena kamar mereka bersebelahan.
”Ada apa?” tanya Amanda.
”Rambutmu kenapa tidak dikucir kuda?”
Amanda langsung memandangi Angkasa yang juga sedang memperhatikannya. Tidak penting sekali orang menelepon hanya untuk berkomentar. Lelaki itu tersenyum-senyum. Amanda membuang pandangannya ke arah jalan.
“Ini sudah malam. Aku tidak mau melayani pertanyaan tidak penting seperti itu. Sebenarnya mau bicara apa? Kalau tidak ada yang penting, lebih baik diakhiri saja, ya.”
”Begitu saja marah. Kalau aku Yogi, kamu pasti tidak akan berani marah.”
”Karena dia tidak pernah membuat orang kesal sepertimu. Ayo cepat, mau bicara apa? Aku mau mengerjakan PR.”
“Biasanya lupa kalau ada PR matematika. Sekarang ingatannya sudah tajam, ya?”
”Hm! Percakapan seperti ini yang sering membuat orang emosi. Kamu mau berkomentar atau mengatakan sesuatu padaku?” tegas Amanda. Matanya tajam ke arah lelaki yang sedang mengacungkan jari teluntuk dan jari tengahnya itu sambil nyengir kepadanya.
”Iya, iya. Aku hanya ingin mengatakan, tolong besok kamu datang ke pertandinganku. Nanti aku bawakan payung supaya kamu tidak kepanasan.”
Amanda kembali memandangi lelaki yang masih suka tersenyum itu. ”Kenapa? Sepertinya baru tadi siang kamu mengatakan tidak mau orang cerewet sepertiku datang untuk menonton pertandinganmu. Sudah lupa?”
”Nona, aku hanya bercanda. Sudah tiga tahun berteman, ternyata kamu belum juga mengerti aku.”
”Besok aku pasti datang.” jawab Amanda tegas. Ia melihat senyuman Angkasa semakin lebar.
”Begitu baru benar. Besok kita berangkat bersama, ya.”
“Besok aku akan berangkat bersama Yogi. Kamu tunggu saja aku di stadion.”
”Hmm... Yogi lagi. Jangan-jangan kamu suka kepadanya.” terka Angkasa.
”Jangan-jangan justru kamu yang menyukai aku.”
Angkasa terperanjat, ”Apa alasanku untuk suka padamu?”
”Karena kamu tidak suka aku dekat dengan Yogi. Kamu cemburu?” sekarang giliran Amanda yang tersenyum.
Angkasa tiba-tiba diam. Raut mukanya berubah masam. ”Iya.” balasnya singkat seraya mematikan telepon dan pergi masuk kamarnya. Sekarang giliran Amanda yang tertegun. Tidak disangka Angkasa akan menjawab seperti itu. Tapi segera ia tepis pikiran tidak-tidak dalam hatinya.
”Paling hanya perasaan cemburu seorang teman, karena temannya lebih dekat dengan temannya yang lain. Itu wajar.” guman Amanda dalam hati. Ia segera menutup jendelannya, dan kembali menyingkapkan tirainya.setelah itu ia menuju meja belajarnya, menghampiri PR matematika yang harus ia selesaikan sebelum ia lupa.
Pagi menjelang. Matahari telah memancarkan kehangatan sinarnya. Angkasa menyibakkan tirai jendela kamarnya. Dilihatnya jendela kamar Amanda. Masih tertutup. Padahal biasanya setiap pagi tetangganya itu selalu membuka jendelanya, menunjukkan raut masam ketika melihatnya tersenyum dan berkata, ”Kenapa senyum-senyum? Orang yang belum mandi tidak akan terlihat manis meski tersenyum selebar apapun.” Kemudian gadis itu akan menutup tirai jendelanya. Sementara ia akan tersenyum dan kemudian pergi menuju kamar mandi.
Hari ini jendela itu tertutup. Rumah itu kelihatannya sepi. Ayah Amanda pastilah selesai shalat subuh langsung pergi ke pabrik tahu. Ibu Amanda mungkin sedang asyik memasak di dapur. Sementara, dimana Amanda? Tidak mungkin jam enam pagi ia belum bangun. Sekasar-kasarnya Amanda, tak jarang Angkasa mendengar suara orang membaca Al-Qur’an setiap jam tiga pagi, setiap kali ia terbangun untuk shalat malam. LS bukanlah kumpulan orang-orang yang suka menyepelekan waktu shalat. Sedapat mungkin, mereka akan shalat tepat waktu secara berjama’ah, seperti yang sering mereka lakukan di mushala sekolah.
Angkasa kembali memandang jendela itu. Masih tetap tertutup. ”Mungkin karena hari ini hari minggu. Pasti Amanda sedang bermalas-malasan di tempat tidurnya.” guman Angkasa dalam hati. Tapi minggu-minggu sebelumnya jendela itu masih terbuka. Bahkan setiap jam lima pagi, selepas shalat subuh, gadis tomboy itu selalu memanggil-manggil namanya, mengajaknya balapan lari sampai ke taman kota. Dan yang kalah harus mentraktir serabi. Jika teman-teman yang lain ada yang kebetulan lari pagi di sana, yang kalah terpaksa harus menambah traktiran. Angkasa yang sering menjadi tukang traktir. Bukan karena dia kalah dengan anak tomboy itu, tetapi sengaja mengalah.
Masalah uang bagi anak orang kaya seperti dirinya tidak pernah menjadi masalah. Mobil sport warna biru yang menawan bahkan telah ia miliki sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-17. Tapi ia justru lebih suka naik sepeda atau jalan kaki bersama Amanda dan anak-anak LS lainnya. Ia tidak suka datang ke pesta-pesta orang kaya. Ia lebih suka datang ke acara yang tidak memandang status sosial. Pernah beberapa kali teman-teman satu sekolahnya yang tergolong anak orang kaya, ketika mengadakan pesta, mereka tak mau mengundang Jaka, karena mereka merasa Jaka tak sekelas dengan mereka. Padahal Jaka adalah orang yang sangat ia segani. Selain sebagai sahabat, patner bermain bola, Jaka juga seorang guru baginya. Guru yang mengajarinya tentang perlunya bersyukur kepada Tuhan atas apa yang ia miliki. Guru yang mengajari akan pentingnya kerja keras dan kemandirian. ”Sebelum berusaha dengan tenagaku hingga kucuran keringat mengering, aku tak perlu bantuan orang lain.” Begitulah yang selalu Jaka katakan setiap kali ia atau teman yang lain ingin membantunya.
Sahabatnya itu tidak pernah mengeluh dengan keadaannya. Meskipun belum pernah ia datang ke rumah Jaka, namun dari cerita-cerita Ilyas dan Karang, Jaka berasal dari keluarga yang sangat sederhana, yang untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah. Tapi semangat kecintaan Jaka pada pendidikan mampu mengalahkan tembok penghalang itu. Ia bahkan nekad menimba ilmu di sekolah yang tergolong cukup elit. Penghasilan ayahnya yang berprofesi sebagai penjual sayur keliling tidak mungkin mampu menutupi biaya pendidikan Jaka yang cukup mahal. Untungnya, sekolah memberinya kebijakan, ia dibebaskan dari uang SPP maupun buku-buku penunjang, selama ia dapat mempertahankan prestasinya sebagai tiga besar siswa terbaik di setiap semester. Dan ia bisa tetap mempertahankan prestasinya, meski persaingan ketat dengan Ridwan dan Edi terus berkelanjutan. Semester kemarin Ridwan berhasil memperoleh gelar siswa teladan untuk ketiga kalinya. Sementara ia menduduki peringkat kedua.
Oleh karena itu, setiap ada yang meremehkan Jaka, Angkasa hanya akan tersenyum sambil berlalu pergi, mengguman betapa bodohnya orang yang mencela sahabatnya itu. Dan setiap kali ada pesta yang diadakan temannya, tetapi tidak mau mengundang Jaka, ia pun tak akan mungkin datang. Ia justru mengajak teman-temannya jalan-jalan, membuat pesta sendiri, sekaligus untuk membesarkan hati Jaka, bahwa di mata teman-temannya dia sama dengan mereka dan orang-orang lain. Hanya saja kadang orang kurang mengerti karena tak pernah merasakan rasanya hidup sebagai seorang Jaka.
Lamunan Angkasa tentang Jaka dan teman-temannya tiba-tiba buyar ketika mendengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan rumah Amanda. Ia tak tahu siapa orang yang datang ke rumah Amanda karena wajah orang itu tertutup oleh helm. Tapi dari postur tubuhnya, Angkasa bisa memastikan kalau ia seorang laki-laki. Beberapa saat kemudian, Amanda keluar dari dalam rumah. Dengan ramput dikucir kuda dan jaket warna merah serta senyuman yang mengembang di bibirnya, ia tetap terlihat manis. Orang itu memberikan helm kepada Amanda seraya mengajak Amanda untuk naik motornya.
“Amanda!” seru Angkasa. Amanda yang akan memakai helm urung melakukannya karena kaget mendengar seruan memanggil namanya.
“Ada apa?” jawabnya dengan suara yang agak diperkeras setelah tahu asal suara yang memanggilnya dari arah balkon kamar Angkasa. Lelaki di samping Amanda pun ikut menoleh ke arah Angkasa. Tiba-tiba lelaki itu membuka helm yang ia kenakan, dengan senyuman ia melambaikan tangannya ke arah Angkasa. Angkasa sedikit meragukan ketajaman matanya melihat orang itu. Yogi! Angkasa berharap dia bukan Yogi.
“Hey, ada apa, wahai pangeran yang bau dan belum mandi?” tegas Amanda, karena agak lama Angkasa tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Angkasa tersadar dari keheranannya, “Eh, mau kemana?” tanyanya.
”Pertanyaan bodoh! Tentu saja aku akan pergi menonton pertandingan Yogi. Kamu tidak mau ikut?” seru Amanda sembari merangkul pundak Yogi.
”Katanya jam delapan, kenapa jam tujuh sudah mau berangkat?”
”Latihan dulu!” balas Amanda. ”Ah, kita harus cepat-cepat berangkat. Kalau kamu mau ikut, menyusul saja, ya. Mandi dulu, supaya wangi. Pertandingannya nanti jam setengah sembilan.” tambahnya, seraya mengajak Yogi untuk segera menjalankan motornya. Yogi hanya melambaikan tangan ke arah Angkasa sebelum tancap gas.
Kini hanya tersisa kepulan asap yang kian lama makin menghilang. Yogi dan Amanda telah berlalu. Angkasa merasa kecewa. Kemarin sore sengaja ia mencuci mobilnya hingga mengkilap untuk mengajak Amanda berangkat bersamanya keesokkan harinya, setengah jam sebelum Yogi datang. Tapi ternyata Yogi justru datang satu jam lebih awal. Angkasa menjadi berpikir, apa kurangnya dia dibandingkan Yogi? Sudah pasti lebih unggul Angkasa. Tidak seperti Yogi, dia bahkan terlalu banyak bicara.
Ketika hatinya sedang dipenuhi rasa kecemburuan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan malas ia masuk ke kamarnya, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja belajar. Telepon dari pelatihnya. Ia ngkat telepon itu.
”Halo, assalamu’alaikum.” katanya.
”Wa’alaikum salam.” jawab dari seberang sana. ”Angkasa, apakah tim kita sudah siap bertanding hari ini?”
”Insya Allah, sudah, Pak.”
”Kalau begitu, datanglah lebih awal untuk latihan. Bapak sudah menghubungi teman-temanmu, kecuali Jaka. Tolong kamu hubungi dia.”
”Tapi kenapa pertandingannya harus siang, Pak? Kan panas. Nanti tidak ada yang mau menonton.” keluh Angkasa.
”Menurut ramalan cuaca, hari ini akan mendung. Tenang saja. Harus tetap semangat, ya! Wassalamu’alaikum.”
”Wa’alaikum salam.” balas Angkasa. Ia melihat ke luar jendela. Langit tampak begitu cerah. ”Pak Andi memang ada-ada saja.” gumannya dalam hati.
Selang beberapa saat setelah ponsel ia letakkan, ponselnya kembali berbunyi. Ia ambil, di layar muncul foto wajah cantik Afara, kekasih barunya. Baru satu minggu mereka menjalin hubungan setelah seminggu sebelumnya ia telah mengakhiri hubungan dengan Resti. Jika Resti seorang model, maka Afara tak kalah populer dibandingkan mantan kekasih Angkasa itu. Dia adalah seorang covergirl. Wajahnya cukup sering muncul menghiasi majalah-majalah remaja saat ini. Banyak siswa laki-laki yang menyukainya. Tapi entah mengapa ia justru tertarik kepada Angkasa yang hanya terkenal di SMA Garuda Satria dan beberapa sekolah yang pernah menonton pria itu bermain bola. Pernah suatu ketika ia ditawari oleh Afara untuk menjadi cover majalah. Tapi dia menolak. Alasannya karena dia lebih menyukai berpeluh di lapangan daripada tampil tampan dengan bedak di depan kamera.
Walau bagaimanapun, Angkasa tetap menjadi idola. Mungkin hampir semua perempuan cantik dan berbakat di SMA itu pernah menjadi kekasihnya, terkecuali Amanda. Afara saja sangat mudah ia dapatkan. Setelah mengakhiri hubungan dengan Resti—tepatnya Resti yang meninggalkannya—Angkasa yang tahu jika Afara sering memperhatikannya bermain futsal di lapangan, ia langsung mendekati gadis itu. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja, Afara sudah menjadi kekasih barunya. Dengan seikat bungan dan ucapan ”Maukah kamu menjadi teman spesial dan teman dekatku?”, siapa perempuan yang berani menolak Angkasa. Mungkin seandainya Angkasa melontarkan kata-kata itu kepada Amanda, akan lain ceritanya. Amanda mungkin akan menertawakannya habis-habisan.
”Halo, sayang.” sapa Angkasa ketika mengangkat telepon dari Afara.
”Halo.” balas Afara dari ujung telepon. “Sayang, nanti jemput aku, ya. Hari ini aku tidak ada pemotretan. Jadi, aku bisa menonton pertandinganmu.” katanya dengan nada penuh kebahagiaan. Berbeda dengan perasaan Angkasa saat ini.
”Kalau boleh jujur, aku ingin sekali kamu datang dan melihat aku bermain. Pasti aku akan lebih bersemangat. Tapi lebih baik kamu jangan ikut.” bujuk Angkasa dengan kata-kata sok bijaksana.
”Kenapa seperti itu? Jarang kita memiliki waktu untuk berdua. Sekarang, ketika aku ada waktu luang, kamu tidak mau pergi bersamaku.” suara Afara menunjukkan kalau ia sangat kecewa.
”Bukan begitu maksudku, sayang. Kamu tahu aku sangat menyukaimu. Seperti para fans yang mengagumimu. Kamu harus menyadari posisimu kalau kamu adalah seorang covergirl dan foto model. Menjaga penampilan sangat penting untukmu. Kamu belum tahu betapa panasnya udara di lapangan nanti siang. Bagaimana kalau kulitmu menjadi hitam, mukamu menjadi kusut terkena debu lapangan? Apa kamu mau terlihat jelek di depan orang banyak?”
”Tidak.” kata Afara dengan manjanya.
”Karena itu aku sarankan kamu tidak perlu ikut.” tegas Angkasa.
”Tapi aku ingin pergi berdua denganmu.” timpal Afara.
“Lain kali kan bisa. Lagipula setiap hari kita selalu bertemu di sekolah. Kamu kurangilah aktivitasmu, supaya kita lebih sering menghabiskan waktu bersama.”
”Akan aku usahakan.” jawab Afara dengan nada lesu. ”Semoga berhasil, ya.”
”Uh, mendengar semangat dari wanita cantik di seberang sana, aku menjadi seratus kali lebih bersemangat.”
Afara tertawa kecil mendengar kata-kata Angkasa.
”Sayang, sudah dulu, ya. Aku harus bersiap-siap berangkat.” kata Angkasa.
”Baiklah. I love you.”
Angkasa terdiam sesaat, “Bye.” Katanya. Ia langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia memang aneh. Ia sering mengucapkan ‘sayang’ kepada kekasihnya. Tapi kata ‘I love you’ tak pernah terlontar dari bibirnya kepada seorang wanita.
Angkasa tersenyum. Ia merasa sudah berhasil mengatasi satu masalahnya, Afira. Entah mengapa ia selalu seperti itu. Ia begitu mudah mengagumi dan melupakan seseorang. Padahal baru satu minggu ia bersama Afira, sudah mulai tumbuh rasa jenuh dan bosan di hatinya.
Perempuan seakan hanya menjadi beban baginya. Padahal ia sendiri yang menginginkannya.
Angkasa segera bergegas menuju kamar mandi, agar dapat segera menyusul Amanda dan Yogi. Ia ingin mengganggu mereka. Ia beranggapan kalau Amanda tidak adil, hanya baik kepada Yogi. Padahal ia lebih dulu mengenal gadis tomboy itu. Sebelumnya ia telah menghubungi Gerdi—teman satu tim futsalnya---untuk menjemput Jaka dan menyuruh ia memimpin teman-temannya latihan sebelum bertanding. Ia sendiri telah berniat mengabaikan perintah pelatih utnuk latihan, agar dapat melihat pertandingan Yogi, sekaligus membuat Amanda merasa tidak nyaman.
*****
Sorak sorai penonton di sekitar lapangan basket SMA Bhakti Pertiwi memeriahkan suasana pagi itu. Sebelum pertandingan dimulai, ada penampilan cheerleaders dari kedua klub yang akan bertanding. Penampilan para pemandu sorak yang indah itu diiringi oleh tepuk tangan yang meriah. Para pemain basket merasa diberi penyegaran suasana sebelum bertanding. Apalagi Samson. Sementara Yogi tetap biasa-biasa saja. Tak jauh berbeda dengan Amanda yang hanya asyik dengan permen karetnya.
“Kenapa harus ada tarian sebelum pertandingan? Tidak masuk akal. Membosankan.” guman Amanda.
Yogi tersenyum. Ia memberikan sebotol minuman untuk Amanda. Ia lihat gadis itu penuh peluh, karena ketika latihan gadis itu ikut-ikutan turun ke lapangan. Amanda menerimanya dengan agak tidak bersemangat. Samson masih terpana dengan penampilan para pemandu sorak.
”Kenapa?” tegur Yogi.
Amanda menoleh, ”Ah, tidak apa-apa.” jawabnya singkat. Kemudian ia meneguk air mineral itu setelah ia membuang permen karet yang sejak tadi bersarang di mulutnya.
“Kamu tidak suka datang ke tempat ini?” terka Yogi.
Amanda balik menatap Yogi, ”Kenapa harus tidak suka?” katanya dengan ekspresi sok serius. Ia tersenyum, ”Aku hanya kesal, lama sekali mereka menari-nari di tengah lapangan seperti orang aneh saja. Aku kan ingin segera melihat teman baikku ini memenangkan pertandingan ini. Oke!” tambahnya dengan kata-kata penuh semangat.
Yogi ikut terbawa semangat yang dikobarkan gadis tomboy itu. Yogi tahu persis, beberapa kali Amanda datang ke pertandingannya selalu telat dari yang lain. Ternyata gadis itu sudah memprediksikan kalau pertandingan basket pasti akan diawali oleh penampilan pemandu sorak, yang perform sekitar setengah jam. Dan gadis itu tidak pernah menyukai tari-tarian seperti itu. Ia lebih suka ikut bermain langsung di lapangan.
”Hey, apa kalian memperhatikan? Ternyata Moya cantik juga, ya.” kata Samson sembari terus memperhatikan leader pemandu sorak dari sekolah mereka. Matanya seperti terhipnotis oleh kelihaian pemandu sorak itu. Amanda dan Yogi saling berpandangan. Mereka sama-sama aneh, mendengar Samson memuji seseorang.
”Halo, semua!” sapa Angkasa ketika ia baru saja tiba. Ia langsung menyusup, duduk di antara Yogi dan Amanda. Terang saja mereka berdua terkejut dengan kehadiran Angkasa yang tiba-tiba. Angkasa melemparkan senyum kepada Amanda dan Yogi. Samson tampak kurang begitu peduli dengan kehadiran orang itu. Ia lebih tertarik melihat apa yang ada di hadapannya. Namun senyuman itu disambut heran oleh Yogi dan raut kesal Amanda.
”Hey, kenapa kalian menyambutku seperti ini? Tidak suka dengan kedatanganku?” ucap Angkasa.
Dengan sangat cepat lelaki itu merebut botol minuman di tangan Amanda dan meminum isinya sampai tetes yang terakhir. Yogi hanya bisa menggeleng-geleng. Amanda terlihat semakin kesal. Apalagi ketika Angkasa kembali merekahkan senyuman. Gadis itu membuang pandangan dari orang menyebalkan yang telah menghabiskan minumannya itu.
Beberapa saat kemudian, penampilan para pemandu sorak berakhir. Yogi dan Samson dipanggil oleh pelatih mereka untuk memantapkan strategi. Seorang wasit berdiri di tengah lapangan dengan membawa sebuah bola. Dengan isyarat peluit ia memanggil semua pemain untuk masuk ke lapangan.
Amanda merasa sangat tidak nyaman berada di dekat trouble maker seperti Angkasa. Ia masih haus. Tapi minumannya sudah dihabiskan orang di sampingnya. Dari arah lapangan Yogi tersenyum ke arahnya. Amanda membalas senyuman itu. Angkasa turut memperhatikan komunikasi mata dua arah itu. Dengan sengaja ia merangkul Amanda seraya melambaikan tangan kepada Yogi. Amanda segera menjauhkan trouble maker itu dari jangkauannya. Yogi tersenyum melihat ulah kedua temannya itu. Amanda menjabatkan mengangkat kedua tangannya ke atas, kemudian menjabatkan keduannya, sebagai tanda persahabatan. Angkasa mengikuti. Yogi dan Samson yang melihat membalasnya dengan melakukan hal yang sama.
Pertandingan berlangsung cukup sengit. Babak pertama akhirnya berakhir dengan keunggulan SMA Garuda Satria. Para pemain keluar lapangan untuk beristirahat sebentar. Samson dan teman-temannya berjalan menuju bangku pemain. Yogi mengambil sebotol air mineral. Ketika ia hendak meminumnya, ia teringat Amanda yang tadi hanya sempat minum sedikit karena airnya diminum Angkasa. Akhirnya ia urung meminumnya. Ia berjalan ke arah bangku penonton, mendekati Amanda.
”Permainan yang bagus.” puji Amanda. ”Kalahkan mereka dalam dua babak langsung!”
tambahnya.
Yogi tersenyum. Ia menyerahkan botol minuman di tangannya kepada Amanda. ”Minumlah,” katanya.
Amanda heran. ”Aku hanya penonton, Yogi. Kamu yang harus meminumnya untuk memulihkan staminamu.”
Yogi berjongkok di depan Amanda. Angkasa hanya sebagai patung yang menyaksikan kelakuan kedua temannya itu. Ia berusaha bersikap biasa-biasa saja, meskipun sebenarnya dalam hati bercongkol rasa kesal.
“Seorang sahabat tahu apa yang dibutuhkan sahabatanya.” kata Yogi sembari memberikan minuman itu kepada Amanda.
Amanda tersenyum. Ia tersanjung, karena Yogi bisa tahu kalau ia sedang haus. Tentunya tidak seperti Angkasa yang justru lebih suka meledeknya. Dengan senang hati ia menerima pemberian itu. Kemudian Yogi kembali ke bangku pemain. Amanda buru-buru meminum air mineralnya, sebelum Angkasa kembali merebutnya.
“Pelan-pelan saja, aku tidak akan merebut minumanmu.” kata Angkasa dengan nada seperti kecewa.
Amanda sekilas melihat ekspresi orang di sebelahnya seperti orang yang gagal. Sangat miris. Namun ia tak peduli. Angkasa memang selalu begitu kalau merasa kalah.
Ketika akan mengambil handuknya, Yogi kebingungan karena tidak menemukan handuknya di atas tasnya. Padahal ia sudah sangat ingin mengelap keringat di wajahnya.
”Sam, kamu melihat handukku?” tanyanya kepada Samson yang sedang asyik meminum air mineralnya.
”Memangnya kamu taruh dimana?”
Yogi menunjuk ke arah tasnya, tempat ia meletakkan handuknya sebelum pertandingan. Samson mengangkat kedua bahunya, kemudian pergi. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seperti tingkah laku kebanyakan orang yang sedang kebingungan. Sekali lagi ia membuka tasnya, meskipun ia yakin sebelumnya ia telah mengeluarkan handuk dari dalam tas kebanggaannya itu.
”Maaf, apa kamu pemilik tas itu?” tanya seseorang dari arah belakang Yogi.
Yogi segera membalikan tubuhnya. Seorang perempuan cantik dengan kulit putihnya tepat barada di hadapannya. Yogi hampir tak bisa bernapas. Begitu terkesimanya ia, hingga seluruh tubuhya serasa membatu. Bibirnya sulit untuk digerakkan. Ia seperti melihat seorang bidadari berambut panjang dengan mata beningnya.
”Maaf, apa tas itu milikmu?” tanya perempuan itu lagi.
Yogi tersadar. ”Eh! Em... iya.” katanya dengan nada tergagap. Gadis itu tersenyum, membuat Yogi tertunduk malu.
“Aku ingin minta maaf. Handukmu aku yang mengambilnya.” kata gadis itu jujur. Yogi membelalakkan matanya, seperti terkejut. ”Aku memakainya untuk mengelap es krim yang membuat wajah keponakanku belepotan. Tapi nanti aku akan menggantinya.”
Yogi bingung, ingin kesal atau tidak. Satu sisi ia kesal, karena handuk kebanggaan anak LS sudah digunakan oleh sembarang orang. Belum lagi peluhnya yang terus mengucur, karena sedari tadi belum ia seka dengan handuk. Di sisi lain, ia tidak mungkin kesal kepada seseorang yang tampak seperti bidadari di hadapannya itu.
Ia menunduk, ”Kamu tidak perlu menggantinya.” katanya.
”Orang yang bersalah tentu saja harus memperbaiki kesalahannya. Kamu tidak memaafkan aku?”
”Tidak apa-apa. Aku sudah mengikhlaskannya.” kata Yogi dengan bijaknya.
”Mana bisa seperti itu. Aku akan tetap menggantinya dengan handuk yang sama persis dengan milikmu.”
”Kamu tidak akan menemukannya.”
”Mengapa tidak?” kilah si gadis dengan rasa optimis bahwa ia pasti bisa mendapatkan handuk itu.
”Hanya ada delapan orang di dunia ini yang memiliki handuk seperti ini.” kata Amanda yang secara tiba-tiba datang. Ia memperlihatkan handuknya yang berlogo LS kepada gadis optimis itu.
“Seorang sahabat tahu apa yang dibutuhkan sahabatanya.” kata Amanda sembari memberikan handuknya kepada Yogi.
Yogi menyambutnya dengan senyuman. Segera ia mengusap keringatnya dengan handuk Amanda.
“Minumanmu.” Kata Amanda lagi.
Yogi mengambil botol minuman dari tangan Amanda. Ia segera meneguknya. Rasa dahaga langsung hilang dari tenggorokannya.
Amanda merangkul pundak Yogi, “Menangkan pertandingan ini, orang tampan.” Kata Amanda dengan senyum tersimpul di bibirnya. Yogi ikut tersenyum. Ia mengulurkan tangannya, agar Amanda tos dengannya.
Tak berapa lama kemudian, wasit kembali meniup peluit, tanda pertandingan akan kembali dimulai. Yogi bersiap-siap. Ia tos sekali lagi dengan Amanda sebelum masuk lapangan. Sekilas ia melemparkan senyum kepada bidadari yang belum ia kenal namanya.
”Aku bagaimana?” tanya si gadis kepada Amanda. Ia tampak sangat tak enak hati.
”Cuci saja handuk itu sampai bersih, kemudian berikan pada Yogi. Dia bukan seorang yang pemarah. Meskipun kamu telah merusak atau menghilangkan benda berharga baginya, sedikitpun dia tidak akan marah. Bahkan dia bukanlah seorang yang pendendam walau disakiti separah apapun. Jadi, cukup memperbaiki kesalahanmu saja.” Ucap Amanda. Ia lantas meninggalkan perempuan itu menuju bangku di dekat Angkasa.
“Baik sekali kepada Yogi.” Sindir Angkasa ketika Amanda kembali duduk di sebelahnya.
Matanya terus terpaku pada peryandingan yang baru saja dimulai.
“Kepada teman tentu saja harus baik.” balas Amanda seraya berteriak memberi semangat kepada Yogi dan Samson yang sedang bertanding.
“Tapi kepadaku tidak.” Protes Angkasa.
“Kalau kamu baik padaku, pasti aku baik padamu.”
”Aku selalu baik padamu. Aku sering mentraktirmu makan serabi di taman kota.”
”Bukan kalah, tapi mengalah.”
Amanda memandang tajam ke arah Angkasa. Ia tidak rela menang hanya karena lawannya mengalah. ”Ini bukan waktunya bertengkar.” katanya kepada Angkasa. Padahal sebenarnya ia sudah tidak tahan untuk memukul lengan Angkasa seperti biasanya. Ia akhirnya mengalihkan perhatian kepada pertandingan.
Dimana ada Amanda, disana pasti ada Angkasa. Dimana ada mereka berdua, pasti selalu ada pertengkaran. Kedua orang yang sama-sama kekanak-kanakan dan masih ingin menang sendiri itu sangat aneh karena bisa terus bersama sebagai sahabat. Mereka berdua ibarat tikus dan kucing. Tapi ada Ilyas di antara mereka berdua, yang seringkali berperan sebagai penengah.
Sebenarnya belum lama Amanda dan Angkasa memiliki hobi perang mulut. Ketika mereka SMP, tidak pernah mereka memperdebatkan sesuatu. Bahkan mereka sering bersatu menghadapi anak-anak nakal yang suka mengambil bola kaki Angkasa. Mereka mulai tidak akur justru semenjak Amanda suka protes ketika Angkasa bersikap sok keren setelah masuk klub bola. Ditambah lagi suka ganti-ganti pasangan hanya dengan alasan ’bosan’.
Sementara Angkasa mulai membalas sikap Amanda sejak gadis tomboy itu mengatakan kalau basket lebih keren daripada sepak bola. Amanda semakin menyukai basket, sementara Angkasa semakin membenci perubahan Amanda. Sejak gadis tomboy itu suka basket, ia jarang bisa mengajaknya bermain bola di lapangan. Padahal dulu, setiap sore mereka pasti bermain sepak bola bersama anak-anak kompleks lainnya.
Karena rasa kesalnya pada Amanda yang dirasa semakin tidak peduli padanya, Angkasa semakin menjadi-jadi. Ia semakin tebar pesona kepada teman-teman perempuannya. Tapi ketika Amanda mulai memperhatikannya lagi, mulai tampak iri padanya, Yogi yang juga sahabatnya justru semakin dekat dengan Amanda. Ia merasa kembali terpinggirkan. Ia seperti tidak rela Amanda dekat dengan orang lain, karena ia lebih dulu mengenalnya. Padahal sebenarnya Amanda dekat dengan semua sahabatnya, termasuk Angkasa. Ia tidak jarang belajar bersama Ridwan, latihan tinju dengan Samson, bermain catur dengan Ilyas, latihan menggambar dengan Jaka, atau memancing dengan Karang. Tapi karena Angkasa lebih sering melihat sikap berbeda Yogi dan Amanda, ia menyimpulkan jika di antara mereka ada sesuatu. Padahal tidak ada apa-apa. Hanya perasaan sebatas sahabat.
Antara Tomboy dan Playboy
Siang ini matahari bersinar begitu terik. Panas. Namun di atas bendungan udara tidak terasa terlalu panas. Bahkan sesekali semilir angin berhembus membawa kesejukan. Yogi terduduk manis di tepi bendungan sambil melepaskan pandangan ke arah persawahan yang ada di seberang sungai. Di belakangnya ada Ilyas dan Ridwan yang sedang serius main catur. Jaka dan Samson sedang asyik berenang di bendungan yang tepat berada pada sepuluh meter di bawah kaki Yogi. Mandi di saat hari panas memang sangat menyegarkan. Sementara Karang, Angkasa, dan Amanda belum datang. Karang ada rapat mendadak, sedangkan Angkasa dan Amanda sedang mengikuti ekskul rutin di lapangan kecamatan.
”Hai, semua.”
Yogi, Ilyas, dan Ridwan langsung menengok ke arah datangnya suara itu. Ternyata karang. Di tangannya ia membawa bungkusan. Dengan lari-lari kecil ia menapaki anak tangga menuju ke atas bendungan. Samson dan Jaka yang melihat kehadiran Karang langsung berenang ke tepi, menyudahi keasyikan mereka berenang.
”Maaf, membuat kalian lama menunggu. Tadi rapatnya agak sedikit lama.”
”Apa itu?” tanya Ilyas penasaran dan penuh harap yang ada di dalam kantong itu adalah makanan. Karena biasanya selesai rapat, Karang memang selalu membagi-bagikan makanan kepada teman-temannya.
”Oh, ini ada sisa jamuan rapat.”
”Ini bagianku!” seru Samson seraya merebut kantong plastik dari tangan Karang. Ilyas dan Jaka ikut menyerbu.
”Wah, asyik! Kacang rebus dan donat.” Guman Jaka dengan girangnya setelah melihat isi bungkusan itu. Ridwan yang sedari tadi mencoba bertahan, akhirnya ikut berebut juga dengan ketiga temannya itu.
Sementara Yogi masih tetap di posisinya semula. Karang mencoba duduk di sebelahnya. Sejak dulu, tak ada hal yang mampu membuat Yogi antusias. Jangankan membuatnya antusias, hal yang membuatnya tertarik sangat jarang. Ia selalu bersikap biasa dalam menyikapi suatu persoalan.
”Kamu tidak ikut mengambil makanan yang aku bawa? Kalau tidak cepat, nanti habis dimakan mereka.” tanya Karang mencoba membuka kebisuan Yogi.
”Tidak apa-apa, tadi siang aku sudah makan di kantin.”
”Besok kamu tanding basket,kan?”
“Iya.”
Karang menepuk pundak Yogi, ”Semoga menang!” Yogi hanya tersenyum mendapat semangat dari Karang. Keduanya lalu hanyut dalam diam terbawa oleh syahdunya semilir angin yang mengalir. Karang pun tak memiliki topik lagi untuk diperbincangkan dengan orang sesederhana Yogi. Orang yang sederhana dalam bertindak dan dalam menyikapi masalah. Dia seperti orang yang tidak bermasalah. Justru temannya yang menganggapnya bermasalah. Sementara di belakang mereka ada yang masih memperdebatkan makanan.
Ketika sore menjelang, Angkasa dan Amanda baru datang. Amanda masih mengenakan seragam silatnya, sedangkan Angkasa telah mengganti seragam kebanggaannya di lapangan dengan kaos biasa. Meskipun mereka berjalan beriringan, tapi tetap saja tampak seperti dua orang yang tidak akur. Amanda membuang pandangannya, begitupula Angkasa. Mereka memang paling sering bertengkar. Hal sekecil apapun pasti diributkan jika sudah mengemukakan pendapat yang berbeda.
”Kalian kenapa?” tegur Ilyas.
”Angkasa sengaja menendang bola ke arah kepalaku tadi saat aku sedang latihan.”
”Sudah aku bilang, aku tidak sengaja!”
”Kalau tidak sengaja mengapa tepat mengenai aku? Kenapa tidak mengenai orang lain?”
”Mana aku tahu! Seandainya bolanya memiliki mata, tidak mungkin mau mengenai orang cerewet seperrtimu.”
”Sudah salah bukannya minta maaf malah marah-marah!”
”Stop!” seru Karang. Keduanya langsung berhenti berkata-kata. ”Kalian berdua suka sekali ribut. Mengganggu ketenangan saja. Kelakuan kalian seperti anak kecil. Begitu saja tidak mau saling memaafkan.”
”Aku sudah minta maaf.” kilah Angkasa.
”Masa minta maaf sambil lalu begitu saja. Aku tidak terima!”
”Kalian berdua salaman. Ayo saling memaafkan!” pinta Karang. Tapi keduanya malah menyembunyikan tangannnya. Karang menarik tangan Amanda dan Ilyas menarik tangan Angkasa. Kedua tangan itu dipertemukan.
”Maaf!” kata Amanda dan Angkasa hampir bersamaan.
”Nah, begitu kan manis.” guman Ilyas. Tapi tampaknya Angkasa dan Amanda belum seratus persen akur.
”Wah! Makanannya habis!” seru Angkasa melihat sisa-sisa makanan yang sedang dikerumuni Samson, Ridwan, dan Jaka. Ternyata dari tadi mereka diam karena sedang asyik makan.
”Salahmu sendiri datang terlambat.” kilah Samson.
”Juga karena terlalu asyik bertengkar dengan Amanda tentunya.” Tambah Jaka.
Angkasa ikut duduk, ikut memakan kacang rebus yang ada di hadapan Ridwan. Ia berusaha mengambilnya meski dihalang-halangi Ridwan.
Amanda memegangi kepalanya yang sakit terkena tendangan bola. Ia duduk di sebelah Yogi. Karang mengikutinya. Yogi tersenyum melihat satu-satunya wanita di sana yang tubuhnya penuh peluh sambil memijat-mijat kepalanya.
”Masih sakit?” tanyanya. Amanda hanya mengangguk dengan bibir sedikit manyun.
“Sudahlah, masa kena bola saja jadi cemberut. Biasanya kena seribu lemparan batu tetap tersenyum.” canda Karang.
”Hari ini semua orang menyebalkan sekali. Kalau sakit ya tetap saja sakit. Apa aku harus berpura-pura tidak sakit?” keluh Amanda.
”Maaf, maaf. Kalau begitu kita ke rumah sakit saja supaya kamu cepat sembuh.”
Amanda melemparkan tatapan tajam ke arah Karang, ”Pengurus OSIS sepertimu hari ini menyebalkan sekali.” katanya sembari memperlihatkan kepalan tangannya. Yogi memegang pundaknya, hingga hilang semua kesal di hatinya. Apalagi melihat senyuman yang mengisyaratkan agar ia sabar.
”Besok aku ada pertandingan persahabatan di SMA Bhakti Pertiwi. Mau ikut bersama aku dan samson?” ujar Yogi.
Amanda tersenyum. Ia merangkul pundak Yogi, ”Untuk teman sepertimu, tentu saja aku mau.”
”Besok jam delapan aku akan menjemputmu.” Amanda membalas dengan Acungan jempol.
“Apa yang diajak hanya Amanda?” protes Karang.
”Kalau ada waktu, kamu juga boleh datang.” balas Yogi.
”Yogi itu sudah memprediksikan kalau kamu tidak bisa datang. Jadi tidak perlu basa basi. Lagipula besok OSIS ada rapat membahas acara PENSI. Rapatnya jam 9 pagi, kan?”
”Lho, dari mana kamu tahu?” guman Karang penasaran.
”Dasar pikun! Kan kamu sendiri yang bilang.”
”Kapan!?”
”Kemarin di lapangan basket. Selesai ekskul yoga.” Amanda mencoba mengingatkan.
”Oh, iya. Aku lupa.” balasnya sambil cengar-cengir dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Yogi hanya tersenyum.
”Ini akibatnya kalau terlalu banyak melakukan meditasi. Jadi pelupa.” cerocos Amanda.
”Yang penting jangan lupa kalau besok aku dan Angkasa juga akan bertanding di GOR Wasesa jam satu siang. Kalian semua harus datang, ya.” sahut Jaka.
”Mm... bagaimana, ya? Pasti hari sedang panas-panasnya. Aku tidak bisa memastikan bisa datang atau tidak.” ucap Amanda dengan nada bicara yang dibuat-buat. Ia sengaja ingin membuat Angkasa kesal.
”Aku juga berharap orang cerewet sepertimu tidak akan datang. Hanya akan mengganggu konsentrasi saja.” timpal Angkasa.
”Syukurlah kalau begitu. Berarti besok aku cukup datang ke pertandingan Yogi dan Samson.” Jawab Amanda tak mau kalah.
“Kalian berdua kalau sudah berselisih membuat orang lain repot saja. Kenapa, ya? Orang Indonesia itu gengsi sekali mengucapkan dan memberikan kata maaf? Padahal satu kata itu bisa mengobati segala jenis penyakit hati. Gara-gara satu kata itu juga banyak nyawa melayang dan banyak ikatan persaudaraan terputus. Yang lahir hanya kebencian dan permusuhan. Hidup itu kan lebih indah kalau berdamai.” ujar Ilyas.
Amanda dan Angkasa hanya diam karena merasa tersindir. Padahal sudah menjadi hal yang wajar sejak dulu kalau mereka sering bertentangan. Tapi tetap saja membuat orang lain pusing.
*****
Malam telah kembali menyelimuti hari. Amanda baru selesai shalat isya ketika ponselnya berbunyi. Ada telepon. Ia segera memburu ponselnya. Tampak di layar ponselnya, foto Angkasa yang sangat over gaya. Ia ragu utnuk mengangkatnya,karena tadi siang mereka baru saja beradu kata-kata. Dan rasa kesal masih bercongkol di dadanya. Tapi segera ia ingat bahwa Angkasa juga sahabatnya, meskipun terkadang menjengkelkan. Akhirnya ia angkat telepon itu juga.
“Assalamu’alaikum.” Sapa Amanda dengan nada masih berbaur kesal.
“Wa’alaikum salam.” Balas Angkasa yang ada di seberang sana.
“Ada angin apa yang menggerakkanmu untuk meneleponku?”
”Hey, buka jendelanya. Nanti kamu juga merasakan anginnya.” pinta Angkasa.
Amanda langsung menuju jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia menyibakkan tirai dan membuka jendelanya. Seketika angin malam menyeruak menerpa wajahnya. Ingin. Dilihatnya Angkasa sedang berdiri di balkon kamarnya yang tampak mewah. Lelaki itu melambaikan tangan padanya sambil terseyum. Amanda hanya menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Sudah sering Angkasa meneleponnya dengan gaya seperti itu. Padahal seandainya dia mau langsung bicara, Amanda sudah bisa mendengarnya. Karena kamar mereka bersebelahan.
”Ada apa?” tanya Amanda.
”Rambutmu kenapa tidak dikucir kuda?”
Amanda langsung memandangi Angkasa yang juga sedang memperhatikannya. Tidak penting sekali orang menelepon hanya untuk berkomentar. Lelaki itu tersenyum-senyum. Amanda membuang pandangannya ke arah jalan.
“Ini sudah malam. Aku tidak mau melayani pertanyaan tidak penting seperti itu. Sebenarnya mau bicara apa? Kalau tidak ada yang penting, lebih baik diakhiri saja, ya.”
”Begitu saja marah. Kalau aku Yogi, kamu pasti tidak akan berani marah.”
”Karena dia tidak pernah membuat orang kesal sepertimu. Ayo cepat, mau bicara apa? Aku mau mengerjakan PR.”
“Biasanya lupa kalau ada PR matematika. Sekarang ingatannya sudah tajam, ya?”
”Hm! Percakapan seperti ini yang sering membuat orang emosi. Kamu mau berkomentar atau mengatakan sesuatu padaku?” tegas Amanda. Matanya tajam ke arah lelaki yang sedang mengacungkan jari teluntuk dan jari tengahnya itu sambil nyengir kepadanya.
”Iya, iya. Aku hanya ingin mengatakan, tolong besok kamu datang ke pertandinganku. Nanti aku bawakan payung supaya kamu tidak kepanasan.”
Amanda kembali memandangi lelaki yang masih suka tersenyum itu. ”Kenapa? Sepertinya baru tadi siang kamu mengatakan tidak mau orang cerewet sepertiku datang untuk menonton pertandinganmu. Sudah lupa?”
”Nona, aku hanya bercanda. Sudah tiga tahun berteman, ternyata kamu belum juga mengerti aku.”
”Besok aku pasti datang.” jawab Amanda tegas. Ia melihat senyuman Angkasa semakin lebar.
”Begitu baru benar. Besok kita berangkat bersama, ya.”
“Besok aku akan berangkat bersama Yogi. Kamu tunggu saja aku di stadion.”
”Hmm... Yogi lagi. Jangan-jangan kamu suka kepadanya.” terka Angkasa.
”Jangan-jangan justru kamu yang menyukai aku.”
Angkasa terperanjat, ”Apa alasanku untuk suka padamu?”
”Karena kamu tidak suka aku dekat dengan Yogi. Kamu cemburu?” sekarang giliran Amanda yang tersenyum.
Angkasa tiba-tiba diam. Raut mukanya berubah masam. ”Iya.” balasnya singkat seraya mematikan telepon dan pergi masuk kamarnya. Sekarang giliran Amanda yang tertegun. Tidak disangka Angkasa akan menjawab seperti itu. Tapi segera ia tepis pikiran tidak-tidak dalam hatinya.
”Paling hanya perasaan cemburu seorang teman, karena temannya lebih dekat dengan temannya yang lain. Itu wajar.” guman Amanda dalam hati. Ia segera menutup jendelannya, dan kembali menyingkapkan tirainya.setelah itu ia menuju meja belajarnya, menghampiri PR matematika yang harus ia selesaikan sebelum ia lupa.
Pagi menjelang. Matahari telah memancarkan kehangatan sinarnya. Angkasa menyibakkan tirai jendela kamarnya. Dilihatnya jendela kamar Amanda. Masih tertutup. Padahal biasanya setiap pagi tetangganya itu selalu membuka jendelanya, menunjukkan raut masam ketika melihatnya tersenyum dan berkata, ”Kenapa senyum-senyum? Orang yang belum mandi tidak akan terlihat manis meski tersenyum selebar apapun.” Kemudian gadis itu akan menutup tirai jendelanya. Sementara ia akan tersenyum dan kemudian pergi menuju kamar mandi.
Hari ini jendela itu tertutup. Rumah itu kelihatannya sepi. Ayah Amanda pastilah selesai shalat subuh langsung pergi ke pabrik tahu. Ibu Amanda mungkin sedang asyik memasak di dapur. Sementara, dimana Amanda? Tidak mungkin jam enam pagi ia belum bangun. Sekasar-kasarnya Amanda, tak jarang Angkasa mendengar suara orang membaca Al-Qur’an setiap jam tiga pagi, setiap kali ia terbangun untuk shalat malam. LS bukanlah kumpulan orang-orang yang suka menyepelekan waktu shalat. Sedapat mungkin, mereka akan shalat tepat waktu secara berjama’ah, seperti yang sering mereka lakukan di mushala sekolah.
Angkasa kembali memandang jendela itu. Masih tetap tertutup. ”Mungkin karena hari ini hari minggu. Pasti Amanda sedang bermalas-malasan di tempat tidurnya.” guman Angkasa dalam hati. Tapi minggu-minggu sebelumnya jendela itu masih terbuka. Bahkan setiap jam lima pagi, selepas shalat subuh, gadis tomboy itu selalu memanggil-manggil namanya, mengajaknya balapan lari sampai ke taman kota. Dan yang kalah harus mentraktir serabi. Jika teman-teman yang lain ada yang kebetulan lari pagi di sana, yang kalah terpaksa harus menambah traktiran. Angkasa yang sering menjadi tukang traktir. Bukan karena dia kalah dengan anak tomboy itu, tetapi sengaja mengalah.
Masalah uang bagi anak orang kaya seperti dirinya tidak pernah menjadi masalah. Mobil sport warna biru yang menawan bahkan telah ia miliki sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-17. Tapi ia justru lebih suka naik sepeda atau jalan kaki bersama Amanda dan anak-anak LS lainnya. Ia tidak suka datang ke pesta-pesta orang kaya. Ia lebih suka datang ke acara yang tidak memandang status sosial. Pernah beberapa kali teman-teman satu sekolahnya yang tergolong anak orang kaya, ketika mengadakan pesta, mereka tak mau mengundang Jaka, karena mereka merasa Jaka tak sekelas dengan mereka. Padahal Jaka adalah orang yang sangat ia segani. Selain sebagai sahabat, patner bermain bola, Jaka juga seorang guru baginya. Guru yang mengajarinya tentang perlunya bersyukur kepada Tuhan atas apa yang ia miliki. Guru yang mengajari akan pentingnya kerja keras dan kemandirian. ”Sebelum berusaha dengan tenagaku hingga kucuran keringat mengering, aku tak perlu bantuan orang lain.” Begitulah yang selalu Jaka katakan setiap kali ia atau teman yang lain ingin membantunya.
Sahabatnya itu tidak pernah mengeluh dengan keadaannya. Meskipun belum pernah ia datang ke rumah Jaka, namun dari cerita-cerita Ilyas dan Karang, Jaka berasal dari keluarga yang sangat sederhana, yang untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah. Tapi semangat kecintaan Jaka pada pendidikan mampu mengalahkan tembok penghalang itu. Ia bahkan nekad menimba ilmu di sekolah yang tergolong cukup elit. Penghasilan ayahnya yang berprofesi sebagai penjual sayur keliling tidak mungkin mampu menutupi biaya pendidikan Jaka yang cukup mahal. Untungnya, sekolah memberinya kebijakan, ia dibebaskan dari uang SPP maupun buku-buku penunjang, selama ia dapat mempertahankan prestasinya sebagai tiga besar siswa terbaik di setiap semester. Dan ia bisa tetap mempertahankan prestasinya, meski persaingan ketat dengan Ridwan dan Edi terus berkelanjutan. Semester kemarin Ridwan berhasil memperoleh gelar siswa teladan untuk ketiga kalinya. Sementara ia menduduki peringkat kedua.
Oleh karena itu, setiap ada yang meremehkan Jaka, Angkasa hanya akan tersenyum sambil berlalu pergi, mengguman betapa bodohnya orang yang mencela sahabatnya itu. Dan setiap kali ada pesta yang diadakan temannya, tetapi tidak mau mengundang Jaka, ia pun tak akan mungkin datang. Ia justru mengajak teman-temannya jalan-jalan, membuat pesta sendiri, sekaligus untuk membesarkan hati Jaka, bahwa di mata teman-temannya dia sama dengan mereka dan orang-orang lain. Hanya saja kadang orang kurang mengerti karena tak pernah merasakan rasanya hidup sebagai seorang Jaka.
Lamunan Angkasa tentang Jaka dan teman-temannya tiba-tiba buyar ketika mendengar suara sepeda motor berhenti tepat di depan rumah Amanda. Ia tak tahu siapa orang yang datang ke rumah Amanda karena wajah orang itu tertutup oleh helm. Tapi dari postur tubuhnya, Angkasa bisa memastikan kalau ia seorang laki-laki. Beberapa saat kemudian, Amanda keluar dari dalam rumah. Dengan ramput dikucir kuda dan jaket warna merah serta senyuman yang mengembang di bibirnya, ia tetap terlihat manis. Orang itu memberikan helm kepada Amanda seraya mengajak Amanda untuk naik motornya.
“Amanda!” seru Angkasa. Amanda yang akan memakai helm urung melakukannya karena kaget mendengar seruan memanggil namanya.
“Ada apa?” jawabnya dengan suara yang agak diperkeras setelah tahu asal suara yang memanggilnya dari arah balkon kamar Angkasa. Lelaki di samping Amanda pun ikut menoleh ke arah Angkasa. Tiba-tiba lelaki itu membuka helm yang ia kenakan, dengan senyuman ia melambaikan tangannya ke arah Angkasa. Angkasa sedikit meragukan ketajaman matanya melihat orang itu. Yogi! Angkasa berharap dia bukan Yogi.
“Hey, ada apa, wahai pangeran yang bau dan belum mandi?” tegas Amanda, karena agak lama Angkasa tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Angkasa tersadar dari keheranannya, “Eh, mau kemana?” tanyanya.
”Pertanyaan bodoh! Tentu saja aku akan pergi menonton pertandingan Yogi. Kamu tidak mau ikut?” seru Amanda sembari merangkul pundak Yogi.
”Katanya jam delapan, kenapa jam tujuh sudah mau berangkat?”
”Latihan dulu!” balas Amanda. ”Ah, kita harus cepat-cepat berangkat. Kalau kamu mau ikut, menyusul saja, ya. Mandi dulu, supaya wangi. Pertandingannya nanti jam setengah sembilan.” tambahnya, seraya mengajak Yogi untuk segera menjalankan motornya. Yogi hanya melambaikan tangan ke arah Angkasa sebelum tancap gas.
Kini hanya tersisa kepulan asap yang kian lama makin menghilang. Yogi dan Amanda telah berlalu. Angkasa merasa kecewa. Kemarin sore sengaja ia mencuci mobilnya hingga mengkilap untuk mengajak Amanda berangkat bersamanya keesokkan harinya, setengah jam sebelum Yogi datang. Tapi ternyata Yogi justru datang satu jam lebih awal. Angkasa menjadi berpikir, apa kurangnya dia dibandingkan Yogi? Sudah pasti lebih unggul Angkasa. Tidak seperti Yogi, dia bahkan terlalu banyak bicara.
Ketika hatinya sedang dipenuhi rasa kecemburuan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dengan malas ia masuk ke kamarnya, mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja belajar. Telepon dari pelatihnya. Ia ngkat telepon itu.
”Halo, assalamu’alaikum.” katanya.
”Wa’alaikum salam.” jawab dari seberang sana. ”Angkasa, apakah tim kita sudah siap bertanding hari ini?”
”Insya Allah, sudah, Pak.”
”Kalau begitu, datanglah lebih awal untuk latihan. Bapak sudah menghubungi teman-temanmu, kecuali Jaka. Tolong kamu hubungi dia.”
”Tapi kenapa pertandingannya harus siang, Pak? Kan panas. Nanti tidak ada yang mau menonton.” keluh Angkasa.
”Menurut ramalan cuaca, hari ini akan mendung. Tenang saja. Harus tetap semangat, ya! Wassalamu’alaikum.”
”Wa’alaikum salam.” balas Angkasa. Ia melihat ke luar jendela. Langit tampak begitu cerah. ”Pak Andi memang ada-ada saja.” gumannya dalam hati.
Selang beberapa saat setelah ponsel ia letakkan, ponselnya kembali berbunyi. Ia ambil, di layar muncul foto wajah cantik Afara, kekasih barunya. Baru satu minggu mereka menjalin hubungan setelah seminggu sebelumnya ia telah mengakhiri hubungan dengan Resti. Jika Resti seorang model, maka Afara tak kalah populer dibandingkan mantan kekasih Angkasa itu. Dia adalah seorang covergirl. Wajahnya cukup sering muncul menghiasi majalah-majalah remaja saat ini. Banyak siswa laki-laki yang menyukainya. Tapi entah mengapa ia justru tertarik kepada Angkasa yang hanya terkenal di SMA Garuda Satria dan beberapa sekolah yang pernah menonton pria itu bermain bola. Pernah suatu ketika ia ditawari oleh Afara untuk menjadi cover majalah. Tapi dia menolak. Alasannya karena dia lebih menyukai berpeluh di lapangan daripada tampil tampan dengan bedak di depan kamera.
Walau bagaimanapun, Angkasa tetap menjadi idola. Mungkin hampir semua perempuan cantik dan berbakat di SMA itu pernah menjadi kekasihnya, terkecuali Amanda. Afara saja sangat mudah ia dapatkan. Setelah mengakhiri hubungan dengan Resti—tepatnya Resti yang meninggalkannya—Angkasa yang tahu jika Afara sering memperhatikannya bermain futsal di lapangan, ia langsung mendekati gadis itu. Tak butuh waktu lama, hanya beberapa hari saja, Afara sudah menjadi kekasih barunya. Dengan seikat bungan dan ucapan ”Maukah kamu menjadi teman spesial dan teman dekatku?”, siapa perempuan yang berani menolak Angkasa. Mungkin seandainya Angkasa melontarkan kata-kata itu kepada Amanda, akan lain ceritanya. Amanda mungkin akan menertawakannya habis-habisan.
”Halo, sayang.” sapa Angkasa ketika mengangkat telepon dari Afara.
”Halo.” balas Afara dari ujung telepon. “Sayang, nanti jemput aku, ya. Hari ini aku tidak ada pemotretan. Jadi, aku bisa menonton pertandinganmu.” katanya dengan nada penuh kebahagiaan. Berbeda dengan perasaan Angkasa saat ini.
”Kalau boleh jujur, aku ingin sekali kamu datang dan melihat aku bermain. Pasti aku akan lebih bersemangat. Tapi lebih baik kamu jangan ikut.” bujuk Angkasa dengan kata-kata sok bijaksana.
”Kenapa seperti itu? Jarang kita memiliki waktu untuk berdua. Sekarang, ketika aku ada waktu luang, kamu tidak mau pergi bersamaku.” suara Afara menunjukkan kalau ia sangat kecewa.
”Bukan begitu maksudku, sayang. Kamu tahu aku sangat menyukaimu. Seperti para fans yang mengagumimu. Kamu harus menyadari posisimu kalau kamu adalah seorang covergirl dan foto model. Menjaga penampilan sangat penting untukmu. Kamu belum tahu betapa panasnya udara di lapangan nanti siang. Bagaimana kalau kulitmu menjadi hitam, mukamu menjadi kusut terkena debu lapangan? Apa kamu mau terlihat jelek di depan orang banyak?”
”Tidak.” kata Afara dengan manjanya.
”Karena itu aku sarankan kamu tidak perlu ikut.” tegas Angkasa.
”Tapi aku ingin pergi berdua denganmu.” timpal Afara.
“Lain kali kan bisa. Lagipula setiap hari kita selalu bertemu di sekolah. Kamu kurangilah aktivitasmu, supaya kita lebih sering menghabiskan waktu bersama.”
”Akan aku usahakan.” jawab Afara dengan nada lesu. ”Semoga berhasil, ya.”
”Uh, mendengar semangat dari wanita cantik di seberang sana, aku menjadi seratus kali lebih bersemangat.”
Afara tertawa kecil mendengar kata-kata Angkasa.
”Sayang, sudah dulu, ya. Aku harus bersiap-siap berangkat.” kata Angkasa.
”Baiklah. I love you.”
Angkasa terdiam sesaat, “Bye.” Katanya. Ia langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia memang aneh. Ia sering mengucapkan ‘sayang’ kepada kekasihnya. Tapi kata ‘I love you’ tak pernah terlontar dari bibirnya kepada seorang wanita.
Angkasa tersenyum. Ia merasa sudah berhasil mengatasi satu masalahnya, Afira. Entah mengapa ia selalu seperti itu. Ia begitu mudah mengagumi dan melupakan seseorang. Padahal baru satu minggu ia bersama Afira, sudah mulai tumbuh rasa jenuh dan bosan di hatinya.
Perempuan seakan hanya menjadi beban baginya. Padahal ia sendiri yang menginginkannya.
Angkasa segera bergegas menuju kamar mandi, agar dapat segera menyusul Amanda dan Yogi. Ia ingin mengganggu mereka. Ia beranggapan kalau Amanda tidak adil, hanya baik kepada Yogi. Padahal ia lebih dulu mengenal gadis tomboy itu. Sebelumnya ia telah menghubungi Gerdi—teman satu tim futsalnya---untuk menjemput Jaka dan menyuruh ia memimpin teman-temannya latihan sebelum bertanding. Ia sendiri telah berniat mengabaikan perintah pelatih utnuk latihan, agar dapat melihat pertandingan Yogi, sekaligus membuat Amanda merasa tidak nyaman.
*****
Sorak sorai penonton di sekitar lapangan basket SMA Bhakti Pertiwi memeriahkan suasana pagi itu. Sebelum pertandingan dimulai, ada penampilan cheerleaders dari kedua klub yang akan bertanding. Penampilan para pemandu sorak yang indah itu diiringi oleh tepuk tangan yang meriah. Para pemain basket merasa diberi penyegaran suasana sebelum bertanding. Apalagi Samson. Sementara Yogi tetap biasa-biasa saja. Tak jauh berbeda dengan Amanda yang hanya asyik dengan permen karetnya.
“Kenapa harus ada tarian sebelum pertandingan? Tidak masuk akal. Membosankan.” guman Amanda.
Yogi tersenyum. Ia memberikan sebotol minuman untuk Amanda. Ia lihat gadis itu penuh peluh, karena ketika latihan gadis itu ikut-ikutan turun ke lapangan. Amanda menerimanya dengan agak tidak bersemangat. Samson masih terpana dengan penampilan para pemandu sorak.
”Kenapa?” tegur Yogi.
Amanda menoleh, ”Ah, tidak apa-apa.” jawabnya singkat. Kemudian ia meneguk air mineral itu setelah ia membuang permen karet yang sejak tadi bersarang di mulutnya.
“Kamu tidak suka datang ke tempat ini?” terka Yogi.
Amanda balik menatap Yogi, ”Kenapa harus tidak suka?” katanya dengan ekspresi sok serius. Ia tersenyum, ”Aku hanya kesal, lama sekali mereka menari-nari di tengah lapangan seperti orang aneh saja. Aku kan ingin segera melihat teman baikku ini memenangkan pertandingan ini. Oke!” tambahnya dengan kata-kata penuh semangat.
Yogi ikut terbawa semangat yang dikobarkan gadis tomboy itu. Yogi tahu persis, beberapa kali Amanda datang ke pertandingannya selalu telat dari yang lain. Ternyata gadis itu sudah memprediksikan kalau pertandingan basket pasti akan diawali oleh penampilan pemandu sorak, yang perform sekitar setengah jam. Dan gadis itu tidak pernah menyukai tari-tarian seperti itu. Ia lebih suka ikut bermain langsung di lapangan.
”Hey, apa kalian memperhatikan? Ternyata Moya cantik juga, ya.” kata Samson sembari terus memperhatikan leader pemandu sorak dari sekolah mereka. Matanya seperti terhipnotis oleh kelihaian pemandu sorak itu. Amanda dan Yogi saling berpandangan. Mereka sama-sama aneh, mendengar Samson memuji seseorang.
”Halo, semua!” sapa Angkasa ketika ia baru saja tiba. Ia langsung menyusup, duduk di antara Yogi dan Amanda. Terang saja mereka berdua terkejut dengan kehadiran Angkasa yang tiba-tiba. Angkasa melemparkan senyum kepada Amanda dan Yogi. Samson tampak kurang begitu peduli dengan kehadiran orang itu. Ia lebih tertarik melihat apa yang ada di hadapannya. Namun senyuman itu disambut heran oleh Yogi dan raut kesal Amanda.
”Hey, kenapa kalian menyambutku seperti ini? Tidak suka dengan kedatanganku?” ucap Angkasa.
Dengan sangat cepat lelaki itu merebut botol minuman di tangan Amanda dan meminum isinya sampai tetes yang terakhir. Yogi hanya bisa menggeleng-geleng. Amanda terlihat semakin kesal. Apalagi ketika Angkasa kembali merekahkan senyuman. Gadis itu membuang pandangan dari orang menyebalkan yang telah menghabiskan minumannya itu.
Beberapa saat kemudian, penampilan para pemandu sorak berakhir. Yogi dan Samson dipanggil oleh pelatih mereka untuk memantapkan strategi. Seorang wasit berdiri di tengah lapangan dengan membawa sebuah bola. Dengan isyarat peluit ia memanggil semua pemain untuk masuk ke lapangan.
Amanda merasa sangat tidak nyaman berada di dekat trouble maker seperti Angkasa. Ia masih haus. Tapi minumannya sudah dihabiskan orang di sampingnya. Dari arah lapangan Yogi tersenyum ke arahnya. Amanda membalas senyuman itu. Angkasa turut memperhatikan komunikasi mata dua arah itu. Dengan sengaja ia merangkul Amanda seraya melambaikan tangan kepada Yogi. Amanda segera menjauhkan trouble maker itu dari jangkauannya. Yogi tersenyum melihat ulah kedua temannya itu. Amanda menjabatkan mengangkat kedua tangannya ke atas, kemudian menjabatkan keduannya, sebagai tanda persahabatan. Angkasa mengikuti. Yogi dan Samson yang melihat membalasnya dengan melakukan hal yang sama.
Pertandingan berlangsung cukup sengit. Babak pertama akhirnya berakhir dengan keunggulan SMA Garuda Satria. Para pemain keluar lapangan untuk beristirahat sebentar. Samson dan teman-temannya berjalan menuju bangku pemain. Yogi mengambil sebotol air mineral. Ketika ia hendak meminumnya, ia teringat Amanda yang tadi hanya sempat minum sedikit karena airnya diminum Angkasa. Akhirnya ia urung meminumnya. Ia berjalan ke arah bangku penonton, mendekati Amanda.
”Permainan yang bagus.” puji Amanda. ”Kalahkan mereka dalam dua babak langsung!”
tambahnya.
Yogi tersenyum. Ia menyerahkan botol minuman di tangannya kepada Amanda. ”Minumlah,” katanya.
Amanda heran. ”Aku hanya penonton, Yogi. Kamu yang harus meminumnya untuk memulihkan staminamu.”
Yogi berjongkok di depan Amanda. Angkasa hanya sebagai patung yang menyaksikan kelakuan kedua temannya itu. Ia berusaha bersikap biasa-biasa saja, meskipun sebenarnya dalam hati bercongkol rasa kesal.
“Seorang sahabat tahu apa yang dibutuhkan sahabatanya.” kata Yogi sembari memberikan minuman itu kepada Amanda.
Amanda tersenyum. Ia tersanjung, karena Yogi bisa tahu kalau ia sedang haus. Tentunya tidak seperti Angkasa yang justru lebih suka meledeknya. Dengan senang hati ia menerima pemberian itu. Kemudian Yogi kembali ke bangku pemain. Amanda buru-buru meminum air mineralnya, sebelum Angkasa kembali merebutnya.
“Pelan-pelan saja, aku tidak akan merebut minumanmu.” kata Angkasa dengan nada seperti kecewa.
Amanda sekilas melihat ekspresi orang di sebelahnya seperti orang yang gagal. Sangat miris. Namun ia tak peduli. Angkasa memang selalu begitu kalau merasa kalah.
Ketika akan mengambil handuknya, Yogi kebingungan karena tidak menemukan handuknya di atas tasnya. Padahal ia sudah sangat ingin mengelap keringat di wajahnya.
”Sam, kamu melihat handukku?” tanyanya kepada Samson yang sedang asyik meminum air mineralnya.
”Memangnya kamu taruh dimana?”
Yogi menunjuk ke arah tasnya, tempat ia meletakkan handuknya sebelum pertandingan. Samson mengangkat kedua bahunya, kemudian pergi. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, seperti tingkah laku kebanyakan orang yang sedang kebingungan. Sekali lagi ia membuka tasnya, meskipun ia yakin sebelumnya ia telah mengeluarkan handuk dari dalam tas kebanggaannya itu.
”Maaf, apa kamu pemilik tas itu?” tanya seseorang dari arah belakang Yogi.
Yogi segera membalikan tubuhnya. Seorang perempuan cantik dengan kulit putihnya tepat barada di hadapannya. Yogi hampir tak bisa bernapas. Begitu terkesimanya ia, hingga seluruh tubuhya serasa membatu. Bibirnya sulit untuk digerakkan. Ia seperti melihat seorang bidadari berambut panjang dengan mata beningnya.
”Maaf, apa tas itu milikmu?” tanya perempuan itu lagi.
Yogi tersadar. ”Eh! Em... iya.” katanya dengan nada tergagap. Gadis itu tersenyum, membuat Yogi tertunduk malu.
“Aku ingin minta maaf. Handukmu aku yang mengambilnya.” kata gadis itu jujur. Yogi membelalakkan matanya, seperti terkejut. ”Aku memakainya untuk mengelap es krim yang membuat wajah keponakanku belepotan. Tapi nanti aku akan menggantinya.”
Yogi bingung, ingin kesal atau tidak. Satu sisi ia kesal, karena handuk kebanggaan anak LS sudah digunakan oleh sembarang orang. Belum lagi peluhnya yang terus mengucur, karena sedari tadi belum ia seka dengan handuk. Di sisi lain, ia tidak mungkin kesal kepada seseorang yang tampak seperti bidadari di hadapannya itu.
Ia menunduk, ”Kamu tidak perlu menggantinya.” katanya.
”Orang yang bersalah tentu saja harus memperbaiki kesalahannya. Kamu tidak memaafkan aku?”
”Tidak apa-apa. Aku sudah mengikhlaskannya.” kata Yogi dengan bijaknya.
”Mana bisa seperti itu. Aku akan tetap menggantinya dengan handuk yang sama persis dengan milikmu.”
”Kamu tidak akan menemukannya.”
”Mengapa tidak?” kilah si gadis dengan rasa optimis bahwa ia pasti bisa mendapatkan handuk itu.
”Hanya ada delapan orang di dunia ini yang memiliki handuk seperti ini.” kata Amanda yang secara tiba-tiba datang. Ia memperlihatkan handuknya yang berlogo LS kepada gadis optimis itu.
“Seorang sahabat tahu apa yang dibutuhkan sahabatanya.” kata Amanda sembari memberikan handuknya kepada Yogi.
Yogi menyambutnya dengan senyuman. Segera ia mengusap keringatnya dengan handuk Amanda.
“Minumanmu.” Kata Amanda lagi.
Yogi mengambil botol minuman dari tangan Amanda. Ia segera meneguknya. Rasa dahaga langsung hilang dari tenggorokannya.
Amanda merangkul pundak Yogi, “Menangkan pertandingan ini, orang tampan.” Kata Amanda dengan senyum tersimpul di bibirnya. Yogi ikut tersenyum. Ia mengulurkan tangannya, agar Amanda tos dengannya.
Tak berapa lama kemudian, wasit kembali meniup peluit, tanda pertandingan akan kembali dimulai. Yogi bersiap-siap. Ia tos sekali lagi dengan Amanda sebelum masuk lapangan. Sekilas ia melemparkan senyum kepada bidadari yang belum ia kenal namanya.
”Aku bagaimana?” tanya si gadis kepada Amanda. Ia tampak sangat tak enak hati.
”Cuci saja handuk itu sampai bersih, kemudian berikan pada Yogi. Dia bukan seorang yang pemarah. Meskipun kamu telah merusak atau menghilangkan benda berharga baginya, sedikitpun dia tidak akan marah. Bahkan dia bukanlah seorang yang pendendam walau disakiti separah apapun. Jadi, cukup memperbaiki kesalahanmu saja.” Ucap Amanda. Ia lantas meninggalkan perempuan itu menuju bangku di dekat Angkasa.
“Baik sekali kepada Yogi.” Sindir Angkasa ketika Amanda kembali duduk di sebelahnya.
Matanya terus terpaku pada peryandingan yang baru saja dimulai.
“Kepada teman tentu saja harus baik.” balas Amanda seraya berteriak memberi semangat kepada Yogi dan Samson yang sedang bertanding.
“Tapi kepadaku tidak.” Protes Angkasa.
“Kalau kamu baik padaku, pasti aku baik padamu.”
”Aku selalu baik padamu. Aku sering mentraktirmu makan serabi di taman kota.”
”Bukan kalah, tapi mengalah.”
Amanda memandang tajam ke arah Angkasa. Ia tidak rela menang hanya karena lawannya mengalah. ”Ini bukan waktunya bertengkar.” katanya kepada Angkasa. Padahal sebenarnya ia sudah tidak tahan untuk memukul lengan Angkasa seperti biasanya. Ia akhirnya mengalihkan perhatian kepada pertandingan.
Dimana ada Amanda, disana pasti ada Angkasa. Dimana ada mereka berdua, pasti selalu ada pertengkaran. Kedua orang yang sama-sama kekanak-kanakan dan masih ingin menang sendiri itu sangat aneh karena bisa terus bersama sebagai sahabat. Mereka berdua ibarat tikus dan kucing. Tapi ada Ilyas di antara mereka berdua, yang seringkali berperan sebagai penengah.
Sebenarnya belum lama Amanda dan Angkasa memiliki hobi perang mulut. Ketika mereka SMP, tidak pernah mereka memperdebatkan sesuatu. Bahkan mereka sering bersatu menghadapi anak-anak nakal yang suka mengambil bola kaki Angkasa. Mereka mulai tidak akur justru semenjak Amanda suka protes ketika Angkasa bersikap sok keren setelah masuk klub bola. Ditambah lagi suka ganti-ganti pasangan hanya dengan alasan ’bosan’.
Sementara Angkasa mulai membalas sikap Amanda sejak gadis tomboy itu mengatakan kalau basket lebih keren daripada sepak bola. Amanda semakin menyukai basket, sementara Angkasa semakin membenci perubahan Amanda. Sejak gadis tomboy itu suka basket, ia jarang bisa mengajaknya bermain bola di lapangan. Padahal dulu, setiap sore mereka pasti bermain sepak bola bersama anak-anak kompleks lainnya.
Karena rasa kesalnya pada Amanda yang dirasa semakin tidak peduli padanya, Angkasa semakin menjadi-jadi. Ia semakin tebar pesona kepada teman-teman perempuannya. Tapi ketika Amanda mulai memperhatikannya lagi, mulai tampak iri padanya, Yogi yang juga sahabatnya justru semakin dekat dengan Amanda. Ia merasa kembali terpinggirkan. Ia seperti tidak rela Amanda dekat dengan orang lain, karena ia lebih dulu mengenalnya. Padahal sebenarnya Amanda dekat dengan semua sahabatnya, termasuk Angkasa. Ia tidak jarang belajar bersama Ridwan, latihan tinju dengan Samson, bermain catur dengan Ilyas, latihan menggambar dengan Jaka, atau memancing dengan Karang. Tapi karena Angkasa lebih sering melihat sikap berbeda Yogi dan Amanda, ia menyimpulkan jika di antara mereka ada sesuatu. Padahal tidak ada apa-apa. Hanya perasaan sebatas sahabat.
SATU WANITA TUJUH CINTA
Bagian I
They are Little Shine
Pagi yang cerah di sebuah SMA ternama di Bandung. SMA Garuda Satria. Beberapa burung asyik berkicau di dahan-dahan pohon rimbun taman sekolah. Sudah banyak siswa yang datang ke tempat menimba ilmu itu. Beberapa guru juga mulai terlihat di ruangannya. Di setiap kelas terdengar lantunan musik yang saat ini sedang digemari kebanyakan anak muda. Musik itu berasal dari salah satu ruangan di ruang guru yang khusus digunakan untuk menyampaikan pengumuman atau memutar musik di luar jam pelajaran. Tak jarang juga digunakan untuk ajang kirim salam dan reques lagu kepada pengurus OSIS yang bertugas setiap jam istirahat tiba. Khusus hari jum’at diputar musik-musik islami.
Lantunan lagu “Semua Tentang Kita” milik band Peterpan terus mengalun, mengiringi langkah sekelompok siswa yang sangat terkenal di SMA itu. Mereka adalah Karang, Angkasa, Jaka, Ridwan, Ilyas, Samson, Yogi, dan Amanda. Mereka adalah delapan sahabat dengan karakter yang berbeda-beda yang menamakan diri ”LS”, alias ”Little Shine”, yang artinya ”Cahaya Kecil”. Masing-masing dari mereka selalu memakai dekker kecil di tangan kiri mereka yang berlogo kunang-kunang dengan tulisan ”Little Shine” yang mengelilinginya.
Dapat dikatakan kalau mereka adalah salah satu genk di sekolah itu. Tapi genk yang satu ini tidak menutup diri dari orang lain. Mereka masih tetap akrab dengan teman di luar LS. Bahkan seringkali mereka terlihat asyik dengan teman-teman mereka, karena hobi mereka berbeda-beda. Samson dan Yogi suka basket. Angkasa dan Jaka pecinta sepak bola sejati. Ridwan suka berdiskusi dengan kelompok ilmiahnya dan lebih sering berkunjung ke perpustakaan. Amanda senang dengan klub pencak silat dan karate. Ilyas sering sibuk bersama klub teaternya. Sedangkan Karang lebih suka menjadi aktivis di OSIS dan DPK (Dewan Perwakilan Kelas).
Meskipun mereka disibukkan oleh kegiatan mereka, namun kebersamaan mereka tetap terjaga. Hampir setiap minggu sore mereka berkumpul di sungai, tempat pertemuan tetap mereka. Atau terkadang saat istirahat tiba, mereka berkumpul di gudang sekolah yang merupakan tempat pertemuan rahasia di sekolah. Tak jarang mereka berkumpul dengan jumlah tak lengkap delapan orang. Setiap dari mereka sudah dapat memahami kesibukan mereka. Paling tidak setiap hari mereka dapat bertemu. Karena entah kebetulan atau bagaimana, mereka dapat menjadi satu kelas. Bahkan mereka menempati kelas yang dianggap unggulan di sekolah itu. Hanya siswa dengan prestasi baik yang dapat menempatinya.
Selain hobi, karakter mereka juga jauh berbeda. Amanda yang tomboy dan sangat suka berkelahi. Angkasa, anak orang kaya yang selalu tampil menarik dan suka ganti-ganti pacar. Jaka yang rendah diri, baik hati, dan suka melucu. Karang yang selalu optimis dan teguh pendirian. Ilyas yang lemah lembut, bijaksana, dan penyabar. Yogi yang sangat pendiam. Samson yang keras kepala, emosian, galak, dan egois. Serta Ridwan yang selalu berpenampilan sederhana (penampilan yang dianggap ketinggalan jaman) dengan kacamata tebalnya, seperti layaknya para ilmuwan.
*****
Pertemuan delapan sahabat itu bermula saat MOS (Masa Orientasi Siswa), yaitu semacam kegiatan pengenalan lingkungan sekolah yang dilaksanakan OSIS kepada semua siswa baru selama tiga hari, dari hari senin sampai rabu Tepat di hari terakhir kegiatan itu, ada permainan yang dirancang oleh panitia. Cara mainnya, semua peserta MOS diminta untuk memperebutkan kartu warna-warni yang diletakkan panitia di tengah lapangan. Kartu-kartu itu ada tujuh warna, yaitu: merah, putih, kuning, biru, hijau, ungu, dan hitam. Setiap anak harus mendapatkan salah satu. Jika tidak, ada sanksi yang akan diterima.
Permainan pun dimulai. Semuanya berebut untuk mendapatkan kartu-kartu itu. Setelah itu, seluruh peserta di suruh berbaris berdasarkan warna kartu yang mereka miliki. Fungsi kartu itu nanti sebagai tiket masuk permainan yang disesuaikan dengan warna kartu mereka. Kebanyakan dari mereka mendapatkan kartu putih. Dan hanya sedikit yang mendapatkan kartu hitam. Hanya delapan orang, yang tak lain adalah LS.
”Baiklah, kalian semua masing-masing sudah mendapatkan satu kartu. Jangan heran atau mempertanyakan, mengapa jumlah kartu yang berwarna sama berbeda. Mengapa kartu warna putih lebih banyak dan kartu warna hitam paling sedikit.” semua menjadi berisik mendengar kata-kata yang disampaikan oleh ketua panitia. Mereka bertanya-tanya mengapa demikian.
”Saya minta kalian tenang!” seru ketua panitia. Seketika suasana kembali hening. Ketua panitia melanjutkan kata-katanya,
”Bagi yang mendapat kartu warna merah, silakan mengikuti Kak Salsa disebelah sana. Kalian akan diajak makan bersama.” kata-kata ketua panitia bernama Johan itu disambut riuh sorak sorai gembira oleh kelompok yang mendapat kartu merah.
”Hey,diam dulu, saya belum selesai bicara.” Sergah Johan. Mereka kembali diam. ”Sebelum kalian ikut acara makan bersama, terlebih dahulu kalian harus melaksanakan tugas. Tugasnya membersihkan taman, selokan, dan halaman sekolah.”
”Huu....!” seloroh anak yang mendapat kartu merah. Mereka merasa sial. Sementara yang lain tertawa, mengejek mereka yang terlalu percaya diri akan mendapat tugas yang enak. Akhirnya mereka ribut dan saling mengejek.
”Sudah, sudah! Semuanya juga akan mendapatkan hal yang sama.” suasana kembali tenang. Johan melanjutkan bicaranya. ”Bagi yang mendapat kartu putih, nanti ikut Kak Toni. Tugas kalian membersihkan seluruh ruang kelas.”
”Kak, yang dapat kartu putih dapat makan juga?” tanya salah seorang peserta dari kelompok kartu putih yang bertubuh agak gemuk. Semua menyorakinya.
”Kalian semua nanti akan menikmati hidangan spesial, tenang saja.” ucap Johan. Anak yang bertanya tadi terlihat senang.
”Baiklah, yang mendapat kartu biru nanti mengikuti Kak Frans untuk membersihkan toilet.” kelompok kartu biru kecewa, karena tugasnya membersihkan toilet yang pasti kotor dan bau. Banyak terdengar suara keluhan dari mereka. Namun panitia seperti tidak peduli. ”Masa kalian tidak mau, sekolahan kita menjadi bersih. Ini kan kegiatan untuk kebaikan kita bersama.” tambah Johan.
”Okay, kelompok kartu hijau nanti bersama Kak Yahya untuk membersihkan lingkungan mushala dan kantin. Kelompok ungu bersama Kak Mutiara tugasnya membersihkan laboratorium, sedangkan kelompok Kuning bersama Kak Wahyu membersihkan lapangan bola, lapangan voli, lapangan basket, dan tempat parkir.”
Karang mengangkat tangannya, ”Kak, kelompok kartu hitam tugasnya apa?” tanyanya.
”Renang di kolam ikan!” ledek salah seorang peserta dari kelompok kartu putih. Semua menertawakan delapan anak yang memperoleh kartu hitam itu.
”Marlo, pulang nanti aku tunggu di depan pintu gerbang!” ancam Samson dengan raut muka penuh kemarahan. Marlo yang tadi meledek seketika terdiam.
”Menunggu untuk apa, Sam?” tanya Johan yang mengetahui amarah dalam dada Samson.
”Untuk pulang bersama, kak.” balas Samson dengan senyuman.
“Baiklah. Panitia sengaja membuat jumlah kartu hitam hanya sedikit, karena yang mendapat kartu hitam akan diberi kebijakan tidak perlu ikut bekerja bakti seperti yang lain.” Kata Johan menjelaskan. Kedelapan anak yang mendapat kartu hitam merasa beruntung. Mereka langsung berjabat tangan, sementara yang lain kecewa.
”Itu tidak adil,kak!” protes salah seorang peserta.
“Apa seandainya temanmu mendapat nilai baik, sedangkan nilaimu tidak baik, berarti gurumu atau Tuhanmu tidak adil padamu?” tanya Johan.
“Mungkin!”
“Setiap orang memiliki rejekinya masing-masing sesuai dengan jalan yang mereka pilih. Seandainya kamu ingin seperti mereka, kenapa tadi tidak memilih kartu hitam? Kenapa kamu justru memilih kartu hijau? Siapa yang salah? Padahal panitia membebaskan kalian untuk memilih kartu yang kalian suka.” semuanya terdiam, termasuk anak yang tadi protes.
”Ini adalah satu pelajaran bagi kalian agar mensyukuri dan ikhlas dengan apa yang kalian dapatkan. Di sekolah ini diberlakukan adanya kelas unggulan. Siapa saja yang ingin menghuni kelas itu, syaratnya hanya satu. Nilai kalian harus di atas rata-rata. Walaupun diantara kalian ada anak orang kaya, tidak akan pernah bisa masuk ke kelas unggulan jika nilainya tidak memenuhi syarat. Dalam kehidupan pasti ada seleksi alam. Hanya yang terbaik dan beruntung yang akan mendapatkan yang terbaik. Apa sekarang kalian mengerti?”
”Mengerti....” seru mereka.
”Sekarang kalian silakan mengikuti pembina masing-masing. Sementara untuk kelompok kartu hitam, silakan mengikuti panitia ke ruang OSIS.”
Semuanya langsung bubar mengikuti instruksi ketua panitia. Delapan orang yang mendapat kartu hitam mengikuti panitia yang lain menuju ruang OSIS. Baru pertama kali mereka melihat langsung ruangan yang dianggap paling penting bagi siswa di SMA itu. Suatu kebanggaan seandainya dapat menjadi seorang pengurus OSIS. Sementara yang lain sedang sibuk bekerja bakti, delapan anak itu malah diajak makan bersama oleh pengurus OSIS.
”Kak, apa tidak apa-apa seperti ini?” tanya Ridwan, cowok berkacamata tebal itu.
”Kamu mau ikut kerja bakti seperti yang lain?” tanya Ramdan, ketua OSIS periode itu.
”Tidak juga.”
”Sudah, nikmati saja apa yang kamu dapatkan. Seperti yang Johan katakan, setiap orang mendapatkan rejekinya masing-masing.” jawab Ramdan dengan nada bijaksana.
”Amanda, kamu jadi anak paling cantik di antara mereka.” sahut Johan. Amanda hanya biasa-biasa saja mendengarnya.
”Menurutku lebih cantik Ilyas.” ucap Karang.
”Ah, jangan terlalu memuji.” balas Ilyas santai. Dulunya Karang dan Ilyas memang satu SMP dan Karang pernah melihat Ilyas pementasan drama berperan sebagai perempuan. Memang cantik tampilannya. Lebih halus dari Amanda yang sudah kelihatan seperti anak tomboy. Mereka terus bercanda ria dengan para panitia. Di sela-sela canda ria, sesekali sang ketua OSIS menceritakan keadaan di sekolah itu. Dari organisasi OSIS itu sendiri, semua ekstrakurikuler yang ada, kegiatan-kegiatan rutin, sampai karakter para guru dan siswa yang ada. Mereka beruntung memperoleh pengetahuan yang lebih dari yang lain.
Sedang asyik-asyiknya sharing, tiba-tiba seorang perempuan cantik masuk. Namanya Niken.
”Oh, ini mereka,ya?” katanya.
”Iya.” jawab Ramdan.
”Iya bagaimana?” tanya Amanda penasaran.
”Begini, kalian kan dapat kartu hitam, jadi tugas kalian adalah membuat sebuah drama untuk pementasan di malam api unggun malam minggu besok.” sahut Johan menjelaskan.
”Apa tidak salah!? Aku mana bisa bermain drama.” kata Samson dengan nada protes.
”Kalau latihan pasti bisa.” kata Niken dengan seulas senyuman.
”Kak, kalau mencari pemain drama kira-kira. Masa aku? Kalau disuruh bertanding karate atau silat, aku mau.” protes Amanda.
”Aku orang paling susah menghafal pelajaran. Apalagi drama, pasti banyak dialognya. Kalu berperan jadi orang bisu atau jadi batu aku mau.” tukas Jaka.
”Aku juga tidak bisa. Soalnya aku suka grogi kalau harus tampil di depan orang banyak.” tambah Ridwan.
”Yang cocok Ilyas. Waktu SMP dia ikut klub teater. Di SMA ini juga dia mau ikut lagi.” kata Karang.
”Aduh, pokoknya kalian harus menolong kakak mensukseskan acara malam api unggun. Soalnya kakak ini penanggung jawab acara. Lagipula sudah kewajiban kalian untuk melaksanakan tugas ini, kan?” pinta Niken.
”Jadi makanan ini untuk menyuap kami?” sergah Angkasa.
”Tahu begini, lebih baik ikut kerja bakti.” protes Samson.
”Ini kewajiban kalian. Kami membebaskan kalian untuk merancang drama yang akan dipentaskan. Tema dan cerita silakan kalian buat sendiri. Seandainya kalian memerlukan bantuan, kami siap membantu. Aku harap tidak memalukan, soalnya Pak Kepala Sekolah akan datang. Ini juga kesempatan bagi kalian berdelapan untuk lebih dikenal di SMA ini. Aku jamin kalian akan dapat masuk ke organisasi atau klub yang kalian minati di SMA ini.” bujuk Ramdan.
”Tapi kalau kalian tidak mau, kalian harus mengikuti MOS lagi tahun depan.” ancam Johan.
”Wah, kita diancam.” protes Samson.
”Sam, kamu suka basket, kan? Kamu bisa langsung masuk tanpa seleksi seandainya kamu mau ikut pementasan.”
”Kakak mau menyogokku?”
”Menyogok bagaimana? Apa ada untungnya kamu menolak. Bukankah lebih baik menerima?” bujuk Johan. Samson berdiskusi sebentar dengan yang lain. Akhirnya mereka sepakat untuk menerima tugas itu. Semua panitia merasa puas. Walaupun merasa dibohongi dengan diajak makan bersama, mereka tetap merasa beruntung dapat dekat dengan para pengurus OSIS.
Setelah acara itu, mereka berdelapan berdiskusi tentang apa yang akan mereka pentaskan dalam acara malam api unggun yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka tak punya banyak waktu untuk membahasnya. Untung saja ada Ilyas yang sedikit berpengalaman dalam bidang teater. Dia yang merancang cerita dan membagi peran teman-temannya. Ilyas tetap sabar membimbing teman-teman yang berbeda karakter itu. Samson yang paling sulit diatur. Kerjaannya hanya marah-marah dan berteriak-teriak. Untung ada Amanda yang mampu mengimbanginya.
”Heh, bukan kamu saja yang tidak suka dengan kegiatan seperti ini. Kita semua tidak suka. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada nanti membuat malu diri sendiri di pementasan, lebih baik kita latihan agar tidak memalukan. Jadi kamu tidak perlu banyak bicara.” kata Amanda setelah emosinya memuncak mendengar ocehan Samson.
”Apa hakmu memerintahku?”
”Seandainya suaramu tak sampai ke telingaku, seandainya wajahmu tak terlihat di mataku, aku tidak peduli padamu.”
”Kalau begitu, pergilah! Dengan begitu kamu tidak akan melihat dan mendengar suaraku.”
”Sudahlah, lebih baik kita latihan lagi.” bujuk Angkasa.
”Seandainya aku tidak mendapat kartu hitam itu, aku tidak akan pernah mau di sini, apalagi bertemu dengan orang sepetimu. Tapi inilah takdir yang mengharuskan aku untuk bekerja sama dengan orang sepertimu.” balas Amanda. Mata Samson semakin tajam memandang perempuan di depannya.
”Mohon kerjasamanya, ya.” ucap Amanda dengan seulas senyuman. Ia mengulurkan tangannya. Amarah Samson seketika mereda. Ia kemudian menjabat tangan Amanda dengan mantap. Ia tertawa. Yang lain pun ikut tertawa. Ternyata perang dingin urung terjadi. Sejak kejadian itu, mereka menjadi akrab. Mereka latihan dengan serius, membuat Ilyas senantiasa tersenyum menghadapi mereka.
Pada saat acara malam api unggun penyambutan siswa baru, delapan anak itu akhirnya menampilkan drama yang mereka rancang. Ada banyak sambutan sinis dan meremehkan ketika mereka akan tampil.
”Cowok jadi-jadian seperti Amanda masa disuruh main drama. Apalagi si tukang marah-marah, Samson, yang suka teriak-teriak di kelas. Drama apaan. Kenapa bukan aku yang sudah pernah main sinetron bareng Luna Maya.” komentar Blita.
”Tapi kamu kan hanya sebagai peran pembantu.” jawab Indi yang ada di sampingnya.
”Semua artis ya begitu, berawal dari peran pembantu. Suatu saat juga jadi peran utama.” balas Blita dengan nada sinis.
Kata-kata Blita sempat terdengar oleh Amanda yang akan naik ke atas pentas. Saat delapan anak itu naik pentas, mereka disambut oleh muka-muka meremehkan mereka. Ilyas membisikkan sesuatu kepada teman-temannya agar tidak peduli kepada anggapan-anggapan orang. Katanya, yang terpenting adalah tampil sebaik mungkin agar orang yang menonton mereka terkesan. Tidak ada kesempatan untuk mundur. Harus terus maju. Hanya ada dua kemungkinan, dipuji atau diremehkan.
Akhirnya mereka menanpilkan drama berjudul ”Little Shine”. Lampu panggung dimatikan. Suasana gelap. Sunyi. Tak lama kemudian terdengar suara nyanyian Amanda yang membawa lilin di tangannya. Ia bernyanyi sambil menari, sehingga cahaya lilin di tangannya seperti kunang-kunang yang terbang.
Di malam yang sunyi ini aku hanya sendiri
Hutan gelap gulita
Mendendangkan nyanyian malam
Seram, aku takut sendiri
Andaisaja aku matahari
Aku takkan takut di hutan sendiri
Cahayanya hangat menerangi hutan
Tapi aku hanya cahaya kecil
Tak mampu menyinari seisi hutan
Apalah gunaku?
Aku hanya cahaya kecil tak berarti
Tak berarti seperti matahari
Tak berarti untuk malam
Tak berarti untuk diri sendiri
Suasana tetap hening. Semua memusatkan perhatian kepada Amanda. Banyak yang terkesima melihat penampilan gadis tomboy yang selama MOS sering membuat kesalahan dan sangat berani protes kepada panitia ketika ada hal-hal yang ia tak suka. Tak lama kemudian, datang kunang-kunang yang lain.
Drama ini mengisahkan seekor kunang-kunang yang merasa sepi dan tak berarti. Setiap malam ia seringkali sendiri. Sementara teman-temannya asyik berkejar-kejaran kesana-kemari dengan riangnya. Tapi ternyata ia tidak sendiri. Masih ada kunang-kunang yang mau menemaninya bermain. Kunang-kunang yang kesepian itu merasa senang. Tapi tetap saja ia merasa masih kurang. Ia merasa tidak pernah berguna. Cahayanya kecil, tak sebesar matahari, bulan, maupun bintang. Semua teman bingung mencari cara untuk menghiburnya. Pernah sebuah pohon berkata pada kunang-kunang itu,
”Walaupun kau tak bisa menerangi malam, tapi aku senang dengan keberadaanmu di hutan ini. Aku senang melihatmu terbang, menari-nari, sambil bernyanyi.” namun kata-kata sang pohon belum bisa membuatnya merasa berarti.
Pada suatu malam yang gelap, ada seorang manusia yang tersesat di hutan. Berkali-kali ia menabrak pohon dan jatuh karena suasana sangat gelap. Si kunang-kunang lantas mendekati orang itu. Ia ingin menolongnya.
”Oh,akhirnya aku melihat cahaya. Tapi sayang, engkau hanya cahaya kecil. Tak mungkin bisa memanduku mencari jalan di hutan yang gelap ini.” ratap orang itu.
”Ia. Sebenarnya aku ingin sekali menolongmu. Tapi aku hanyalah cahaya kecil yang tak berarti.” kata si kunang-kunang. Ia tampak kembali murung.
Tak berapa lama kemudian, muncul banyak teman-teman si kunang-kunang. Mereka merapatkan diri dan menggabungkan cahaya mereka, sehingga tampaklah cahaya yang terang. Manusia yang tersesat itu sangat senang melihatnya. Akhirnya sekumpulan kunang-kunang itu menjadi penerang jalan bagi manusia yang tersesat hingga dapat keluar dari hutan.
”Terima kasih, kunang-kunang.” kata manusia itu.
”Terima kasih, teman-teman.” kata si kunang-kunang. Ia tampak sangat bahagia, karena ternyata ia tidak sendiri. Ada banyak teman-teman yang menemaninya. Ia juga senang karena akhirnya dapat bermanfaat bagi orang lain.
”Itulah gunanya teman. Setiap mahluk, pasti membutuhkan teman. Tidak ada satupun mahluk yang bisa hidup sendiri.” kata salah satu teman kunang-kunang.
”Benar. Bahkan, suatu pekerjaan akan terasa ringan jika dikerjakan bersama-sama.” timpal yang lain.
”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” seru teman-teman si kunang-kunang.
Akhirnya si kunang-kunang dapat meneria keadaan dirinya. Meskipun cahayanya kecil, tapi ia masih bisa berguna bagi orang lain. Dan malam-malam yang akan datang, ia tak lagi sendiri. Ia akan terbang, menari, dan bernyanyi riang bersama banyak teman-temannya.
Pertunjukkan selesai. Tepuk tangan meriah menggema untuk penampilan yang sangat luar biasa. Delapan pemain drama itu tersenyum lebar melihat hasil jerih payah latihannya. Yang lebih membanggakan, Pak Kepala Sekolah menyalami mereka seraya memberi selamat. Para panitia MOS juga terlihat puas. Padahal kebanyakan dari mereka ragu kalau sekelompok anak aneh seperti mereka dapat menyuguhkan sebuah hiburan seindah itu.
Selesai pementasan, api unggun dinyalakan. Semuanya duduk mengelilingi api unggun. Para panitia mengambil tempat di tengah barisan. Giliran para panitia yang menghibur adik-adik kelas mereka. Ada yang bernyanyi, menari, pertuntukkan sepak bola api, hingga melawak. Tapi pertunjukkan paling berkesan adalah drama itu. Karena drama itulah delapan pemainnya menjadi terkenal.
*****
Delapan sahabat terus berjalan menuju kelas. Sesampainya di depan pintu kelas, mereka dihadang oleh Marlo, sang ketua kelas. Ia menyambut mereka dengan muka masam.
”Selamat pagi, ketua. Terima kasih telah menyambut kedatangan kami. Tapi tolong minggir sedikit, ya. Kami ingin masuk.” pinta Samson dengan kata-kata yang membuat Marlo tampak tersinggung. Karang langsung menepuk pundak Samson, sebagai isyarat agar lebih berhati-hati bicara.
”Aku bisa mengerti kalau kalian selalu ingin bersama, termasuk berangkat bersama. Tapi kalian bukan hanya hidup di dunia kalian saja. Tapi bersama orang lain. Tolong kalau tiba giliran piket, datanglah lebih awal.”
”Hey! Jangan....” belum sempat Samson menyelesaikan kata-katanya, Amanda lebih dulu menutup mulutnya dan menariknya menjauh dari Marlo.
”Maafkan kami. Lain kali tidak akan seperti ini lagi. Terima kasih sudah mengingatkan.” kata Karang.
”Nanti berikan kami jadwal piketnya, ya. Agar kami tidak lupa dan membuatmu kesal.” tambah Ilyas seraya merangkul pundak Marlo dengan penuh bersahabat.
”Sebagai gantinya, sepulang sekolah kami akan mengepel kelas.” lanjut Angkasa.
”Terima kasih,” Marlo menjabat tangan Angkasa. Rasa kesalnya sekarang sudah tidak tampak.
”Eh, jangan lama-lama di depan kelas. Nanti rejeki tidak mau masuk!” seru Jaka seraya mendorong teman-temannya untuk masuk kelas. Kata-kata Jaka mampu merekahkan senyuman di bibir mereka.
”Maksudmu Sri Rejeki, anak kelas sebelah?” timpal Ridwan.
“Eh…sudah banyak membaca buku belum juga mengerti. Sia-sia kamu menghabiskan banyak waktu di perpustakaan.” cibir Jaka.
”Bercanda, Mas. Aku kan tahu, kamu hanya menyukai Reni.” ketus Ridwan. Ia segera menutup mulutnya, karena kelepasan bicara. Mereka memandangi Jaka yang raut wajahnya memerah karena malu. Jaka menatap tajam ke arah Ridwan. Ia lantas mengejar Ridwan yang telah membocorkan rahasianya. Suasana kelas menjadi ribut oleh aksi kejar-kejaran dua anak itu. Tapi tidak ada yang berusaha menghentikan mereka.
Sementara itu, di taman, Samson masih marah kepada Amanda yang tiba-tiba menariknya dari ajang perdebatan.
”Sombong sekali orang yang bernama Marlo itu. Baru menjadi ketua kelas saja sudah berani sok berkuasa.” ketus Samson.
”Itu wajar. Haknya sebagai ketua kelas memang mengatur kelasnya. Ini kan memang kita yang salah karena melanggar jadwal piket.” jawab Amanda.
”Kamu mau membelanya? Seharusnya tadi kamu membiarkan aku melayani debat dengan Marlo!” bentak Samson.
”Kalau marahmu belum reda juga, aku masukkan kamu ke dalam kulkas di kantin!” bentak Amanda yang tak kalah galak dari Samson. Samson terdiam.
”Sam, tidak ada masalah yang dapat diselesaikan dengan emosi. Terkadang untuk menyelesaikannya kita perlu mengalah. Kalau tadi aku biarkan kamu tetap bicara, mungkin masalahnya akan semakin besar, bahkan sampai harus menghadap kepala sekolah. Aku yakin, teman-teman kita lebih bisa memberikan pengertian kepada Marlo. Dan sekarang, pasti sudah tidak ada apa-apa.”
Samson mencoba merenungi kata-kata Amanda, ”Jadi memang sikapku selama ini tidak pernah berguna bagi kalian.”
”Tidak juga. Kadang keberadaanmu dibutuhkan untuk menghadapi orang-orang yang suka main otot.” balas Amanda dengan seulas senyum.
”Memang aku pengawal pribadimu!”
”Sudahlah, kita ke kelas sekarang. Sebentar lagi pasti bel berbunyi.” Ajak Amanda.
Sesuai kesepakatan dengan Marlo, siang itu setelah jam sekolah usai, anak-anak LS kerja bakti membersihkan kelas. Tapi tidak tampak ada Karang, Ridwan, dan Samson di sana. Karang siang itu harus mengikuti rapat OSIS. Ridwan ada pertemuan dengan klub KIR, Karya Ilmiah Remaja. Sementara Samson dipanggil pelatih basketnya untuk membahas perubahan jadwal latihan tim inti. Otomatis hanya tersisa lima orang, Amanda, Angkasa, Ilyas, Yogi, dan Jaka, yang harus membersihkan kelas. Mereka berlima tidak ada satupun yang mengeluh. Mungkin akan berbeda ceritanya seandainya ada Samson di sana. Ruang kelas tidak kunjung bersih, tapi malah semakin berantakan, karena amukan Samson.
Suasana sekolah mulai sepi. Pada hari senin memang hanya ada ekskul renang dan kajian islam. Ekskul renang diadakan di luar sekolah, sedangkan ekskul kajian islam diadakan di mushala. Jadi tidak seramai hari-hari lain. Paling ramai pada hari kamis, karena ada ekskul basket, pemandu sorak, voli, teater, paduan suara, PASKIBRA, PMR, dan tari. Sedangkan hari tenang, hari jum’at. Pada hari itu hanya ada ekskul yoga selepas sholat jum’at. Hari sabtu ada ekskul sepak bola dan pencak silat yang biasa diadakan bersama di lapangan kecamatan, yang berada tepat di samping sekolahan. Hari selasa ada ekskul KIR, musik, tenis, dan elektro. Sedangkan di hari rabu ada ekskul Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sastra klub (tempat siswa yang hobi menulis), kaligrafi, seni lukis, dan English Club.
Selama membersihkan kelas, mereka mengusir kejenuhan dengan bercanda. Angkasa terus mengganggu Amanda yang sedang mengepel. Ia sengaja berlari-lari di bagian yang sudah dipel. Ia bermaksud membuat Amanda kesal. Namun Amanda tidak terpengaruh. Ia tetap kukuh dengan apa yang sedang ia kerjakan. Tapi lama-lama ia kesal juga. Sehingga membalas dengan mencipratkan air kotor ke baju Angkasa. Akhirnya Angkasa menyerah dan pergi menghampiri Yogi yang mengelap kaca jendela. Sedangkan Jaka dan Ilyas menyapu bagian luar kelas sembari sesekali main perang-perangan dengan sapu yang mereka pegang.
Dari delapan orang anggota LS, Yogi adalah yang paling kalem dan jarang bicara. Seandainya ada hal lucu, paling ia hanya tersenyum. Rasanya belum pernah ia tertawa sekalipun. Jangankan tertawa, bicara saja seperlunya dengan kalimat yang singkat. Ini bukan karena dia bisu atau apa. Dia normal. Menurut Samson yang sejak SD mengenal Yogi, orangnya memang sangat pendiam. Kalau ditanya paling jawabannya dengan mengangguk, menggeleng, atau mengangkat kedua bahunya. Terkadang menjawab ‘tidak tahu’. Kalau disuruh berkomentar, ia hanya tersenyum dan mengatakan ‘terserah’.
Saat pelajaran dia lumayan mau membuka mulutnya, mengeluarkan suara indahnya untuk berbicara. Tapi tidak menghilangkan ciri khas kalau dia tipe orang yang irit bicara. Saat dibuka waktu debat pendapat di kelas, ia selalu ikut angkat bicara. Tapi tetap saja, dengan kata-kata yang singkat, padat, tapi mengena.
Kadang teman-temannya kesal dengan sifatnya yang sangat pendiam. Dia hampir tidak pernah berkomentar tentang teman-temannya. Jika teman-temannya sedang bercerita macam-macam, ia hanya mendengarkan saja. Sampai Samson memanggilnya ‘Mayat Hidup’ sangking kesalnya. Penyebabnya, ia pernah melihat Yogi dikeroyok salah satu genk di sekolah yang hobi meminta uang dengan memaksa kepada siswa-siswa di sekolah itu. Yogi tidak memberi uang kepada mereka, karena uangnya sudah habis untuk membeli buku di koperasi sekolah. Akhirnya dia dihajar habis-habisan, tapi ia hanya diam seperti patung, tidak membalas sama sekali. Untung ada Samson yang kebetulan melihatnya. Dia langsung menghajar preman-preman berpendidikan itu sampai babak belur. Muka Yoga menjadi biru-biru.
“Terima kasih,” ucap Yoga saat itu.
”Kamu ini seperti mayat hidup saja. Masa ada orang yang berani memukulimu kamu diam saja. Kalau kamu merasa tidak bisa menghadapi mereka, kamu kan bisa berteriak minta tolong! Punya mulut kenapa tidak digunakan? Orang bisu saja ingin bisa bicara. Kalau tadi aku tidak datang bagaimana?” oceh Samson. Yogi hanya tersenyum. ”Kenapa tersenyum? Memangnya luka di wajahmu itu tidak sakit, masih bisa senyum-senyum. Kalau tadi kamu sampai mati, apa masih mau tersenyum?” lanjut Samson. Sekali lagi Yogi hanya tersenyum.
Angkasa bukannya membantu Yogi mengelap kaca, malah hanya terpaku melihat temannya itu. Lama kelamaan Yogi agak risih dengan sikap Angkasa.
”Kenapa?” tanya Yogi seraya menoleh ke arah Angkasa yang ada di sampingnya.
”Tidak ada.” jawab Angkasa. Yogi kembali melanjutkan pekerjaannya. ”Yogi, sebenarnya kamu tahu namaku tidak?” sambung Angkasa. Yogi memandanginya dengan pandangan penuh tanya.
”Bukan apa-apa. Selama ini aku jarang mendengarmu bicara. Waktu pementasan LS dulu, kamu juga hanya menjadi salah satu kunang-kunang tanpa dialog. Kamu orang yang sangat pendiam. Dan aku rasa, kamu tidak pernah sekalipun memanggil namaku.”
”Oh, iya?” Yogi kembali terpaku pada pekerjaannya.
”Apa selama ini kamu tidak merasa, kalau kamu ini terlalu irit bicara. Kamu ini kan salah satu tim basket inti. Kamu keren, permainanmu bagus, banyak yang suka padamu, tapi kamu pendiam. Setiap ada gadis yang mendekatimu selain Amanda, kamu selalu ingin menghindar. Seandainya kamu mau sedikit terbuka, aku yakin, kamu akan menjadi idola di sekolah ini.” Yogi hanya mampu tersenyum menanggapi perkataan temannya itu.
”Hey, jangan hanya tersenyum! Sekali-kali keluarkan pendapatmu, seperti yang biasa kau lakukan di kelas.” protes Angkasa.
”Setiap orang memiliki karakternya sendiri. Dan aku tidak bisa menjadi sepertimu, Angkasa. Sudahlah, daripada kita berdebat, lebih baik kamu membantuku membersihkan jendela. Kalau tidak bersih, nanti Marlo marah.” pinta Yogi.
”Kata-katamu sudah cukup panjang. Lumayan. Tapi intonasimu masih datar. Bicara itu sebaiknya menggunakan intonasi yang bervariasi. Kadang tinggi, rendah, sedang, supaya yang mendengar tidak jenuh. Kamu juga….” Belum selesai bicara, Yogi terlebih dulu melemparkan kain lap ke mukanya. ”Sialan!” bentak Angkasa. Sementara Yogi sudah kabur duluan meminta perlindungan Amanda. Angkasa mengejarnya.
”Amanda, serahkan Yogi! Aku ingin menjitak kepalanya.” pinta Angkasa yang melihat Yogi bersembunyi di balik tubuh Amanda.
”Playboy nakal tidak usah mengganggu anak baik-baik, ya.” Jawab Amanda.
“Dia sudah berani melempar kain kotor ini ke muka orang tampan sepertiku. Tidak bisa dimaafkan!”
Amanda memandang ke arah Yogi, ”Benarkah?”
“Dia terlalu banyak bicara.” Terang Yogi
“Orang tampan walaupun terkena sedikit kotoran akan tetap tampan, tenang saja. Hey, itu Resti di belakangmu.” kata Amanda yang lebih dulu melihat kehadiran Resti, kekasih baru Angkasa.
Angkasa menengok ke belakang. Tampak seorang perempuan cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai indah. Perempuan itu tersenyum padanya.
”Kamu belum pulang?” tanyanya. Amanda dan Yoga tampak malas melihat kegombalan Angkasa. Sementara Ilyas dan Jaka malah menjadikannya tontonan.
”Aku menunggumu.” balas Resti dengan nada halus.
”Uh... so sweet....!” ledek Ilyas dan Jaka seraya berpelukan, mendramatisir keadaan. Bukannya malu, Angkasa malah semakin menjadi-jadi menunjukkan rayuannya. Ia membelai rambut indah Resti. Amanda mau muntah melihatnya.
”Seharusnya kamu tidak perlu menungguku. Nanti kamu lelah.”
”Kalian berdua pulang saja! Jangan sampai bunga-bunga gombal berguguran mengotori kelas yang sudah aku bersihkan.” pinta Amanda dengan nada kesal.
”Ayo kita pergi saja, Resti. Di sini ada mahluk yang tidak pernah mengerti makna romantis.” kata Angkasa seraya menggandeng Resti dan mengajaknya pergi. Amanda semakin kesal mendengar kata-kata Angkasa. Tiba-tiba saja Yogi menggandeng tangannya. Amanda terkejut hingga lupa dengan semua kekesalannya.
”Apa-apaan ini.” guman Amanda dengan terkekeh-kekeh. Yogi malah tersenyum.
”Aku sedang menirukan Angkasa.” jawabnya dengan polos. Amanda berusaha menahan tawa mendengar jawaban temannya itu. Ia melepaskan genggaman tangan Yogi. Ia memegang pundak sahabatnya itu.
”Anak manis sepertimu tidak boleh meniru playboy jelek seperti Angkasa. Kamu akan lebih manis jika menjadi dirimu sendiri. Mengerti?” kata Amanda bijak. Yogi hanya membalas dengan senyuman.
”Wah... Amanda pilih kasih.” guman Jaka yang mulai berjalan ke arah mereka diikuti Ilyas. ”Dengan Yogi tutur katamu manis sekali. Sedangkan kepadaku, kamu selalu mengeluarkan suara singa dan harimau. Aku kan iri.” lanjutnya dengan nada dibuat-buat manja.
”Iya. Kepadaku yang baik hati ini saja masih suka kamu pukuli. Yogi belum pernah kamu pukul.” sahut Ilyas protes.
”Kalian apa-apaan, sih?” seru Amanda.
”Hmm... mulai galak lagi.”seloroh Jaka.
”Huh! Kalian sudah tidak waras. Kalau kalian ingin aku bersikap lembut pada kalian, bersikaplah lembut padaku seperti Yogi. Anak LS yang mau memperlakukan aku sebagai perempuan itu hanya Yogi. Kalian juga tidak pernah mengakui kalau aku cantik.”
Ilyas dan Jaka tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Amanda.
”Yogi mungkin sedang tidur saat mengatakan hal itu” ledek Jaka.
”Yoga, bantu aku.” pinta Amanda.
”Amanda cantik. Suatu saat kalian pasti menyadarinya.” kata Yogi. Amanda tersenyum penuh kemenangan.
”Amanda membayarmu berapa?” selidik Ilyas.
”Kalian tahu sejak dulu Yogi selalu berkata jujur. Sudahlah, terserah kalian mau mengakuinya atau tidak. Lebih baik kita pulang sekarang sebelum hujan turun. Langit mendung, teman.” ajak Amanda. Akhirnya perdebatan selesai dengan muka masam Ilyas dan Jaka. Sebenarnya mereka belum puas benar berdebatnya. Yogi memang tidak pernah asyik. Dia selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya, tidak pernah mau berbohong sedikit saja. Sebenarnya Ilyas dan Jaka mengakui, meskipun perempuan tomboy dengan rambut panjangnya yang selalu dikucir kuda itu galak, tapi tidak kalah cantik dengan anak-anak pemandu sorak. Hanya saja penampilannya tidak pernah mencerminkan sosok perempuan.
Sesampainya di depan pintu gerbang, mereka melihat Angkasa. Ternyata anak itu belum pulang.
”Kenapa masih di sini? Ditinggal Resti karena tidak membawa mobil?” tanya Amanda ketus.
”Wah... orang mau berniat baik malah ada yang berprasangka buruk.” Guman Angkasa. Dia sebenarnya sudah biasa dengan sikap jutek Amanda. Dia juga tahu kalau Amanda sangat benci dengan tingkahnya yang suka ganti-ganti pacar. Seperti Amanda benci dengan sikap emosional Samson, lelucon Jaka yang kadang keterlaluan, Ilyas yang terlampau sabar, Karang yang terlampau optimis, dan Ridwan yang selalu telat memahami permasalahan. Sedangkan terhadap Yogi yang sangat pendiam, Amanda tidak pernah mempermasalahkannya.
“Aku di sini menunggumu, nenek cerewet! Aku kan tahu, orang cerewet sepertimu walaupun bisa karate dan silat, tapi tetap saja tidak berani pulang sendiri.” lanjut Angkasa. Amanda kelincutan karena malu.
”Kenapa tidak berani?” tanya Jaka ingin tahu.
”Dia takut ada laki-laki yang menggodanya di jalan. Kalau ada aku kan tidak ada yang berani mengganggunya.” terang Angkasa.
”Terang saja begitu. Semua orang kan tahu kalau kamu playboy.” gerutu Amanda kesal.
”Ooo.... ” guman Ilyas dan Jaka. Sementara Yogi biasa-biasa saja.
”Kenapa O? A saja sekalian, supaya lebih lebar.” sewot Amanda.
“Aaa… “ ledek Ilyas dan Jaka. Amanda langsung menjitak kepala mereka berdua.
”Kamu galak sekali. Kepada Yogi saja kamu bisa bersikap baik, tidak pernah memukulnya.” protes Jaka.
”Makanya jangan banyak bicara. Jadilah pendiam seperti Yogi.” Ujar Amanda. “Angkasa, pulang sekarang saja, sebelum hujan turun.” Pinta Amanda. Angkasa hanya menjawab dengan acungan jempol.
“Teman-teman, sampai jumpa besok.” Kata Amanda seraya menjabat tangan Jaka, Ilyas, dan Yogi. Angkasa mengikuti. ”Yogi, hati-hati dengan mereka berdua.” lanjut Amanda.
”Hati-hati kenapa? Kami bukan macan sepertimu!” timpal Jaka.
Amanda dan Angkasa sering pulang bersama, karena rumah mereka searah. Dari delapan anak-anak LS, memang rumah mereka saja yang tidak searah. Tetapi terkadang Angkasa dan Amanda sengaja mengikuti yang lain, meskipun jaraknya menjadi lebih jauh. Mereka lebih suka seperti itu, karena tidak perlu melewati pasar yang akan sangat becek saat turun hujan.
Sementara itu, terjadi perdebatan sengit dalam rapat OSIS yang diikuti Karang. Awalnya rapat hanya membahas mengenai akan adanya pertandingan persahabatan dan lomba karya ilmiah. Tapi semakin lama, terjadi perdebatan yang membawa-bawa kepentingan pribadi. Masing-masing ingin mempertahankan pendapat mereka. Sehingga belum ada titik temu.
”Seharusnya saat rapat tidak boleh mengutamakan kepentingan kelompok. Sudah jelas tujuan rapat adalah utnuk kepentingan sekolah.” sindir Edi, karena merasa rapat terlalu memihak pendapat karang.
”Aku hanya mengusulkan.” tukas Karang.
”Tapi usulmu terlalu condong menguntungkan kelompokmu. Kamu dan LS ingin mendominasi.”
”Aku di sini sebagai pengurus OSIS, bukan sebagai LS.” kilah Karang.
”Apa itu di tanganmu?” kata Edi seraya menunjuk dekker di tangan Karang. ”Kamu bahkan tidak mau melepasnya saat rapat.” tambahnya.
Karang lantas melepaskannya, ”Sekarang sudah aku lepaskan.” Edi terdiam. Suasana hening.
”Aku rasa pembicaraan ini sudah sedikit melenceng dari agenda rapat. Sebaiknya kita kembali ke permasalahan awal.” pinta Kamal, mencoba mencairkan suasana. Ia adalah ketua OSIS tahun ini.
”Apa gunanya meneruskan rapat kalau hanya menguntungkan satu pihak saja.” protes Edi.
”Pihak siapa maksudmu?” tanya Kamal.
”Tentu saja Karang dan teman-temannya. Perwakilan yang diajukan Karang tidak lain adalah teman-temannya sendiri. Dia dan teman-temannya memang selalu ingin mendominasi.”
”Kalau seperti ini terus, kapan selesainya. Ini sudah sore.” keluh Irin, sekretaris OSIS.
”Edi, jangan keras kepala begitu. Karang hanya menyapaikan usul, sama sepertimu.” sahut Anjas.
”Ini sebenarnya rapat OSIS atau ajang unjuk keegoisan?” tambah Jabir.
”Anak OSIS tidak ada bedanya dengan siswa lain. Percuma saja ada LDK kalau tidak ada yang mengerti cara menghargai pendapat orang lain.” Amru ikut menyuarakan pendapatnya. Suasana kembali tenang. Terlihat muka-muka muram dan kecewa terhadap rapat kali ini.
”Kalau semua keberatan, usulku tidak perlu diterima. Aku minta maaf, karena kebetulan orang-orang yang aku ajukan adalah teman-temanku.” kata Karang dengan bijak.
”Tunggu dulu, Karang.” sergah Kamal. ”Teman-teman, aku yakin, Karang memilih orang-orang sebagai perwakilan sekolah bukan karena mereka adalah teman dekatnya. Kebetulan saja begitu. Tapi berdasarkan kemampuan dan pengalamannya di bidang masing-masing. Ridwan sudah tiga kali mengikuti lomba karya ilmiah. Meskipun belum pernah juara, tapi dia memiliki nilai lebih dari yang lain, yaitu pengalaman, yang membuatnya dapat belajar dari kesalahan sebelumnya. Sedangkan Angkasa, Samson, dan Marlo, mereka adalah ketua di klub masing-masing. Jadi mereka yang lebih tahu, siapa-siapa yang permainannya bagus. Sedangkan kita orang luar, tidak tahu menahu, kecuali ikut terlibat langsung di dalamnya. Jadi kurang tepat jika kita yang memilihnya.” ujar Kamal. Semua yang hadir menjadikannya pusat perhatian. Kamal memang pantas menjadi seorang pemimpin. Kata-katanya bijaksana dan mudah dipahami.
Edi mengangkat tangannya, ”Mengenai pertandingan persahabatan aku setuju dengan usul Karang. Tapi mengenai perwakilan untuk lomba KIR, aku tidak setuju.”
”Wah... mulai lagi. Katanya jangan mementingkan kepentingan pribadi. Tapi maunya timnya yang di pilih.” sindir Jabir. Edi agak masam mukanya.
”Jabir, beri Edi kesempatan untuk menjelaskannya. Silakan, Edi.” kata Kamal.
”Terima kasih. Menurutku, tidak adil jika memilih hanya berdasarkan pengalaman. Karena sampai kapanpun, hanya Ridwan yang memenuhi kriteria itu. Seharusnya digilir, agar semua memiliki pengalaman. Klub KIR itu bukan hanya Ridwan saja.”
”Termasuk kamu!” potong Anjas.
”Iya, termasuk aku dan teman-teman yang lain, yang juga membutuhkan pengalaman. Kalau tidak seperti itu, siapa yang akan menjadi analan setelah Ridwan lulus? Setiap generasi itu butuh penerus.”
”Dalam hal ini kita tidak boleh asal. Ini menyangkut sekolah. Apa salahnya memilih yang terbaik untuk yang terbaik bagi sekolah.” Tukas Fidya.
“Belum tentu juga kalau junior tidak lebih baik dari senior.” Ujar Gigih, membenarkan pendapat Edi. Semua kembali diam.
“Baiklah, kalau begitu, aku akan meminta guru pembimbing ekskul KIR untuk menyeleksi, siapa yang layak dijadikan perwakilan sekolah. Bagi yang tidak terpilih, boleh tepat mengikuti lomba, tapi atas nama sendiri, dan biaya juga ditanggung sendiri. Semoga ini adalah yang terbaik untuk sekolah kita. Bagaimana?”
Tidak ada yang menolah usul Kamal. Semua bisa menerima. Sebelum rapat dibubarkan, Kamal sempat meminta kepada teman-temannya, agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.
They are Little Shine
Pagi yang cerah di sebuah SMA ternama di Bandung. SMA Garuda Satria. Beberapa burung asyik berkicau di dahan-dahan pohon rimbun taman sekolah. Sudah banyak siswa yang datang ke tempat menimba ilmu itu. Beberapa guru juga mulai terlihat di ruangannya. Di setiap kelas terdengar lantunan musik yang saat ini sedang digemari kebanyakan anak muda. Musik itu berasal dari salah satu ruangan di ruang guru yang khusus digunakan untuk menyampaikan pengumuman atau memutar musik di luar jam pelajaran. Tak jarang juga digunakan untuk ajang kirim salam dan reques lagu kepada pengurus OSIS yang bertugas setiap jam istirahat tiba. Khusus hari jum’at diputar musik-musik islami.
Lantunan lagu “Semua Tentang Kita” milik band Peterpan terus mengalun, mengiringi langkah sekelompok siswa yang sangat terkenal di SMA itu. Mereka adalah Karang, Angkasa, Jaka, Ridwan, Ilyas, Samson, Yogi, dan Amanda. Mereka adalah delapan sahabat dengan karakter yang berbeda-beda yang menamakan diri ”LS”, alias ”Little Shine”, yang artinya ”Cahaya Kecil”. Masing-masing dari mereka selalu memakai dekker kecil di tangan kiri mereka yang berlogo kunang-kunang dengan tulisan ”Little Shine” yang mengelilinginya.
Dapat dikatakan kalau mereka adalah salah satu genk di sekolah itu. Tapi genk yang satu ini tidak menutup diri dari orang lain. Mereka masih tetap akrab dengan teman di luar LS. Bahkan seringkali mereka terlihat asyik dengan teman-teman mereka, karena hobi mereka berbeda-beda. Samson dan Yogi suka basket. Angkasa dan Jaka pecinta sepak bola sejati. Ridwan suka berdiskusi dengan kelompok ilmiahnya dan lebih sering berkunjung ke perpustakaan. Amanda senang dengan klub pencak silat dan karate. Ilyas sering sibuk bersama klub teaternya. Sedangkan Karang lebih suka menjadi aktivis di OSIS dan DPK (Dewan Perwakilan Kelas).
Meskipun mereka disibukkan oleh kegiatan mereka, namun kebersamaan mereka tetap terjaga. Hampir setiap minggu sore mereka berkumpul di sungai, tempat pertemuan tetap mereka. Atau terkadang saat istirahat tiba, mereka berkumpul di gudang sekolah yang merupakan tempat pertemuan rahasia di sekolah. Tak jarang mereka berkumpul dengan jumlah tak lengkap delapan orang. Setiap dari mereka sudah dapat memahami kesibukan mereka. Paling tidak setiap hari mereka dapat bertemu. Karena entah kebetulan atau bagaimana, mereka dapat menjadi satu kelas. Bahkan mereka menempati kelas yang dianggap unggulan di sekolah itu. Hanya siswa dengan prestasi baik yang dapat menempatinya.
Selain hobi, karakter mereka juga jauh berbeda. Amanda yang tomboy dan sangat suka berkelahi. Angkasa, anak orang kaya yang selalu tampil menarik dan suka ganti-ganti pacar. Jaka yang rendah diri, baik hati, dan suka melucu. Karang yang selalu optimis dan teguh pendirian. Ilyas yang lemah lembut, bijaksana, dan penyabar. Yogi yang sangat pendiam. Samson yang keras kepala, emosian, galak, dan egois. Serta Ridwan yang selalu berpenampilan sederhana (penampilan yang dianggap ketinggalan jaman) dengan kacamata tebalnya, seperti layaknya para ilmuwan.
*****
Pertemuan delapan sahabat itu bermula saat MOS (Masa Orientasi Siswa), yaitu semacam kegiatan pengenalan lingkungan sekolah yang dilaksanakan OSIS kepada semua siswa baru selama tiga hari, dari hari senin sampai rabu Tepat di hari terakhir kegiatan itu, ada permainan yang dirancang oleh panitia. Cara mainnya, semua peserta MOS diminta untuk memperebutkan kartu warna-warni yang diletakkan panitia di tengah lapangan. Kartu-kartu itu ada tujuh warna, yaitu: merah, putih, kuning, biru, hijau, ungu, dan hitam. Setiap anak harus mendapatkan salah satu. Jika tidak, ada sanksi yang akan diterima.
Permainan pun dimulai. Semuanya berebut untuk mendapatkan kartu-kartu itu. Setelah itu, seluruh peserta di suruh berbaris berdasarkan warna kartu yang mereka miliki. Fungsi kartu itu nanti sebagai tiket masuk permainan yang disesuaikan dengan warna kartu mereka. Kebanyakan dari mereka mendapatkan kartu putih. Dan hanya sedikit yang mendapatkan kartu hitam. Hanya delapan orang, yang tak lain adalah LS.
”Baiklah, kalian semua masing-masing sudah mendapatkan satu kartu. Jangan heran atau mempertanyakan, mengapa jumlah kartu yang berwarna sama berbeda. Mengapa kartu warna putih lebih banyak dan kartu warna hitam paling sedikit.” semua menjadi berisik mendengar kata-kata yang disampaikan oleh ketua panitia. Mereka bertanya-tanya mengapa demikian.
”Saya minta kalian tenang!” seru ketua panitia. Seketika suasana kembali hening. Ketua panitia melanjutkan kata-katanya,
”Bagi yang mendapat kartu warna merah, silakan mengikuti Kak Salsa disebelah sana. Kalian akan diajak makan bersama.” kata-kata ketua panitia bernama Johan itu disambut riuh sorak sorai gembira oleh kelompok yang mendapat kartu merah.
”Hey,diam dulu, saya belum selesai bicara.” Sergah Johan. Mereka kembali diam. ”Sebelum kalian ikut acara makan bersama, terlebih dahulu kalian harus melaksanakan tugas. Tugasnya membersihkan taman, selokan, dan halaman sekolah.”
”Huu....!” seloroh anak yang mendapat kartu merah. Mereka merasa sial. Sementara yang lain tertawa, mengejek mereka yang terlalu percaya diri akan mendapat tugas yang enak. Akhirnya mereka ribut dan saling mengejek.
”Sudah, sudah! Semuanya juga akan mendapatkan hal yang sama.” suasana kembali tenang. Johan melanjutkan bicaranya. ”Bagi yang mendapat kartu putih, nanti ikut Kak Toni. Tugas kalian membersihkan seluruh ruang kelas.”
”Kak, yang dapat kartu putih dapat makan juga?” tanya salah seorang peserta dari kelompok kartu putih yang bertubuh agak gemuk. Semua menyorakinya.
”Kalian semua nanti akan menikmati hidangan spesial, tenang saja.” ucap Johan. Anak yang bertanya tadi terlihat senang.
”Baiklah, yang mendapat kartu biru nanti mengikuti Kak Frans untuk membersihkan toilet.” kelompok kartu biru kecewa, karena tugasnya membersihkan toilet yang pasti kotor dan bau. Banyak terdengar suara keluhan dari mereka. Namun panitia seperti tidak peduli. ”Masa kalian tidak mau, sekolahan kita menjadi bersih. Ini kan kegiatan untuk kebaikan kita bersama.” tambah Johan.
”Okay, kelompok kartu hijau nanti bersama Kak Yahya untuk membersihkan lingkungan mushala dan kantin. Kelompok ungu bersama Kak Mutiara tugasnya membersihkan laboratorium, sedangkan kelompok Kuning bersama Kak Wahyu membersihkan lapangan bola, lapangan voli, lapangan basket, dan tempat parkir.”
Karang mengangkat tangannya, ”Kak, kelompok kartu hitam tugasnya apa?” tanyanya.
”Renang di kolam ikan!” ledek salah seorang peserta dari kelompok kartu putih. Semua menertawakan delapan anak yang memperoleh kartu hitam itu.
”Marlo, pulang nanti aku tunggu di depan pintu gerbang!” ancam Samson dengan raut muka penuh kemarahan. Marlo yang tadi meledek seketika terdiam.
”Menunggu untuk apa, Sam?” tanya Johan yang mengetahui amarah dalam dada Samson.
”Untuk pulang bersama, kak.” balas Samson dengan senyuman.
“Baiklah. Panitia sengaja membuat jumlah kartu hitam hanya sedikit, karena yang mendapat kartu hitam akan diberi kebijakan tidak perlu ikut bekerja bakti seperti yang lain.” Kata Johan menjelaskan. Kedelapan anak yang mendapat kartu hitam merasa beruntung. Mereka langsung berjabat tangan, sementara yang lain kecewa.
”Itu tidak adil,kak!” protes salah seorang peserta.
“Apa seandainya temanmu mendapat nilai baik, sedangkan nilaimu tidak baik, berarti gurumu atau Tuhanmu tidak adil padamu?” tanya Johan.
“Mungkin!”
“Setiap orang memiliki rejekinya masing-masing sesuai dengan jalan yang mereka pilih. Seandainya kamu ingin seperti mereka, kenapa tadi tidak memilih kartu hitam? Kenapa kamu justru memilih kartu hijau? Siapa yang salah? Padahal panitia membebaskan kalian untuk memilih kartu yang kalian suka.” semuanya terdiam, termasuk anak yang tadi protes.
”Ini adalah satu pelajaran bagi kalian agar mensyukuri dan ikhlas dengan apa yang kalian dapatkan. Di sekolah ini diberlakukan adanya kelas unggulan. Siapa saja yang ingin menghuni kelas itu, syaratnya hanya satu. Nilai kalian harus di atas rata-rata. Walaupun diantara kalian ada anak orang kaya, tidak akan pernah bisa masuk ke kelas unggulan jika nilainya tidak memenuhi syarat. Dalam kehidupan pasti ada seleksi alam. Hanya yang terbaik dan beruntung yang akan mendapatkan yang terbaik. Apa sekarang kalian mengerti?”
”Mengerti....” seru mereka.
”Sekarang kalian silakan mengikuti pembina masing-masing. Sementara untuk kelompok kartu hitam, silakan mengikuti panitia ke ruang OSIS.”
Semuanya langsung bubar mengikuti instruksi ketua panitia. Delapan orang yang mendapat kartu hitam mengikuti panitia yang lain menuju ruang OSIS. Baru pertama kali mereka melihat langsung ruangan yang dianggap paling penting bagi siswa di SMA itu. Suatu kebanggaan seandainya dapat menjadi seorang pengurus OSIS. Sementara yang lain sedang sibuk bekerja bakti, delapan anak itu malah diajak makan bersama oleh pengurus OSIS.
”Kak, apa tidak apa-apa seperti ini?” tanya Ridwan, cowok berkacamata tebal itu.
”Kamu mau ikut kerja bakti seperti yang lain?” tanya Ramdan, ketua OSIS periode itu.
”Tidak juga.”
”Sudah, nikmati saja apa yang kamu dapatkan. Seperti yang Johan katakan, setiap orang mendapatkan rejekinya masing-masing.” jawab Ramdan dengan nada bijaksana.
”Amanda, kamu jadi anak paling cantik di antara mereka.” sahut Johan. Amanda hanya biasa-biasa saja mendengarnya.
”Menurutku lebih cantik Ilyas.” ucap Karang.
”Ah, jangan terlalu memuji.” balas Ilyas santai. Dulunya Karang dan Ilyas memang satu SMP dan Karang pernah melihat Ilyas pementasan drama berperan sebagai perempuan. Memang cantik tampilannya. Lebih halus dari Amanda yang sudah kelihatan seperti anak tomboy. Mereka terus bercanda ria dengan para panitia. Di sela-sela canda ria, sesekali sang ketua OSIS menceritakan keadaan di sekolah itu. Dari organisasi OSIS itu sendiri, semua ekstrakurikuler yang ada, kegiatan-kegiatan rutin, sampai karakter para guru dan siswa yang ada. Mereka beruntung memperoleh pengetahuan yang lebih dari yang lain.
Sedang asyik-asyiknya sharing, tiba-tiba seorang perempuan cantik masuk. Namanya Niken.
”Oh, ini mereka,ya?” katanya.
”Iya.” jawab Ramdan.
”Iya bagaimana?” tanya Amanda penasaran.
”Begini, kalian kan dapat kartu hitam, jadi tugas kalian adalah membuat sebuah drama untuk pementasan di malam api unggun malam minggu besok.” sahut Johan menjelaskan.
”Apa tidak salah!? Aku mana bisa bermain drama.” kata Samson dengan nada protes.
”Kalau latihan pasti bisa.” kata Niken dengan seulas senyuman.
”Kak, kalau mencari pemain drama kira-kira. Masa aku? Kalau disuruh bertanding karate atau silat, aku mau.” protes Amanda.
”Aku orang paling susah menghafal pelajaran. Apalagi drama, pasti banyak dialognya. Kalu berperan jadi orang bisu atau jadi batu aku mau.” tukas Jaka.
”Aku juga tidak bisa. Soalnya aku suka grogi kalau harus tampil di depan orang banyak.” tambah Ridwan.
”Yang cocok Ilyas. Waktu SMP dia ikut klub teater. Di SMA ini juga dia mau ikut lagi.” kata Karang.
”Aduh, pokoknya kalian harus menolong kakak mensukseskan acara malam api unggun. Soalnya kakak ini penanggung jawab acara. Lagipula sudah kewajiban kalian untuk melaksanakan tugas ini, kan?” pinta Niken.
”Jadi makanan ini untuk menyuap kami?” sergah Angkasa.
”Tahu begini, lebih baik ikut kerja bakti.” protes Samson.
”Ini kewajiban kalian. Kami membebaskan kalian untuk merancang drama yang akan dipentaskan. Tema dan cerita silakan kalian buat sendiri. Seandainya kalian memerlukan bantuan, kami siap membantu. Aku harap tidak memalukan, soalnya Pak Kepala Sekolah akan datang. Ini juga kesempatan bagi kalian berdelapan untuk lebih dikenal di SMA ini. Aku jamin kalian akan dapat masuk ke organisasi atau klub yang kalian minati di SMA ini.” bujuk Ramdan.
”Tapi kalau kalian tidak mau, kalian harus mengikuti MOS lagi tahun depan.” ancam Johan.
”Wah, kita diancam.” protes Samson.
”Sam, kamu suka basket, kan? Kamu bisa langsung masuk tanpa seleksi seandainya kamu mau ikut pementasan.”
”Kakak mau menyogokku?”
”Menyogok bagaimana? Apa ada untungnya kamu menolak. Bukankah lebih baik menerima?” bujuk Johan. Samson berdiskusi sebentar dengan yang lain. Akhirnya mereka sepakat untuk menerima tugas itu. Semua panitia merasa puas. Walaupun merasa dibohongi dengan diajak makan bersama, mereka tetap merasa beruntung dapat dekat dengan para pengurus OSIS.
Setelah acara itu, mereka berdelapan berdiskusi tentang apa yang akan mereka pentaskan dalam acara malam api unggun yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. Mereka tak punya banyak waktu untuk membahasnya. Untung saja ada Ilyas yang sedikit berpengalaman dalam bidang teater. Dia yang merancang cerita dan membagi peran teman-temannya. Ilyas tetap sabar membimbing teman-teman yang berbeda karakter itu. Samson yang paling sulit diatur. Kerjaannya hanya marah-marah dan berteriak-teriak. Untung ada Amanda yang mampu mengimbanginya.
”Heh, bukan kamu saja yang tidak suka dengan kegiatan seperti ini. Kita semua tidak suka. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada nanti membuat malu diri sendiri di pementasan, lebih baik kita latihan agar tidak memalukan. Jadi kamu tidak perlu banyak bicara.” kata Amanda setelah emosinya memuncak mendengar ocehan Samson.
”Apa hakmu memerintahku?”
”Seandainya suaramu tak sampai ke telingaku, seandainya wajahmu tak terlihat di mataku, aku tidak peduli padamu.”
”Kalau begitu, pergilah! Dengan begitu kamu tidak akan melihat dan mendengar suaraku.”
”Sudahlah, lebih baik kita latihan lagi.” bujuk Angkasa.
”Seandainya aku tidak mendapat kartu hitam itu, aku tidak akan pernah mau di sini, apalagi bertemu dengan orang sepetimu. Tapi inilah takdir yang mengharuskan aku untuk bekerja sama dengan orang sepertimu.” balas Amanda. Mata Samson semakin tajam memandang perempuan di depannya.
”Mohon kerjasamanya, ya.” ucap Amanda dengan seulas senyuman. Ia mengulurkan tangannya. Amarah Samson seketika mereda. Ia kemudian menjabat tangan Amanda dengan mantap. Ia tertawa. Yang lain pun ikut tertawa. Ternyata perang dingin urung terjadi. Sejak kejadian itu, mereka menjadi akrab. Mereka latihan dengan serius, membuat Ilyas senantiasa tersenyum menghadapi mereka.
Pada saat acara malam api unggun penyambutan siswa baru, delapan anak itu akhirnya menampilkan drama yang mereka rancang. Ada banyak sambutan sinis dan meremehkan ketika mereka akan tampil.
”Cowok jadi-jadian seperti Amanda masa disuruh main drama. Apalagi si tukang marah-marah, Samson, yang suka teriak-teriak di kelas. Drama apaan. Kenapa bukan aku yang sudah pernah main sinetron bareng Luna Maya.” komentar Blita.
”Tapi kamu kan hanya sebagai peran pembantu.” jawab Indi yang ada di sampingnya.
”Semua artis ya begitu, berawal dari peran pembantu. Suatu saat juga jadi peran utama.” balas Blita dengan nada sinis.
Kata-kata Blita sempat terdengar oleh Amanda yang akan naik ke atas pentas. Saat delapan anak itu naik pentas, mereka disambut oleh muka-muka meremehkan mereka. Ilyas membisikkan sesuatu kepada teman-temannya agar tidak peduli kepada anggapan-anggapan orang. Katanya, yang terpenting adalah tampil sebaik mungkin agar orang yang menonton mereka terkesan. Tidak ada kesempatan untuk mundur. Harus terus maju. Hanya ada dua kemungkinan, dipuji atau diremehkan.
Akhirnya mereka menanpilkan drama berjudul ”Little Shine”. Lampu panggung dimatikan. Suasana gelap. Sunyi. Tak lama kemudian terdengar suara nyanyian Amanda yang membawa lilin di tangannya. Ia bernyanyi sambil menari, sehingga cahaya lilin di tangannya seperti kunang-kunang yang terbang.
Di malam yang sunyi ini aku hanya sendiri
Hutan gelap gulita
Mendendangkan nyanyian malam
Seram, aku takut sendiri
Andaisaja aku matahari
Aku takkan takut di hutan sendiri
Cahayanya hangat menerangi hutan
Tapi aku hanya cahaya kecil
Tak mampu menyinari seisi hutan
Apalah gunaku?
Aku hanya cahaya kecil tak berarti
Tak berarti seperti matahari
Tak berarti untuk malam
Tak berarti untuk diri sendiri
Suasana tetap hening. Semua memusatkan perhatian kepada Amanda. Banyak yang terkesima melihat penampilan gadis tomboy yang selama MOS sering membuat kesalahan dan sangat berani protes kepada panitia ketika ada hal-hal yang ia tak suka. Tak lama kemudian, datang kunang-kunang yang lain.
Drama ini mengisahkan seekor kunang-kunang yang merasa sepi dan tak berarti. Setiap malam ia seringkali sendiri. Sementara teman-temannya asyik berkejar-kejaran kesana-kemari dengan riangnya. Tapi ternyata ia tidak sendiri. Masih ada kunang-kunang yang mau menemaninya bermain. Kunang-kunang yang kesepian itu merasa senang. Tapi tetap saja ia merasa masih kurang. Ia merasa tidak pernah berguna. Cahayanya kecil, tak sebesar matahari, bulan, maupun bintang. Semua teman bingung mencari cara untuk menghiburnya. Pernah sebuah pohon berkata pada kunang-kunang itu,
”Walaupun kau tak bisa menerangi malam, tapi aku senang dengan keberadaanmu di hutan ini. Aku senang melihatmu terbang, menari-nari, sambil bernyanyi.” namun kata-kata sang pohon belum bisa membuatnya merasa berarti.
Pada suatu malam yang gelap, ada seorang manusia yang tersesat di hutan. Berkali-kali ia menabrak pohon dan jatuh karena suasana sangat gelap. Si kunang-kunang lantas mendekati orang itu. Ia ingin menolongnya.
”Oh,akhirnya aku melihat cahaya. Tapi sayang, engkau hanya cahaya kecil. Tak mungkin bisa memanduku mencari jalan di hutan yang gelap ini.” ratap orang itu.
”Ia. Sebenarnya aku ingin sekali menolongmu. Tapi aku hanyalah cahaya kecil yang tak berarti.” kata si kunang-kunang. Ia tampak kembali murung.
Tak berapa lama kemudian, muncul banyak teman-teman si kunang-kunang. Mereka merapatkan diri dan menggabungkan cahaya mereka, sehingga tampaklah cahaya yang terang. Manusia yang tersesat itu sangat senang melihatnya. Akhirnya sekumpulan kunang-kunang itu menjadi penerang jalan bagi manusia yang tersesat hingga dapat keluar dari hutan.
”Terima kasih, kunang-kunang.” kata manusia itu.
”Terima kasih, teman-teman.” kata si kunang-kunang. Ia tampak sangat bahagia, karena ternyata ia tidak sendiri. Ada banyak teman-teman yang menemaninya. Ia juga senang karena akhirnya dapat bermanfaat bagi orang lain.
”Itulah gunanya teman. Setiap mahluk, pasti membutuhkan teman. Tidak ada satupun mahluk yang bisa hidup sendiri.” kata salah satu teman kunang-kunang.
”Benar. Bahkan, suatu pekerjaan akan terasa ringan jika dikerjakan bersama-sama.” timpal yang lain.
”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” seru teman-teman si kunang-kunang.
Akhirnya si kunang-kunang dapat meneria keadaan dirinya. Meskipun cahayanya kecil, tapi ia masih bisa berguna bagi orang lain. Dan malam-malam yang akan datang, ia tak lagi sendiri. Ia akan terbang, menari, dan bernyanyi riang bersama banyak teman-temannya.
Pertunjukkan selesai. Tepuk tangan meriah menggema untuk penampilan yang sangat luar biasa. Delapan pemain drama itu tersenyum lebar melihat hasil jerih payah latihannya. Yang lebih membanggakan, Pak Kepala Sekolah menyalami mereka seraya memberi selamat. Para panitia MOS juga terlihat puas. Padahal kebanyakan dari mereka ragu kalau sekelompok anak aneh seperti mereka dapat menyuguhkan sebuah hiburan seindah itu.
Selesai pementasan, api unggun dinyalakan. Semuanya duduk mengelilingi api unggun. Para panitia mengambil tempat di tengah barisan. Giliran para panitia yang menghibur adik-adik kelas mereka. Ada yang bernyanyi, menari, pertuntukkan sepak bola api, hingga melawak. Tapi pertunjukkan paling berkesan adalah drama itu. Karena drama itulah delapan pemainnya menjadi terkenal.
*****
Delapan sahabat terus berjalan menuju kelas. Sesampainya di depan pintu kelas, mereka dihadang oleh Marlo, sang ketua kelas. Ia menyambut mereka dengan muka masam.
”Selamat pagi, ketua. Terima kasih telah menyambut kedatangan kami. Tapi tolong minggir sedikit, ya. Kami ingin masuk.” pinta Samson dengan kata-kata yang membuat Marlo tampak tersinggung. Karang langsung menepuk pundak Samson, sebagai isyarat agar lebih berhati-hati bicara.
”Aku bisa mengerti kalau kalian selalu ingin bersama, termasuk berangkat bersama. Tapi kalian bukan hanya hidup di dunia kalian saja. Tapi bersama orang lain. Tolong kalau tiba giliran piket, datanglah lebih awal.”
”Hey! Jangan....” belum sempat Samson menyelesaikan kata-katanya, Amanda lebih dulu menutup mulutnya dan menariknya menjauh dari Marlo.
”Maafkan kami. Lain kali tidak akan seperti ini lagi. Terima kasih sudah mengingatkan.” kata Karang.
”Nanti berikan kami jadwal piketnya, ya. Agar kami tidak lupa dan membuatmu kesal.” tambah Ilyas seraya merangkul pundak Marlo dengan penuh bersahabat.
”Sebagai gantinya, sepulang sekolah kami akan mengepel kelas.” lanjut Angkasa.
”Terima kasih,” Marlo menjabat tangan Angkasa. Rasa kesalnya sekarang sudah tidak tampak.
”Eh, jangan lama-lama di depan kelas. Nanti rejeki tidak mau masuk!” seru Jaka seraya mendorong teman-temannya untuk masuk kelas. Kata-kata Jaka mampu merekahkan senyuman di bibir mereka.
”Maksudmu Sri Rejeki, anak kelas sebelah?” timpal Ridwan.
“Eh…sudah banyak membaca buku belum juga mengerti. Sia-sia kamu menghabiskan banyak waktu di perpustakaan.” cibir Jaka.
”Bercanda, Mas. Aku kan tahu, kamu hanya menyukai Reni.” ketus Ridwan. Ia segera menutup mulutnya, karena kelepasan bicara. Mereka memandangi Jaka yang raut wajahnya memerah karena malu. Jaka menatap tajam ke arah Ridwan. Ia lantas mengejar Ridwan yang telah membocorkan rahasianya. Suasana kelas menjadi ribut oleh aksi kejar-kejaran dua anak itu. Tapi tidak ada yang berusaha menghentikan mereka.
Sementara itu, di taman, Samson masih marah kepada Amanda yang tiba-tiba menariknya dari ajang perdebatan.
”Sombong sekali orang yang bernama Marlo itu. Baru menjadi ketua kelas saja sudah berani sok berkuasa.” ketus Samson.
”Itu wajar. Haknya sebagai ketua kelas memang mengatur kelasnya. Ini kan memang kita yang salah karena melanggar jadwal piket.” jawab Amanda.
”Kamu mau membelanya? Seharusnya tadi kamu membiarkan aku melayani debat dengan Marlo!” bentak Samson.
”Kalau marahmu belum reda juga, aku masukkan kamu ke dalam kulkas di kantin!” bentak Amanda yang tak kalah galak dari Samson. Samson terdiam.
”Sam, tidak ada masalah yang dapat diselesaikan dengan emosi. Terkadang untuk menyelesaikannya kita perlu mengalah. Kalau tadi aku biarkan kamu tetap bicara, mungkin masalahnya akan semakin besar, bahkan sampai harus menghadap kepala sekolah. Aku yakin, teman-teman kita lebih bisa memberikan pengertian kepada Marlo. Dan sekarang, pasti sudah tidak ada apa-apa.”
Samson mencoba merenungi kata-kata Amanda, ”Jadi memang sikapku selama ini tidak pernah berguna bagi kalian.”
”Tidak juga. Kadang keberadaanmu dibutuhkan untuk menghadapi orang-orang yang suka main otot.” balas Amanda dengan seulas senyum.
”Memang aku pengawal pribadimu!”
”Sudahlah, kita ke kelas sekarang. Sebentar lagi pasti bel berbunyi.” Ajak Amanda.
Sesuai kesepakatan dengan Marlo, siang itu setelah jam sekolah usai, anak-anak LS kerja bakti membersihkan kelas. Tapi tidak tampak ada Karang, Ridwan, dan Samson di sana. Karang siang itu harus mengikuti rapat OSIS. Ridwan ada pertemuan dengan klub KIR, Karya Ilmiah Remaja. Sementara Samson dipanggil pelatih basketnya untuk membahas perubahan jadwal latihan tim inti. Otomatis hanya tersisa lima orang, Amanda, Angkasa, Ilyas, Yogi, dan Jaka, yang harus membersihkan kelas. Mereka berlima tidak ada satupun yang mengeluh. Mungkin akan berbeda ceritanya seandainya ada Samson di sana. Ruang kelas tidak kunjung bersih, tapi malah semakin berantakan, karena amukan Samson.
Suasana sekolah mulai sepi. Pada hari senin memang hanya ada ekskul renang dan kajian islam. Ekskul renang diadakan di luar sekolah, sedangkan ekskul kajian islam diadakan di mushala. Jadi tidak seramai hari-hari lain. Paling ramai pada hari kamis, karena ada ekskul basket, pemandu sorak, voli, teater, paduan suara, PASKIBRA, PMR, dan tari. Sedangkan hari tenang, hari jum’at. Pada hari itu hanya ada ekskul yoga selepas sholat jum’at. Hari sabtu ada ekskul sepak bola dan pencak silat yang biasa diadakan bersama di lapangan kecamatan, yang berada tepat di samping sekolahan. Hari selasa ada ekskul KIR, musik, tenis, dan elektro. Sedangkan di hari rabu ada ekskul Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sastra klub (tempat siswa yang hobi menulis), kaligrafi, seni lukis, dan English Club.
Selama membersihkan kelas, mereka mengusir kejenuhan dengan bercanda. Angkasa terus mengganggu Amanda yang sedang mengepel. Ia sengaja berlari-lari di bagian yang sudah dipel. Ia bermaksud membuat Amanda kesal. Namun Amanda tidak terpengaruh. Ia tetap kukuh dengan apa yang sedang ia kerjakan. Tapi lama-lama ia kesal juga. Sehingga membalas dengan mencipratkan air kotor ke baju Angkasa. Akhirnya Angkasa menyerah dan pergi menghampiri Yogi yang mengelap kaca jendela. Sedangkan Jaka dan Ilyas menyapu bagian luar kelas sembari sesekali main perang-perangan dengan sapu yang mereka pegang.
Dari delapan orang anggota LS, Yogi adalah yang paling kalem dan jarang bicara. Seandainya ada hal lucu, paling ia hanya tersenyum. Rasanya belum pernah ia tertawa sekalipun. Jangankan tertawa, bicara saja seperlunya dengan kalimat yang singkat. Ini bukan karena dia bisu atau apa. Dia normal. Menurut Samson yang sejak SD mengenal Yogi, orangnya memang sangat pendiam. Kalau ditanya paling jawabannya dengan mengangguk, menggeleng, atau mengangkat kedua bahunya. Terkadang menjawab ‘tidak tahu’. Kalau disuruh berkomentar, ia hanya tersenyum dan mengatakan ‘terserah’.
Saat pelajaran dia lumayan mau membuka mulutnya, mengeluarkan suara indahnya untuk berbicara. Tapi tidak menghilangkan ciri khas kalau dia tipe orang yang irit bicara. Saat dibuka waktu debat pendapat di kelas, ia selalu ikut angkat bicara. Tapi tetap saja, dengan kata-kata yang singkat, padat, tapi mengena.
Kadang teman-temannya kesal dengan sifatnya yang sangat pendiam. Dia hampir tidak pernah berkomentar tentang teman-temannya. Jika teman-temannya sedang bercerita macam-macam, ia hanya mendengarkan saja. Sampai Samson memanggilnya ‘Mayat Hidup’ sangking kesalnya. Penyebabnya, ia pernah melihat Yogi dikeroyok salah satu genk di sekolah yang hobi meminta uang dengan memaksa kepada siswa-siswa di sekolah itu. Yogi tidak memberi uang kepada mereka, karena uangnya sudah habis untuk membeli buku di koperasi sekolah. Akhirnya dia dihajar habis-habisan, tapi ia hanya diam seperti patung, tidak membalas sama sekali. Untung ada Samson yang kebetulan melihatnya. Dia langsung menghajar preman-preman berpendidikan itu sampai babak belur. Muka Yoga menjadi biru-biru.
“Terima kasih,” ucap Yoga saat itu.
”Kamu ini seperti mayat hidup saja. Masa ada orang yang berani memukulimu kamu diam saja. Kalau kamu merasa tidak bisa menghadapi mereka, kamu kan bisa berteriak minta tolong! Punya mulut kenapa tidak digunakan? Orang bisu saja ingin bisa bicara. Kalau tadi aku tidak datang bagaimana?” oceh Samson. Yogi hanya tersenyum. ”Kenapa tersenyum? Memangnya luka di wajahmu itu tidak sakit, masih bisa senyum-senyum. Kalau tadi kamu sampai mati, apa masih mau tersenyum?” lanjut Samson. Sekali lagi Yogi hanya tersenyum.
Angkasa bukannya membantu Yogi mengelap kaca, malah hanya terpaku melihat temannya itu. Lama kelamaan Yogi agak risih dengan sikap Angkasa.
”Kenapa?” tanya Yogi seraya menoleh ke arah Angkasa yang ada di sampingnya.
”Tidak ada.” jawab Angkasa. Yogi kembali melanjutkan pekerjaannya. ”Yogi, sebenarnya kamu tahu namaku tidak?” sambung Angkasa. Yogi memandanginya dengan pandangan penuh tanya.
”Bukan apa-apa. Selama ini aku jarang mendengarmu bicara. Waktu pementasan LS dulu, kamu juga hanya menjadi salah satu kunang-kunang tanpa dialog. Kamu orang yang sangat pendiam. Dan aku rasa, kamu tidak pernah sekalipun memanggil namaku.”
”Oh, iya?” Yogi kembali terpaku pada pekerjaannya.
”Apa selama ini kamu tidak merasa, kalau kamu ini terlalu irit bicara. Kamu ini kan salah satu tim basket inti. Kamu keren, permainanmu bagus, banyak yang suka padamu, tapi kamu pendiam. Setiap ada gadis yang mendekatimu selain Amanda, kamu selalu ingin menghindar. Seandainya kamu mau sedikit terbuka, aku yakin, kamu akan menjadi idola di sekolah ini.” Yogi hanya mampu tersenyum menanggapi perkataan temannya itu.
”Hey, jangan hanya tersenyum! Sekali-kali keluarkan pendapatmu, seperti yang biasa kau lakukan di kelas.” protes Angkasa.
”Setiap orang memiliki karakternya sendiri. Dan aku tidak bisa menjadi sepertimu, Angkasa. Sudahlah, daripada kita berdebat, lebih baik kamu membantuku membersihkan jendela. Kalau tidak bersih, nanti Marlo marah.” pinta Yogi.
”Kata-katamu sudah cukup panjang. Lumayan. Tapi intonasimu masih datar. Bicara itu sebaiknya menggunakan intonasi yang bervariasi. Kadang tinggi, rendah, sedang, supaya yang mendengar tidak jenuh. Kamu juga….” Belum selesai bicara, Yogi terlebih dulu melemparkan kain lap ke mukanya. ”Sialan!” bentak Angkasa. Sementara Yogi sudah kabur duluan meminta perlindungan Amanda. Angkasa mengejarnya.
”Amanda, serahkan Yogi! Aku ingin menjitak kepalanya.” pinta Angkasa yang melihat Yogi bersembunyi di balik tubuh Amanda.
”Playboy nakal tidak usah mengganggu anak baik-baik, ya.” Jawab Amanda.
“Dia sudah berani melempar kain kotor ini ke muka orang tampan sepertiku. Tidak bisa dimaafkan!”
Amanda memandang ke arah Yogi, ”Benarkah?”
“Dia terlalu banyak bicara.” Terang Yogi
“Orang tampan walaupun terkena sedikit kotoran akan tetap tampan, tenang saja. Hey, itu Resti di belakangmu.” kata Amanda yang lebih dulu melihat kehadiran Resti, kekasih baru Angkasa.
Angkasa menengok ke belakang. Tampak seorang perempuan cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai indah. Perempuan itu tersenyum padanya.
”Kamu belum pulang?” tanyanya. Amanda dan Yoga tampak malas melihat kegombalan Angkasa. Sementara Ilyas dan Jaka malah menjadikannya tontonan.
”Aku menunggumu.” balas Resti dengan nada halus.
”Uh... so sweet....!” ledek Ilyas dan Jaka seraya berpelukan, mendramatisir keadaan. Bukannya malu, Angkasa malah semakin menjadi-jadi menunjukkan rayuannya. Ia membelai rambut indah Resti. Amanda mau muntah melihatnya.
”Seharusnya kamu tidak perlu menungguku. Nanti kamu lelah.”
”Kalian berdua pulang saja! Jangan sampai bunga-bunga gombal berguguran mengotori kelas yang sudah aku bersihkan.” pinta Amanda dengan nada kesal.
”Ayo kita pergi saja, Resti. Di sini ada mahluk yang tidak pernah mengerti makna romantis.” kata Angkasa seraya menggandeng Resti dan mengajaknya pergi. Amanda semakin kesal mendengar kata-kata Angkasa. Tiba-tiba saja Yogi menggandeng tangannya. Amanda terkejut hingga lupa dengan semua kekesalannya.
”Apa-apaan ini.” guman Amanda dengan terkekeh-kekeh. Yogi malah tersenyum.
”Aku sedang menirukan Angkasa.” jawabnya dengan polos. Amanda berusaha menahan tawa mendengar jawaban temannya itu. Ia melepaskan genggaman tangan Yogi. Ia memegang pundak sahabatnya itu.
”Anak manis sepertimu tidak boleh meniru playboy jelek seperti Angkasa. Kamu akan lebih manis jika menjadi dirimu sendiri. Mengerti?” kata Amanda bijak. Yogi hanya membalas dengan senyuman.
”Wah... Amanda pilih kasih.” guman Jaka yang mulai berjalan ke arah mereka diikuti Ilyas. ”Dengan Yogi tutur katamu manis sekali. Sedangkan kepadaku, kamu selalu mengeluarkan suara singa dan harimau. Aku kan iri.” lanjutnya dengan nada dibuat-buat manja.
”Iya. Kepadaku yang baik hati ini saja masih suka kamu pukuli. Yogi belum pernah kamu pukul.” sahut Ilyas protes.
”Kalian apa-apaan, sih?” seru Amanda.
”Hmm... mulai galak lagi.”seloroh Jaka.
”Huh! Kalian sudah tidak waras. Kalau kalian ingin aku bersikap lembut pada kalian, bersikaplah lembut padaku seperti Yogi. Anak LS yang mau memperlakukan aku sebagai perempuan itu hanya Yogi. Kalian juga tidak pernah mengakui kalau aku cantik.”
Ilyas dan Jaka tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Amanda.
”Yogi mungkin sedang tidur saat mengatakan hal itu” ledek Jaka.
”Yoga, bantu aku.” pinta Amanda.
”Amanda cantik. Suatu saat kalian pasti menyadarinya.” kata Yogi. Amanda tersenyum penuh kemenangan.
”Amanda membayarmu berapa?” selidik Ilyas.
”Kalian tahu sejak dulu Yogi selalu berkata jujur. Sudahlah, terserah kalian mau mengakuinya atau tidak. Lebih baik kita pulang sekarang sebelum hujan turun. Langit mendung, teman.” ajak Amanda. Akhirnya perdebatan selesai dengan muka masam Ilyas dan Jaka. Sebenarnya mereka belum puas benar berdebatnya. Yogi memang tidak pernah asyik. Dia selalu mengatakan apa yang ada di pikirannya, tidak pernah mau berbohong sedikit saja. Sebenarnya Ilyas dan Jaka mengakui, meskipun perempuan tomboy dengan rambut panjangnya yang selalu dikucir kuda itu galak, tapi tidak kalah cantik dengan anak-anak pemandu sorak. Hanya saja penampilannya tidak pernah mencerminkan sosok perempuan.
Sesampainya di depan pintu gerbang, mereka melihat Angkasa. Ternyata anak itu belum pulang.
”Kenapa masih di sini? Ditinggal Resti karena tidak membawa mobil?” tanya Amanda ketus.
”Wah... orang mau berniat baik malah ada yang berprasangka buruk.” Guman Angkasa. Dia sebenarnya sudah biasa dengan sikap jutek Amanda. Dia juga tahu kalau Amanda sangat benci dengan tingkahnya yang suka ganti-ganti pacar. Seperti Amanda benci dengan sikap emosional Samson, lelucon Jaka yang kadang keterlaluan, Ilyas yang terlampau sabar, Karang yang terlampau optimis, dan Ridwan yang selalu telat memahami permasalahan. Sedangkan terhadap Yogi yang sangat pendiam, Amanda tidak pernah mempermasalahkannya.
“Aku di sini menunggumu, nenek cerewet! Aku kan tahu, orang cerewet sepertimu walaupun bisa karate dan silat, tapi tetap saja tidak berani pulang sendiri.” lanjut Angkasa. Amanda kelincutan karena malu.
”Kenapa tidak berani?” tanya Jaka ingin tahu.
”Dia takut ada laki-laki yang menggodanya di jalan. Kalau ada aku kan tidak ada yang berani mengganggunya.” terang Angkasa.
”Terang saja begitu. Semua orang kan tahu kalau kamu playboy.” gerutu Amanda kesal.
”Ooo.... ” guman Ilyas dan Jaka. Sementara Yogi biasa-biasa saja.
”Kenapa O? A saja sekalian, supaya lebih lebar.” sewot Amanda.
“Aaa… “ ledek Ilyas dan Jaka. Amanda langsung menjitak kepala mereka berdua.
”Kamu galak sekali. Kepada Yogi saja kamu bisa bersikap baik, tidak pernah memukulnya.” protes Jaka.
”Makanya jangan banyak bicara. Jadilah pendiam seperti Yogi.” Ujar Amanda. “Angkasa, pulang sekarang saja, sebelum hujan turun.” Pinta Amanda. Angkasa hanya menjawab dengan acungan jempol.
“Teman-teman, sampai jumpa besok.” Kata Amanda seraya menjabat tangan Jaka, Ilyas, dan Yogi. Angkasa mengikuti. ”Yogi, hati-hati dengan mereka berdua.” lanjut Amanda.
”Hati-hati kenapa? Kami bukan macan sepertimu!” timpal Jaka.
Amanda dan Angkasa sering pulang bersama, karena rumah mereka searah. Dari delapan anak-anak LS, memang rumah mereka saja yang tidak searah. Tetapi terkadang Angkasa dan Amanda sengaja mengikuti yang lain, meskipun jaraknya menjadi lebih jauh. Mereka lebih suka seperti itu, karena tidak perlu melewati pasar yang akan sangat becek saat turun hujan.
Sementara itu, terjadi perdebatan sengit dalam rapat OSIS yang diikuti Karang. Awalnya rapat hanya membahas mengenai akan adanya pertandingan persahabatan dan lomba karya ilmiah. Tapi semakin lama, terjadi perdebatan yang membawa-bawa kepentingan pribadi. Masing-masing ingin mempertahankan pendapat mereka. Sehingga belum ada titik temu.
”Seharusnya saat rapat tidak boleh mengutamakan kepentingan kelompok. Sudah jelas tujuan rapat adalah utnuk kepentingan sekolah.” sindir Edi, karena merasa rapat terlalu memihak pendapat karang.
”Aku hanya mengusulkan.” tukas Karang.
”Tapi usulmu terlalu condong menguntungkan kelompokmu. Kamu dan LS ingin mendominasi.”
”Aku di sini sebagai pengurus OSIS, bukan sebagai LS.” kilah Karang.
”Apa itu di tanganmu?” kata Edi seraya menunjuk dekker di tangan Karang. ”Kamu bahkan tidak mau melepasnya saat rapat.” tambahnya.
Karang lantas melepaskannya, ”Sekarang sudah aku lepaskan.” Edi terdiam. Suasana hening.
”Aku rasa pembicaraan ini sudah sedikit melenceng dari agenda rapat. Sebaiknya kita kembali ke permasalahan awal.” pinta Kamal, mencoba mencairkan suasana. Ia adalah ketua OSIS tahun ini.
”Apa gunanya meneruskan rapat kalau hanya menguntungkan satu pihak saja.” protes Edi.
”Pihak siapa maksudmu?” tanya Kamal.
”Tentu saja Karang dan teman-temannya. Perwakilan yang diajukan Karang tidak lain adalah teman-temannya sendiri. Dia dan teman-temannya memang selalu ingin mendominasi.”
”Kalau seperti ini terus, kapan selesainya. Ini sudah sore.” keluh Irin, sekretaris OSIS.
”Edi, jangan keras kepala begitu. Karang hanya menyapaikan usul, sama sepertimu.” sahut Anjas.
”Ini sebenarnya rapat OSIS atau ajang unjuk keegoisan?” tambah Jabir.
”Anak OSIS tidak ada bedanya dengan siswa lain. Percuma saja ada LDK kalau tidak ada yang mengerti cara menghargai pendapat orang lain.” Amru ikut menyuarakan pendapatnya. Suasana kembali tenang. Terlihat muka-muka muram dan kecewa terhadap rapat kali ini.
”Kalau semua keberatan, usulku tidak perlu diterima. Aku minta maaf, karena kebetulan orang-orang yang aku ajukan adalah teman-temanku.” kata Karang dengan bijak.
”Tunggu dulu, Karang.” sergah Kamal. ”Teman-teman, aku yakin, Karang memilih orang-orang sebagai perwakilan sekolah bukan karena mereka adalah teman dekatnya. Kebetulan saja begitu. Tapi berdasarkan kemampuan dan pengalamannya di bidang masing-masing. Ridwan sudah tiga kali mengikuti lomba karya ilmiah. Meskipun belum pernah juara, tapi dia memiliki nilai lebih dari yang lain, yaitu pengalaman, yang membuatnya dapat belajar dari kesalahan sebelumnya. Sedangkan Angkasa, Samson, dan Marlo, mereka adalah ketua di klub masing-masing. Jadi mereka yang lebih tahu, siapa-siapa yang permainannya bagus. Sedangkan kita orang luar, tidak tahu menahu, kecuali ikut terlibat langsung di dalamnya. Jadi kurang tepat jika kita yang memilihnya.” ujar Kamal. Semua yang hadir menjadikannya pusat perhatian. Kamal memang pantas menjadi seorang pemimpin. Kata-katanya bijaksana dan mudah dipahami.
Edi mengangkat tangannya, ”Mengenai pertandingan persahabatan aku setuju dengan usul Karang. Tapi mengenai perwakilan untuk lomba KIR, aku tidak setuju.”
”Wah... mulai lagi. Katanya jangan mementingkan kepentingan pribadi. Tapi maunya timnya yang di pilih.” sindir Jabir. Edi agak masam mukanya.
”Jabir, beri Edi kesempatan untuk menjelaskannya. Silakan, Edi.” kata Kamal.
”Terima kasih. Menurutku, tidak adil jika memilih hanya berdasarkan pengalaman. Karena sampai kapanpun, hanya Ridwan yang memenuhi kriteria itu. Seharusnya digilir, agar semua memiliki pengalaman. Klub KIR itu bukan hanya Ridwan saja.”
”Termasuk kamu!” potong Anjas.
”Iya, termasuk aku dan teman-teman yang lain, yang juga membutuhkan pengalaman. Kalau tidak seperti itu, siapa yang akan menjadi analan setelah Ridwan lulus? Setiap generasi itu butuh penerus.”
”Dalam hal ini kita tidak boleh asal. Ini menyangkut sekolah. Apa salahnya memilih yang terbaik untuk yang terbaik bagi sekolah.” Tukas Fidya.
“Belum tentu juga kalau junior tidak lebih baik dari senior.” Ujar Gigih, membenarkan pendapat Edi. Semua kembali diam.
“Baiklah, kalau begitu, aku akan meminta guru pembimbing ekskul KIR untuk menyeleksi, siapa yang layak dijadikan perwakilan sekolah. Bagi yang tidak terpilih, boleh tepat mengikuti lomba, tapi atas nama sendiri, dan biaya juga ditanggung sendiri. Semoga ini adalah yang terbaik untuk sekolah kita. Bagaimana?”
Tidak ada yang menolah usul Kamal. Semua bisa menerima. Sebelum rapat dibubarkan, Kamal sempat meminta kepada teman-temannya, agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari.
Langganan:
Postingan (Atom)